Warta Madrasah -- sahabat warta madrasah pada kesempatan ini kita akan mengkaji tentang Membedakan
mana Hadis Sahih, Hasan Dhaif dan Maudhu’?. Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang
kedua setelah Alqur’an. Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol
segala tingkah laku dan perbuatan manusia. Untuk Alqur’an semua
periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak
kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan
periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan
setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat.
Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam
dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang
dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya
sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima);
Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam
periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal
dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada
yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian
kritik Sanadmaupun Matan oleh para ulama untuk
yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang
menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah. Berbagai macam hadis yang
menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas
kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan
tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk
menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan
menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam
menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan
dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.
B. Rumusan Masalah
Dengan uraian latar belakang diatas penulis hendak menyajikan makalah yang
berkisar pada
permasalahan hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ yang bertitik
tolak pada permasalahan, sebagai berikut:
1. Pengertian,
syarat-syarat, pembagian, kehujjahan dan kitab-kitab hadis shahih;
2. Pengertian, Pembagian,
Kehujjahan, Kitab-kitab Hadis Hasan;
3. Pengertian, pembagian,
pengamalan dan kitab-kitab hadis dhaif;
4. Pengertian, sejarah
munculnya, motivator, kaidah-kaidah untuk mengetahui, kitab-kitab dan hukum
meriwayatkan hadis maudhu’;
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis Shahih
1. Pengertian dan
syarat-syarat hadits shahih
Ibnu shalah mengemukakan definisi hadis shahih, yaitu:
“Hadis shahih ialah
hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi
dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan
tidak mu’allal (terkena illat)[1]
Ajjaj al-Khatib memberikan definisi hadis shahih, yaitu:
“Hadis yang bersambungan sanadnya melalui periwayatan
perawi tsiqah dari perawi lain yang tsiqah pula sejak awal sampai ujungnya
(rasulullah saw) tanpa syuzuz tanpa illat”[2]
Dengan demikian Ajjaj
al-Khatib mengemukakan syarat-syarat terhadap sebuah hadis untuk dapat disebut
sebagai hadis shahih, yaitu: a. muttashil sanadnya, b. Perawi-perawinya
adil[3] c. Perawi-perawinya dhabit[4] d. Yang diriwayatkan tidak syaz, d.
Yang diriwayatkan terhindar dari illat qadihah (illat yang mencacatkannya)
Shubhi Shalih juga memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam melihat
keshahihan sebuah hadis, yaitu:
a. Hadis
tersebut shahih musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang teratas.
b. Hadis shahih
bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi yang meriwayatkan memang terpercaya , akan
tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang lain yang lebih tinggi.
c. Hadis
shahih bukan hadis yang terkena ‘illat. Illat ialah: sifat
tersembunyi yang mengakibatkan hadis tersebut cacat dalam penerimaannya,
kendati secara zahirnya terhindar dari illat.
d. Seluruh tokoh
sanad hadis shahih itu adil dan cermat[5]
Definisi-definisi dan rambu-rambu yang diutarakan oleh muhaddisin tentang hadis
shahih diatas, dengan kalimat yang berbeda, namun tidak menunjukkan adanya
perbedaan dalam pemahaman ciri hadis shahih. Dengan kata lain, bahwa sebuah
hadis dikatakan shahih, jika hadis tersebut memiliki sanad yang bersambung (muttashil)
sampai ke rasulullah saw. dinukil dari dan oleh orang yang adil lagi dhabit tanpa
adanya unsur syaz maupun mu’allal (terkena illat).
Dengan demikian apabila
ada hadis yang sanadnya munqathi’, mu’dal danmuallaq dan
sebagainya, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hadis shahih.
Demikian halnya dengan illat sebuat hadis, jika sebuah hadis memiliki illat
maupun syaz, maka tidak dapat disebut hadis shahih.
Meskipun definisi dan rambu-rambu yang dikemukakan oleh muhaddisintentang
hadis shahih diatas tidak terdapat perbedaan dalam pemahaman ciri-ciri hadis
shahih, namun dalam penerapan masing-masing persyaratan kadang-kadang tidak
sama, misalnya dalam hal persambungan sanad, ada yang mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan bersambung sanadnya adalah apabila periwayat satu dengan
periwayat thabaqah berikutnya harus betul-betul “serah terima” hadis, peristiwa
serah terima ini dapat dilihat dari redaksi jadi tidak cukup hanya
dengan sebab
tidaklah menjamin bahwa proses cukup hanya dengan pemindahan itu secara
langsung.
2. Pembagian Hadis
Shahih
Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam:
a. Shahih
li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifat-sifat
hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi”
karena telah memenuhi semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat
yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai
dengan sendirinya.[6] Untuk lebih jelasnya, berikut
penulis kemukakan contoh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ
بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ
عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ
صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ :
ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ
؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوك
Hadis yang diriwayatkan
dari Abu Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang tidak terdapat
ke-syaz-an maupun illat.
b. Shahih li
ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi (tidak
memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi hadis maqbul),yang
diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau lebih kuat darinya,
dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat
keshahihannya diraih melalui sanad pendukung yang lain.[7] Berikut contoh hadis shahih
li ghairihi yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاة. ٍ
Hadis tersebut dinilai
oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li ghairihisebagaimana
dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin ‘Amr yang
dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis
riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun keshahihan hadis tersebut
didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi derajatnya sebagaimana hadis
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari Abu Hurairah (pada contoh
hadis shahih li dzatihi).
Dari sini dapat kita ketahui bahwa
martabat hadis shahih ini tergantung kepada ke-dhabit-an dan ke-adil-an
para perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si perawi, makin tinggi pula
tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.yang diistilah oleh para
muhaddisin sebagai ashahhul asanid.
Ashahhul Asanid, yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi
derajatnya, al-Khatib mengemukakan, bahwa dikalangan ulama terdapat perbedaan
pendapat mengenaiashahhul asanid, ada yang mengatakan:
1) Riwayat Ibn
Syihab az-Zuhry dari Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari Ibn Umar.
2) Sebagian lagi
mengatakan: ashahhul asanid adalah riwayat Sulaiman al-A’masy
dari Ibrahim an-Nakha’iy dari Alqamah Ibn Qais dari Abdullah ibn Mas’ud.
3) Imam Bukhari dan
yang lain mengatakan, ashahhul asanid adalah riwayat imam
Malik ibn Anas dari Nafi’ maula Ibn Umar dari ibn Umar. Dan
karena imam Syafi’i merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan hadis
dari Imam Malik dan Imam Ahmad merupakan orang yang paling utama yang
meriwayatkan dari Imam Syafi’i, maka sebagian ulama muta’akhirincenderung
menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat Imam Ahmad dari
Imam Syafi’i dari Imam Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar r.a. inilah yang disebutsilsilah
ad-dzahab (mata rantai emas).[8]
3. Kehujjahan Hadis
Shahih.
Mengenai kehujjahan hadis shahih, dikalangan ulama tidak ada perbedaan tentang
kekuatan hukumnya, terutama dalam menentukan halal dan haram (status hukum)
sesuatu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, (Q.S al-Hasyr : 59) :
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqß™§9$# çnrä‹ã‚sù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4(#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ
"apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah.
dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya".
4. Kitab-kitab
yang memuat Hadis Shahih.
Manna’ Khalil al-Qatthan dalam Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis, mengemukakan
bahwa diantara kitab-kitab yang memuat hadis shahih adalah[9]:
a. Shahih
Bukhari
d. Shahih Ibn Hibban
b. Shahih Muslim
e. Shahih Ibn Khuzaimah
c. Mustadrak al-Hakim
Sedangkan menurut Ajjaj
al-Khatib bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih adalah:
a. Shahih
Bukhari
e. Sunan an-Nasa’i
b. Shahih
Muslim
f. Sunan Ibn Majah
c. Sunan Abu
Daud
g. Musnad Ahmad ibn Hanbal
d. Sunan at-Tirmidzi
Nuruddin ‘Itr didalam
kitabnya Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis mengemukakan bahwa
kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih antara lain[10]:
a. al-Muwattha’
b. Shahih
Bukhari
c. Shahih Muslim
d. Shahih Ibn Khuzaimah
e. Shahih Ibn Hibban
f. Al-Mukhtarah[11]
B. Hadis Hasan
1. Pengertian Hadis Hasan
Hadis hasan
ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun
kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya) serta
terhindar dari Syaz dan illat.[12]
Perbedaan antara hadis
Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk
hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan[13]
Ibn Hajar sebagaimana
dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat.
Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila
kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi[14]
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih
seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya, kurang ke-dhabitan-nya
dibanding dengan perawi hadis shahih. [15]
Berdasarkan pada
pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis
merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya
saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau
lebih rendah dari perawi hadis shahih.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a. Sanad
hadis harus bersambung.
b. Perawinya adil
c. Perawinya
mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang
dimiliki oleh perawi hadis shahih
d. Hadis yang
diriwayatkan tersebut tidak syaz
e. Hadis yang
diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)[16]
2. Pembagian Hadis
Hasan
Hadis hasan dibagi
menjadi dua, yaitu:
a. Hadis
hasan li dzatihi
Hadis hasan li dzatihi
adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan
sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk
mengangkatnya ke derajat hasan.
b. Hadis hasan li
ghairihi
Hadis hasan li ghairihi
adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan
sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta.[17]
Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan
hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi
dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada
penguat tentu masih berstatus dha’if.
Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn
Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya,
Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan
sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah.[18]
Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا
عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ،
عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ
الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ
خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ
يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ
فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
Hadis
tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang
terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut adz-Zahaby,Ma’bad
termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya.[19]
Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي
فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ
؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه
الترمذي)
Diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin
Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah
menikah dengan mahar sepasang sandal.
Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama)
dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena
buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur
riwayat yang lain.[20]
Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua
ketentuan,yaitu:
a) hadis tersebut
diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa
perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari
padanya.
b) bahwa sebab
kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya
periwayat yang tak dikenal.[21]
Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah
hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah
seperti hadismunkar, hadis matruk betapapun syahid
dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah
menjadi hasan.
3. Kehujjahan Hadis
Hasan.
Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah
hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam
penetapan hukum maupun dalam beramal.
Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat
tentangkehujjahan hadis hasan ini.[22]
4. Kitab-kitab Yang
Memuat Hadis Hasan
Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if
adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran
dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis
hasan adalah[23]:
a. Sunan at-Tirmidzy
b. Sunan Abu Daud
c. Sunan ad-Dar Quthny
C. Hadis Dhaif
1. Pengertian dan Pembagian Hadis Dha’if
Dha’if menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dha’if ada dua macam, yaitu
lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah dha’if
maknawiyah.
Hadis dhaif menurut istilah adalah “hadis yang didalamnya tidak didapati syarat
hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.”[24]
Diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis dhaif
ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan maksudnya sama.
An-Nawawi mendefinisikannya dengan:
“hadis yang didalamnya
tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan”[25]
As-Suyuthi mendefinisikan hadis dhaif adalah:
“Hadis yang hilang
salah satu syarat atau keseluruhan dari syarat-syarat hadis maqbul, atau dengan
kata lain hadis yang tidak terpenuhi didalamnya syarat-syarat hadis maqbul”
Hadis dhaif apabila ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka dapat
dibagi kepada dua bahagian, pertama: Dhaif disebabkan karena
tidak memenuhi syarat bersambungnya sanad. Kedua: Dhaif karena terdapat cacat
pada perawinya.
a. Dhaif disebabkan
karena tidak memenuhi syarat bersambungnya Sanad. Dhaif jenis ini di bagi lagi
menjadi :
1) Hadis Mu’allaq
Hadis mu’allaq yaitu hadis yang pada sanadnya telah dibuang satu atau lebih
rawi baik secara berurutan maupun tidak. Contohnya pada hadis yang diriwayatkan
oleh Bukhari:
قال مالك عن الزهرى عن
أبى سلمة عن أبى هريرة عن النبى "لا تفا ضلوا بين الأنبيأ
Dikatakan Muallaq karena Imam bukhari langsung menyebut Imam
Malik padahal ia dengan Imam Malik tidak pernah bertemu. Contoh lain adalah,
قال ألبخارى قالت
العائشة كان النبى يذكر الله على كل أحواله
Disini Bukhari tidak
menyebutkan rawi sebelum Aisyah
2) Hadis Mursal
Hadis mursal menurut istilah adalah hadis yang gugur perawi dari sanadnya
setelah tabi’in, seperti bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda begini atau berbuat seperti ini”[26]. Contoh hadits ini adalah:
قال مالك عن جعفر بن
محمد عن أبيه أن رسول الله قضى باليمن والشاهد
Disini Muhammad bin Ali
Zainul Abidin tidak menyebutkan sahabat yang menjadi perantara antara nabi dan
bapaknya.
3) Hadis Munqathi'
Hadis munqathi’ menurut
istilah para ulama hadis mutaqaddimin sebagai “hadis yang
sanadnya tidak bersambung dari semua sisi”. Sedangkan menurut para ulama
hadis mutaakhkhirin adalah ”suatu hadis yang ditengah sanadnya gugur seorang
perawi atau beberapa perawi tetapi tidak berturut-turut” [27]
Contoh hadits ini
adalah;
ما رواه
عبد الرزاق عن الثورى عن أبى إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفه مرفوعا إن وليتموها
أبا بكر فقوى أمين
Riwayat yang sebenarnya
adalah Abdul Razak meriwayatkan hadis dari Nukman bin Abi Saybah al-Jundi bukan
dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadis dari Abi Ishak, akan
tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat yang sesungguhnya kita
dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadis yang munqthi’.
4) Hadis Mu'dhal
Hadis mu’dhal menurut
istilah adalah “ hadis yang gugur pada sanadnya dua atau lebih secara
berurutan.”[28].
Contohnya :
Diriwayatkan oleh
al-Hakim dengan sanadnya kepada al-Qa’naby dari Malik bahwasanya dia
menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, “rasulullah bersabda,
للمملوك طعامه وكسوته
بالمعروف ، لا يُكلّف من العمل إلا ما يُطيق "
Al-Hakim berkata,”
hadis ini mu’dhal dari Malik dalam kitab al-Muwaththa’., Letak ke-mu’adalahan-nya karena gugurnya dua perawi
dari sanadnya yaitu Muhammad bin ‘Aljan, dari bapaknya. Kedua perawi tersebut
gugur secara berurutan[29]
5) Hadis Mudallas
Yaitu hadits yang
diriwayatkan dengan menghilangkan rawi diatasnya. Tadlis sendiri dibagi menjadi
beberapa macam;
a. Tadlis Isnad, adalah hadis yang
disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa dengannya dan ia betemu
sendiri dengan orang itu namun ia tidak mendengar hadis tersebut langsung
darinya. Apabila perawi memberikan penjelasan bahwa ia mendengar langsung hadis
tersebut padahal kenyataannya tidak, maka tidak tidak termasuk mudallasmelainkan
suatu kebohongan/ kefasikan.
b. Tadlis qath’i : Apabila perawi
menggugurkan beberapa perawi di atasnya dengan meringkas menggunakan nama
gurunya atau misalnya perawi mengatakan “ telah berkata kepadaku”,
kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan “al-Amasi . . .”
umpamanya. Hal seperti itu mengesankan seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi
secara langsung padahal sebenarnya tidak. Hadist seperti itu disebut juga
dengan tadlis Hadf(dibuang) atau tadlis sukut (diam
dengan tujuan untuk memotong).
c. Tadlis ‘Athaf (merangkai dengan
kata sambung semisal “Dan”). Yaitu bila perawi menjelaskan bahwa ia memperoleh
hadis dari gurunya dan menyambungnya dengan guru lain padahal ia tidak
mendengar hadis tersebut dari guru kedua yang disebutnya.
d. Tadlis Taswiyah : apabila perawi
menggugurkan perawi di atasnya yang bukan gurunya karena dianggap lemah
sehingga hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya
saja, agar dapat diterima sebagai hadis shahih. Tadlis taswiyah merupakan
jenis tadlis yang paling buruk karena mengandung penipuan yang
keterlaluan.
e. Tadlis Syuyukh: Yaitu tadlis yang
memberikan sifat kepada perawi dengan sifat-sifat yang lebih dari kenyataan,
atau memberinya nama dengankunyah (julukan) yang berbeda dengan
yang telah masyhur dengan maksud menyamarkan masalahnya. Contoh: Seseorang
mengatakan: “Orang yang sangat alim dan teguh pendirian bercerita kepadaku,
atau penghafal yang sangat kuat hafaleannya brkata kepadaku”.
f. Termasuk dalam golongan tadlis suyukh adalah
tadlis bilad (penyamaran nama tampat). Contoh: Haddatsana
fulan fi andalus (padahal yang dimaksud adalah suatu tempat di
pekuburan). Ada beberapa hal yang mendasari seorang perawi melakukan tadlis suyukh,
adakalanya dikarenakan gurunya lemah hingga perlu diberikan sifat yang belum
dikenal, karena perawi ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak guru atau
karena gurunya lebih muda usianya hingga ia merasa malu meriwayatkan hadis
darinya dan lain sebagainya.
b. Dhaif karena terdapat
cacat pada perawinya
Sebab-sebab cela pada perawi yang berkaitan dengan ke’adalahan perawi ada lima,
dan yang berkaitan dengan kedhabithannya juga ada lima.
1. Adapun yang berkaitan
dengan ke’adalahannya, yaitu: a) Dusta, b) Tuduhan,
c) berdusta, d) Fasik, e) bid’ah, f) al-Jahalah (ketidakjelasan
2. Adapun yang berkaitan
dengan ke’adalahannya, yaitu: a) kesalahan yang, sangat buruk, b) Buruk
hafalan, c) Kelalaian, d) Banyaknya waham, e) menyelisihi para
perawi yang tsiqah
Dan berikut ini
macam-macam hadis yang dikarenakan sebab-sebab diatas:
1) Hadis Maudhu'
Hadis maudhu’ adalah hadis kontroversial yang di buat
seseorang dengan tidak mempunyai dasar sama sekali. Menurut Subhi Shalih adalahkhabar yang
di buat oleh pembohong kemudian dinisbatkan kepada Nabi.karena disebabkan oleh
faktor kepentingan.[30] Contohnya adalah hadis tentang
keutamaan bulan rajab yang diriwayatkan Ziyad ibn Maimun dari
shabat Anas r.a:
قيل يارسول الله لم سمي
رجب قال لأنه يترجب فيه خير كثبر
Menurut Abu Dawud dan Yazid ibn Burhan, Ziyad ibn
Maimun adalah seorang pembohong dan pembuat hadis palsu.
2) Hadis Matruk
Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang disangka suka
berdusta.[31] Contoh hadis ini adalah hadis
tentang qadha' al hajat yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya
dari Juwaibir ibn Sa'id al Asdi dari dhahak dari Ibn 'Abbas.
قال النبي عليكم باصطناع
المعروف فانه يمنع مصارع السوء ... الخ
Menurut an Nasa'i dan Daruqutni, Juwaibir adalah orang
yang tidak dianggap hadisnya.
3) Hadis Munkar
Hadis munkar adalah hadits yang diriwatkan oleh perawi
yang dhaif, yang menyalahi orang kepercayaan.[32] perawi itu tidak memenuhi syarat
biasa dikatakan seorang dhabit. Atau dengan pengetian hadis yang
rawinya lemah dan bertentangan dengan riwayat rawi tsiqah. Munkar sendiri tidak
hanya sebatas pada sanad namun juga bisa terdapat pada matan.
4) Hadis Majhul
a. Majhul 'aini : hanya diketahui
seorang saja tanpa tahu jarh danta'dilnya.Contohnya
hadis yang diriwayatkan oleh Qutaibah ibn Sa'ad dari Ibn Luhai'ah dari Hafs ibn
Hasyim ibn 'utbah ibn Abi Waqas dari Saib ibn Yazid dari ayahnya Yazid ibn
Sa'id al Kindi
ان النبي كان اذا دعا
فرفع يديه مسح وجهه بيده. اخرجه ابي داود
Hanyalah Ibn Luhai'ah
yang meriwayatkan hadis dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn Abi Waqas tanpa
diketahui jarh dan ta'dilnya.
b. Majhul hali : diketahui
lebih adari satu orang namun tidak diketahui jarh danta'dilnya.contoh
hadis ini adalah hadisnya Qasim ibn Walid dari Yazid ibn Madkur.
ان عليا رضي الله عنه
رجم لوطيا. اخرجه البيهقى
Yazid ibn Madkur
dianggap majhul hali.
5) Hadis Mubham
Hadis mubham yaitu hadis yang tidak menyebutkan nama orang dalam
rangkaian sanad-nya, baik lelaki maupun perempuan.[33] Contohnya adalah hadis Hujaj ibn
Furadhah dari seseorang (rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.
قال رسو ل الله المؤمن
غر كريم والفاجر خب لئيمز اخرجه ابو داود
6) Hadis Syadz
Hadis syadz yaitu hadis yang beretentangan
dengan hadis lain yang riwayatnya lebih kuat[34].
7) Hadis maqlub
Yang dimaksud dengan hadis maqlub ialah
yang memutar balikkan (mendahulukan) kata, kalimat, atau nama yang seharusnya
ditulis di belakang, dan mengakhirkan kata, kalimat atau nama yang seharusnya
didahulukan.
8) Hadis mudraj
Secara
terminologis hadits mudraj ialah yang didalamnya terdapat
sisipan atau tambahan, baik pada matan atau pada sanad. Pada matan bisa berupa
penafsiran perawi terhadap hadits yang diriwayatkannya, atau bisa semata-mata
tambahan, baik pada awal matan, di tengah-tengah, atau pada akhirnya.
9) Hadis mushahaf
Hadits mushahaf ialah
yang terdapat perbedaan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang kepercayaan,
karena di dalamnya terdapat beberapa huruf yang di ubah. Perubahan ini juga
bisa terjadi pada lafadz atau pada makna, sehingga maksud
hadis menjadi jauh berbeda dari makna dan maksud semula.
Selain hadis diatas masih terdapat beberapa hadits lagi yang termasuk dha'if antara lain, mudhtharab, mudha'af , mudarraj, mu'allal, musalsal, mukhtalith untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam buku Hasby as-Shiddieqy;Pokok-pokok dirayah ilmu hadis dan juga ‘Ajjaj al-Khotib; Ushul al-hadits
Selain hadis diatas masih terdapat beberapa hadits lagi yang termasuk dha'if antara lain, mudhtharab, mudha'af , mudarraj, mu'allal, musalsal, mukhtalith untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam buku Hasby as-Shiddieqy;Pokok-pokok dirayah ilmu hadis dan juga ‘Ajjaj al-Khotib; Ushul al-hadits
2. Pengamalan Hadits
Dha’if
Hadis dhaif pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan, bila
dibandingkan dengan hadis shahih dan hadis hasan. Namun para ulama
melakukan pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis dhaif,
sehingga terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.
Ada tiga pendapat
dikalangan ulama mengenai penggunaan hadis dhaif:
a. Hadis dhaif tidak bisa diamalkan
secara mutlak, baik mengenai fadhail a’mal maupun ahkam. pendapat ini
diperpegangi oleh Yahya bin Ma’in, Bukhari dan Muslim, Ibnu Hazm, Abu Bakar ibn
Araby.
b. Hadis dhaif bisa digunakan secara
mutlak, pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Daud dan Imam Ahmad. Keduanya
berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari ra’yu perorangan.
c. Sebagian ulama berpendapat bahwa
Hadis dhaif bisa digunakan dalam masalah fadhail mawa’iz atau yang sejenis bila
memenuhi beberapa syarat.[35]
Ulama-ulama yang
mempergunakan hadis dhaif dalam fadhilah amal, mensyaratkan
kebolehan mengambilnya dengan tiga syarat:
1) Kelemahan hadis itu tiada
seberapa.
2) Apa yang ditunjukkan hadis itu juga
ditunjukkan oleh dasar lain yang dapat diperpegangi, dengan arti bahwa
memeganginya tidak berlawanan dengan suatu dasar hukum yang sudah dibenarkan.
3) Jangan diyakini kala menggunakannya
bahwa hadis itu benar dari nabi. Ia hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat
yang tidak berdasarkan pada nash sama sekali.[36]
3. Kitab-kitab Yang
diduga Mengandung Hadis Dhaif.
1. Ketiga Mu’jam
at-Thabrani: al-Kabir, al-Awsat, as-Shagir
2. Kitab al-Afrad,
karya ad-Daruquthny
3. Kumpulan karya
al-Khatib al-baghdadi
4. Kitab Hilyatul
Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, karya abu Nu’aim al-Asbahani.
D. Hadis Maudhu’
a. Pengertian
Hadis Maudhu’
Maudhu’ menurut
bahasa artinya sesuatu yang diletakkan, sedangkan menurut istilah adalah:
”sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada rasulullah
secara dusta”[37].
Hadis ini adalah yang paling buruk dan jelek diantara hadis-hadis dhaif
lainnya. Selain ulama membagi hadis menjadi empat bagian: shahih, hasan, dhaif
dan maudhu’. Maka maudhu menjadii satu bagian tersendiri.[38]
Hadis maudhu adalah: seburuk-buruk hadis dhaif, hadis maudhu’ dinamakan
juga hadis musqath, hadis matruk, mukhtalaq dan muftara.[39]
b. Sejarah
Munculnya Hadis Maudhu’
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis,
berikut pendapat mereka:
a. Menurut
Ahmad Amin bahwa hadis maudhu’ terjadi sejak masa rasulullah masih hidup.
b. Shalahuddin
ad-Dabi mengatakan bahwa pemalsuan hadis berkenaan dengan masalah keduniaan
yang terjadi pada masa rasulullah saw.
c. Menurut
jumhur al-muhaddin, pemalsuan hadis terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib.[40]
c. Motivasi-Motivasi
Munculnya Hadis Maudhu’
Hadis maudhu’ tidaklah bertambah kecuali bertambahnya bid’ah dan
pertikaian. Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan
oleh orang-orang islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non islam.
Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadis palsu, antara lain:
a. Pertentangan
Politik
Perpecahan umat islam
terjadi akibat permasalahan politik yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi
Thalib, membawa pengaruh besar terhadap munculnya hadis-hadis palsu.
Masing-masing golongan berusaha mengalahkan lawannya dan berusaha mempengaruhi
orang-orang tertentu, salah satu usahanya adalah dengan membuat hadis palsu.
b. Usaha Kaum
Zindiq
Kaum Zindiq adalah
golongan yang membenci islam, baik sebagai agama maupun sebagai dasar
pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin dapat memalsukan Alqur’an sehingga
mereka beralih melakukan upaya pemalsuan hadis.[41] Dengan tujuan ingin menghancurkan
islam dari dalam.
c. Sikap
Fanatik Buta
Salah satu faktor upaya
pembuatan hadis palsu adalah adanya sifat ego dan fanatik buta tehadap suku,
bangsa, negeri dan pimpinan
Contoh golongan yang
fanatik yaitu ash-Syu’ubiyah yang fanatik terhadap bangsa persia,
dia mengatakan “Apabila Allah Murka, dia menurunkan wahyu dengan bahasa arab
dan apabila senang dia menurunkan dengan bahsa persia.[42]
d. Mempengaruhi Kaum
Awam Dengan Kisah dan Nasehat
Kelompok yang melakukan
pemalsuan hadis ini bertujuan untuk memmperoleh simpati dari pendengarnya
sehingga mereka kagum melihat kemampuannya.[43] Hadis yang mereka katakan terlalu
berlebih-lebihan.
Bahkan ada hadis palsu
yang berbunyi: “nabi duduk bersanding dengan Allah diatas Arsy-nya”.
e. Perselisihan
dalam fiqhi dan ilmu kalam
Munculnya hadis palsu
dalam masalah fiqhi dan ilmu kalam, berasal dari para pengikut madzhab. Mereka
melakukan pemalsuan hadis karena ingin menguatkan madzhabnya masing-masing.
f. Lobby dengan
penguasa
Sebuah peristiwa yang
terjadi pada masa khilafah bani Abbasiyah, seorang yang bernama Ghiyats ibn
Ibrahim pernah membuat hadis yang disebutkannya didepan khalifah al-Mahdi yang
menyangkut kesenangan khalifah.[44]
g. Semangat ibadah yang berlebihan tanpa
didasari pengetahuan.
Dikalangan para ahli
ibadah ada yang beranggapan bahwa membuat hadis-hadis yang bersifat mendorong
agar giat beribadah (targhib) adalah hal yang dibolehkan, dalam rangka
ber-taqarrub kepada Allah.[45]
d. Kaidah-kaidah Untuk Mengetahui Hadis Maudhu’
Para ulama hadis menetapkan kaidah-kaidah untuk memudahkan melacak keberadaan
hadis maudhu’, sehingga hadis maudhu’ dapat
diketahui dengan beberapa hal, antar lain[46]:
a. Pengakuan
dari orang yang memalsukan hadis: seperti pengakuan Abi ‘Ismat Nuh bin Abi
Maryam, yang digelari Nuh al-Jami’, bahwa dia telah memalsukan hadis atas Ibnu
Abbas tentang keutamaan-keutamaan al-Qur’an surah persurah.
b. Adanya indikasi
pada perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya: misalnya seorang perawi
yang Rafidhah dan hadisnya tentang keutamaan ahlul bait.
c. Adanya
indikasi pada isi hadis, seperti: isinya bertentangan dengan akal sehat, atau
bertentangan dengan indra kenyataan, atau berlawanan dengan ketetapan agama
yang kuat dan terang, atau susunan lafazhnya yang lemah dan kacau, misalnya apa
yang diriwayatkan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari bapaknya dari kakeknya
secara marfu’,”bahwasanya kapal nabi Nuh thawaf mengelilingi ka’bah tujuh kali
dan shalat dua raka’at di maqam Ibrahim.”
e. Hukum Meriwayatkan Hadis maudhu’
Para ulama sepakat bahwanya diharamkan meriwayatkan hadis maudhu’dari
orang yang mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali disertai
dengan penjelasan akan kemaudhu’annya, berdasarkan sabda Nabi saw:
“barang siapa
yang menceritakan hadis dariku sedangkan dia mengetahui bahwa itu dusta, maka
dia termasuk para pendusta.”(HR.Muslim)
f. Kitab-kitab Hadis
Maudhu’:
a. al-Maudhu’at,
karya Ibn al-Jauzi
b. al-La’ali al-Ma’shum
fi al-Hadis al-Maudhu’ah, karya as-Suyuthi
c. Silsilah
al-Hadis ad-Dha’ifah, karya al-Albani.
0 Response to "Membedakan mana Hadis Sahih, Hasan Dhaif dan Maudhu’?"
Post a Comment