LOGIKA KYAI PESANTREN RAKYAT TENTANG KEGIATAN
MEMPERINGATI HARI KEMERDEKAAN
Kadang logika kyai pesantren terasa aneh, sederhana, tetapi juga
logis. Hal demikian itu, tidak terkecuali, yang saya lihat terhadap Kyai
Pesantren Rakyat, yang berada di Sumber Pucung, Malang Selatan. Kemarin pada
hari Ahad, tanggal 14 Agustus, saya memenuhi tugas mengunjungi kegiatan para
mahasiswa yang sedang melakukan kegiatan pengabdian masyarakat. Memang, saya
sengaja meminta kepada Ibu Dr. Mufidah, selaku ketua LPM, jika ada kegiatan
terkait dengan kemahasiswaan, agar saya dilibatkan, supaya berkesempatan ikut
mengetahui berbagai kegiatan mahasiswa.
Kebetulan LPM sedang memiliki program kegiatan pengabdian
masyarakat dengan melibatkan ratusan mahasiswa. Mereka itu, membuat program
pemberdayaan masyarakat di pedesaan selama beberapa minggu atas bimbingan para
dosen, di Malang Selatan. Kebetulan usul saya dipenuhi, saya diberi jadwal
untuk mendatangi salah satu kegiatan di Kecamatan Bantur. Oleh karena lokasinya
tidak terlalu jauh, saya singgah ke pesantren Rakyat yang ada di Sumber Pucung,
beberapa waktu yang lalu, gambaran tentang pesantren dimaksud telah saya tulis.
Banyak hal yang saya lihat dari kegiatan jenis pesantren yang
belum terlalu dikenal oleh masyarakat tersebut. Satu di antaranya adalah
tentang bagaimana kyai pesantren itu memaknai hari kemerdekaan. Menurut Kyai
Abdullah Syam, pengasuh pesantren itu, kemerdekaan itu adalah milik semua
rakyat Indonesia. Oleh karena itu, semua rakyat seharusnya merasa memiliki dan
mensyukurinya. Sebagai bagian dari ekspresi rasa syukur itu, mereka diajak
mengikuti upacaya bendera. Rakyat tidak cukup hanya dianjurkan memasang bendera
merah putih di depan rumah, menyaksikan berbagai jenis perlombaan, dan karnaval
yang diselenggarakan di masing desa atau kotanya.
Biasanya, di mana-mana, upacara bendera hanya dilaksanakan di
sekolah-sekolah, kantor-kantor, kampus, kesatuan tentara, polisi, dan
sejenisnya. Rakyat biasa tidak diajak untuk berupacara. Padahal seumpama
seseorang selamanya hanya berposisi sebagai rakyat biasa, dan tidak pernah
menjadi pegawai atau menduduki jabatan di kantor atau di tempat lain sejenisnya,
maka selamanya tidak pernah ikut berupacara. Akhirnya, upacara hanya milik
orang tertentu, dan bukan untuk rakyat. Ekspresi berbangga melalui kegiatan
resmi, berbentuk upacara misalnya, hanya menjadi milik orang-orang tertentu dan
bukan milik rakyat. Padahal rakyat pun segarusnya ikut memiliki dan
merasakannya.
Sebagai pesantren rakyat, agar semua kalangan merasakan
berupacara, maka Kyai Abdullah Syam, pengasuh pesantren rakyat, setiap tahun
menyelenggarakan upacara hari ulang tahun kemerdekaan bersama rakyat. Semua
warga masyarakat yang berada di lingkungan pesantrennya itu, tepat pada tanggal
17 Agustus, diajak melaksanakan upacara bendera. Oleh karena disebut rakyat,
maka peserta upacara itu diikuti oleh semua kalangan, baik bapak-bapak, ibu-ibu,
remaja, anak-anak, pekerja maupun para penganguran, semuanya tanpa terkecuali.
Peserta upacara itu dianjurkan mengenakan pakaian harian
masing-masing. Sekalipun mengikuti upacara bendera, mereka tidak perlu harus
mengenakan pakaian seragam. Bagi petani mengenakan pakaian tani, pedagang
mengenakan pakaian yang sehari-hari dipakai untuk berdagang, tukang becak,
buruh, tukang, kuli bangunan, dan seterusnya, mengenakan pakaiannya
sehari-hari. Demikian pula para santri, mereka mengenakan sarung, baju koko,
dan peci. Agar tidak ada alasan tidak hadir, bagi ibu-ibu yang masih punya anak
kecil, dipersilahkan anaknya dibawa serta.
Demikian pula kakek-kakek, nenek-nenek, dan siapapun, diajak
untuk berupacara bendera yang dilaksanakan di halaman pesantren rakyat. Kyai
Abdullah Syam, sebagaoi pengasuh pesantren, bertindak sebagai inspektur
upacara. Namanya saja upacara rakyat, maka semua pesertanya juga rakyat.
Mendasarkan pada logika kyai pesantren rakyat, maka rakyat pun juga harus
diajak ikut serta berupacara bendera, memperingari hari kemerdekaan bangsa dan
negaranya. Rakyat tidak boleh sekedar melihat orang berupacara, tetapi juga
harus ikut berupacara dan tentu yang lebih penting, merasakan kemerdekaan.
Keterlibatannya dalam berupacara, maka rakyat pun juga ikut
menyanyi lagu Indonesia Raya, menirukan teks Pancasila, mendengarkan pembukaan
UUD 1945, dan lain-lain sebagaimana layaknya upacara pada umumnya. Menurut Kyai
Abdullah Syam, Pengasuh Pesantren Rakyat di Sumber Pucung, rakyat harus diajak,
didampingi, didengarkan, dihargai dalam upaya membangun bangsa sesuai dengan
tingkatan dan kemampuannya masing-masing. Sebagai warga negara yang
ber-Pancasila, rakyat diajak menjalankan agamanya. Tetapi selain itu, juga
diajak memecahkan problem ekonominya, sosial, pendidikan, dan sebagainya.
Kegiatan dimaksud ternyata berkembang dan berjalan baik. Akhirnya, saya
berpandangan bahwa pendekatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Kyai
muda ini sangat efektif, murah, menyenangkan, manusiawi, dan pelaksanaannya
juga tidak rumit. Wallahu a’lam
0 Response to "LOGIKA KYAI PESANTREN RAKYAT TENTANG KEGIATAN MEMPERINGATI HARI KEMERDEKAAN"
Post a Comment