TELAAH
FILOSOFIS TENTANG NILAI-NILAI DEMOKRASI
Mengawali
pembahasan pada bab empat ini, layak kiranya diberikan pemahaman tentang
kerangka dasar pemikiran yang berkaitan dengan pembahasan bab empat ini.
bahwa secara filosofis akan dibahas pendidikan
Islam dari sudut pandang demokrasi yang lebih terkonsentrasi pada aspek tujuan
pendidikan Islam secara substansial mengandung nilai-nilai substansif
demokrasi. Dari kerangka pemikiran tersebut, akan menggeledah secara filosofis
dan berusaha menampakkan nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam rumusan
tujuan pendidikan Islam.
Untuk menemukan nilai-nilai demokrasi dalam rumusan tujuan pendidikan
Islam, penulis akan mencoba mengedepankan delapan perspektif nilai-nilai
demokrasi tersebut, yaitu positifistik jeneralistik, humanisasi, pengembangan
potensi, transfer nilai religius, moralitas, legitimasi potensi, patriotisme,
dan wawasan modern.
Sebelum dipaparkan kedelapan perspektif di atas kaitannya dengan pembahasan
ini, terlebih dahulu akan disimpulkan tujuan-tujuan pendidikan Islam yang
termuat dalam bab dua. Hal tersebut sangat penting sekali, karena tujuan-tujuan
pendidikan Islam tersebut merupakan obyek yang akan dianalisis.
Dari keseluruhan tujuan pendidikan Islam tersebut menunjukkan bahwa tulus
dan ikhlas, berakhlak mulia, mengabdikan diri terhadap lingkungan di mana ia
tinggal, bangsa dan agama, menguasai ketrampilan-ketrampilan, memiliki semangat
ilmiah yang tinggi dan mengabadikan ajaran dan kebudayaan Islam. Tujuan-tujuan
pendidikan Islam tersebut seluruhnya bermuara pada keseimbangan potensi, dunia
dan akhirat, yang akhirnya sebagai kata kunci dari kesimpulan tersebut ialah,
pendidikan Islam menghendaki terbentuknya insan kamil. Untuk lebih jelasnya
berikut klasifikasi tujuan pendidikan Islam.
Klasifikasi Tujuan Pendidikan Islam
Pada hakikatnya klasifikasi di atas, merupakan kata
kunci yang paling tepat sebagai kesimpulan akhir adalah pendidikan Islam
setelah dilakukan proses pendidikan baik di sekolah, keluarga, maupun
masyarakat menghendaki pencapaian pada peserta didik, yaitu “menjadi manusia
yang paripurna” baik di mata peserta didik sendiri sebagai pelaku, di mata
khaliqnya dan di mata masyarakat pada umumnya.
Harus betul-betul dipahami bahwa untuk menjadi manusia sempurna,
pendidikan tidak mungkin mensosialisasikan secara langsung dan dalam waktu
dekat bisa menjadi manusia yang sempurna. Untuk memaparkan hal ini penulis akan
mencoba memaparkannya dengan sebuah pendekatan kronologis.
Yang dimaksud dengan pendekatan kronologis adalah pendekatan yang
didasarkan atas proses perkembangan melalui proses pentahapan.1 Melalui pendekatan ini manusia
dipandang sebagai makhluk evolutif, disadari bahwa manusia bukanlah makhluk
siap jadi, yakni setelah lahir langsung menjadi dewasa.
Secara fisik, kejadian manusia diawali dari proses pembuahan (pertemuan
sel telur dengan sperma), dan kemudian berkembang menjadi janin (QS. 23 : 12 –
14), lalu berkembang menjadi anak-anak, remaja, dewasa hingga mencapai lanjut
usia (QS. 40 : 67), setiap tahap perkembangan ditandai dengan ciri khas
(karakteristik) tertentu pada kemampuan yang dimilikinya. Jadi manusia memiliki
periodisasi dalam perkembangan dan kemampuannya.2
Sebelum dianalisis panjang lebar, sebetulnya apa yang dimaksud dengan
manusia sempurna itu adalah yang mengkaver seluruh isi (content) dari
rumusan-rumusan tujuan pendidikan Islam.
Manusia sempurna menurut Islam tidak mungkin di
luar hakekatnya. Berikut ini merupakan ciri-ciri pokok manusia sempurna menurut
Islam:
Pertama,
jasmani yang sehat serta kuat dan berketrampilan.3
Orang Islam perlu memiliki jasmani yang sehat dan kuat, terutama yang
berhubungan dengan keperluan penyiaran dan pembelaan serta penegakan ajaran
Islam. Dilihat dari sudut ini, maka Islam mengidealkan muslim yang sehat serta
kuat jasmaninya. Hal ini erat kaitannya dengan hakekat diturunkannya manusia di
muka bumi ini, yaitu menjadi khalifah yang sanggup mengatur ketertiban alam.
Khalifah telah berperan sebagai pribadi yang berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya, dan itu semua harus dicapai dengan fisik yang kuat.
Kekuatan fisik ditunjukkan oleh tafsiran Imam Nawawi dalam kata “al-Qawy”
sebagai kekuatan iman, penafsiran Imam Nawawi ini disandarkan pada hadits Nabi:
المؤمن القوى خير واحب
الى الله من المؤمن الضعيف
Artinya : Orang mukmin yang kuat
lebih baik dan lebih disayangi oleh Allah ketimbang orang mukmin yang lemah.4
Tetapi perlu diingat, bahwa persoalan khalifah dalam
perannya akan membawa misi yang sangat besar, dan itu semua membutuhkan
kekuatan-kekuatan yang besar pula, bukan hanya kekuatan iman semata tetapi
lebih dari itu kekuatan dari aspek fisikpun menjadi sesuatu yang tidak bisa
diabaikan. Dari sekelumit penjelasan di atas, apabila kekuatan fisik merupakan
bagian pokok dari tujuan pendidikan Islam, maka pendidikan harus mempunyai
tujuan ke arah ketrampilan-ketrampilan fisik yang dianggap perlu bagi teguhnya
keperkasaan tubuh yang kuat.
Kedua,
cerdas dan pandai.5
Islam menghendaki pemeluknya cerdas dan pandai,
itulah ciri akal yang berkembang secara sempurna. Cerdas ditandai oleh adanya
kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat, sedangkan pandai
ditandai oleh banyaknya pengetahuan. Kecerdasan dan kepandaian itu dapat
ditilik melalui indikator-indikator sebagai berikut:
1. Memiliki sains yang banyak dan berkualitas
tinggi. Sains adalah merupakan pengetahuan manusia yang merupakan produk indera
dan akal, dengan sains seorang muslim akan kelihatan kualitas akalnya. Dari
pengoptimalan kecerdasan dan kepandaian inilah Islam akan berkembang tidak
hanya pada dimensi agama semata, tetapi lebih dari itu, menguasai segala bentuk
ilmu pengetahuan umum dan dapat menguasai peradaban modern.
2. Mampu
memahami dan menghasilkan filsafat. Berbeda dari sains, filsafat adalah jenis
pengetahuan yang semata-mata akliyah. Dengan ini, orang Islam akan mampu
memecahkan masalah-masalah filosofis.6
Sedemikian pentingnya sebuah kecerdasan dan
kepandaian yang harus dimiliki oleh peserta didik kaitannya dengan kontek
kesempurnaan manusia, oleh karena itu pendidikan Islampun harus mengarahkan
peserta didiknya ke arah kecerdasan dan kepandaian.
Ketiga,
rohani yang berkualitas tinggi.7
Rohani yang dimaksud dalam hal ini adalah aspek manusia selain jasmani.
Perihal rohani itu samar, ruwet dan belum jelas batasannya. Manusia belum (atau
tidak akan) memiliki cukup pengetahuan untuk mengetahui hakikatnya. Kebanyakan
buku tasawuf dan pendidikan Islam menyebutkan qalb (kalbu) saja.
Kalbu yang berkualitas tinggi itu adalah kalbu yang
penuh berisi iman dan taqwa kepada Allah. Dan ketinggian kualitas kalbu ini,
peserta didik akan berpegang pada ajaran dan aturan-aturan Tuhannya, mentaati
seluruh perintah dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Di luar hubungan
peserta didik dengan Tuhannya, dalam hubungan manusiapun peserta didik dalam
setiap langkah dan prilakunya tetap berpegang pada aturan-aturan agama, karena
didasari dengan kualitas kalbu yang baik, yang penuh dengan iman dan taqwa.
Dari ketiga indikator manusia sempurna menurut Islam tersebut. Pendidikan
Islam harus mampu merealisasikan dalam wujud yang riil bagi terbentuknya
manusia yang sempurna dengan metodologi dan pendekatan yang sesuai.
Metodologi Islam dalam melakukan pendidikan adalah dengan melakukan
pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, sehingga tidak ada yang
tertinggal dan terabaikan sedikitpun, baik segi jasmani, intelektual maupun
rohani, baik kehidupannya secara fisik maupun kehidupannya secara mental, dan
segala kegiatannya di muka bumi. Jasmani, intelektual dan rohani merupakan tiga
potensi dasar yang tersurat dan tersirat dalam tujuan pendidikan Islam, yang
ketiganya bermuara pada cita-cita luhur, yaitu pembentukan manusia yang
sempurna.
Dari beberapa tujuan pendidikan Islam di atas, penulis akan mencoba memaparkan
dari sudut pandang demokrasi, dengan mengungkap sejumlah nilai-nilai yang
terdapat dalam tujuan pendidikan Islam, baik nilai-nilai yang tersurat maupun
yang tersirat.
Di dalam berbagai objek terdapat kualitas yang nampaknya hakiki bagi
kebanyakan objek tersebut dan kualitas itu dapat ditangkap oleh panca indra
(kualitas skunder).8 sebaliknya di dalam
berbagai objek kualitas objek yang bernilai yang diberikan kepada objek dan
yang dimiliki oleh objek.9
Sejumlah rumusan tujuan pendidikan Islam terdapat
nilai-nilai demokrasi yang tersirat, dalam arti secara empiris teks tidak dapat
tampak. Tetapi meskipun demikian, rumusan tujuan pendidikan Islam merupakan
objek yang bernilai, maka dengan beberapa pendekatan akan tampaklah nilai-nilai
yang dimaksud. Nilai-nilai tersebut tidak nampak dalam realitas objek (teks)
dan dapat dirasionalkan, maka penulis memberikan istilah dengan nilai metafisik
rasional demokrasi dalam tujuan pendidikan Islam.
Sejumlah rumusan tujuan pendidikan Islam secara tersurat, terdapat sejumlah
nilai-nilai demokrasi yang nampak dalam realitas objek. Nilai-nilai tersebut
tampak secara empiris dalam realitas objek (teks), maka penulis memberikan
istilah sub pembahasan bab empat ini dengan nilai empiris rasional demokrasi
dalam tujuan pendidikan Islam.
A. Nilai Metafisik Rasional Demokrasi dalam Tujuan Pendidikan Islam
1. Perspektif Positivistik Jeneralistik
Sebagai pemahaman awal yang memang tidak secara tegas
tertulis dari berbagai tujuan pendidikan Islam, secara jeneralis dan asumsi
positif, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah sebuah tujuan yang tidak
mendikotomi dan berasaskan kebebasan persamaan dan keadilan, yang merupakan
nilai-nilai luhur yang di perjuangkan dalam idealitas demokrasi.
Pendidikan Islam sesuai tujuannya, memberikan kebebasan
sepenuhnya kepada manusia sebagai masyarakat didik, baik dalam instansi formal
maupun instansi non-formal (sekolah, keluarga maupun masyarakat). Untuk
merasakan pendidikan, tidak membatasi ruang dan waktu, kapanpun dan di manapun
pendidikan itu berlangsung (di sekolah, majlis, masjid, alam terbuka, siang
maupun malam), berlaku bagi siapa saja, laki-laki maupun perempuan, anak-anak,
dewasa dan orang tua, lintas ras, suku bahkan bangsa.
Hal di atas tentu tidak tersurat secara tertulis dalam
teks-teks rumusan tujuan pendidikan Islam. Pendidikan dalam langkah-langkah
operasionalnya harus sesuai dengan tujuan yang tidak memilih beberapa aspek
yang telah disebutkan di atas. Jika dalam realitas riil pendidikan mendikotomi,
membatasi atau memberikan sekat-sekat, maka menurut hemat penulis pendidikan
telah menyimpang dari tujuannya.
Penulis memperkuat landasan di atas dari tiga aspek: Pertama
dari aspek Islam sebagai agama di mana mengacu pendidikan Islam, kedua
dari aspek manusia sebagai penganut dan masyarakat didik, ketiga perumus
tujuan pendidikan Islam. Berikut akan dijelaskan tiga aspek tersebut:
a. Islam adalah agama kebebasan, kemerdekaan, keadilan dan
persaudaraan.
Seorang muslim bebas merdeka bersikap dan bertindak,
tetapi tetap dalam landasan iman dan taqwa. Masyarakat Islam yang benar adalah
masyarakat yang adil di mana yang lemah tidak diperlakukan dhalim dan
sewenang-wenang oleh orang yang berkuasa. Semua orang muslim adalah bersaudara
tidak ada perpecahan dan saling mengungguli dalam Islam menurut pandangan
kesukubangsaan, warna kulit, kelompok atau kekayaan.10
Hal di atas merupakan ajaran Islam sebagai agama, juga
diperkuat dengan keterangan-keterangan Allah dan Rasul. Sebagaimana terkaver
dalam bab tiga tentang keadilan, persamaan, dan kebebasan. Realitas di atas
merupakan referensi bahwa Islam sebagai Agama menjunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi, dan tujuan pendidikan Islam tentunya mengacu pada referensi luhur di
atas (tidak mendikotomi, membatasi, dan membuat sekat-sekat).
b.
Manusia memiliki kemampuan berkehendak (free will)
Manusia memiliki kesadaran berkehendak untuk bersikap
dan berbuat, kebebasan berkehendak inilah yang membuat manusia mampu melakukan
seleksi terhadap elemen-elemen yang akan berinteraksi dengan fitrahnya. Dalam
merealisasikan berbagai fungsi, fitrah dipengaruhi oleh kehendak bebas yang
dimiliki manusia.11
c.
Perumus tujuan pendidikan Islam
Meskipun tidak cukup representatif karena terbatasnya
referensi, penulis akan berpikir jeneralis dan menjastifikasi dari sejumlah
perumus tujuan pendidikan Islam yang penulis tampilkan di muka yang dianggap
mewakili seluruh pemikir pendidikan Islam, dalam hal perumusan tujuan
pendidikan Islam. Perumus tujuan pendidikan Islam tanpa diperdebatkan lagi,
dalam kerangka berpikirnya sudah tentu mengacu pada nilai-nilai Agama sebagai
standar, dan berwawasan luas, metodologik dan komprehensif dalam merumuskan
tujuan pendidikan Islam. Atas dasar logika tersebutlah penulis berpikir, para
perumus tujuan pendidikan Islam merancang tujuan pendidikan Islam sarat dengan
nilai-nilai ajaran Islam yang dalam hal ini (kebebasan, keadilan dan
persamaan), serta melihat aspek-aspek kemanusiaan sebagai objek ontologi dari
tujuan pendidikan Islam, baik aspek kemampuan untuk memilih, berkehendak,
mendambakan kebebasan dan keadilan. Dan yang paling penting adalah secara riil
dari rumusan-rumusan tujuan pendidikan Islam, tidak satupun menggambarkan
adanya sekat-sekat dan memihak pada objek tertentu. Dari realitas tersebut
penulis berkeyakinan para perumus tujuan pendidikan Islam tidak ada yang
bersifat parsial dalam merancang tujuan pendidikan Islam.
Dari tiga aspek di atas yang merupakan fakta, kiranya
sangat representatif apabila berpikir positifistik dan jeneral terhadap rumusan tujuan pendidikan Islam, bahwa
rumusan tujuan pendidikan Islam berlaku untuk siapa saja, dioperasionalkan di
mana saja, dan kapan saja. Pemaparan tersebut di atas terlihat setelah
dilakukan analisis adanya nilai-nilai demokrasi yang berupa kebebasan,
keadilan, dan persamaan.
2. Perspektif Humanisasi
Perspektif kedua, melihat dari segi visi dan misi
tujuan pendidikan Islam, bahwa tujuan pendidikan Islam menghendaki
terealisasinya proyek besar yaitu humanisasi atau memanusiakan manusia,
yang dalam hal ini penulis akan meminjam beberapa filsafat Paulo Freire.
a. Manusia berbeda dengan binatang, presentasi filsafat Paulo
Freire ini jika dikaitkan dalam konteks pembahasan ini jelas bahwa binatang
tidak hidup dalam kondisi statis, tidak berhubungan dengan pencipta-Nya (ta’abud),
tidak memperdulikan nilai etika dalam kehidupannya dan tidak menggunakan
kecerdasan intelektual. Oleh karena itu, pola pendidikan yang harus diberikan
kepada manusia harus dibedakan dengan pola pemeliharaan binatang, agar manusia
tampil lebih humanis.
Manusia bisa beraktifitas dengan refleksi dan tindakan manusia terarah
pada perubahan dunia. Maka, aktifitas manusia berupa teori dan praktek. Itulah
sebabnya manusia tidak boleh tereduksi menjadi teori semata berupa verbalisme,
atau menjadi praktek semata dalam aktifisme. Bagi Freire, suatu revolusi sejati
yakni humanisasi struktur-struktur manusia harus terlaksana dalam agenda
praksis. Bukan verbalisme atau aktifisme yang pada hakikatnya adalah
penindasan.12
b. Beberapa manusia hanya “hidup” dan tidak berhasil “mengada”.
Situasi penindasan manusia, berarti mereduksi manusia menjadi benda atau
binatang. Dalam konteks inilah, Freire melalui distingsi K. Jaspers menekankan
aspek perbedaan penting antara to live (hidup dengan to exist
(ada). “Ada” ataupun “mengada” bagi Freire lebih dari sekedar
hidup, maka berada atau bereksistensi (mengada) berarti tidak hanya di dalam
dunia, tetapi juga bersama dunia dalam berkomunikasi. Jadi, seseorang hanya
dapat bereksistensi dalam hubungannya dengan orang lain yang juga
bereksistensi.13
c. Eksistensi manusia adalah tugas praksis. Dengan demikian,
bereksistensi bagi manusia merupakan tugas praksis. Menurut Adolfo Sanchez
Vasque dalam bukunya The Philosophy of Praxis, (1978) ditegaskan, bahwa
praksis adalah konsep filsafat tentang aktifitas manusia. Oleh karena itu, bereksistensi
yang sejati harus sejalan dengan tindakan sejati manusia. Sebagaimana sudah
kita simak, bahwa tindakan sejati manusia adalah kesatuan dialektis antara
teori dan praktek, refleksi, dan aksi.14
Yang perlu digarisbawahi dari ketiga filsafat Freire di
atas adalah proyek besar memanusiakan manusia “humanisasi” yang pada
pemahaman dasarnya adalah apabila manusia tidak beribadah kepada Tuhannya,
tidak berakhlak dan selalu beradaptasi adalah diidentikkan dengan binatang.
Proses humanisasi ini membutuhkan waktu dan pendekatan yang matang dan
strategi.
Humanisasi secara aksiologi adalah masalah utama
manusia. Berkaitan dengan manusia sempurna dan misi suci manusia sebagai
khalifah di muka bumi ini, manusia sempurna adalah manusia sebagai subjek atau
dalam terminologi Freire adalah “manusia utuh”. Manusia utuh adalah
manusia sebagai subjek. Sebaliknya, manusia yang hanya beradaptasi saja adalah
posisi manusia sebagai objek, karena adaptasi merupakan bentuk pertahanan diri
yang paling rapuh. Seseorang hanya beradaptasi, tidak akan mampu mengubah
dunia. Menyesuaikan diri (adaptasi) adalah khas binatang, yang jika ada pada
manusia, maka telah terjadi gejala dehumanisasi. Itulah sebabnya, dalam
rangka humanisasi, manusia harus menjadi subjek. Menjadi subjek dalam
hubungannya dengan dunia adalah “memberi nama” (to name). To name adalah
to act. Dengan to act, berarti manusia memberi arti temporal
terhadap ruang geografis dengan menciptakan kebudayaan.15
Dapat dipertegas, hal di atas merupakan representasi
logis yang digali dari isi tujuan pendidikan Islam, berkaitan dengan misi suci
manusia sebagai khalifah di bumi. Dalam dataran idealis manusia setelah melalui
proses humanisasi dalam pendidikan, mampu menjadi subjek yang mewarnai dunia,
berkreasi dan mengatur kehidupan secara arif dan bijaksana.
Oleh karena tujuan pendidikan Islam adalah menghendaki
sebuah proses humanisasi. Oleh karena itu, dalam proses pendidikannya harus
menggunakan pendekatan yang humanis (pendekatan yang manusiawi). Demokrasi
sebagaimana telah dipaparkan dalam bab tiga, merupakan sebuah sistem yang baik
dan manusiawi (humanis), yang di dalamnya memperhatikan manusia dari berbagai
aspek dan memperlakukan manusia dengan baik dan bebas.
Pendidikan yang humanistis dalam prosesnya,
memperlakukan manusia secara adil dan memberikan kebebasan untuk berkehendak
dan berpendapat. Jika memang pendidikan Islam dalam dataran riil menghendaki
terwujudnya tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, maka pendekatan
demokratislah yang sesuai dalam merealisasikan tujuan pendidikan Islam dalam
wujud yang nyata.
Dalam perspektif Islam, sebagai acuan konsep pendidikan
Islam, humanisasi sangat ditekankan dan telah mendapatkan legitimasi dari
Allah. Manusia sebagai hamba dalam kedudukannya di bawah transendensi Tuhan,
manusia itu hamba Tuhan, tidak memiliki harga dengan sendirinya, tetapi manusia
itu lebih berbahagia karena adanya deklarasi yang diberikan oleh Tuhan yang
rahman dan rahim secara sepihak.16
Konversi semacam itu memberikan stabilitas dan menetapkan status yuridis bagi
setiap orang. Deklarasi tersebut digandakan dan disempurnakan dengan ayat
al-Qur'an.
Prinsip-prinsip yang terdapat dalam al-Qur'an tentang
keadilan, kejujuran dan solidaritas kemanusiaan menimbulkan kewajiban bagi tiap
anggota masyarakat Islam, orang perorangan, prinsip-prinsip tersebut
menimbulkan suatu iklim hormat menghormati dan juga menjaga yang timbal balik,
yang merupakan praktek peradaban yang berdasarkan keagamaan.17
Selain prinsip-prinsip keadilan tersebut, prinsip
persamaan menetapkan konsepsi manusia dan oleh karena itu merupakan soko guru
yang mendasari konstruksi sistem sosial. Dari segi metafisik, manusia itu pada
pokoknya sama, karena semuanya adalah hamba Tuhan. Hal ini terformulasi dalam
sebuah tujuan pendidikan Islam yang dirumuskan oleh Abdul Fattah Jalal, bahwa
tujuan umum pendidikan dan pengajaran dalam Islam adalah menjadikan seluruh
manusia sebagai abdi atau hamba Allah SWT.18
Rumusan tujuan pendidikan tersebut adalah pengakuan atas prinsip persamaan,
bahwa tiada lain tujuan pendidikan Islam adalah untuk memproyeksikan manusia
sama sebagai hamba Allah SWT, apapun golongan, ras, dan suku bangsanya.
Dari pemaparan tentang humanisasi di atas, baik dari
perspektif Islam maupun filsafat Freire, penulis menegaskan pada intinya tujuan
Islam memiliki cita-cita luhur, yaitu upaya untuk merealisasikan proyek
humanisasi, supaya manusia menjadi manusia utuh dan pada akhirnya mencurahkan
segala kemampuannya untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Dan demokrasi lahir adalah untuk memperjuangkan hak-hak
manusia (kemanusiaan) dari penindasan, kediktatoran, dan ketidakadilan, oleh
karena humanisasi adalah sebuah nilai yang merupakan salah satu kebutuhan pokok
manusia, maka dapat ditarik benang merah, dalam rumusan tujuan pendidikan Islam
terdapat nilai-nilai kemanusiaan.
3. Perspektif Pengembangan Potensi
Pertanyaan awal yang diajukan untuk mengawali
pembahasan ini, apakah hubungan pengembangan potensi dengan demokrasi?
Pembahasan dalam hal ini merupakan jawaban teoritis dari pertanyaan di atas,
sehingga akan mengalami titik temu yang signifikan, dan akan terlihat secara
objektif akan keberadaan nilai demokrasi dalam tujuan pendidikan Islam. Dalam
hal ini penulis akan mengedepankan konsep kebebasan sebagai salah satu
pendekatan dalam pengembangan potensi.
Pemberdayaan sifat dan potensi insani pada hakikatnya
adalah merupakan pengembangan self merupakan proses kreatif.19 Dalam proses tersebut manusia
memainkan peranan aktif, tidak hanya melakukan proses penyesuaian diri
sebagaimana disebutkan dalam pembahasan sebelumnya (perspektif humanisasi),
akan tetapi lebih dari itu (adaptasi), yaitu selalu melakukan aksi dan reaksi
dengan tujuan yang jelas (kiprah konstribusi).
Sebelum panjang lebar membahas tentang pengembangan
potensi kaitannya dengan nilai demokrasi, penulis akan membahas terlebih dahulu
konsep potensi menurut Islam. Potensi-potensi manusia menurut pandangan Islam
tersimpulkan pada al-Asma al-Husna, yaitu sifat-sifat Allah yang berjumlah 99.20 Menurut filosof-filosof Islam,
sifat-sifat Allah tersebut yang berjumlah 99 merupakan potensi-potensi manusia
yang harus dikembangkan dengan wajar dan sempurna, yang pada akhirnya mencapai
derajat yang tinggi (waly), yaitu yang mengaktualisasikan segala potensi
yang dikaruniakan Tuhan kepadanya.21
Harun Nasution mencoba membagi alat-alat potensi
manusia dengan berbagai kemampuannya yang sangat umum, sebagai berikut:
Pertama, jiwa tumbuh-tumbuhan (al-Nafs
al-Nabatiyah), yang mempunyai tiga daya, yaitu daya makan, daya tumbuh, dan
daya membiak.
Kedua, jiwa binatang (al-Nafs al-Hayawaniyah)
yang memiliki dua daya, yaitu daya penggerak (al-Muharrikah) dan daya
mencerap (al-Mudrikah).
Ketiga, jiwa manusia (al-Nafs al-Insaniyah)
yang hanya mempunyai daya berpikir yang disebut akal.22
Dari ketiga klasifikasi alat potensi di atas pendidikan
dengan seperangkat metodologi dan prakteknya harus mampu menetralisir,
menyikapi dan mengembangkan, dengan pengertian teori dalam praktek pendidikan
sangat dipengaruhi oleh pandangan fitrah manusia. Jika manusia dipandang
sebagai makhluk dengan pembawaan dasar jahat, maka pendidikan berarti upaya
menekan atau mengkikis unsur-unsur jahat. Teori yang menganggap sifat dasar
manusia dalam netral, Tabula Rasa memberikan perhatian yang dasar terutama
kepada pengajaran karena anak tidak mempunyai sifat baik atau jahat pada
asalnya, maka pembelajaran yang efektif akan menghasilkan personalitas yang
diinginkan. Dan jika manusia dipandang sebagai makhluk yang mula-mula membawa
sifat yang baik (fitrah), maka pendidikan berarti upaya mengembangkan
elemen-elemen (baik) yang dibawa sejak lahir.23
Merujuk pada kenyataan di atas, maka pengembangan
potensi manusia harus diarahkan kepada bimbingan secara bertahap pula. Selain
itu, pengembangan potensi manusia tidak mungkin dilakukan dengan paksa.24 Chabib Thoha menambahkan bahwa
kebebasan marupakan syarat mutlak untuk pengembangan potensi fitrah manusia
serta kemampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan. Iqbal dalam sebuah
sajaknya tentang kebebasan, menggambarkan bahwa kehidupan ibarat seperti aliran
air, dan pendidikan adalah proses mengalirkan debit air yang bersumber dari
kesadaran individualisme manusia sendiri. Sajak tersebut berbunyi:
Bila
dikekang ketat dan diperbudak,
Hidup itu menciut mengerdil
Bagaikan selokan kecil
Bila dilepas bebas
Ia meriak menggejolok
Bagaikan gelombang dahsyat samudera luas. 25
Kebebasan bukan sesuatu yang sederhana, kebebasan mengandung
resiko yang besar. Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan
tentang batasan-batasan kebebasan. Menurut Abdul Azizi El Qussy, dalam hal
tertentu peserta didik jangan sampai diberikan sebuah kebebasan, sebagaimana
dijelaskan sebagai berikut:
a. Dalam keadaan yang membahayakan hidupnya atau keselamatan anak.
b. Hal-hal yang terlarang bagi anak dan tidak nampak alasan-alasan
yang lahir.
c. Permainan yang menyenangkan bagi anak, tetapi menyebabkan
rusuhnya suasana yang mengganggu ketenangan umum.
d. Hal-hal yang prinsipil, seperti mengenai pemilihan agama
pemilihan nilai hidup yang bersifat universal dan absolut, kecuali anak telah
memiliki wawasan yang cukup.26
Zakiyah Daradjat menambahkah berkaitan dengan batasan
kebebasan dalam pendidikan. Kehidupan dalam pendidikan, di manapun pendidikan
itu berlangsung harus terikat pada aturan-aturan tertentu dalam arti yang
positif. Pada prinsipnya pengertian kebebasan mengandung tiga aspek: “Self –
Direction Self – Discipline and Self – Control”. Hal tersebut dengan
batasan kebebasan Fulton Sheen yang merumuskan kebebasan menjadi tiga kategori
“There is the freedom to do only what you want to do; there is freedom to do
only what you must do; there is freedom to do what you ought to do”.
Kebebasan menurut kategori pertama disebutkan anarkhi, yang kedua
totalitarinisme dan yang ketiga democracy. Kategori yang ketiga inilah
yang dipersamakan dengan self direction, self discipline dan
self control.27
Oleh karena pentingnya sebuah kebebasan dalam
pendidikan agar potrensi-potensi dasar manusia dapat berkembang, di bawah ini
akan dipertegas lagi sebuah hakikat dan kebebasan yang dapat mengembangkan
potensi-potensi dasar manusia, karena kesalahan mengartikan kebebasan dapat
menjadi sebab dari kebanyakan bencana sosial termasuk pendidikan.
Chabib Thoha telah membagi pola asuh dalam pendidikan
menjadi tiga pola asuh:28
a. Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak
dengan aturan-aturan yang ketat, sering kali memaksa anak untuk berprilaku
seperti dirinya (orang tua), kebebasan bertindak atas nama dirinya sendiri
dibatasi. Tanda kedua dari pola asuh otoriter ditandai dengan penggunaan
hukuman yang keras, lebih banyak menggunakan hukuman badan. Anak juga diatur
segala keperluannya dengan aturan yang ketat dan masih tetap diberlakukan
meskipun sudah menginjak usia dewasa.
b. Pola asuh demokrasi
Pola asuh demokrasi ditandai dengan adanya pengakuan
orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberikan kesempatan untuk selalu tidak
bergantung kepada orang tua. Orang tua memberikan kebebasan untuk memilih hal
yang bagi dirinya, anak didengarkan pembicaraannya, dilibatkan dalam
pembicaraan terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu.
c. Pola asuh permisive
Pola asuh permisive ditandai dengan cara orang tua
mendidik anak secara bebas. Anak dianggap sebagai orang dewasa/ muda. Ia
diberikan kelonggaran untuk melakukan apa saja yang dikehendaki. Kontrol orang
tua terhadap anak yang sangat lemah, tidak akan memberikan bimbingan yang cukup
berarti untuk anaknya. Semua yang dilakukan anak adalah benar dan tidak perlu
mendapatkan bimbingan atau arahan.
Dari pemaparan tentang kebebasan di atas jelas bahwa,
pengembangan potensi manusia yang dikehendaki oleh tujuan pendidikan Islam
sangat mutlak dibutuhkan. Tanpa kebebasan, seluruh potensi tidak akan
berkembang secara maksimal, dan otomatis manusia sempurna dari berbagai aspek
tidak akan pernah terwujud.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan kebebasan adalah
yang sesuai dengan demokrasi yang dipaparkan panjang lebar di atas. Maka
kenyataan yang ada, apabila pendidikan Islam dioperasionalkan tidak sesuai
dengan nilai-nilai demokrasi (kebebasan), maka tujuan yang telah dirumuskan
tidak akan tercapai atau paling tidak, tidak menghasilkan hasil yang maksimal.
Dan dari perspektif ini (pengembangan potensi) setelah mengalami analisa yang
terlihat dengan nyata dan objektif adanya nilai kebebasan dalam rumusan tujuan
pendidikan Islam.
Pendekatan
dan Metode Pengembangan Potensi dalam Merealisasikan
Tujuan
Pendidikan Islam
Catatan : Betapa
pentingnya pendekatan dan metode untuk mengembangkan potensi. Penulis
menawarkan pendekatan dan metode yang demokratis untuk mengembangkan potensi
yang dimiliki oleh manusia.
B. Nilai Empiris Rasional Demokrasi dalam Tujuan Pendidikan Islam
Pembahasan dalam subbab empat
ini, akan mencoba memproyeksikan ke dalam data-data (isi) yang secara langsung
dan jelas tertulis dari berbagai tujuan pendidikan Islam yang telah dirumuskan.
Dalam hal ini penulis akan membatasi pembahasan dan mengambil pokok esensial
dari kandungan tujuan pendidikan Islam sebagaimana yang telah diklasifikasikan
dalam pembahasan di muka, dan mencoba memaparkan dalam perspektif demokrasi.
Dalam pembahasan yang akan
dijabarkan, terlebih dahulu penulis akan memaparkan realitas nilai yang
dimiliki oleh demokrasi dan mencoba untuk menemukan titik-titik yang
signifikan, sehingga akan tampak dengan jelas akan nilai-nilai demokrasi yang
terkandung dalam rumusan tujuan pendidikan Islam.
1. Perspektif Transfer Nilai Religius
Memberikan nilai-nilai religius atau transfer sebuah
nilai religius tidak selalu dengan komunikasi dialektika. Penghayatan sikap
individu dan kolektif yang tampak dalam sebuah kebudayaan merupakan transfer
religius yang efektif dan representatif. Dengan catatan nilai-nilai yang
ditranfer melalui sikap tersebut mekandung nilai-nilai substansial religius.
Dalam konteks demokrasi, demokrasi tidak didialekkan
secara teoritas belaka, tetapi dipraktekkan dalam sebuah sistem riil dalam
berbagai bidang. Oleh karena demokrasi sesuai ajaran agama yang menjunjung
tinggi sebuah kebebasan, keadilan dan persamaan (inti demokrasi), maka praktek
yang ditimbulkan oleh demokrasi secara langsung merupakan manifestasi ajaran
agama. Dengan logika sederhana apabila ajaran agama ditransfer melalui
teori-teori dengan berbagai metode (ceramah, diskusi, dan peragaan) yang
disengaja (direncanakan dan dievaluasi). Demokrasi mentransfer nilai-nilai
agama dengan sebuah praktek yang tidak direncanakan untuk sebuah transfer nilai
agama. Tetapi apabila diperhatikan dan dihayati, dalam praktek sebetulnya
demokrasi mengajarkan nilai-nilai agama. Keadilan, persamaan dan kebebasan merupakan
tiga nilai agama, sebagaimana dipaparkan dalam bab tiga dengan ayat-ayat dan
hadits yang menjelaskan perintah berbuat adil, menghormati sebagian manifestasi
persamaan, dan kebebasan.
Dalam pendekatan antropologi, kehidupan masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai demokrasi, memberikan kebebasan untuk berpikir,
bersuara dan bertindak, merupakan sistem nilai yang patut diambil contoh, juga
dalam kehidupan politik yang juga memberikan kebebasan pada individu maupun
kelompok untuk memberikan hak suaranya tanpa batasan dalam koridor demokrasi,
serta terjalin suatu iklim hormat menghormati dan menghargai sebuah keragaman,
merupakan tata nilai yang patut untuk dianut dan dilestarikan. Budaya mencontoh
dan menganut tata nilai yang dibangun oleh kehidupan sosial berbangsa dan
bernegara di atas merupakan penerimaan secara sadar atas transfer yang dianut
oleh tata nilai masyarakat atau warga negara di atas, dan tata nilai di atas
adalah tidak lain merupakan ajaran agama yang direalisasikan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Dari pola pikir di atas, demokrasi secara tidak
langsung mempunyai nilai transformatif nilai-nilai agama yang berbentuk nilai
keadilan, persamaan dan kebebasan. Pemaparan demokrasi di atas membawa individu
atau masyarakat yang baik, agar individu dalam komunikasi luas dapat diterima
dan berkiprah di dalamnya. Perkenalan individu dan masyarakat yang dibawa oleh
demokrasi tersebut merupakan nilai tersendiri, agar individu dalam proses
akulturasinya mendapatkan tempat yang baik. Karena individu tersebut dalam
interaksinya membawa dan merealisasikan nilai-nilai demokrasi.
Rumusan tujuan pendidikan Islam sebagaimana tersimpul
dalam klasifikasi di muka menghendaki akan sebuah transfer nilai-nilai agama.
Pengenalan individu pada lingkungan di mana ia hidup, agar individu berpegang
pada nilai-nilai tersebut dan mengabdi sepenuhnya kepada Allah serta diterima
oleh masyarakat, merupakan sebuah rumusan tujuan pendidikan Islam yang ideal
dan perlu direalisasikan.
Dari berbagai pemaparan di atas, terdapat titik temu
yang sangat signifikan, dari sisi rumusan tujuan pendidikan Islam yang
menghendaki transfer nilai-nilai religius dan pengenalan individu pada
lingkungan dan sisi demokrasi yang memiliki nilai transformatif nilai-nilai
agama yang tergambarkan melalui tata nilai budaya, dan memberikan gambaran
tentang sebuah interaksi ideal pada masyarakat. Jika demokrasi dijadikan
sebagai perspektif, maka dari titik temu di atas jelaslah bahwa dalam kandungan
rumusan tujuan pendidikan Islam terdapat nilai-nilai demokrasi, yaitu nilai
ilmu pengetahuan dan keagamaan,29
merupakan nilai dalam pendekatan proses budaya yang dikelompokkan oleh Abdullah
Sigit.
2. Perspektif Moralitas
Tiga hal yang harus dipahami sebagai dasar dalam
pembahasan ini, pertama, “kebebasan kemauan adalah dasar moral (menurut
Kant), karena hal ini merupakan tapak tempat tegaknya tanggung jawab.”30 Tetapi hal tersebut tidak dapat
diuniversalkan sebagai komitmen yang dimiliki oleh setiap individu. Tidak
sedikit kasus, ketika individu diberikan kebebasan akan menjadi tidak bermoral.
Dengan kebebasan berkehendak, individu akan mandiri tidak tergantung dengan
individu lain. Dari sinilah terbangun karakteristik kemandirian, tanggung jawab
terhadap diri sendiri dan sesama. Kedua, pendidikan moral sebagai pendidikan
keadilan. Dalam arti keutamaan moral lebih berhubungan dengan praktis dari pada
teori. Maksudnya keutamaan moral dihasilkan oleh pelaksanaan tingkah laku moral
itu sendiri, agar seorang menjadi adil, jujur, menghormati dan tanggung jawab,31 Ketiga, demokrasi sendiri itu
merupakan sistem atau nilai moralitas yang menjunjung tinggi moral, meluruskan
sebuah sistem yang tidak manusiawi, otoriter, korup memperlakukan keadilan,
memelihara atas persamaan dan kebebasan.
Dari tiga gambaran tersebut diatas dapat dipahami,
bahwa demokrasi adalah sebuah konsep moralitas, membentuk individu, masyarakat
dan sistem yang bermoral.
Rumusan tujuan pendidikan Islam dalam klasifikasi di
muka adalah menghendakinya suatu terminologi untuk meligitimasi sikap dan
tindakan individu maupun sebuah komunitas. Dari pemahaman demokrasi yang sarat
dengan nilai-nilai di atas, dan tujuan pendidikan Islam yang merupakan kesatuan
yang bertalian. Dan dari pemahaman komprehensif di atas dapat ditarik
kesimpulan, bahwa tujuan pendidikan Islam memiliki nilai demokrasi (moralitas).
3. Perspektif Patriotisme
Dengan paradigma demokrasi tentang konsepnya dalam
pembangunan bangsa dan negara, sikap ideal individu sebagai warga negara sistem
pemerintah yang revaratif dan menjamin hak-hak warga negaranya, merupakan nilai
konstributif demokrasi dalam membangun bangsa dan negara, dan nilai kontribusi
tersebut berada dalam bingkai patriotisme.
Tujuan pendidikan Islam yang menghendaki kepada
terbentuknya jiwa patriotisme (cinta tanah air) sebagaimana klasifikasi di
muka, agar peserta didik mampu memberikan konstribusi positif dalam upaya
pembangunan bangsa dan negara, adalah sebuah rumusan tujuan pendidikan yang
tidak bisa dipungkiri lagi mengandung nilai demokrasi (patriotisme).
4. Perspektif Legitimasi Potensi
Secara tegas sejumlah tujuan pendidikan Islam
merumuskan tentang konsep potensi, seperti rumusan-rumusan tujuan pendidikan
Islam An-Nahlawi dan Ali Ashraf di muka, ditambah dengan rumusan tujuan
pendidikan Islam Chabib Thoha, bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk
mengembangkan potensi kreatif peserta didik agar menjadi manusia yang baik,
menurut pandangan manusia dan Tuhan Yang Maha Esa.32
Di muka telah banyak membahas tentang konsep potensi
dan pengembangannya. Bila dikaji secara tidak langsung menyentuh aspek potensi
manusia dalam berpikir, bertindak dan berkreasi, menjamah secara totalitas
potensi-potensi yang ada dalam manusia baik jasmani, rohani, dan intelektual.
Dari sudut pandang antropologis, demokrasi adalah
sistem nilai yang dianut dan diciptakan oleh manusia, sebagai refleksi
kegelisahan manusia akan sistem yang baik, ideal, menjamin kebebasan, keadilan,
dan terealisasinya hak-hak rakyat. Persoalan berpikir adalah persoalan potensi,
yaitu potensi intelektual. Dengan potensi intelektual individu atau sebuah
komunitas mampu berpikir untuk sebuah pembaharuan-pembaharuan, sehingga dari
potensi intelektual inilah muncul sebuah konsep demokrasi. Realisasi konsep
demokrasi tidak akan terwujud dengan potensi intelektual semata. Dengan potensi
jasmani, alam ideal yang terkandung dalam pemikiran individu dan kolektif akan
terwujud. Potensi rohani dalam merealisasikan konsep demokrasi akan tampak
positif, karena individu-individu yang ada di dalamnya berpikir dan bersikap
serta berpegang teguh pada nilai-nilai religius.
Pemikiran di atas merupakan landasan rasional atas
pengakuan fungsional potensi dalam demokrasi. Demokrasi tidak akan terealisasi
tanpa sirkulasi potensi-potensi manusia. Rumusan tujuan pendidikan Islam dalam
konteks pembahasan ini, juga mengakui atas konsep potensi (legitimasi). Dengan
mengarahkan pengembangan potensi, merupakan nilai tersendiri yang terkandung
dalam tujuan pendidikan Islam.
5. Perspektif Wawasan Modern
Demokrasi lahir bersama fungsinya untuk mendongkrak
kediktatoran. Sistem yang tradisional yang tidak menjamin hak-hak warga negara,
sistem tradisional merupakan sistem dari budaya-budaya yang kurang sesuai
dengan alam modernitas. Berwawasan modern dapat ditandai dengan wawasan yang
maju, berkembang, komprehensif, fungsional dan efektif (perubahan paradigma
kehidupan). Demokrasi mengedepankan hal-hal tersebut, disertai dengan kebebasan
untuk berpikir dan berkehendak. Pemaparan tersebut merupakan nilai tersendiri
dalam tubuh demokrasi.
Tujuan pendidikan Islam yang berkehendak merealisasikan
wawasan modern agar melekat terhadap peserta didik, membuka peluang terhadap
individu untuk modernitas yang bersifat positif. Dari tujuan inilah peserta
didik akan memiliki semangat keilmuan yang tinggi, berwawasan modern dan
berminat untuk mengkaji dan menguasai ilmu dan keahlian diberbagai bidang. Dari
perspektif inilah, keeratan sebuah nilai demokrasi melekat dalam subtansi
rumusan tujuan pendidikan Islam.
Perubahan Paradigma Masyarakat
Dalam Proses Modernitas33
Dari kelima perspektif di atas, terlihat sebuah gambaran yang signifikan akan keeratan nilai-nilai demokrasi dalam rumusan-rumusan tujuan pendidikan Islam. Demokrasi dengan transfer nilai-nilai religius sangat mengedepankan moralitas, mengakui sebuah konsep potensi dan mengarahkan individu untuk berjiwa patriotisme serta berwawasan modern. Nilai-nilai luhur yang terpatri, terealisasikan dalam prakteknya. Nilai-nilai tersebut terkandung dalam substansi rumusan tujuan pendidikan Islam yaitu mengenai pemahaman nilai-nilai agama, perkenalan pada lingkungan sosial, memupuk rasa cinta tanah air, menumbuhkan semangat ilmiah, mengabdikan ajaran dan kebudayaan Islam serta penguasaan ketrampilan-ketrampilan di berbagai aspek.
1Jalaluddin,Teologi Pendidikan,Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2001, hal. 38.
3Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal. 41.
4Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan
Berdasarkan al-Qur'an, Alih Bahasa H. M. Arifin, dan Zainuddin, Rineka
Cipta, Jakarta, 1990, hal. 138.
5Ahmad Tafsir, Op. Cit, hal. 43.
8Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal. 8.
10Fadhil Al-Djamily, Menerabas Krisis Pendidikan
Dunia Islam, Alih bahasa, Muzayin Arifin, Golden Terayon, Jakarta, 1993,
hal. 16.
11Abdur Rahman Shalih Abdullah. Landasan dan Tujuan
Pendidikan menurut Al-Qur’an serta Implikasinya, Diponegoro, Bandung, 1991,
hal. 93.
12Budy Munawar Rachman, Islam Pluralis,
Paramadina, Jakarta, 2001, hal. 371.
16Marcela Boisard, Humanisem Del ‘Islam, Alih
Bahasa, Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Bulan Bintang, hal. 110-111.
18Abdul Fattah Jalal, Minal Ushulut Tarbiyah fil
Islam, Alih Bahasa, Herry Noer Ali, Diponegoro, Bandung, hal. 119.
19Chabib Thoha, Op. Cit., hal. 33.
20Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan suatu
Analisa Psikologi dan Pendidikan, Pustaka al-Husna, Jakarta, 1995. hal.
263.
21Hasan Langgulung, Kreativitas dan Pendidikan Islam:
Suatu Kajian Psikologi dan Falsafah, al-Husna, Jakarta, 1991, hal. 363.
22Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2001, hal. 14-15.
23Lihat Abdur Rahman Shaleh Abullah, Landasan dan
Tujuan Pendidikan Menurut al-Qur'an serta Implementasinya, Op. Cit.,
hal. 84.
24Jalaluddin, Op. Cit., hal. 38.
25Chabib Thoha, Op. Cit., hal. 34.
27Zakariyah Daradjat, et.al, Metodik Khusus
Pengajaran Agama Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hal. 123-124.
28Chabib Thoha, Op.Cit., hal. 111-112.
29Chabib Thoha, Op.Cit., hal. 64.
30Hasan Langgulung, Kreativitas dan Pendidikan Islam,
Op. Cit., hal 527.
31F. Budi Hardiman, Pendidikan Kegelisahan Sepanjang
Zaman, Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal. 66.
32Chabib Thoha, Op. Cit., hal. 59.
33Jujun S. Suriasumanti, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 289.
0 Response to "TELAAH FILOSOFIS TENTANG NILAI-NILAI DEMOKRASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM"
Post a Comment