Warta Madrasah - Sahabat warta madrasah pada kesempatan ini kita akan mengkaji tentang Teologi Pembebasan dan Pendidikan Akidah. Teologi berasal
dari bahasa Yunani theos artinya Tuhan, dan logos artinya ilmu
Secara harfiah teologi adalah ilmu tentang Tuhan, teologi adalah disiplin ilmu
yang berkaitan dengan Tuhan atau dengan Realitas Ketuhanan (Diving Reality) khususnya hubungan dengan Tuhan
dengan dunia (God’s relation to the world)[1].
Atau juga bisa didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan adikodrati yang
obyektif lagi kritis dan yang disusun secara metodis sistematis dan koheren,
pengetahuan ini mengangkat hal-hal yang diimani sebagai wahyu Tuhan atau
berkaitan dengan wahyu.[2]
Adakalnya teologi
didefinisikan sebagi ilmu pengetahuan tentang agama (scince of religion). Sepintas definisi ini sejalan dengan istilah
ushuluddin, tetapi dua hal itu sangat berbeda. Ilmu tentang agama, singkatnya
ilmu keagamaan, tidak melibatkan kepercayaan atau iman terhadap suatu agama
tertentu.[3]
Membicarakan
teologi biasanya bersentuhan dengan filsafat, tetapi titik tolak antara teologi
dan filsafat dalam hal ini mesti dibedakan, karena titik tolak teologi adalaha
wahyu (revelation), sedangklan titik
tolak filsafat adalah penalaran (reasoning), tetapi penalaran itu
bertolak dari kepercayaan dan dipergunakan untuk mengembangkan iman (faith). Teologi berangkat dari wahyu dan
kesadaran tentang Tuhan, sedangkan filsafat dalam hal ini filsafat agama
berangkat dari penalaran dan kesadaran pribadi (self conciousness) sebagai manusia yang tidak harus percaya pada Tuhan,
walaupun mengakui adanya gejala keprcayaan
kepada Tuhan sebagi fakta hidup.[4]
Sementara Istilah
pembebasan adalah istilah yang muncul khas Amerika Latin pada dokumen Medellin (1968).
Yang digunakan kaum tertindas sebagai reaksi terhadap istilah pembangunan yang
membawa misi system ekonomi liberal
kapitalis dengan serangkaian penindasan terhadap rakyat kecil.[5]
Menurut Arief
Budiman teologi pembebebasan itu sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan
demokrasi, melainkan ketidak adilan. Teologi pembebasan adalah teologi yang
mencoba aliran teologi yang steril, yang menganggap bahwa fungsi agama hanya
untuk masalah kejiwaan saja. Tidak boleh ada kekerasan, pokoknya kita harus
bekerja dengan cinta kasih.[6]
Aspirasi teologi
pembebasan muncul justru pada saat pembangunan – pendekatan dari ekonomi dan
pandangan modernisasi – yang umumnya dipromosikan oleh organisasi internasional
yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah yang menguasai dunia. Perubahan
yang ditawarkan adalah memakai struktur formal yang akan tanpa pihak yang menantangnya.
Development kemudian menjadi sinonim
dengan modernisasi dan reformasi, yakni sama dalam ukuran, dan menjadi kontra
produktif untuk mencapai transformasi yang sesungguhnya. Guitteres juga
menegaskan pendiriannya bahwa negara miskin harus semakin sadar bahwa
keterbelakangan mereka adalah akibat dari hubungan dengan negara kaya.
Teologi pembebasan
pada dasarnya merupakan produk gerakan sejarah, dan merupakan aspirasi teologis
yang dimulai dengan penerimaan masyarakat Kristen sebagai bentuk panggilan
untuk komitmen pembebasan serta interprestasi Bibel yang mendukung karya Kristus
sebagai pembebasan. Terdapat tiga pendekatan terhadap proses liberasi. Pertama, Liberasi adalah ungkapan
aspirasi kaum tertindas dan kelas sosial dan menekankan aspek konfliktual,
aspek ekonomi, sosial dan proses politik yang menjadikan mereka kecewa terhadap
negara dan kelas yang menindas. Lawannya, kata development memberikan gambaran
yang salah akan realitas yang tragis dan berwatak konflik. Isu pembangunan
nyatanya tidak mendapat tempat yang sejati dalam perspektif universal,
mendalam, dan dalam perspektif pembebasan yang radikal. Hanya dalam kerangka
pembebasanlah sesungguhnya pembangunan mempunyai makna yang sejati dan
memungkinkan untuk memberi manfaat. Hal 184
Terdapat banyak
salah paham mengenai teologi pembebasan, seolah-olah arus utama teologi ini
mendukung aksi dan revolusi dengan kekerasan. Sebenarnya, keprihatinan teologi
pembebasan ini sejalan dengan gerakan kemerdekaan di Indonesia maupun dengan cita-cita
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Tidaklah salah, kalau
kita menyebutnya sebagai teologi-teologi yang berorientasi kerakyatan, teologi-teologi
dari kacamata rakyat miskin dan rakyat tertindas.[7]
Teologi pembebasan
bukanlah bagian atau cabang tertentu dari teologi, melainkan merupakan
orientasi refleksi keseluruhan teologis,
yaitu orientasi pembebasan kaum miskin dan tertindas, orientasi kerakyatan.
Refleksi teologis mengenai seluruh tema dalam teologi, mengenai kenyataan
apapun dijalankan dari sudut pandang rakyat yang tertindas itu.[8]
Teologi pembebasan
dapat bergerak dalam bermacam-macam dataran, baik daratan ilmiah, praksis
pendampingan maupun dataran populer. Dalam tingkat manapun praksis pembebasan
atau tindakan demi kepentingan kaum miskin dan tertindas adalah primer atau
mendahului refleksi. Tentu saja pada gilirannya refleksi akan mempengaruhi aksi
berikutnya. Namun, prioritas terletak pada ortofraksis,
yakni tindakan yang benar, yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai tindakan iman.[9]
Dalam analisis
Muller seperti dikutip oleh Faqih dinyatakan
“hubungan antara diskursus pembangunan dan
kapitalisme, proses pembangunan adalah seperangkat praktek yang dikendalikan
oleh pranata-pranata Dunia Pertama. Hubungan antara Dunia Pertama dan Dunia
Ketiga dibangun dengan meletakkan posisi Dunia Ketiga dalam pengertian serba
kekurangan. Teknologi dan keahlian profesional yang selama ini dimiliki oleh Dunia
Pertama harus diadopsi oleh Dunia Ketiga. Ini adalah hubungan imperialisme.[10]
Oleh karena itu
istilah pembangunan tidak lagi menjadi istilah yang mengungkapkan kerinduan
rakyat, tetapi istitilah yang sudah menjadi milik kaum penindas dan penguasa
untuk membenarkan praktik penindasannya. Istilah yang cocok untuk rakyat yang
tertindas adalah “pembebasan”. [11]
Teologi pemebebasan
digagas oleh para teolog yang terlibat secara nyata dengan para kaum tertindas,
merek amencela struktur yang menghancurkan mereka dengan cara
mentransformasikannya kedalam praksis
dan mengharapkan munculnya sebuah dunia baru, sebuah dunia yang terus
menerus dibangun dan diperbaharui.[12]
Teologi pembebasan
bukanlah trend wacana—meminjam istilah nya Umaruddin Masdar yang hanya sekedar
istilah-istilah, semisal Kiri Islam, Islam Liberal, Civil Society, yang sebenarnya
tidak penting karena datang dan pergi
begitu saja seperti mode fashion yang tidak mengandung kapasitas internal
bahkan untuk sekedar survive saja,
selain itu hanyalah komodifikasi dan sofistifikasi yang didatangkan bersamaan
dengan ideologi ekonomi-politik kapitalistik yang sedang dijalankan oleh
bangsa.baik karena tuntutan pasar, tekanan, ataupun ketidaktahuan.[13]
Teologi pembebasan
pada dasarnya bukanlah suatu teori perubahan sosial atau pembangunan, karena
teologi adalah suatu ilmu yang membahas hakekat dan hubungan antara Tuhan dan
manusia maupun makhluk lainnya. Sebagai fondasi keyakinan suatu agama, teologi
umumnya sulit dipadukan dengan teori perubahan sosial dan teori kritik terhadap
pembangunann yang sepenuhnya berpijak pada analisis rasional, sekuler, dan
dialektika antara refleksi serta aksi kemudian partisipasi. Namun teologi
pembebasan yang berkembang di berbagai keolompok masyarakat di hampir semua
agama (katolik, Islam, maupun Budhiisme) justru menunjukan watak yang sangat
berbeda dengan sesuatu yang umumnya di kenal sebagai teologi.[14]
Teologi pembebasan bagi Gustavo Guiteres
(1973)merupakan suatu refleksi teologi yang lahir dari ungkapan dan pengakaman
serta usaha bersama untuk menghapus situasi ketidak adilan dan untuk meembangun
suatu masyarakat yang berbeda yanglebih bebas dan lebih manusiawi. Dengan
demikian teologi pembebasan merupakan kombinasi antara analsis dan teori sosial
kritik dengan teologi atau merupakan analisis kritis situasi kesejarahan sosial
kau m tertindas dan sebagao komitmen trasnformasi poltik para penganut agama
(nasrani) dan bukan sekedar pengalaman rohani. Dengan demikian teologi
pembebasan dapat dikategorikan sebagai teori perubahan sosial dan kritik maupun
alternatif terhadap pembangun(177) MF
Menurut Banawiratma
acuh tak acuh dan melestarikan kemiskinan dan penindasan itu berarti acuh tak
acuh terhadap Tuhan sendiri, adalah ateisme praktis, untuk tidak menyembanh
berhala yang membenarkan penghisapan darah rakyat dan pembunuhan..Apakah
teologi pembebasan anti kaum kaya dan
para penguasa ? Tidak ! kaum kaya dan par penguasa juga dapat bergembira
menemukan Tuhan dalam kepedulian bagi yang miskin dan tertindas, bila perlu
dengan banyak melepaskan kepentingan pribadi dan kelompok mereka. Mereka juga
diundang untuk beriman sejati. 92.
Yang dijalankan teologi pembebasan Teologi
pembebasan sekurang-kurangnya tidak pada awalnya tidak didorong utuk
memperjuangkan cita-cita demokrasi. Namun sejak awal mula teologi pembebasan
mempedulikan pembebasan rakyat miskin dan tertindas.Dari perspektif itulah
ternyata agama dperbaharui dalam semua bidang kehidupan atau fungsinya, dalam
ajarannya yang mengartikan kenyataan dalam mengarahkan kehidupan, dalam
ibadatnya maupun dalam hidup persekutuannya sebagai persekutuan yang melayani.h.93
Dengan demikian
agama juga berperan dalam menggulirakn proses demokrasi; dan sumbangannya untuk
demokratisasi. Hal iu tidak mengherankan, karena tidakkah semua demokrasi
akhirnya untuk kepentingan rakyat, terutama rakyat yang menderita. Adakah rakyat
diakui martabat manusianya, derajadnya
yang sama kalau dibiarkan miskin, menderita, bahkandihisap dan ditindas
?.h.93-94
Istilah teologi
pembebasan sendiri sebenarnya selalu berarti teologi-teologi pembebasan. Oleh
karena itu demi efisiensi ruang selanjutnya pengertian plural itulah yang
hendak ditunjuk dengan istilah teologi pembebasan itu, kepedulian pokok teologi
pembebasan sendiri bukanlah agama bukan pula demokrasi. Yang menjadi pusat perhatian dan kepedulian pokok teologi
pembebasan adalah pembebasan kaum miskindan tertindas, dalam konnteks ini dapat
kita lihat munculnya sumbangn mereka terhadap agama maupun terhadap proses
demokrasi.
Kehadiran teologi
pembebasan bukan untuk menambahi daftar aliran teologi yang sudah ada
sebelumnya. Teologi pembebasan adalah metode untuk memahami nilai-nilai
pembebasan yang ada dalam kitab suci. Yang pemahaman tersebut harus berangkat
dari realitas sosial umat Teologi pembebasan
bukanlah.
Dalam teologi pembebasan
yang tidak bisa ditolak adalah adanya praksis pembebasan.
Teologi pembebasan
merupakan jalan yang berbasiskan nilai-nilai pembebasan yang ada dalam semua
agama untuk menengahi sekaligus diantara dua ideologi dominan yang berpengaruh
di dunia yakni kapitalisme dan marxisme. Walau untuk saat ini tinggal hanya
satu ideologi yang mendominasi yakni kapitasilme. Dan Teologi pembebasan lebih
menekankan gerakannya pada perlawanan terhadap dominannya ideologi ini. Karena
kapitalisme telah membuat penindasan dan ketidakadilan di dunia sangat terasa
sekali pada negara-negara dunia ketiga. Sehingga
Letak perbedaannya
menurut Segundo dan Pieris seperti di kutip Wahono adalah jenis cara
(metodologi) berteologi. Cara berteologi pembebasan adalah transformatif,
bertolak dari praksis atau iman yang dialami dalam sejarah tertentu.Sedangkan
cara berteologi Barat, atau teologi tradisional, atau teologi dominan, bertolak
dari teori, dari iman yang diajarkan dan dipikirkan.
A. Asal-Usul dan Perkembangan Teologi Pembebasan
Konsep teologi
pembahasan sulit dipahami tanpa memahami sebab kemunculannya, ini refleksi
teologis terhadap pembangunan kapitalisme. Konsep pembangunan yang pada masa
itu menjadi sasaran kritik karena kebijakan pembangunan yang ditujukan ke
negara miskin justru berakibat pada keterbelakangan, dan juga karena kurangnya
hasil konkrit. Inilah alasan mengapa pembangunan justru mempunyai makna negatif
khususnya di Amerika Latin. Banyak sudah diungkap tentang pembangunan, dimana
negara miskin berlomba untuk meminta bantuan ke negara kaya bahkan mereka mencoba
untuk menciptakan mistik pembangunan. Dukungan terhadap pembangunan di Amerika
Latin tahun 1950-an melahirkan harapan besar. Akan tetapi, karena pendukung
pembangunan tidak memecahkan akar masalah maka mereka gagal sehingga
menimbulkan frustasi dan kebingungan.
Arah dasar teologi
pembebasan menurut Guiterrez sebagaimana dikutipBanawiratma, adalah kaum miskin
dan tertindas. Pembebasan kaum miskinyang tertindas. Pembebasan dimengerti
secara menyeluruh, meliputi pembebasan dari penindasan sosial ekonomi. Pembebasan semacam itu hanya terjadi
kalau diterima kenyataan sejarah rakyyat miskin dan kekuatan mereka yang
tertindas dan menderita. Pembebasan tersebut merupakan wujud peneymbahan
kepada Tuhan yang mendengarkan jeritan
umat-Nya danm menghendaki keadilan, pembebasan yang dijalankan dalam kesatuan
dengan sang pembebas, yakni Yesus Kristus.
Berkembangnya teologi
pembebasan di mulai sebelum gelombang pertama Konsili Vatikan II, tetapi
menurut Vidales menempatkan tahun dimulainya pembentukan refleksi teologi pembebasan
pada tahun 1965, kemudian tahap selanjutnya adalah babak persiapan yang
berlangsung darti tahun 1962 nsampai konferensi para uskup Amerika Latin di
Medellin, tahun 1968. Teologi pembeabsan pada kurun wkatu itu masigmempunyai
ciri tinjauan kemasyarakatan yang dipengaruhi olehaliran ilmu sosial
“pertumbuhan ekonomi” atau ‘pembangunan”
(development). Sekolah ini mencanangkan program pertumbuhan ekonomi yang cepat
melalui industrialisai barang-barang substitusi impor. Tokoh-tokohnya adalah
Artghur Lewis dan Raul Prebisch, pendiri UNCTAD (United Nations Commissions for
Trade and Development).
Tahap perkembangan
teologi pembebasan dari tahun 1968 sampai tahun 1972. Pada babakan ini refleksi
teologi pembebasan mengalami pembakuan.Menurut Hugo Assmann, pada kurun waktu
ini konferensi dan simposisum mengenai teologipembeasan sudahmenjadi umum di Amerika Latin. Misalnya
simposium internasional di Bogota, colombia, tanggal 2-7 Maret 1970; pertemuan
para ahli kitab suci membahas tema “Eksodus Dan Pembebasan” di buenos Aries,
Argentina, pada bulan Juli tahun yang sama; dan masih banyak seminar-seminar
lain di Ciudad Juarez, Meksiko, dan lagi Buenos Aires yang dihadiri oleh para
teolog internasional, juga yang bukan dari kalangan Gereja Katolik. Terlebih
setelah diterbitkanya buku A Theology of Liberation dari pastor Peru, Gusatavo
Guiterez, pada tahun 1971 dalam bahasa Spanyol yang kemudian diterjemahkan
keberbagai bahasa utama dunia di dunia. Dalam pertemuan orang-orang Kristiani
untuk sosialisme” di Santiago Chili pada bulan April 1972, gerakan teologi
pembebasan telah menajdi radikal secara politik dan teologis. Hal ini terlihat
dari pernyataan pertemuan tersebut yang dikutip dari Hennelly (1977)”. Praksis revolusioner
diakui sebagi matriks, peta kegiatan masyarakat, yangmenelurkan tindakan
–tindakan refleksi teologi…yang oleh karenanya disiplin ilmu teologi
telahmenajdi ilmu terapan refleksikritis tentang dan dalam praksis
pembebasan—dan itu dilaksanakan dalam rangka konfrontasi terus menerus dengan
tuntutan-tuntutan injil”.
Peerkembangan
selanjutnya yang terjadi sejak tahun 1972 hingga sekarang adalah “penejeblosan kedalam pemajara” dan
“pembuangan” oleh rezim militer di kebanyakan negara-negara Amerika Latin. Yang
ternyata memiliki dampak positif keluar karena teologi pembebasan malah bisa
segera tersebar ke negara-negar Dunia Pertama dan Negara Dunia ketiga lainnya.
Dimulai dengan peertemuan para teolog Eropa di El Escorial, spanyol pada tahun
1972 yang bertema “Iman Kristiani dan
Perubahan Sosial di Amerika Latin”. Disusul pertemuan para teolog
pembebasan di Mexico City
pada tahun 1975, dengan tema “Pembebasan dan Penjeblosan dalam Penjara”. Pada
tahun yang sama, Sergio Torres, pastor Chili yangada di pengasingan,
mengorganisasi pertemuan para teolog Amerika Utara di Detroit USA , dengan tema “ Teologi di
Amerika Utara tahun 1975.
Kemudian rantai
teologi pembebasan tersebut menjalar ke dunia ketiga lainnya yakni Afrika dan Asia . Untuk tahap perkembangan ini, virginia Fabella dari filipina telah
mengikhtisarkan dengan baik dalam pembukaaan membuka sidang kedua para teolog
asia yang tergabung dalam ACT (Asian Thelogical Conference), badan kerja
regional asia dari EATWOT (ecumenical AssociaTion of Third World Theologians)
yang berlangsung sebagai EATWOT VII dari tanggal 2-11 Agustus di Hongkong .
Menurutu Fabella Eatwot yang lahir dalam dialog ekumenis para teolog dunia
ketiga di Dar-es Salaam tahun 1976, merupakan perwujudan buah pikiran seorang
mahasiswa teologi Afrika, Abbe Bimwenyi.
Gagasanya amat sederhana. Katanya ”Kalau dalam bidang sosial ekonomi kita dunia
ketiga menggalang kekuatan bersama menghadapi dunia pertama, menggpa kita tidak
melakukan hal yang sama dalam bidang teologi?”Dialog yangmengkukuhkan
beridirinya EATWOT itu akhirnay dihadiri oleh 21 teolog Asia, Amerika Latin,
Afrika, dan satu dari Negro Amerika Utara Tujuan EATWOT digariskan dalam
konstitusinya sebagai berikut: “mengembangkan terus menerus teologi-teologi
dunia ketiga yang akan menunjang misi gereja di dunia dan hendak memberikan
kesaksian akan kemanusiaan yang baru di dalam Kristus sebagaimana aitutampak
dalam perjuangan untuk menegakkan masyarakat yang adil”. Cara berteologi dunia
ketiga tersebut mempunyai dua ciri pokok:
a) Menginterpretasi
kehendak Tuhan untuk masyarakat Dunia Ketiga secara bermutu, maksudnya dengan menggali
akar ke-Dunia Ketiga-an ( the Third Worldness)”. Dalam berteologi orang harus
membaut analisis sosio-ekonomi, politik, dan budaya Dunia Ketiga.
b) Berteologi
di Dunia ketiga menuntut prasyarat yang berupa komitmen dan keterlibatan pelaku
teologi dalam perjuangan dan hidup rakyat bagian dunia ketiga itu.
Sejak Dar-es
Salaam, EATWOT telah menyelenggarakan tujuh kali pertemuan:
1) Tahun 1976 di Dar-Es Salaam ,
Tanzania EATWOT I. African
Theological Conference yang pertama dengan tema “African Theology en
Route”. EATWOT diresmikan berdirinya.
2) Tahun 1977
di Accra Ghana , EATWOT II. African
Theological Conference yang kedua dengan tema “The Emergent Gospel: Theology
for the Underside of History”.
3) Tahun 1979
di Wennappuwa, Srilangka, EATWOT III, Asian Theologhical Conference yang
pertama dengan tema “Asia ’s Struggle for full
humanity”
4) Tahun 1980
di Sao Paulo ,
Brasillia, EATWOT IV. International Theological Conference dengan tema The
Challenge of Basic Christian Communities”.
5) Tahun 1981
di New Delhi, India, EATWOT V. International theological Conference dengan tema
“Irruption of Third World: Challenge to The Theology.
6) Tahun 1983
di Genewa, Swiss, EATWOT VI. International Theological Conference yang kedua
dengan tema “Faith Reflections on Historical Processes of Asian PeoplesToday”.
Kritik Terhadap Teologi
Pembebasan
Mungkin hingga hari
ini teologi pembebasan masih belum benar-benar di kenal loleh banyak orang.
Meski teologi pembebasan merupakan sebuah gerakan yang sudah berjalan di berbagai negara tak
terkecuali Indonesia .
Tetapi ia masihlah menjadi wacana yang terus
dibicarakaan oleh berbagi pihak baik yang suka ataupun yang tidak suka.
Sehingga sejak kemunculannya hingga saat inipun teologi pembebasan masih terus
dikritik
Kritik umum yang
ditimpakan pada teologi pembebasan, menurut Arief adalah karena teologi
pembebasan seringkali merupakan gerakan perlawanan bersenjata yang
revolusioner. Oleh karenanya ditolak oleh Paus, karena dianggap, tidak sesuai
dengan agama yang mengajarkan anti kekerasan, cinta kasih, pada sesama dan
sebagainya.[15]
Dalam
pilihan-pilihan-pilihan tindakan setelah tersadarkan oleh inspirasi teologi
pembebasan, orang harus memilih jalan yang cocok dengan nilai-nilai pembebasan
yang diperjuangkan, yakni jalan tanpa kekerasan. “Tujuan mulia in tidak
menghalalkan sembarang cara”, harus dijadikan pedoman oleh orang beradab.(fR.h.
xi)
Teologi pembebasan
adalah teologi praksis non-violence tanpa kekerasan.kekerasan dibalas dengan
kekerasan memang dapat menjadi pilihan, tetapi akan selalu melahirkan spiral
kekerasan, dan tidak jarang bumerang kekerasan bagi yang melempar kekerasan
bagi yang melempar kekerasan pertama kali. Untuk menghentikannya tidak lain
adalah praksis pembebasan ala Gandhi, Martin Luther King, dan Nelson Mandela
harus tetap diikuti.
Apalagi sebagi umat
Islam yang mengimani keberadaan Nabi dan Rosul Allah SWT, paham anti kekerasan
harus didahulukan Gandhi mengatakan;
“Setiap
nabi dan avatar pernah mengajarkan ahimsa (anti kekerasan). Dan hal ini
memang wajar. Himsa tidak perlu diajarkan. Manusia sebagai sejenis satwa sudah
bernaluri himsa, namun jiwanya
bersikap pantang kekerasan. Pada saat disadarinya bahwa ada jiwa di dalam
raganya manusia tidak mungkin terus bersikap kekerasan. Ia hanya dapat memilih ahimsa atau mengejar kemusnahannya
sendiri. Itulah sebabnya para nabi dan avatar
membawa ajaran kebenaran, keserasian, persaudaraan, keadilan dan sebagainya dan
masing-masing itu merupakn sifat-sifat ahimsa”.[16]
Perbedaan Teologi
Pembebasan dengan Teologi Klasik dalam Islam.
B. Pendidikan
Akidah
1.
Pengertian
Pendidikan Akidah
Untuk bisa memahami
pengertian pendidikan aqidah terlebih dahulu kita harus bisa memahami terlebih
dahulu makna pendidikan dan akidah baik secara bahasa ataupun istilah..
Aqidah secara
etimologis berarti ikatan, sedangkan secara terminologi yakni, credo, creed,
dan keyakinan hidup. Iman dalam arti khusus yakni “pengikraran yang bertolak
dari hati’. Atau juga bisa diartikan sikap jiwa yang tertanam dalam hati yang
dilahirkan dalam perkataan dan perbautan. Doktrin ini tertumpu pada pada
kepercayaan adanya dzat pencipta alam semesta. Pengucapan iman tercermin dalam
ucapan kalimah sayahadat la ilaha illaa llah karena iman pada dasarnya adalah
percaya dan membenarkan bahwa tiada tuhan kecauali Allah dan nabi muhammad
adalah utusan-Nya pengertian iman ini membawa tidak hanya sebatas tentang rukun
iman yang enam saja tetapi juga mencakup pengimanan atas kewajiban shalat,
zakat, puasa, hajji dan sebagainya, demikian juga mengimani pengharaman sesuatu
dan semua larangan-Nya.[17]
Mengenai pemahaman
tentang akidah ini perlu kiranya melihat kembali hadis rosulullah yag
menggambarkan tentang keimananYaitu ketika pada suatu hari Nabi muhammad saw
sedang dikelilingi para sahabatnya, datanglah malaikat jibril yang menyamar
sebagai seorang laki-laki, untuk mengajarkan tentang islam, iman, dan Ihsan.
Ketika ditanya tenmtang iman Nabi menjawab:” Engkau percaya kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kepada hari akhir
serta engkau percay kepada qadha dan qadhar ( takdir-Nya) yang baik dan maupuin
yang buruk”. HR. Muslim dari Umar). Juga
dijelaskan dalam al-qur’an surat
an-nisa ayat 36 yang artinya:
“Wahai orang-orang
yang beriman, berimanlah kamu kepada Allah dan rasulnya ( Muhammad), dan kepada
kitab yang diturunkanya kepada rosul-Nya (al-Qur’an) serta kitab y ang diturunkannya sebelum al-qur’an ;
barang siapa kufur kepada allah kepada malaikat-Nya kepada kitab-kitabnya
sungguh ia telah sesat jauh dari kebenaran”
.
secara istilah
2.
Unsur-Unsur
Pendidikan Akidah
a. Tauhid
Tauhid adalah keyakinan tentang
ke-Esaan Tuhan yang mutlak. Semua rasul membawakan ajaran tauhid yang diterima
dari Allah. Nabi Muhammad Saw sebagai penutup para rasul Allah dibekali kitab
Allah yang terakhir yakni al-Qur’an. Mengenai ajaran tauhid ini al-Qur’an
memberikan ketentuan-ketentuan yang meyakinkan. Hingga amat banyak
peringatan-peringatan al-Qur’an agar orang menjauhkan diri dari keyakinan dan
syirik atau menyekutukan Tuhan-Tuhan lain dengan Allah, sebab yang berhak
diyakini sebagai Tuhan hanya Allah.(Azhar basir hlm. 48)
b. Larangan
Menyekutukan Allah (Syirik)
Dalam al-quran beberapa ayat
secara gambalang menjelaskan tentang larangan melakukan perbuatan syirik dan
menegaskan bahwa dosa yang tidak diampuni. Diantaranya adalah:
“Sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah kezaliman yang amat besar”. (S.Lukman (31):13)
“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barang siapa yangmempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa
yang besar.” (QS- An-Nisa 4:48)[18]
“Tuhan kamu telah
memperintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia,” (QS-Al-Isra’ (17): 23)
Dalam al-Qur’an surat al-A’raf menceritakan jawaban Nabi Musa as, ketika
diminta oleh kaumnya untuk membuat berhala yang akan menjadi sesembahan mereka;
“Musa menajwab apakah akau kan
menjadikan tuhan selain Allah untukmu sekalian, padahal Allah memuliakan kamu
melebihi alam seisinya semua ?”.
Dari ayat-ayat al-Qur’an yang
diatas tersebut diperleh kesimpulan bahwa syirik merupakan suatu jalan yang
akan memerosotkan nilai kemanusiaan pada manusia yang melakukannya, sebab
manusia telah dijadikan allah semulia-mulia makhluk, manusia hanya dibenarkan
menundukkan dirinya dan ber-Tuhan kepada Allah saja.
c. Macam-macam
jenis syirik
Al-Qur’an surat
ali-Imran mengajarkan:
“Katakanlah: Wahai ahli kitab,
marilah kita kepada ajaran yangsama antara kami dan tuan-tuan ( karena berasal
dari suatu sumber) janganlah kita menyemabah selain kepada Allah; jangan kita
sekutukan sesuatu dengan Dia; jangan pula sebagian kita menjadikan sebagian
yang lainnya sebagai tuhan-tuhan selain Allah.Bila mereka berpaling dari
ajakanmu itu, katakanlah kepada mereka: saksikanlah bahwa kita adalah
orang-orang yang menyerah diri kepada
Allah.”
3.
Tujuan
Pendidikan Akidah.
[1] M. Dawam Rahardjo, Op.
Cit, hlm. 19.
[2] Fr.Hartono, Pengantar Teologi, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994),cet 4,hlm. 33.
[3] Dawam Raharjo, Loc.
Cit.
[4]. Dawam, Op.Cit, hlm.
19-20
[5] Fr.Wahono Nitiprawiro,Teologi Pembebasan; Sejarah, Praksis, dan
Isinya, (Yogyakarta : LKIS,2000), hlm. 7.
[6]
Arief Budiman, Agama Demokrasi Dan
Keadilan, dalam, Agama Demokrasi, dan
Keadilan, Imam Aziz (peny) (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 28
[7]
Banawiratma, hlm 80
[8] Ibid
[9] Ibid
[11] Fr. Wahono
[12] Paulo
Freire, Politik Pendidikan; Kebudayaan,
Kekuasaan, dan Pembebasan, (Yogyakarta :,
READ-Pustaka Pelajar, 2002), hlm.213
[13] Umaruddin Masdar, Colonial Mindset Dalam Pikiran Islam Liberal,
(Yogyakarta : KLIK-R, 2003) hlm.2-4
[14]
Mansour Faqih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta ;
Insist Press-Pustaka Pelajar, 2003), cet III, hlm. 177.
[15] Arief Budiman, Op.cit, hlm. 29.
[16]
Mohandas Karamchan Gandhi, All Men Are
Brothers : Life and Thougts of Mahatma Gandhi as Told in His Own Words,
terj. Kustiniyati Mukhtar, Semua manusia
Bersaudara; Kehidupan dan Gagasan-Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana
Diceritakan Sendiri ( Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1988) hlm. 101
[18] Depag,
hlm. 126
0 Response to "TINJAUAN UMUM TENTANG TEOLOGI PEMBEBASAN DAN PENDIDIKAN AKIDAH"
Post a Comment