Membedakan mana Hadis Sahih, Hasan Dhaif dan Maudhu’?

Warta Madrasah -- sahabat warta madrasah pada kesempatan ini kita akan mengkaji tentang  Membedakan mana Hadis Sahih, Hasan Dhaif dan Maudhu’?. Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanadmaupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.
B.     Rumusan Masalah
      Dengan uraian latar belakang diatas penulis hendak menyajikan makalah yang
berkisar pada permasalahan hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ yang bertitik tolak pada permasalahan, sebagai berikut:
1.    Pengertian, syarat-syarat, pembagian, kehujjahan dan kitab-kitab hadis shahih;
2.    Pengertian, Pembagian, Kehujjahan, Kitab-kitab Hadis Hasan;
3.    Pengertian, pembagian, pengamalan dan kitab-kitab hadis dhaif;
4.    Pengertian, sejarah munculnya, motivator, kaidah-kaidah untuk mengetahui, kitab-kitab dan hukum meriwayatkan hadis maudhu’;

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hadis Shahih
1. Pengertian dan syarat-syarat hadits shahih
      Ibnu shalah mengemukakan definisi hadis shahih, yaitu:
      “Hadis shahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena illat)[1]
      Ajjaj al-Khatib memberikan definisi hadis shahih, yaitu:
“Hadis yang bersambungan sanadnya melalui periwayatan perawi tsiqah dari perawi lain yang tsiqah pula sejak awal sampai ujungnya (rasulullah saw) tanpa syuzuz tanpa illat”[2]

      Dengan demikian Ajjaj al-Khatib mengemukakan syarat-syarat terhadap sebuah hadis untuk dapat disebut sebagai hadis shahih, yaitu: a. muttashil sanadnya,  b. Perawi-perawinya adil[3] c. Perawi-perawinya dhabit[4] d. Yang diriwayatkan tidak syaz, d. Yang diriwayatkan terhindar dari illat qadihah (illat yang mencacatkannya)
            Shubhi Shalih juga memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam melihat keshahihan sebuah hadis, yaitu:
a.       Hadis tersebut shahih musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang teratas.
b.      Hadis shahih bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi yang meriwayatkan memang terpercaya , akan tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang lain yang lebih tinggi.
c.       Hadis shahih bukan hadis yang terkena ‘illat. Illat ialah: sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadis tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara zahirnya terhindar dari illat.
d.      Seluruh tokoh sanad hadis shahih itu adil dan cermat[5]
            Definisi-definisi dan rambu-rambu yang diutarakan oleh muhaddisin tentang hadis shahih diatas, dengan kalimat yang berbeda, namun tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam pemahaman ciri hadis shahih. Dengan kata lain, bahwa sebuah hadis dikatakan shahih, jika hadis tersebut memiliki sanad yang bersambung (muttashil) sampai ke rasulullah saw. dinukil dari dan oleh orang yang adil lagi dhabit tanpa adanya unsur syaz maupun mu’allal (terkena illat).
            Dengan demikian apabila ada hadis yang sanadnya munqathi’, mu’dal danmuallaq dan sebagainya, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hadis shahih. Demikian halnya dengan illat sebuat hadis, jika sebuah hadis memiliki illat maupun syaz, maka tidak dapat disebut hadis shahih.
            Meskipun definisi dan rambu-rambu yang dikemukakan oleh muhaddisintentang hadis shahih diatas tidak terdapat perbedaan dalam pemahaman ciri-ciri hadis shahih, namun dalam penerapan masing-masing persyaratan kadang-kadang tidak sama, misalnya dalam hal persambungan sanad, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bersambung sanadnya adalah apabila periwayat satu dengan periwayat thabaqah berikutnya harus betul-betul “serah terima” hadis, peristiwa serah terima ini dapat dilihat dari redaksi jadi tidak cukup hanya dengan   sebab             tidaklah menjamin bahwa proses cukup hanya dengan pemindahan itu secara langsung.
2. Pembagian Hadis Shahih
            Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam:
a.       Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi” karena telah memenuhi  semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya.[6] Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan contoh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ    ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوك  

Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang tidak terdapat ke-syaz-an maupun illat.
b.      Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi (tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi hadis maqbul),yang diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau lebih kuat darinya, dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat keshahihannya diraih melalui sanad pendukung yang lain.[7] Berikut contoh hadis shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاة.  ٍ
     Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li ghairihisebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).
     Dari sini dapat kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini tergantung kepada ke-dhabit-an dan ke-adil-an para perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.yang diistilah oleh para muhaddisin sebagai ashahhul asanid.
Ashahhul Asanid, yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya, al-Khatib mengemukakan, bahwa dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenaiashahhul asanid, ada yang mengatakan:
1)      Riwayat Ibn Syihab az-Zuhry dari Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari Ibn Umar.
2)      Sebagian lagi mengatakan: ashahhul asanid adalah riwayat Sulaiman al-A’masy dari Ibrahim an-Nakha’iy dari Alqamah Ibn Qais dari Abdullah ibn Mas’ud.
3)      Imam Bukhari dan yang lain mengatakan, ashahhul asanid adalah riwayat imam Malik ibn Anas dari Nafi’ maula Ibn Umar dari ibn Umar. Dan karena imam Syafi’i merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan hadis dari Imam Malik dan Imam Ahmad merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan dari Imam Syafi’i, maka sebagian ulama muta’akhirincenderung menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat Imam Ahmad dari Imam Syafi’i dari Imam Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar r.a. inilah yang disebutsilsilah ad-dzahab (mata rantai emas).[8]

3. Kehujjahan Hadis Shahih.
            Mengenai kehujjahan hadis shahih, dikalangan ulama tidak ada perbedaan tentang kekuatan hukumnya, terutama dalam menentukan halal dan haram (status hukum) sesuatu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, (Q.S al-Hasyr : 59) :
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqß™§9$# çnrä‹ã‚sù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4(#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ß‰ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ

"apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya".

4Kitab-kitab yang memuat Hadis Shahih.
            Manna’ Khalil al-Qatthan dalam Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis, mengemukakan bahwa diantara kitab-kitab yang memuat hadis shahih adalah[9]:
a.   Shahih Bukhari                       d. Shahih Ibn Hibban
b.  Shahih Muslim                        e. Shahih Ibn Khuzaimah
c.   Mustadrak al-Hakim
      Sedangkan menurut Ajjaj al-Khatib bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih adalah:
a.   Shahih Bukhari                       e. Sunan an-Nasa’i     
b.  Shahih Muslim                        f. Sunan  Ibn Majah
c.   Sunan Abu Daud                    g. Musnad Ahmad ibn Hanbal
d.  Sunan at-Tirmidzi
      Nuruddin ‘Itr didalam kitabnya Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis mengemukakan bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih antara lain[10]:
a.   al-Muwattha’                                                                                     
b.  Shahih Bukhari                      
c.   Shahih Muslim
d.  Shahih Ibn Khuzaimah
e.   Shahih Ibn Hibban
f.   Al-Mukhtarah[11]
B. Hadis Hasan
1.  Pengertian Hadis Hasan
      Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.[12]
      Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan[13]
      Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi[14]
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. [15]
      Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.
      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.       Sanad hadis harus bersambung.
b.      Perawinya adil
c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.       Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)[16]
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatihi
      Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.      Hadis hasan li ghairihi
      Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta.[17]
            Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
            Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah.[18]
              Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
                                                                               
          Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut     adz-Zahaby,Ma’bad termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya.[19]
            Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي)                                 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
              Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain.[20]
              Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a)      hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b)      bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal.[21]
            Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadismunkar, hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan.
3. Kehujjahan Hadis Hasan.
            Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
            Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentangkehujjahan hadis hasan ini.[22]
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
            Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah[23]:
a.   Sunan at-Tirmidzy
b.  Sunan Abu Daud
c.   Sunan ad-Dar Quthny
C. Hadis Dhaif
1.  Pengertian dan Pembagian Hadis Dha’if
            Dha’if menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dha’if ada dua macam, yaitu lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah dha’if maknawiyah.
            Hadis dhaif menurut istilah adalah “hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.”[24]
            Diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis dhaif ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan maksudnya sama.
            An-Nawawi mendefinisikannya dengan:
“hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan”[25]
            As-Suyuthi mendefinisikan hadis dhaif adalah:
“Hadis yang hilang salah satu syarat atau keseluruhan dari syarat-syarat hadis maqbul, atau dengan kata lain hadis yang tidak terpenuhi didalamnya syarat-syarat hadis maqbul”
            Hadis dhaif apabila ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka dapat dibagi kepada dua bahagian, pertama: Dhaif disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya sanad. Kedua: Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya.
a.    Dhaif disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya Sanad. Dhaif jenis ini di bagi lagi menjadi :
      1) Hadis Mu’allaq
                    Hadis mu’allaq yaitu hadis yang pada sanadnya telah dibuang satu atau lebih rawi baik secara berurutan maupun tidak. Contohnya pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari:
قال مالك عن الزهرى عن أبى سلمة عن أبى هريرة عن النبى "لا تفا ضلوا بين الأنبيأ
        Dikatakan Muallaq karena Imam bukhari langsung menyebut Imam Malik padahal ia dengan Imam Malik tidak pernah bertemu. Contoh lain adalah,
قال ألبخارى قالت العائشة كان النبى يذكر الله على كل أحواله
Disini Bukhari tidak menyebutkan rawi sebelum Aisyah
2) Hadis Mursal
        Hadis mursal menurut istilah adalah hadis yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in, seperti bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda begini atau berbuat seperti ini”[26]. Contoh hadits ini adalah:
قال مالك عن جعفر بن محمد عن أبيه أن رسول الله قضى باليمن والشاهد
Disini Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan sahabat yang menjadi perantara antara nabi dan bapaknya.
3) Hadis Munqathi'
Hadis munqathi’ menurut istilah para ulama hadis mutaqaddimin sebagai “hadis yang sanadnya  tidak bersambung dari semua sisi”. Sedangkan menurut para ulama hadis mutaakhkhirin adalah ”suatu hadis yang ditengah sanadnya gugur seorang perawi atau beberapa perawi tetapi tidak berturut-turut” [27]
Contoh hadits ini adalah;
ما رواه عبد الرزاق عن الثورى عن أبى إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفه مرفوعا إن وليتموها أبا بكر فقوى أمين

Riwayat yang sebenarnya adalah Abdul Razak meriwayatkan hadis dari Nukman bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadis dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat yang sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadis yang munqthi’.
4) Hadis Mu'dhal
Hadis mu’dhal menurut istilah adalah “ hadis yang gugur pada sanadnya dua atau lebih secara berurutan.”[28].
Contohnya :
Diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya kepada al-Qa’naby dari Malik bahwasanya dia menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, “rasulullah bersabda,
للمملوك طعامه وكسوته بالمعروف ، لا يُكلّف من العمل إلا ما يُطيق "
Al-Hakim berkata,” hadis ini mu’dhal dari Malik dalam kitab al-Muwaththa’., Letak ke-mu’adalahan-nya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya yaitu Muhammad bin ‘Aljan, dari bapaknya. Kedua perawi tersebut gugur secara berurutan[29]
5) Hadis Mudallas
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi diatasnya. Tadlis sendiri dibagi menjadi beberapa macam;
a. Tadlis Isnad, adalah hadis yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa dengannya dan ia betemu sendiri dengan orang itu namun ia tidak mendengar hadis tersebut langsung darinya. Apabila perawi memberikan penjelasan bahwa ia mendengar langsung hadis tersebut padahal kenyataannya tidak, maka tidak tidak termasuk mudallasmelainkan suatu kebohongan/ kefasikan.
b. Tadlis qath’i : Apabila perawi menggugurkan beberapa perawi di atasnya dengan meringkas menggunakan nama gurunya atau misalnya perawi mengatakan “ telah berkata kepadaku”, kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan “al-Amasi . . .” umpamanya. Hal seperti itu mengesankan seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi secara langsung padahal sebenarnya tidak. Hadist seperti itu disebut juga dengan tadlis Hadf(dibuang) atau tadlis sukut (diam dengan tujuan untuk memotong).
c. Tadlis ‘Athaf (merangkai dengan kata sambung semisal “Dan”). Yaitu bila perawi menjelaskan bahwa ia memperoleh hadis dari gurunya dan menyambungnya dengan guru lain padahal ia tidak mendengar hadis tersebut dari guru kedua yang disebutnya.
d. Tadlis Taswiyah : apabila perawi menggugurkan perawi di atasnya yang bukan gurunya karena dianggap lemah sehingga hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya saja, agar dapat diterima sebagai hadis shahih. Tadlis taswiyah merupakan jenis tadlis yang paling buruk karena mengandung penipuan yang keterlaluan.
e. Tadlis Syuyukh: Yaitu tadlis yang memberikan sifat kepada perawi dengan sifat-sifat yang lebih dari kenyataan, atau memberinya nama dengankunyah (julukan) yang berbeda dengan yang telah masyhur dengan maksud menyamarkan masalahnya. Contoh: Seseorang mengatakan: “Orang yang sangat alim dan teguh pendirian bercerita kepadaku, atau penghafal yang sangat kuat hafaleannya brkata kepadaku”.
f. Termasuk dalam golongan tadlis suyukh adalah tadlis bilad (penyamaran nama tampat). Contoh: Haddatsana fulan fi andalus (padahal yang dimaksud adalah suatu tempat di pekuburan). Ada beberapa hal yang mendasari seorang perawi melakukan tadlis suyukh, adakalanya dikarenakan gurunya lemah hingga perlu diberikan sifat yang belum dikenal, karena perawi ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak guru atau karena gurunya lebih muda usianya hingga ia merasa malu meriwayatkan hadis darinya dan lain sebagainya.
b.   Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya
            Sebab-sebab cela pada perawi yang berkaitan dengan ke’adalahan perawi ada lima, dan yang berkaitan dengan kedhabithannya juga ada lima.
1.    Adapun yang berkaitan dengan ke’adalahannya, yaitu: a) Dusta, b) Tuduhan,
      c)  berdusta, d) Fasik, e) bid’ah, f) al-Jahalah (ketidakjelasan
2.    Adapun yang berkaitan dengan ke’adalahannya, yaitu: a) kesalahan yang, sangat buruk, b) Buruk hafalan, c) Kelalaian, d) Banyaknya waham, e) menyelisihi para perawi yang tsiqah
Dan berikut ini macam-macam hadis yang dikarenakan sebab-sebab diatas:
1) Hadis Maudhu'
Hadis maudhu’ adalah hadis kontroversial yang di buat seseorang dengan tidak mempunyai dasar sama sekali. Menurut Subhi Shalih adalahkhabar yang di buat oleh pembohong kemudian dinisbatkan kepada Nabi.karena disebabkan oleh faktor kepentingan.[30] Contohnya adalah hadis tentang keutamaan bulan rajab yang diriwayatkan Ziyad ibn Maimun dari shabat Anas r.a:
قيل يارسول الله لم سمي رجب قال لأنه يترجب فيه خير كثبر
Menurut Abu Dawud dan Yazid ibn Burhan, Ziyad ibn Maimun adalah seorang pembohong dan pembuat hadis palsu.
2) Hadis Matruk
              Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang disangka suka berdusta.[31] Contoh hadis ini adalah hadis tentang qadha' al hajat yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dari Juwaibir ibn Sa'id al Asdi dari dhahak dari Ibn 'Abbas.
قال النبي عليكم باصطناع المعروف فانه يمنع مصارع السوء ... الخ
Menurut an Nasa'i dan Daruqutni, Juwaibir adalah orang yang tidak dianggap hadisnya.
3) Hadis Munkar
Hadis munkar adalah hadits yang diriwatkan oleh perawi yang dhaif, yang menyalahi orang kepercayaan.[32] perawi itu tidak memenuhi syarat biasa dikatakan seorang dhabit. Atau dengan pengetian hadis yang rawinya lemah dan bertentangan dengan riwayat rawi tsiqah. Munkar sendiri tidak hanya sebatas pada sanad namun juga bisa terdapat pada matan.
4) Hadis Majhul
a. Majhul 'aini : hanya diketahui seorang saja tanpa tahu jarh danta'dilnya.Contohnya hadis yang diriwayatkan oleh Qutaibah ibn Sa'ad dari Ibn Luhai'ah dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn Abi Waqas dari Saib ibn Yazid dari ayahnya Yazid ibn Sa'id al Kindi
ان النبي كان اذا دعا فرفع يديه مسح وجهه بيده. اخرجه ابي داود
Hanyalah Ibn Luhai'ah yang meriwayatkan hadis dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn Abi Waqas tanpa diketahui jarh dan ta'dilnya.
b.   Majhul hali : diketahui lebih adari satu orang namun tidak diketahui jarh danta'dilnya.contoh hadis ini adalah hadisnya Qasim ibn Walid dari Yazid ibn Madkur.
ان عليا رضي الله عنه رجم لوطيا. اخرجه البيهقى
Yazid ibn Madkur dianggap majhul hali.
5) Hadis Mubham
            Hadis mubham yaitu hadis yang tidak menyebutkan nama orang dalam rangkaian sanad-nya, baik lelaki maupun perempuan.[33] Contohnya adalah hadis Hujaj ibn Furadhah dari seseorang (rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.
قال رسو ل الله المؤمن غر كريم والفاجر خب لئيمز اخرجه ابو داود
6) Hadis Syadz
Hadis syadz yaitu hadis yang beretentangan dengan hadis lain yang riwayatnya lebih kuat[34].
7) Hadis maqlub
Yang dimaksud dengan hadis maqlub ialah yang memutar balikkan (mendahulukan) kata, kalimat, atau nama yang seharusnya ditulis di belakang, dan mengakhirkan kata, kalimat atau nama yang seharusnya didahulukan.
8) Hadis mudraj
                Secara terminologis hadits mudraj ialah yang didalamnya terdapat sisipan atau tambahan, baik pada matan atau pada sanad. Pada matan bisa berupa penafsiran perawi terhadap hadits yang diriwayatkannya, atau bisa semata-mata tambahan, baik pada awal matan, di tengah-tengah, atau pada akhirnya.

9) Hadis mushahaf
                Hadits mushahaf ialah yang terdapat perbedaan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang kepercayaan, karena di dalamnya terdapat beberapa huruf yang di ubah. Perubahan ini juga bisa terjadi pada lafadz atau pada makna, sehingga maksud hadis menjadi jauh berbeda dari makna dan maksud semula.
            Selain hadis diatas masih terdapat beberapa hadits lagi yang termasuk dha'if antara lain, mudhtharabmudha'af , mudarraj, mu'allal, musalsal, mukhtalith untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam buku Hasby as-Shiddieqy;Pokok-pokok dirayah ilmu hadis dan juga ‘Ajjaj al-Khotib; Ushul al-hadits
2. Pengamalan Hadits Dha’if
            Hadis dhaif pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan, bila dibandingkan dengan hadis shahih dan hadis hasan. Namun para ulama  melakukan pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis dhaif, sehingga terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.
Ada tiga pendapat dikalangan ulama mengenai penggunaan hadis dhaif:
a.   Hadis dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail a’mal maupun ahkam. pendapat ini diperpegangi oleh Yahya bin Ma’in, Bukhari dan Muslim, Ibnu Hazm, Abu Bakar ibn Araby.
b.  Hadis dhaif bisa digunakan secara mutlak, pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Daud dan Imam Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari ra’yu perorangan.
c.   Sebagian ulama berpendapat bahwa Hadis dhaif bisa digunakan dalam masalah fadhail mawa’iz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat.[35]
Ulama-ulama yang mempergunakan hadis dhaif dalam fadhilah amal, mensyaratkan kebolehan mengambilnya dengan tiga syarat:
1)  Kelemahan hadis itu tiada  seberapa.
2)  Apa yang ditunjukkan hadis itu juga ditunjukkan oleh dasar lain yang dapat diperpegangi, dengan arti bahwa memeganginya tidak berlawanan dengan suatu dasar hukum yang sudah dibenarkan.
3)  Jangan diyakini kala menggunakannya bahwa hadis itu benar dari nabi. Ia hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tidak berdasarkan pada nash sama sekali.[36]
3. Kitab-kitab Yang diduga Mengandung Hadis Dhaif.
1.      Ketiga Mu’jam at-Thabrani: al-Kabir, al-Awsat, as-Shagir
2.      Kitab al-Afrad, karya ad-Daruquthny
3.      Kumpulan karya al-Khatib al-baghdadi
4.      Kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, karya abu Nu’aim al-Asbahani.

D. Hadis Maudhu’
a.      Pengertian Hadis Maudhu’
            Maudhu’ menurut bahasa artinya sesuatu yang diletakkan, sedangkan menurut istilah adalah:
            ”sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada rasulullah secara dusta”[37].
            Hadis ini adalah yang paling buruk dan jelek diantara hadis-hadis dhaif lainnya. Selain ulama membagi hadis menjadi empat bagian: shahih, hasan, dhaif dan maudhu’. Maka maudhu menjadii satu bagian tersendiri.[38]
            Hadis maudhu adalah: seburuk-buruk hadis dhaif, hadis maudhu’ dinamakan juga hadis musqath, hadis matrukmukhtalaq dan muftara.[39]
b.      Sejarah Munculnya Hadis Maudhu’
            Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis, berikut pendapat mereka:
a.       Menurut Ahmad Amin bahwa hadis maudhu’ terjadi sejak masa rasulullah masih hidup.
b.      Shalahuddin ad-Dabi mengatakan bahwa pemalsuan hadis berkenaan dengan masalah keduniaan yang terjadi pada masa rasulullah saw.
c.       Menurut jumhur al-muhaddin, pemalsuan hadis terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.[40]
c.       Motivasi-Motivasi Munculnya Hadis Maudhu’
            Hadis maudhu’ tidaklah bertambah kecuali bertambahnya bid’ah dan pertikaian. Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non islam.
            Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadis palsu, antara lain:
a.       Pertentangan Politik
      Perpecahan umat islam terjadi akibat permasalahan politik yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, membawa pengaruh besar terhadap munculnya hadis-hadis palsu. Masing-masing golongan berusaha mengalahkan lawannya dan berusaha mempengaruhi orang-orang tertentu, salah satu usahanya adalah dengan membuat hadis palsu.
b.      Usaha Kaum Zindiq
      Kaum Zindiq adalah golongan yang membenci islam, baik sebagai agama maupun sebagai dasar pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin dapat memalsukan Alqur’an sehingga mereka beralih melakukan upaya pemalsuan hadis.[41] Dengan tujuan ingin menghancurkan islam dari dalam.

c.       Sikap Fanatik Buta
      Salah satu faktor upaya pembuatan hadis palsu adalah adanya sifat ego dan fanatik buta tehadap suku, bangsa, negeri dan pimpinan
      Contoh golongan yang fanatik yaitu ash-Syu’ubiyah yang fanatik terhadap bangsa persia, dia mengatakan “Apabila Allah Murka, dia menurunkan wahyu dengan bahasa arab dan apabila senang dia menurunkan dengan bahsa persia.[42]
d.      Mempengaruhi Kaum Awam Dengan Kisah  dan Nasehat
      Kelompok yang melakukan pemalsuan hadis ini bertujuan untuk memmperoleh simpati dari pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya.[43] Hadis yang mereka katakan terlalu berlebih-lebihan.
      Bahkan ada hadis palsu yang berbunyi: “nabi duduk bersanding dengan Allah diatas Arsy-nya”.
e.       Perselisihan dalam fiqhi dan ilmu kalam
      Munculnya hadis palsu dalam masalah fiqhi dan ilmu kalam, berasal dari para pengikut madzhab. Mereka melakukan pemalsuan hadis karena ingin menguatkan madzhabnya masing-masing.
f.       Lobby dengan penguasa
      Sebuah peristiwa yang terjadi pada masa khilafah bani Abbasiyah, seorang yang bernama Ghiyats ibn Ibrahim pernah membuat hadis yang disebutkannya didepan khalifah al-Mahdi yang menyangkut kesenangan khalifah.[44]
g.   Semangat ibadah yang berlebihan tanpa didasari pengetahuan.
      Dikalangan para ahli ibadah ada yang beranggapan bahwa membuat hadis-hadis yang bersifat mendorong agar giat beribadah (targhib) adalah hal yang dibolehkan, dalam rangka ber-taqarrub kepada Allah.[45]
d. Kaidah-kaidah Untuk Mengetahui Hadis Maudhu’
            Para ulama hadis menetapkan kaidah-kaidah untuk memudahkan melacak keberadaan hadis maudhu’, sehingga hadis maudhu’ dapat diketahui dengan beberapa hal, antar lain[46]:
a.       Pengakuan dari orang yang memalsukan hadis: seperti pengakuan Abi ‘Ismat Nuh bin Abi Maryam, yang digelari Nuh al-Jami’, bahwa dia telah memalsukan hadis atas Ibnu Abbas tentang keutamaan-keutamaan al-Qur’an surah persurah.
b.      Adanya indikasi pada perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya: misalnya seorang perawi yang Rafidhah dan hadisnya tentang keutamaan ahlul bait.
c.       Adanya indikasi pada isi hadis, seperti: isinya bertentangan dengan akal sehat, atau bertentangan dengan indra kenyataan, atau berlawanan dengan ketetapan agama yang kuat dan terang, atau susunan lafazhnya yang lemah dan kacau, misalnya apa yang diriwayatkan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari bapaknya dari kakeknya secara marfu’,”bahwasanya kapal nabi Nuh thawaf mengelilingi ka’bah tujuh kali dan shalat dua raka’at di maqam Ibrahim.”
e. Hukum Meriwayatkan Hadis maudhu’
            Para ulama sepakat bahwanya diharamkan meriwayatkan hadis maudhu’dari orang yang  mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan penjelasan akan kemaudhu’annya, berdasarkan sabda Nabi saw:
 “barang siapa yang menceritakan hadis dariku sedangkan dia mengetahui bahwa itu dusta, maka dia termasuk para pendusta.”(HR.Muslim)
f. Kitab-kitab Hadis Maudhu’:
a.       al-Maudhu’at, karya Ibn al-Jauzi
b.      al-La’ali al-Ma’shum fi al-Hadis al-Maudhu’ah, karya as-Suyuthi

c.       Silsilah al-Hadis ad-Dha’ifah, karya al-Albani.

0 Response to "Membedakan mana Hadis Sahih, Hasan Dhaif dan Maudhu’?"

Post a Comment