MENTAL SANTRI
Akhir-akhir
ini, entah apa sebabnya, wacana tentang santri muncul dan terasa semakin
semarak. Di mana-mana, orang berbicara tentang pendidikan pesantren, dan tentu
juga tentang santri. Seolah-olah orang merindukan terhadap mental santri yang
hal itu tidak selalu dimiliki oleh selainnya. Terkesan bahwa, mental santri
digambarkan lebih tangguh, mandiri, lebih berani menghadapi tantangan hidup,
dan bahkan juga lebih peduli terhadap kehidupan di sekitarnya.
Mental
yang digambarkan tersebut memang sengaja ditumbuhkan di kalangan pendidikan
pesantren. Sehari-hari para santri di pesantrennya selalu dibiasakan hidup
mandiri, bertanggung jawab, berani menghadapi hidup, dibimbing agar mau
berjuang dan sekaligus bersedia berkorban, maupun sikap mental positif lainnya.
Memang, para santri blajar di pesantren hanya bermaksud mencari ilmu, bukan
untuk memperoleh ijazah, gelar, dan sejenisnya.
Ukuran
keunggulan santri juga berbeda dibanding di lembaga pendidikan lain pada
umumnya. Oleh karena niat belajar bukan untuk memperoleh ijazah atau gelar,
tetapi untuk mendapatkan ilmu, maka santri sendiri yang mengukur kualitas
dirinya. Oleh karena itu, di dunia pesantren tidak dikenal menyontek pekerjaan
teman, mencari bocoran soal, kunci jawaban, dan apalagi melakukan apa yang
disebut dengan plagiasi. Di pesantren tidak dikenal jenis penyimpangan seperti
yang dimaksudkan itu.
Harga
diri sebagai santri selalu dijaga. Akan tetapi, cara menjaganya dilakukan
secara utuh dan menyeluruh, baik yang bersifat lahir maupun batin. Para santri
di pesantren diperkenalkan betapa pentingnya suara hati. Pekerjaan apapun, jika
dilakukan bukan atas dasar niat yang ikhlas, maka dipandang tidak ada gunanya.
Pandangan hidup seperti itu, menjadikan para santri tidak saja merasa penting
memelihara perbuatannya yang tampak dan atau yang bersifat dhahir, tetapi juga
yang ada pada batinnya.
Selain
itu, santri juga tidak mengenal jenis pekerjaan yang bergengsi, berprestise,
atau sekedar penilaian manusia pada umumnya. Pekerjaan apa saja, asalkan
membawa hasil yang halal dan baik, akan dikerjakan. Jenis pekerjaan tidak
selalu dikaitkan dengan kedudukan, dan atau harga dirinya. Jiwa berani
menjalani hidup, kemandirian, dan bertanggung jawab, menjadikan satri tidak
merasa khawatir dan takut menghadapi tantangan hidup. Belajar di pesantren
tidak khawatir terhadap resiko bahwa dirinya akan menjadi pengangguran atau
tidak bekerja.
Namun
memang pada kenyataannya, alumni pesantren tidak selalu menganggur, miskin, dan
apalagi menjadi beban keluarganya. Alumni pesantren banyak yang bekerja sebagai
petani, pedagang, dan bahkan juga pengusaha sukses. Tidak sedikit orang kaya di
negeri ini yang pada usia mudanya belajar di pesantren sebagai santri.
Sebaliknya, jika pada akhir-akhir ini sering dikeluhkan tentang banyaknya
pengangguran, maka justru berasal dari lulusan sekolah umum, dan atau bahkan
sarjana. Istilah santri menganggur tidak terdengar, tetapi sebutan sarjana
menganggur sudah tidak asing lagi.
Mencermati
mental santri sebagaimana digambarkan tersebut, yaitu tangguh, ulet, mandiri,
berani berjuang, dan tidak takut menghadapi hidup, saya seringkali merenungkan,
bahwa umpama mereka itu juga dibekali ilmu secara utuh, maka dari pendidikan
pesantren justru akan melahirkan generasi yang memiliki bekal sempurna.
Sekalipun memiliki berbagai kelebihan, sebenarnya pada pendidikan pesantren
juga masih memiliki kekurangan. Miisalnya, para santri belum dibekali
pengetahuan tentang alam, kehidupan sosial, dan juga teknologi secara memadai
sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Dasar
untuk mempelajari ilmu tersebut, menurut hemat saya, sebenarnya cukup jelas,
baik dari al Qur’an maupun hadits Nabi. Di dalam al Qur’an, bertebaran perintah
untuk memperhatikan alam, baik tentang langit, bumi, bintang, matahari, air,
laut, gunung, udara, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan lain-lain. Juga disebutkan
bahwa, semua ciptaan Allah itu tidak ada yang sia-sia. Kita semua mengetahui
bahwa, agar berbagai ciptaan Allah itu menjadi semakin besar manfaatnya, maka
harus dikembangkan melalui teknologi. Besi misalnya, melalui teknologi yang
diciptakan, maka bisa diubah menjadi berbagai jenis kebutuhan manusia, seperti
pesawat terbang, kapal, mobil, dan sebagainya.
Kemampuan
mengkaji ilmu di pesantren ternyata lebih unggul. Misalnya saja, dalam
mempelajari bahasa asing, Bahasa Arab/kitab, mereka lebih berhasil. Para santri
selalu menguasai Bahasa Arab, dan ternyata tidak semua pelajar atau mahasiswa
di sekolah umum menguasai Bahasa Inggris. Umpama tradisi mempelajari Bahasa
Arab juga digunakan untuk memperdalam sains dan teknologi, maka santri akan
semakin unggul.
Akhirnya
perlu diakui bahwa, para santri tampak bermental tangguh dan sanggup menghadapi
tantangan kehidupan seberat apapun. Jika menyebut adanya kelemahan, maka
kelemahan santri sebenarnya hanya terletak pada penguasaan sains dan teknologi,
dan bukan pada mentalnya. Padahal membangun mental adalah jauh lebih sulit
dibanding sekedar menambah pengetahuanya. Persoalan mendasar bangsa ini,
disamping ketertinggalan ilmu, sebenarnya juga sekaligus belum berhasil di
dalam membangun mentalnya. Pendidikan di pesantren ternyata dalam hal itu
justru telah berhasil. Wallahu a’lam
0 Response to "MENTAL SANTRI"
Post a Comment