Upaya Stabilisasi Mata Uang Emas
(Dinar) dalam Konsep Ekonomi
Ketidakadilan
dari alat ukur yang diakibatkan adanya instabilitas nilai tukar mata uang yang
mengakibatkan perekonomian tidak berjalan pada titik keseimbangan. Hal ini akan
semakin mempersulit untuk mereliasasikan keadilan dalam sosial ekonomi dan
kesejahteraan sosial. Menurut teori ekonomi, kestabilan nilai mata uang dapat
dibagi dalam dua aspek. Pertama, kestabilan nilai mata uang dilihat dari
berfluktuatifnya nilai uang terhadap harga barang dan jasa (kestabilan mata
uang dalam konteks closed-economy), yang lebih lanjut dirasakan dengan
adanya inflasi dan deflasi. Kedua, kestabilan uang dilihat dari
berfluktuatifnya nilai uang terhadap nilai mata uang negara lain (kestabilan
mata uang dalam konteks open-economy) yang lebih lanjut dirasakan dengan
adanya depresiasi dan apresiasi mata uang. Selanjutnya akan dibahas mengenai
kestabilan nilai standard emas (dinar) dilihat dari aspek di atas yakni aspek closed-economy
dan open-economy. Untuk menjelaskan kestabilan nilai standard emas
dalam konteks closed-economy akan digunakan pendekatan quantity
theory of money, sedangkan untuk menjelaskan kestabilan dalam konteks open-economy
akan dipakai pendekatan monetarist modal.[1]
1.
Kestabilan Dinar (Emas) Menurut Quantity
Theory of Money
Dalam
standar emas ini mata uang negara di dunia dinilai berdasarkan berpa nilai mata
uang tersebut dalam menghargai emas. Misalnya negara A senilai 0,1 ons emas dan
harga negara B seniali 0,2 ons emas, maka 1 unit B sama dengan dua kali harga
A. Dengan demikian, nilai tukar nilai tukar keduanya adalah 1 B = 2 A. Dengan
menggunakan standar emas, maka dapat dijelaskan pula bagaimana mekanisme
keseimbangan neraca pembayaran di setiap negara, yang selanjutnya akan
mempengaruhi tingkat harga secara umum di masing-masing negara. Berikut ini
akan terlihat bagaimana perubahan money supply akan berpengaruh terhadap
tingkat harga secara umum, sebagaimana diutarakan oleh David Hume.
Dengan
formulasi MV = PQ4, dimana M (money supply), V (velocity
of money-average number of time each dollar is spent), P (price
level) dan Q (quantity or number of transactions paid for with money)
akan dilihat bagaimana mekanismenya berjalan. Negara X yang neraca
pembayarannya (selanjutnya disingkat BoP, artinya balance of payment)
mengalami defisit pada saat yang bersamaan akan mengalami outflow dari emas,
ini berarti money supply ikut berkurang yang selanjutnya akan menurunkan
tingkat harga secara umum. Sebaliknya, Y yang mengalami surplus BoP akan
mendapati aliran masuk emas ke dalam negara tersebut (artinya money supply
ikut naik), asumsi ceteris paribus dengan formulasi quantity theory of money,
harga ikut naik juga. Namun demikian, negara X yang BoPnya defisit akan
mengalami kenaikan ekspor secara tajam akibat harga-harga yang turun,
sebaliknya negara Y yang BoPnya surplus akan mengalami penurunan tingkat ekspor
akibat kenaikan harga-harga secara umum. Kondisi kedua negara yang berkebalikan
tersebut mendorong kepada tercapainya neraca pembayaran di masing-masing
negara.
Negara X (defisit BoP)
Gold outflow (MS ↓, maka P ↓, asumsi V dan T tetap). Akibat P ↓, maka X ↑, sehingga terjadi gold inflow, kembali
equilibrium.
Negara Y (surplus BoP)
Gold inflow (MS ↑, maka P ↑, asumsi V dan T tetap). Akibat P ↑, maka X ↓, sehingga terjadi gold outflow,
kembali equilibrium.
Dari
mekanisme di atas dapat dipahami mengapa tingkat harga pada rexim standar emas
relatif stabil mengingat peningkatan money supply sangat dibatasi oleh
persediaan stock emas, sehingga pergerakan harga-harga juga tidak terlalu
fluktuatif.[2]
2.
Kestabilan Standar Emas (Dinar) dalam
Perspektif Monetarist Model
Dalam perekonomian yang islami,
permintaa akan uang dipengaruhi oleh aggregate outpout (Y) dan rate
of return on invesment (r). Sehingga bisa diformulasikan sebagai berikut :
(1)
M
merupakan money stock dan P adalah tingka harga. Bisa dilihat bahwa persamaan
di atas mirip dengan liquidity preference function. Namun demikian,
penggantian komponen i (interest rate) dengan (rate of return)
mempunyai implikasi yang luas. Salah satunya adalah bahwa dalam fungsi di atas,
uang tidak bersubstitusi dengan interest bearing bond dan derivatives.
Money supply dapat diformulasikan sebagai berikut :
(2)
M
adalah money multiplier dan H adalah high powered money (base
money).
Money supply dalam perekonomian islami dapat
diformulasikan sebagai berikut :
(3)
Dimana
Ms adalah money supply, Q (transaksi riel), F (internasional
reserve) dan G (standar emas). Dari persamaan money supply di atas
bisa dilihat bahwa bank sentral dapat menaikkan salah satu dari ketiga komponen
yang ada dalam persamaan tersebut. Namun demikian, kemampuan perbankan untuk
menyalurkan kredit domestik sangatlah terbatas, tidak demikian halnya dengan
sistem fiat money. Kenapa
demikian ? di samping adanya keterbatasan komponen G, bank sentral tidak bisa
menyalurkan uang tanpa adanya transaksi riil di masyarakat.
Selanjutnya,
untuk mentukan tingkat kestabilan nilai tukar, digunakan pendekatan purchasing
power parity (PPP). Dengan paradigma PPP, nilai tukar suatu negara
ditentukan oleh rasio antara tingkat harga dalam negeri dan luar negeri.
Add caption |
(4)
Add caption |
E adalah exchange rate (nilai
mata uang dalam negeri terhadap mata uang luar negeri), P harga dalam ngeri dan
P* harga luar negeri. Kemudian akan digunakan paradigma perfect
capital mobility untuk mendiskripsikan kondisi interest parity,
sebagai berikut :
(5)
Dimana
i tingkat bunga dalam negeri, i* tingkat bunga luar negeri dan e
tinglat ekspektasi depresiasi atas mata uang domestik. Perlu dicatat di sini
bahwa rate of return dari foreign asset merupakan penambahan
antara i* dan e.
Add caption |
Dalam perekonomian Islami, kondisi return
parity-nya adalah
(6)
Add caption |
Mensubtitusikan persamaan (4) dan (6)
ke dalam persamaan (1), maka akan didapatkan fungsi permintaan uang dalam
perekonomian islami di bawah ini :
Add caption |
Maka keseimbangan pasar uang adalah
(7)
Add caption |
Sehingga
(8)
Dengan
pendekatan monetarist model maka persamaan keseimbangan nilai tukar
dalam standar emas (dinar) bisa diamati dalam persamaan (8). Dari persamaan
tersebut dalam dapat dilihat bahwa nilai tukar dalam standar emas (dinar)
relatif stabil dibandingkan sistem fiat money. Ada beberapa keuntungan
diantaranya adalah:
a.
Money supply tidak bisa dinaikkan semaunya sendiri
oleh otoritas moneter karena akan sangat dibatasi oleh cadangan devisa dan
cadangan emasnya.
b.
Uang yang beredar di masyarakat akan
terserap oleh sektor riil sehingga akan membawa keseimbangan antara sektor
moneter (financial) dan sektor riil
c.
Kalaupun terjadi apresiasi maupun
depresiasi nilai tukar tetapi fenomena tersebut seiring dengan pertumbuhan
output akibat volume transaksi di sektor riil.[3]
3.
Kestabilan Dinar menurut Pandangan Umar
Vadillo
Dalam
kelompok ini terdapat nama-nama seperti Zaim Saidi (PIRAC), Ismail Yusanto (SEM
Institute), Abdul Razzaq Lubis (PAID Malaysia) dan tentu saja Umar Vadillo
sebagai sosok yang dianggap penggagas utama kembalinya uang dianr (dalam arti
monetisasi) ke dalam perekonomian.
Menurut
kelompok ini, nilai nominal dan nilai intrinsik dari mata uang dinar dan dirham
akan menyatu. Artinya, nilai nominal mata uang yang berlaku akan dijaga oleh
nilai intrinsiknya (nilai uang itu sebagai barang, yaitu emas dan perak itu
sendiri), bukan oleh daya tukar terhadap mata uang lain. Maka, seberapapun
misalnya dollar Amerika naik nilainya, mata uang dinar akan mengikuti senilai
dollar. Depresiasi (sekalipun semua faktor ekonomi dan nonekonomi yang
memicunya ada) tidak akan terjadi.
Dalam
pandangan kelompok ini, dengan menggunakan dinar, akan terhindar dari inflasi.
Penurunan nilai dinar dan dirham, menurut Abdul Razzak, memang masih akan
mungkin terjadi, yaitu ketika nilai emas yang menopang nilai nominal dinar itu
mengalami penurunan (biasa disebut inflasi emas). Diantaranya akibat
ditemukannya emas dalam jumlah besar. Tetapi keadaan ini kecil kemungkinannya,
karena penemuan emas besar-besaran biasanya memerlukan usaha eksplorasi dan
eksploitasi di samping memakan investasi yang besar, juga waktu yang lama.
Tetapi, adapun hal ini terjadi emas temuan kan disimpan sebagai cadangan devisa
negara tidak langsung dilempar di pasaran. Dengan demikian, pengaruh penemuan
emas terhadap penurunan nilai emas di pasaran bisa ditekan seminimal mungkin.[4]
Implementasi Dinar dan Dirham sebagai
Mata Uang dalam Islam
Umat
Islam telah akrab dengan mata uang yang terbuat dari emas, disebut Dinar dan
mata uang yang terbuat dari perak disebut Dirham. Mata uang ini telah digunakan
secara praktis sejak kelahiran Islam hingga runtuhnya Khalifah Utsmaniyah di
Turki pasca perang Dunia I. Oleh karena itu, kebanyakan negara Islam dijajah
oleh Barat dengan sistem Kapitalisme, maka seluruh aspek ekonomi dan kehidupan
juga mengikuti pola-pola kapitalis, termasuk masalah mata uang.
Dinar
dan dirham yang digunakan orang Arab waktu itu tidak didasarkan pada nilai
nominalnya, melainkan menurut beratnya. Sebab dinar dan dirham tersebut
dianggap sebagai mata uang yang dicetak, mengingat bentuk timbangan dirham
tidak sama dan karena kemungkinan terjadinya penyusutan berat akibat
perdarannya.
Datangnya
Rasulullah SAW, sebagai tanda kedatangan Islam, maka beliau mengakui berbagai
muamalah yang menggunakan dinar Romawi dan dirham Persia. Beliau juga mengakui
standar timbangan yang berlaku di kalangan kaum Quraisy untuk menimbang berat
dinar dan dirham.
Pada
masa pemerintahannya, Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 20 Hijriah, yaitu
tahun kedelapan kekhalifahan Umar bin Khattab, beliau mencetak uang dirham baru
berdasarkan pola dirham Persia. (Kadim As Sadr, 202) Berat, gambar maupun
tulisan Bahlawinya (huruf Persia) tetap ada, hanya ditambah dengan lafaz yang
ditulis huruf Arab gaya Kufi, seperti lafaz Bismillah (Dengan nama
Allah) dan Bismillahi Rabbi (Dengan nama Allah Tuhanku) yang terletak di
tepi lingkaran.
Khalifah Abdul Malik bin Marwan pada tahun 75 Hijriyah
(695 Masehi), mencetak dirham khusus bercorak Islam, dengan lafaz-lafaz Islam
yang ditulis dengan huruf Arab gaya Kufi. Dengan demikian, dirham Persia tidak
digunakan lagi. Dua tahun kemudian, (tepatnya tahun 77 Hijriyah / 697 Masehi).
Abdul Malik bin Marwan mencetak dinar khusus yang bercorak Islam setelah
meninggalkan pola dinar Romawi. Gambar-gambar dianr lama diubah dengan tulisan
atau lafaz-lafaz Islam, seperti Allahu Ahad (Allah itu Tunggal), Allah Baqa’
(Allah itu Abadi). Sejak saat itulah orang Islam memiliki dinar dan dirham
Islam yang secara resmi digunakan sebagai mata uangnya.( A Q Zallum, 1993)[5]
0 Response to "Upaya Stabilisasi Mata Uang Emas (Dinar) dalam Konsep Ekonomi"
Post a Comment