Wayang dan Dakwah Islamiyah
Warta Madrasah - Sahabat warta madrasah pada kesempatan ini kita akan mengkaji tentang Wayang dan Dakwah Islamiyah. Wayang pertama kali muncul berfungsi sebagai penggambaran roh (arwah)
nenek moyang untuk keperluan upacara-upacara atau persembahan yang bersifat
ritual, sehingga keberadaan wayang sangat berkaitan dengan kegiatan
upacara-upacara keagamaan.
Kemudian wayang digunakan sebagai sarana penyebaran atau kepercayaan,
pada masa masuknya agama Hindu. Oleh karena itu banyak cerita kepahlawanan yang
menjadi pedoman dalam pergelaran wayang. Pada zaman madya (masa islam di jawa),
fungsi wayang masih berperan sebagai sarana dakwah atau penyebaran agama, namun
pada masa ini banyak hal yang diberlakukan terhadap wayang kulit, terutama
menyangkut bentuk, misi, materi dan sebagainya.
Sehubungan dengan bentuk wayang kulit purwa, seperti yang dapat dilihat
pada masa sekarang ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari puncak
perkembangan pada zaman madya itu, sehingga dapat ditentukan bentuk kesempurnaannya.
Oleh karena itu wayang kulit purwa temasuk dalam seni yang disebut klasik. Bila
dicermati dari bentuknya, dalam bentuk puncak menuju kesempurnannya itu tidak terlepas
dari berbagai pengaruh sekelilingnya. Salah satu budaya yang berperan dalam
penyempurnaan wujud wayang kulit purwa dan banyakmemberi warna serta penampilan
adalah budaya Islam. Oleh karena itu Islam memiliki arti penting dalam perkembangan
wayang kulit purwa, khususnya di Jawa.
Walisongo sebagai kelompok pemuka pengembangan/penyebaran Islam
di Jawa meletakkan dasar-dasar penyebaran Islam dan pengembangannya, utamanya
dalam struktur politik dan budaya. Dalam pektrum yang terakhir yaitu budaya,
walisongo mengedepankan corak tasawuf yang fleksibel, lentur dan inklusif
menjadi wacana. Dalam kaitannya dengan wayang, watak fleksibel, lentur dan dan
inklusif meniscayakan pemanfaatan wayang sebagai salah satu media dakwahnya.
Para wali dalam penyebaran agama Islam selalu melihat kondisi masyarakat
pada waktu itu baik dari adat istiadat maupun dari budaya yang berkembang saat
ini. Sunana Kalijaga yang merupakan salah satu dari walisongo yang dibantu oleh
wali yang lain menggunakan media wayang untuk berdakwah, karena wayang merupakan
suatu media wayang untuk berdakwah, karena wayang meruapakan suatu media yang
efektif untuk menyampaikan emisi ini. Sebab masyarakat pada waktu itu masih
suka dengan keramaian.
Sunan Kalijaga memandang bahwa cerita wayang diusung dari asalnya
yaitu India ternyata banyak yang berbau Hindu, animisme dan dinamisme. Sunan
Kalijaga juga melihat bahwa pakem
(lakon) wayang India tersebut kurang
komunikatif. Masyarakat hanya diminta duduk diam melihat sang dalang memainkan
lakonnya. Tentu tidak semua orang main untuk menikmati adegan demi adegan
senacam ini dalam waktu semalam suntuk.
Maka Sunan Kalijaga dengan wali yang lain menciptakan suatu
tokoh yaitu punakawan yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng. Semar yang
sekiranya mampu berkomunikasi dengan penonton, lebih fleksibel, mampu menampung
aspirasi penonton, lucu dan juga yang terpenting, dalam memainkan para tokoh
punakawan ini sang dalang dapat lebih bebas menyampaikan misinya karena tidak
harus terlalu terikat pada pakem. Adapun lakon yang disajikan dari cerita Ramayana dan Mahabaratha
yang telah digubah dalam sedemikian rupa oleh Sunan Kalijaga, sehingga penonton
seakan-akan kisah tersebut benar-benar terjadi di pulau Jawa.Penampilan tokoh Rama dan para pandawa dalam pergelaran
seolah-olah merupakan pemunculan kembali para leluhur yang sengaja memberi
tuntunan hidup kepada anak cucunya, agar berbhakti kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, menegakkan keadilan dan kebenaran serta menghindari kepalsuan dan kemungkaran
.
Sunan Kalijaga merupakan seorang ahli taktik didalam menyampaikan
seruannya kepada umat dan menjaga masyarakat kepada agama Islam, kesemuanya itu
dengan menggunakan taktik dan strategi yang bijaksana pada saat itu, sesuai
dengan situasi dan kondisi, pada waktu itu masyarakat masih lekat sekali dengan
kesenian dan kebudayaan mereka, yaitu gemar kepada gamelan dan keramaian-keramaian
yang bersifat keagamaan Syiwa Budha. Oleh Sunan Kalijaga adat itu tidak di
lenyapkan akan tetapi dibiarkan dan memasuki dengan unsur-unsur keIslaman.
Pengaruh adat atau kebiasaan dari kebudayaan Syiwa Budha terhadap
masyarakat sangat besar. Maka seni wayang termasuk rangkaiannya seperti gamelan
dan sebagainya sangat diagungkan oleh rakyat. Dalam hal ini Sunan Kalijaga
menggunakan wayang sebagai salah satu jalan untuk mendekatkan dan menarik
simpati rakyat, atau jelasnya untuk menyambung antara pengertian agama dengan
rakyat, sedangkan wayang sebagai medianya
.
Sistem dakwah yang dilakukakan oleh walisongo bukan merupakan perubahan
atau perubahan kebudayaan Hindu Budha dan diganti dengan kebudayaan Islam,
melainkan melakukan penyelarasan penggabungan dengan kebudayaan tradisional
yang ada kemudian terjadilah sinkronisasi keagamaan yang dikenal hingga
sekarang adalah Islam kajawaan.
Toleransi yang tinggi terhadap semua aliran dan juga tidak memperlihatkan
sikap antipati atau bahkan seakan-akan menimbulkan adaptasi, asimilasi, dan
juga akulturasi terhadap segala adat dan kepercayaan dalam masyarakat. Didalam
hal ini Sunan Kalijaga sangat pandai dalam meyakinkan kepada masyarakat atas kebenaran
agama Islam dengan berbagai jalan, antar lain dengan menggunakan wayang.
Sunan Kalijaga dalam menjalankan syiar Islam dengan menggunakan
media wayang tetap menggunakan bahasa wayang, tetapi dengan mempelajari dengan
sungguh-sungguh sistematika Islami supaya dapat diterima oleh masyarakat luas
sebagai dasar penalaran yang digunakan untuk menjalankan nilai-nilai moral, dan
norma-norma sosial yang menjadi dalam muatan yang menjadi pakelirannya.
Sedangkan maksud yang ingin dicapai dalam pertunjukan wayang itu
adalah untuk melestarikan dan mengembalikan khittah wayang pemerintahan Raden
Patah di Kerajaan Demak dapat disebut sebagai simbol modernisasi kebudayaan
yang dihasilkan oleh sentuhan ajaran Islam dalam proses interaksi kebudayaan.
Di Jawa wayang kulit oleh Sunan Kalijaga dipergunakan sebagai media
dakwah dan juga syiar agama, memperolehkan inovasi yang cukup pelik dan merubah
makna hirarkhis struktur lakon itu sendiri, sehingga menentukan fenomena lakon
baru, yakni dengan ditambahnya unsur Semar dan jajaran punakawan dalam
hirarkhis lakon.
Prof. K.M.A. Machfoeld menerangkan bahwa Semar, Petruk, Nalagareng
dan Bagong kelompok figur wayang dan nama-namanya itu sama sekali tidak
terdapat dalam cerita Hindu sebagai sumber cerita wayang aslinya. Segala
sesuatunya berasal dari kelompok figur punakawan itu adalah kreasi wali sanget tinelon untuk
memperagakan dan mengabdikan diri sebagai fungsi, watak, tugas konsepsionil
walisongo oleh para muballigh Islam.
Sistem dakwah yang dilakukan oleh walisongo bukan merupakan perombakan
kebudayaan Hindu dan Budha dan kemudian diganti dengan kebudayaan Islam,
melainkan melakukan penyelarasan atau penggabungan dengan kebudayaan
tradisionil yang ada. Kemudian terjadilah sinkronisasi keagamaan yang dikenal
hingga sekarang yaitu Islam kejawaan.137
Sunan Kalijaga merupakan salah satu dari walisongo berpendirian bahwa
rakyat akan lari bila terus begitu saja dan diserang pendiriannya. Dakwah harus
sesuai dengan keadaan, yaitu harus sesuai dengan situasi dan kondisi. Adat
istiadat yang ada jangan terus diberantas, tetapi hendaknya terus dipelihara
dan dihormati oleh suatu kenyatan. Oleh karena itu dakwah haruslah diselaraskan/disesuaikan
dengan kepercayaan lama. Adapun cara merubahnya sedikit demi sedikit dengan memberi
warna baru kepada yang lain dan juga mengikuti sambil mempengaruhi, yang
nantinya bila masyarakat telah mengerti yang tidak perlu, merombak atau
menghilangkan sendiri nama yang tidak sesuai dengan agama.
Sunan Kalijaga dalam pewayangan mempunyai jasa paling besar
dengan membuat perlengkapan seperti kelir
(layar). Layar
secara simbolis melambangkan langit serta
alam semesta, debog (batang pisang yang berfungsi untuk menancapkan wayang)
melambangkan bumi, serta blencong (pelita besar/lampu) yang melambangkan matahari. Sunan Kalijaga
juga yang telah memberi karakter pemeran utama wayang agar tidak menyalahi
aturan Islam. Kesenian wayang itu dalam proses berdakwah oleh para wali bukan dihapus
akan tetapi justru digunakan semaksimal mungkin menjadi alat pendukung dan
menyebarkan agama Islam.
Sunan Kalijaga sebagai seorang wali mengikuti dari belakang
sambil mempengaruhi (tut wuri handayani) atau mengikuti kebudayaan lama sambil mengisi
dengan kebudayaan yang baru yaitu dengan jiwa Islam (tut wuri hangi seni).
Kebijaksanaan Sunan Kalijaga dalam berdakwah yaitu dengan menggunakan
metode yang benar-benar sesuai pada waktu itu. Metode itu ialah tidak sekaligus
melaksanakan ajaran-ajaran Islam dengan radikal tetapi dengan hikmah
kebijaksanaan yaitu yang sesuai dengan situasi dan kondisi orang jawa yang pada
saat itu masih teguh memegang kepercayaankepercayaan lama. Berkat dakwah Sunan
Kalijaga yang dapat menyesuaikan diri didalam dakwahnya kepada masyarakat,
ternyata yang paling berhasil pada saat itu.
Sunan Kalijaga adalah orang yang bijaksana dan mempunyai pandangan
yang luas serta jauh kedepan. Maka pada dasarnya kebijaksanaan dakwah menurut
Sunan Kalijaga adalah hal-hal yang sangat menyolok disingkirkan sementara dari
perkara-perkara yang sudah menjadi adat kebiasaan rakyat dibiarkan berjalan
begitu saja, hanya cukup diubah dengan cara yang bijaksana tanpa kekerasan.
Wayang dipergunakan sebagai dakwah islamiyah oleh walisongo berfungsi
tut wuri sarwi ngiseni yaitu ikut serta dibelakang sambil mengisi dapat kita benarkan
juga. Namun pendapat yang menyatakan bahwa wayang merupakan satu-satunya fungsi
sebagai dakwah tidak dapat kita benarkan, yang benar adalah wayang sebagai salah
satu fungsinya adalah sebagai dakwah.
Wayang digunakan sebagai media dakwah pada waktu itu sangat efektif,
karena pada waktu itu masyarakat sangat menyukai kesenian wayang termasuk
gamelan dan lain sebagainya. Dan kemudian oleh Sunan Kalijaga wayang digunakan
sebagai media dakwah dengan menyisipkan pesan-pesan tentang agama Islam dengan
cara sedikit demi sedikit. Dan juga menciptakan tokoh baru yaitu punakawan yang
teridiri dari Semar, Gareng, Bagong dan Petruk.
REFERENSI
Sri Mulyono, Apa dan Siapa Semar, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1989, hlm 80.
S. Haryanto, Op.Cit.,
hlm., 179.
HM. Nafis, Dewaruci(Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa) Edisi 5 tahun 2002, IAIN Walisongo Semarang.
0 Response to "Wayang dan Dakwah Islamiyah"
Post a Comment