Warta Madrasah - sahabat warta madrasah pada kesempatan ini kita akan menkaji tentang Analisis Konsep Pendidikan Pranatal dalam Tinjuan Pedagogis Islami. Istilah pedagogis dalam kamus Bahasa Indonesia
berarti:” Bersifat mendidik”.[1]
Mendidik sendiri diartikan:” Memimpin anak dalam perkembangan dan
pertumbuhannya”.[2]
Pendidikan dan mendidik adalah dua hal yang
berbeda namun keduanya tidak dapat dipisahkan. Pendidikan merupakan semua daya
upaya yang ditujukan untuk menolong anak dalam pertumbuhan baik jasmani maupun
rohaninya menjadi manusia dewasa yang susila.[3]
Sedangkan mendidik adalah cara melaksanakan usaha atau upaya yang ada dalam
pendidikan.[4] Dengan
kata lain, pendidikan adalah sebuah proses, sedangkan pelaksanaannya disebut
mendidik.
Pada
saat sekarang ini, orang lebih sering menyebut istilah pedagogis untuk
pendidikan dibandingkan untuk mendidik. Penulis sendiri berpendapat penggunaan
istilah tersebut tidak menyalahi aturan karena keduanya tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lainnya.
Hakekat
pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan
mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk
pendidikan formil dan non formil.[5]
Jadi pendidikan adalah ikhtiar manusia untuk membantu dan mengarahkan fitrah
manusia supaya dapat berkembang sampai kepada titik maksimal yang dapat dicapai
sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
Pendidikan
menurut Islam, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan
nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya yaitu al-Qur’an
dan al-hadits.[6]
Jadi
istilah pedagogis islami atau mendidik dalam Islam atau mendidik menurut Islam
adalah mendidik berdasarkan Islam. Islam adalah “agama yang diajarkan oleh Nabi
SAW berpedoman pada kitab suci al-Qur'an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu
Allah”.[7]
Dalam
pedagogis Islami, Islam dijadikan sebagai dasar yang utama. Ajaran dan nilai
yang terkandung dalam sumber dasar tersebut adalah al-Qur'an dan al-Hadits.
Sehingga dalam melaksanakan kegiatan “Pedagogis Islami” juga harus berdasarkan
pada al-Qur'an dan Hadits sebagai landasan utama.
Dengan
demikian, pedagogis islami diartikan mendidik berdasarkan al-Qur'an dan Hadits.
Atau dengan kata lain usaha sadar dan sengaja yang dilakukan oleh seorang
pendidik untuk memimpin anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya baik jasmani
maupun rohani menjadi manusia dewasa yang bersusila, yang mampu mengembangkan
dirinya dengan berpedoman pada al-Qur'an dan Hadits.
B.
Proses Pendidikan Pranatal dalam Islam
1. Persiapan
Pendidikan Pranatal dalam Islam
Anak
merupakan amanat dari Allah yang dititipkan kepada orang tuanya. Istilah amanat
mengimplikasikan kaharusan menghadapi dan memperlakukannya dengan
sungguh-sungguh, hati-hati, teliti dan cermat. Sebagai amanat, anak harus
dijaga, diraksa, dibimbing dan diarahkan selaras dengan apa yang diamanatkan.
Rousseau
seperti dikutip oleh Dr. M. Said mengungkapkan bahwa “Semua benda adalah baik
sebagai ciptaan dari penciptaannya, tetapi menjadi kotor ditangan manusia”.[8]
Ungkapan tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
Artinya
: “Dari Abu Hurairoh r.a. berkata, Rasulullah SAW. Bersabda : Tidak seorang
anakpun yang dilahirkan kecuali ia menempati fitrahnya. Maka kedua orang
tuanyalah yang menyebabkan ia menjadi Yahudi, Nasrani, dan Majusi”. (H. R.
Bukhari).[9]
Al Ghazali seperti dikutip oleh Drs. Zainuddin
dkk. Memberikan komentar terhadap hadis tersebut yakni: “Sesungguhnya seorang
anak itu dengan jauharnya diciptakan Allah dapat menerima kebaikan dan
keburukan keduanya, dan hanya kedua orang tuanya yang dapat menjadikan anak itu
cenderung pada salah satu pihak”.(Zainuddin, dkk.,1991:65)
Dengan demikian, fitrah pada dasarnya baik dan
sempurna. Fitrah memiliki kemungkinan dan kesediaan untuk menerima kebaikan dan
keburukan. Atau dengan kata lain, fitrah adalah dasar-dasar kemampuan untuk
menerima pendidikan dan pengajaran.[10]
Fitrah menurut Abdul Mujib diartikan sebagai
potensi untuk beragama.[11]
Fitrah atau potensi tersebut merupakan wujud yang abstrak, sehingga ia
membutuhkan aktualisasi. Aktualisasi fitrah yang sesungguhnya ialah ibadah yang
mencakup keseluruhan aktivitas manusia dalam rangka mencari ridha Allah.
Untuk
bisa mengaktualisasikan potensi tersebut, membutuhkan campur tangan orang lain
dan juga media. Media (alat) yang digunakan untuk mengaktualisasikan potensi
tersebut adalah pendidikan.sedangkan yang membantu adalah pendidik. Dalam hal
ini pendidik yang dimaksud adalah orang tua karena anak masih berada dalam
kandungan.
Hadits tersebut diperkuat oleh Firman Allah SWT:
Artinya
: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya”. (Q.S. Ar-Ruum : 30)[12]
Ungkapan,”
“,
dalam tafsir Munir, diartikan:”Penciptaan Allah, yang menciptakan manusia dengan
potensi beribadah kepada Allah”. Jadi fitrah dalam ayat tersebut merupakan
potensi untuk beribadah kepada Allah.[13]
Al Ghazali menafsirkan arti fitrah dalam Q.S. Ar-Ruum:30,
adalah: “Beriman kepada Allah”. (Zainuddin, 1991:64) Fitrah tersebut sengaja
disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabiat
dasarnya yang memang condong ke agama tauhid.[14]
Abdullah Mujib mengartikan Fitrah adalah:”
Penciptaan”.[15] Dalam penciptaan terdapat dua unsur, yaitu
pencipta (Allah) dan yang diciptakan (manusia). Sebagai ciptaan Allah, manusia
adalah makhluk yang paling baik dan paling sempurna karena dikaruniai akal dan
pikiran. Tetapi jika manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna
berada ditangan orang yang tidak bertanggung jawab atas apa yang diamanatkan
kepadanya, maka manusia tidak akan lagi menjadi makhluk yang paling baik, malah
sebaliknya ia akan menjadi rusak. Bahkan bisa saja terjadi manusia tidak
mengenal siapa penciptanya.
Jadi
jelaslah bahwa fitrah manusia itu tidak akan hilang namun dalam perkembangannya
bisa saja tertutup dan terpengaruh oleh lingkungan dan pendidikan, serta
pengalaman yang masuk ke dalam diri anak.
Anak
dilahirkan tidak dalam keadaan lengkap dan tidak pula dalam keadaan kosong. Ia
dilahirkan dalam keadaan fitrah. Memang ia dilahirkan dalam keadaan tidak tahu
apa-apa, akan tetapi ia telah dibekali dengan pendengaran, penglihatan dan kata
hati, sebagai modal yang harus
dikembangkan dan diarahkan kepada martabat manusia yang mulia, yaitu yang
mangisi dan menjadikan kehidupannya dengan taqwa kepada Allah SWT.[16] Tugas tersebut dibebankan kepada orang tuanya.
Orang
tua tidaklah cukup hanya menyediakan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang
bersifat materi saja, akan tetapi berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan rohani
anak, salah satunya adalah pendidikan, untuk mengembangkan kemampuan dasar
(potensi) yang dimiliki anak.
Mendidik
anak merupakan tugas yang berat karena menuntut kesabaran tinggi dan
pengorbanan yang banyak, baik karena waktunya yang cukup lama maupun karena
tenaga dan dana yang diperlukan cukup besar. Untuk itu butuh persiapan yang
matang dalam melaksanakan tugas tersebut.
Walaupun
secara riil pendidikan dimulai sejak anak dilahirkan, namun Islam mengajarkan
kepada setiap mukmin untuk mempersiapkan pendidikan anak jauh sebelum
terjadinya kelahiran itu sendiri. Sedangkan pelaksanaannya adalah setelah
diketahui bahwa anak tersebut ada di dalam kandungan istri (pranatal).[17]
Prof.
Casimir, seperti yang dikutip oleh H. M. Arifin berpendapat bahwa:”Anak dalam
kandungan sudah dapat didik, dengan jalan mendidik ibunya. Misalnya mendidik
dengan cara memberi suasana agama serta ketenangan dalam rumah tangga”.[18]
Pendidikan merupakan sebuah
proses yang panjang dan bertahap sesuai dengan perkembangan manusia. Proses
yang panjang tersebut tidak akan mencapai hasil yang maksimal, jika tidak
diikuti dengan persiapan yang matang.
Demikian
pula dalam pelaksanaan pendidikan pranatal, juga membutuhkan
persiapan-persiapan yang harus dilakukan
oleh keluarga, jauh sebelum terjadinya
kehamilan.
Menurut
ajaran Islam, persiapan pendidikan pranatal dimulai sejak pemilihan jodoh, pada
saat melakukan hubungan suami istri dan
pada masa kehamilan.
Dalam
skripsi ini, penulis akan mengelompokkan persiapan pendidikan pranatal dalam
dua tahap, yaitu :
a. Pra Nikah
Pernikahan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[19]
Apabila
keluarga sudah terbentuk, maka sepasang suami istri masih merasa ada yang
kurang, jika di tengah-tengah mereka belum hadir “anak” sebagai buah
dari cinta kasih mereka. Setelah hadir seorang anak di tengah-tengah
mereka, maka kebahagiaanpun semakin bertambah. Namun satu hal yang perlu
diperhatikan oleh orang tua, bahwa anak adalah amanat Allah untuk bisa dijaga
dan dibimbing agar bisa mengenal penciptanya. Disinilah tanggung jawab orang
tua sebagai pengemban amanat.
Keluarga
atau rumah tangga merupakan tempat pertama dan
utama bagi anak untuk memperoleh pembinaan mental dan pembentukan yang
kemudian ditambah dan disempurnakan oleh sekolah.[20]
Demikian pula halnya dengan pendidikan agama, harus diberikan oleh orang tua semenjak kanak-kanak
dengan membiasakan diri berakhlak dan bertingkah laku yang diajarkan agama.
Lingkungan
dapat memberikan pengaruh yang positif maupun negatif terhadap pertumbuhan
jiwa, sikap dan akhlak anak. Orang tua sebagai lingkungan pertama bagi anak
harus bisa memberikan pendidikan pada anak, karena pendidikan yang diterima
dari orang tualah yang akan menjadikan dasar dari pembinaan kepribadian anak.
Jadi
orang tua jangan sampai membiarkan pertumbuhan anak berjalan tanpa bimbingan,
atau arahan dari mereka. Dengan kata lain, orang tua jangan menyerahkan
pendidikan seratus persen kepada orang lain. Tetapi mereka harus tetap
mengawasi pertumbuhan dan perkembangan anak, karena waktu yang dimiliki anak di
rumah lebih banyak dari pada di luar
rumah.
Inti
dari pendidikan dalam istilah Islam adalah untuk mewujudkan insan “Kamil” yang
bertakwa dan beriman kepada Allah SWT. Penanaman iman itu harus dilakukan
sedini mungkin oleh orang tua. Bahkan Islam mengajarkan untuk mempersiapkan pendidikan anak jauh sebelum
terjadinya kelahiran itu sendiri, yaitu sejak pemilihan jodoh.
Ajaran
Islam tentang pemilihan istri terlihat
dari hadits Nabi SAW :
Artinya
: “Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Perempuan dikawini karena empat (sebab),
yaitu : karena kekayaannya, keturunannya,
kecantikannya dan keberagamaan-nya. Maka upayakanlah mendapat perempuan
yang beragama niscaya engkau akan beruntung”. (H.R.Bukhari)[21]
Hadits tersebut menjelaskan keinginan manusia
dalam hal memilih perempuan yang didambakan untuk menjadi istrinya. Diantara
mereka ada yang mendambakan perempuan cantik, meskipun miskin atau akhlaknya
kurang sempurna. Ada, bahkan hampir semua laki-laki mengharapkan mendapat
perempuan sempurna yang memiliki keempat hal tersebut meskipun hampir mustahil
mendapatkannya. Tidak sedikit pula laki-laki yang berusaha mendapatkan
perempuan yang taat beragama, khususnya beribadah, meskipun agak kurang
disegi-segi lainnya.
Islam
menganjurkan dalam memilih istri harus dari kelompok perempuan yang beragama,
anjuran tersebut memiliki beberapa alasan, yaitu :
1. Dari segi
ketahanan dan kegunaan
Kecantikan
seorang perempuan tidak akan kekal selamanya. Karena dengan bertambahnya usia,
maka kecantikan yang dimiliki akan semakin memudar. Demikian pula dengan
kekayaan perempuan, tidak akan dapat menunjang peningkatan derajat suaminya
dalam waktu yang lama.[22]
2. Dari segi
hikmat, terlihat bahwa kecantikan, kekayaan dan keturunan belum tentu dapat mendatangkan kebahagian di
dalam rumah tangga. Bisa saja terjadi sebaliknya, apabila kecantikan, kekayaan ataupun keturunan
dipermasalahkan. Maka kebahagiaan, kedamaian dan ketenangan tidak akan dapat
terwujud dalam kehidupan.[23]
3. Dari segi
masa depan, istri yang cantik, kaya atau barasal dari keturunan mulia mungkin
sekali lebih terpesona (bangga) dengan kecantikan, kekayaan dan keturunannya
sehingga menganggap remeh akad pernikahnnya. Bercerai dari suaminya tidak
menjadi masalah baginya karena ia merasa mudah menikah lagi dengan laki-laki
lain. Perasaan perempuan (istri) semacam itu dapat membuat ikatan rumah tangga
menjadi rapuh dan sewaktu-waktu bisa berantakan.[24]
Akan
tetapi agama, jika ajarannya diamalkan dengan baik, di samping dapat bertahan
untuk selama-lamanya serta berguna untuk dua kehidupan, dunia dan akhirat, juga
senantiasa dapat menumbuhkan ketenangan lahir batin yang pada akhirnya bermuara
pada kebahagiaan hakiki dalam rumah tangga. Istri yang taat beragama khususnya
taat ibadah, senantiasa mampu memelihara dirinya dengan baik sehingga suaminya
semakin percaya kepadanya. Ia mampu mengatur rumah tangga, pandai mendidik anak
dan dapat melayani suaminya sesuai dengan ajaran agama. Dengan demikian,
perasaan suami dan anak-anaknya menjadi tenteram dan suasana rumah tangga
menjadi rukun.
Anak
yang dikandung, dilahirkan, diasuh serta dididik oleh istri yang taat beragama,
kemungkinan untuk menjadi anak yang saleh dan baik sangatlah besar. Itulah
sebabnya Islam sangat menekankan pada
seorang laki-laki agar dalam memilih calon istri, lebih memandang pada segi
agama dari pada unsur yang lain, seperti kecantikan, kekayaan dan keturunan
atau dalam istilah lain “Bibit, bebet dan bobot”.
Demikian
pula seorang wanita di dalam menentukan orang yang akan menjadi pendamping
hidupnya, juga harus melihat dari segi
agama, bukan dari segi ketampanan atuapun keturunannya. Laki-laki harus
mempunyai kepandaian yang lebih baik dalam pengetahuan agama maupun pengetahuan
umum dibanding wanita. Hal tersebut
sesuai dengan tanggung jawab laki-laki sebagai pemimpin keluarga yang harus memimpin, membimbing dan
mengarahkan semua anggota keluarga agar
senantiasa tetap berada di jalan yang lurus, yaitu jalan yang diridhoi Allah.
Ajaran
tentang pemilihan calon suami terlihat dari sabda Rasulullah SAW, sebagai
berikut :
Artinya
: “Dari Abu Khatim Muzni berkata, Rasulullah SAW. Bersabda:”Apabila kepada kamu
datang laki-laki (meminang puterimu) yang agama dan akhlaknya kamu senangi,
maka kawinkanlah puterimu dengannya. Jika kamu tidak melakukannya, akan
terjadilah fitnah dan bencana yang banyak”. (H. R. Turmudzi)[25]
Anak yang terlahir dari orang tua yang selalu
mengamalkan ajaran agama, tidak akan berbeda dengan orang tuanya. Artinya,
bukan sesuatu yang mustahil jika ia menjadi anak saleh yang senantiasa
menjalankan dan mengamalkan ajaran agamanya. Seperti apa yang diungkapkan di
atas, bahwa Allah menciptakan anak sebagai makhluk yang paling baik. Kebaikan
itu akan tetap terjaga jika makhluk ciptaannya itu berada di tangan manusia
yang baik. Tetapi sebaliknya, jika ia berada di tangan orang yang tidak baik,
maka jangan berharap ia akan menjadi anak yang baik.
Itulah
sebabnya Islam sangat menganjurkan pada setiap muslim, agar dalam memilih
pendamping hidupnya, mengutamakan orang
yang beragama dan senantiasa menjalankan dan mengamalkan ajarannya. Sebab iman
yang tertanam di hati orang tidak akan pudar oleh waktu dan bertambahnya usia.
b. Pasca
Nikah
Setelah
pemilihan ditetapkan, dijalankan dengan peminangan, kemudian persetujuan sudah
dicapai, dan perkawinan akan diselenggarakan, maka selanjutnya adalah akad
nikah, yaitu melaksanakan ijab oleh pihak wali dan qabul oleh calon suami.
Namun sebelum akad nikah dilaksanakan, kedua calon suami istri dituntut untuk
memohon ampun kepada Allah SWT, mengucap dua kalimat syahadat, dan berdo’a
kepada Allah agar dilindungi dari perbuatan maksiat.
Nilai
pendidikan yang dapat diambil dari pelaksanaan akad nikah tersebut adalah
motivasi dan pendidikan yang diterapkan pada kedua pengantin. Motivasi dan
pendidikan yang dimaksud dimulai dari pembinaan kecintaan antara sesama mereka,
pembinaan kerukunan rumah tangga dalam
lingkungan mereka dan lingkungan sekitar mereka, sehingga tercipta suasana rumah
tangga yang harmonis. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap pendidikan
mereka di masa yang akan datang.
Adapun
persiapan pendidikan yang dilakukan setelah akad nikah, yaitu :
1. Pada saat
melakukan hubungan suami istri (bersetubuh)
Makna
dari akad nikah tidak hanya sekedar ijab dan qabul, tetapi lebih dari itu,
karena akad nikah merupakan pembinaan secara sah pelaksanaan hubungan cinta
dalam arti yang sesungguhnya antara dua insan lain jenis yang sudah dinikahkan
itu. Dengan kata lain, karena sudah menikah, maka mereka sudah dihalalkan untuk
berhubungan badan atau bersetubuh.
Sebelum
melakukan hubungan tersebut, Islam menganjurkan untuk berdo’a terlebih dahulu,
agar tidak mendapat gangguan setan baik yang ditujukan terhadap mereka sendiri
pada saat bersetubuh, maupun terhadap anak yang mungkin terkonsepsi pada waktu
persetubuhan itu serta agar nantinya dikaruniai keturunan yang saleh dan dapat
melanjutkan cita-cita luhur orang tuanya. Sebagaimana do’a Nabi Ibrahim AS,
dalam surat ash-Shoffat ayat 100 :
Artinya
: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku
(seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”. (Q.S. ash-Shoffaat
: 100)[26]
Rasulullah SAW juga mengajarkan do’a ketika akan melakukan hubungan suami istri
dalam sabdanya :
Artinya:
“Dari Ibnu Abas berkata. Rasulullah SAW. Bersabda:”Jikalau seorang dari kamu
menyampuri istrinya maka ia berdo’a : (Ya Allah, jauhkanlah setan dari padaku,
dan jauhkan setan dari pada yang telah engkau limpahkan kepada kami). Maka jika ada anak antara keduanya, akan dijauhkan
dari godaan setan”. (H.R. Bukhari dan Muslim)[27]
Nilai pendidikan yang terkadung dari do’a yang
senantiasa dilakukan oleh suami istri ketika melakukan hubungan baik sadar
maupun tidak sadar, sesungguhnya telah mendidik dirinya agar senantiasa dekat
kepada Allah SWT dan melindungi diri serta bermohon kepadanya. Dengan do’a itu,
mereka sudah mempunyai cita-cita dan sekaligus berusaha agar dirinya menjadi
baik dan saleh serta mengharapkan semua yang mendo’akannya terkabul. Oleh
karena itu, jika akan melakukan hubungan suami istri, mereka dianjurkan berdo’a
terlebih dahulu untuk diri mereka dan anak mereka yang mungkin terkonsepsi pada
waktu persetubuhan mereka berlangsung, yang berarti pula mereka telah melakukan
persiapan pendidikan anak.
2. Ketika
masa kehamilan
Kehamilan
seorang isteri lebih-lebih kehamilan pertama, merupakan anugrah terindah yang
diterima oleh sepasang suami isteri, karena salah satu tujuan perkawinan adalah
untuk meneruskan atau mendapatkan keturunan. Kehadiran seorang anak
ditengah-tengah keluarga adalah pelengkap kebahagiaan yang dirasakan oleh
seluruh anggota keluarga setelah adanya pernikahan.
Sebagai
amanah sekaligus anugerah dari Allah, seorang anak tidak diberikan langsung
dalam bentuk yang sempurna, akan tetapi keberadaannya melewati beberapa proses
dari mulai proses kehamilan sampai pada proses kelahiran.
Riwayat
kelahiran anak dimulai dengan pernikahan yang mempertemukan dan memadukan
kehidupan dua orang manusia pria dan wanita menjadi suatu keluarga, sehingga
pernikahan merupakan prasyarat yang mendahului kelahiran anak. Pernikahan juga
merupakan prasyarat bagi terbentuk dan terbinanya keluarga, tempat anak lahir,
dibesarkan, dan dididik.
Kehamilan
seorang wanita sebagai suatu masa dimana anak mengalami perkembangan, diawali
dengan pembuahan yang terjadi ketika sel sperma laki-laki menembus dinding ovum
wanita. Semakin hari sel tersebut akan mengalami perubahan /perkembangan dengan
berbagai fase, sampai pada akhirnya membentuk janin dalam kandungan.
Quraish
Shihab membagi proses kejadian manusia menjadi lima periode yaitu, “al-nutfah,
al-alaq, al-mudhgah, al-idzam, dan lahir.[28]
Pendapat tersebut berpedoman pada proses kejadian manusia yang diuraikan dalam
Al-Qur’an surat Al-Mukminun ayat 12-14, sebagai berikut :
Artinya
: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan dalam tempat yang paling kokoh) kemudian air mani itu Kami jadikan
segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami
bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah
pencipta yang paling baik”. (Q.S.al-Mukminun ayat 12-14 )
Ayat tersebut menguraikan tentang berbagai fase
perkembangan janin dalam kandungan, sejak permulaan kehamilan ketika salah satu
sel sperma ayah membuahi sel telur ibu yang telah matang (pembuahan). Dari
pembuahan itu terbentuklah benih, yang oleh al-Qur’an disebut “Nutfah”(air
mani yang berasal dari saripati makanan yang dikonsumsi).[29]
Kemudian
sel telur yang telah dibuahi itu melakukan pembelahan dari satu menjadi dua
kemudian menjadi empat dan seterusnya, sehingga jumlah sel yang ada bertambah.
Sel-sel tersebut kemudian menjadi darah
beku atau disebut “alaqah”.[30]
Dari segumpal darah itu kemudian menjadi tulang belulang yang kemudian menjadi
sepotong daging atau “mudghah”.[31]
Setelah terbentuk segumpal daging kemudian sedikit demi sedikit mulai terbentuk
anggota-anggota badan dari yang belum sempurna sampai akhirnya menjadi lebih
sempurna dan terbentuklah janin sebagai makhluk yang sempurna, tetapi masih di
dalam kandungan. Jika saatnya sudah tiba maka janin tersebut akan lahir ke
dunia menjadi penghuni baru sekaligus menjadi anggota baru dalam keluarga.
Pada
saat istri mengandung, maka suami sebagai kepala rumah tangga, harus memberikan
makanan dan pakaian yang halal pada anak
pranatal melalui ibunya sebagai langkah persiapan pendidikannya, agar kelak
anak yang lahir menjadi anak saleh dan salekhah.
Al-Ghozali
menegaskan bahwa jika anak terutama yang pranatal diberikan makanan dan pakaian
yang haram, maka darah, daging bahkan seluruh dirinya menjadi haram.[32]
Oleh karena itu sangat penting sekali dan sudah merupakan kewajiban orang tua
untuk memberikan sesuatu halal bagi anak pranatal sebagai bagian dari
pendidikan. Karena jika anak dibiasakan memakan barang yang haram, maka dalam
kehidupannya kelak, ia akan cenderung
untuk berbuat kepada yang haram.
Pendidikan
yang diberikan kepada anak pranatal bersifat pembiasaan dan peneladanan dari
orang tuanya. Kebiasaan apapun yang dilakukan oleh mereka, maka dengan
sendirinya hal tersebut akan menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh anak setelah
dia lahir.
Dr.
Kamal Muhammad ‘Isa dalam bukunya mengungkapkan bahwa:
“Anak adalah peniru yang piawai, mereka selalu
mencoba melakukan apa saja yang dilihat dan didengar dari lingkungan. Sehingga
apabila mereka selalu melihat dan mendengar berbagai hal yang nyatanya
bertentangan dengan akidah Islam, maka
jangan harap jika kelak, sikap, jiwa dan perilakunya mencerminkan seorang muslim yang baik”.[33]
Husein Mazhahiri mengumpamakan anak sebagai:”
Kamera yang tidak akan bekerja kecuali mengambil gambar yang dikehendaki”.[34]
Orang tua bagaikan bayangan bagi mereka. Tanpa ada bimbingan (pendidikan) dari
orang tua, maka anak akan meniru apa saja yang dia kehendaki.
Jadi
orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak, sekaligus sebagai
kehidupan rohani bagi anak dalam kandungan, harus bisa memberikan teladan
(contoh) yang baik bagi anaknya, dan
membiasakan diri berbuat sesuatu sesuai dengan ajaran agama, sehingga anak akan
terbiasa dengan lingkungan yang agamis. Bagi anak dalam kandungan kebiasaan itu sudah melekat
dalam diri mereka sebelum lahir, dan
akan dibawa setelah kelahirannya.
Dengan
demikian, sebagai upaya persiapan pendidikan anak dalam kandungan pada saat
kehamilan adalah upaya pemberian makanan dan minuman yang halal dari orang tua,
agar anak tersebut terbiasa menerima barang yang halal, sehingga nantinya bukan
menjadi sesuatu yang mustahil jika ia lahir menjadi anak yang diharapkan orang
tuanya, yaitu anak yang saleh atau
salekhah.
Selain
pemberian makanan maupun pakaian yang
halal, juga harus diupayakan menciptakan suasana rumah tangga yang harmonis,
dimana di dalamnya terdapat ketenangan, ketentraman dan kedamaian. Terutama
emosi ibu, harus tetap dijaga agar tetap stabil, sehingga bayi dalam kandungan
tidak akan bergerak-gerak akibat konflik batin yang dialami ibu. Seperti apa
yang diungkapkan oleh Zakiyah Daradjat, bahwa orang tua adalah:” Pusat
kehidupan rohani si anak dan sebagai penyebab berkenalannya dengan alam luar,
maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian hari, terpengaruh
oleh sikapnya terhadap orang tuanya dipermulaan hidupnya dahulu”.[35]
Oleh
sebab itu, pada masa kehamilan, istri sebagai calon ibu, dan suami sebagai
calon ayah, harus bisa menciptakan suasana rumah tangga yang tentram dan damai,
serta senantiasa mengamalkan ajaran agama. Apapun yang diberikan pada istri dan
anak harus didapat dari jalan yang halal, agar apa yang menjadi harapannya
untuk bisa mendapatkan anak yang saleh atau salekhah, bisa menjadi kenyataan.
C. Pelaksanaan
Pendidikan Pranatal dalam Islam
Pendidikan
anak secara aktif menurut pedagogis islami, harus dimulai sejak masa diketahui
bahwa anak tersebut. Sudah ada dalam kandungan istri (pranatal).[36]
Dari segi pertumbuhan dan kesejahteraan fisiknya, janin dalam kandungan dijaga
melalui pemenuhan makanan dan pemeliharaan kesehatan ibunya. Adapun dari segi
psikologinya, janin tersebut dipelihara melalui pembinaan suasana rumah tangga
sedemikian rupa, sehingga ibu yang mengandung merasakan ketentraman, kenyamanan
dan kestabilan emosi.
Prof.
Dr. H. Chalijah Hasan mengungkapkan bahwa:” Garis pendidikan tergambar pada dua
faktor utama ketika anak masih dalam kandungan, yakni : faktor fisik dan
psychis ibu yang mengandung, proses pendidikanpun sudah berlangsung pada saat
itu”.[37]
Al-Qur'an
juga telah menjelaskan bahwa roh (nyawa) yang ditiupkan malaikat berdasarkan
ijin dan perintah Allah yang lantas memberi hidup pada anak di dalam kandungan,
sudah memilki daya kognitif tinggi. Hal itu dijelaskan Allah dalam firman-Nya :
Artinya
: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap nyawa (roh) mereka (seraya
berfirman) : “Bukankah aku ini Tuhanmu ?” mereka menjawab : “Betul,
(engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan : “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esa-an Tuhan)”. (Q.S.
Al-A’raf :172) [38]
Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa roh
(nyawa) yang sudah menyatu dalam tubuh janin yang ada dalam kandungan bersifat
responsif. Sebab manusia tanpa ruh adalah bangkai (mait) yang tidak berdaya,
tidak berakal fikir, dan tidak responsif lagi terhadap semua rangsangan.[39]
Karena
sifat tersebut, maka orang tua harus lebih berhati-hati dalam bersikap dan
bertindak sebab apapun yang dilakukan oleh orang tua terutama ibu, akan
dirasakan anak dalam kandungan sebagai pembiasaan yang diberikan kepadanya
(pendidikan).
Secara
sadar orang tua mengemban kewajiban untuk memelihara dan membina anaknya sampai
ia mampu berdiri sendiri (dewasa) baik secara fisik, sosial, ekonomi maupun moral.
Terutama dalam upaya mengembangkan fitrah ketauhidan yang dimiliki oleh setiap
individu. Sehingga keinginan orang tua untuk mendapatkan anak keturunan yang
saleh dan salekhah dapat terwujud.
Pertumbuhan
dan pendewasaan seorang individu dapat dibantu atau dihalangi oleh
stimuli-stimuli dari lingkungan yang senantiasa ada di sekelilingnya. Oleh
karena pendidikan dapat dimulai ketika anak berada dalam kandungan, maka
keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama bagi anak dan orang tua sebagai
pendidik yang utama, harus bisa menciptakan suasana kehidupan yang nyaman dan
tentram dalam upaya pendidikan tersebut.
D.
Materi Pendidikan Pranatal dalam Islam
Mendidik
atau membimbing anak pada hekekatnya bertumpu pada tiga upaya, yaitu memberi teladan, memelihara dan membiasakan
sesuai dengan perintah agama.[40]
Memberikan
teladan dimaksudkan agar para orang tua terlebih dulu menjadikan dirinya
sebagai panutan bagi anak-anak mereka. Untuk memenuhi hal itu, bagaimanapun
juga orang tua terlebih dahulu harus memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Dari sikap dan tingkah laku keagamaan dalam rumah tangga itu diharapkan dapat
ditransfer kepada anak-anak mereka, sebab rumah tangga merupakan dasar bagi
pendidikan sikap dan tingkah laku anak.
Adapun
yang dimaksud dengan memelihara adalah bimbingan terhadap pertumbuhan dan
pengembangan potensi anak, di samping mengasuh dan memberikan makanan dan
minuman yang halal menurut hukum Islam.
Sedangkan
membiasakan adalah berupa upaya yang diterapkan dalam membentuk sikap anak.
Pembiasaan yang dimulai sejak dini, akan lebih berpengaruh dalam pembentukan
sikap. Dan pembiasaan harus diberikan melalui proses latihan yang
berulang-ulang sehingga akan menjadi satu sikap yang sudah tertanam di hati anak.
Berbicara
tentang bagaimana mendidik anak atau dengan kata lain materi pendidikan apa
yang harus diberikan kepada anak, maka kita kembali kepada arti pendidikan itu sendiri dalam Islam. Yaitu
untuk mengembangkan “fitrah” atau potensi yang ada pada setiap manusia. Oleh
karena itu, dalam menentukan materi pendidikan anak pranatal, harus pula
memperhatikan aspek-aspek pendidikan anak secara umum.
Aspek-aspek
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pendidikan
Agama
Pendidikan
agama dan spiritual termasuk aspek pendidikan yang harus mendapat perhatian
penuh oleh pendidik terutama keluarga. Pendidikan agama dan spiritual ini
berarti membangkitkan kekuatan dan kesediaan spiritual yang bersifat naluri
pada anak melalui bimbingan.[41]
Jika
dikaitkan dengan anak pranatal, maka orang tua sebagai pusat kehidupan rohani
bagi anak pranatal, harus selalu menjalankan ajaran agama dan berdo’a agar anak
yang masih dalam kandungan bisa menjadi anak yang saleh dan salekhah.
Jadi
dalam kehidupan sehari-hari orang tua harus menjalankan shalat lima waktu,
memperbanyak bacaan Al-Qur’an, shalat-shalat sunnah, berbuat baik pada sesama
manusia, dan perbuatan-perbuatan lain yang dianjurkan oleh agama, karena
perbuatan-perbuatan tersebut dengan sendirinya akan melekat pada jiwa anak
pranatal yang akan berkembang dan menjadi kebiasaan anak setelah lahir sebagai
upaya pendidikan.
2. Pendidikan
Akhlak
Pendidikan
akhlak berkaitan erat dengan pendidikan agama, karena merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Segala sesuatu yang baik menurut
akhlak adalah apa yang baik menurut ajaran agama, dan yang buruk adalah apa yang
dianggap buruk oleh ajaran agama.[42]
Para
filosof pendidikan Islam sepakat bahwa
pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, sebab tujuan tertinggi
pendidikan Islam adalah mendidik jiwa dan akhlak.[43]
Prof.
Dr. H. Jalaluddin juga mengungkapkan bahwa akhlak yang mulia merupakan
indikator yang menempati faktor kunci (utama) dalam menentukan keberhasilan
pendidikan.[44]
Orang
tua terutama ibu yang mengandung anaknya, harus senantiasa memperhatikan segala
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari baik terhadap keluarga, maupun terhadap
masyarakat disekitarnya. Jangan sampai tingkah laku kedua orang tua menyimpang
dari ajaran agama.
Dengan
akhlak yang baik, maka hubungan yang terjalin dalam rumah tanggapun akan baik,
sehingga keharmonisan dan ketenteraman dalam keluargapun akan selalu terjaga
dan kestabilan emosi ibu yang sedang mengandung akan tetap terkendali.
Kestabilan emosi ibu yang terkendali, akan menjadikan perkembangan jiwa anak
dalam kandungan tetap stabil karena tidak ada gangguan dari luar.
Jadi
apabila anak sejak dini tumbuh dan berkembang dengan dasar iman yang kuat, maka
dalam kehidupan sehari-hari akan terbiasa bersikap dan berbuat dengan akhlak
yang mulia, karena iman yang ada telah membentengi dirinya dari berbuat dosa
dan kebiasaan jelek.
3. Pendidikan
Jasmani
Pendidikan jasmani adalah salah satu aspek
pendidikan yang penting dan tidak dapat lepas dari pendidikan yang lain. Bahkan
dapat dikatakan bahwa pendidikan jasmani merupakan salah satu alat utama bagi
pendidikan ruhani. Pendidikan jasmani di sini maksudnya adalah pendidikan yang
erat kaitannya dengan pertumbuhan dan kesehatan jasmani anak, sehingga ia tumbuh
dan berkembang secara sehat dan bersemangat.[45]
Jika
dikaitkan dengan pendidikan pranatal, maka ibu harus senantiasa menjaga
kesehatan janinnya dengan cara mengkonsumsi makanan yang bergizi dan secara
rutin memeriksakan kandungannya untuk mengetahui perkembangan janinnya.
4. Pendidikan
Akal
Yang
dimaksud dengan pendidikan akal adalah membentuk pemikiran anak dengan sesuatu
yang bermanfaat seperti ilmu pasti, ilmu kalam, teknologi modern, dan peradaban
sehingga anak bisa menyesuaikan diri dengan kemajuan ilmu pengetahuan.[46]
Untuk
bisa membentuk pemikiran modern pada anak, maka sejak otak anak mengalami
perkembangan pada saat masih berada dalam kandungan ibu, terbiasa diberi
rangsangan dari luar, misalnya dengan memperdengarkan musik klasik atau
bunyi-bunyian dari alat musik seperti gitar, piano dan sebagainya.
Hal
tersebut menjadikan otak anak terbiasa menerima rangsangan, sehingga setelah
lahir dan mengalami pertumbuhan, maka anak tersebut akan memiliki daya tangkap
yang cepat dalam menerima segala macam pendidikan yang diberikan.
5. Pendidikan
Sosial
Pendidikan
sosial yang dimaksud disini ialah pendidikan anak sejak dini agar terbiasa
melakukan tata krama sosial yang utama, yang bersumber dari aqidah islamiyah
dan emosi keimanan yang mendalam di masyarakat.[47]
Ibu
yang menjadi media bagi pendidikan anak dalam kandungan tidak hanya harus
bersikap baik dengan anggota keluarga sendiri, tetapi juga terhadap masyarakat
dalam pergaulan yang luas, karena manusia tidak hanya hidup sendiri, tetapi
bersama-sama dengan orang lain.
Prof.
Dr. M. Baihaqi, telah menyusun materi pendidikan yang diberikan kepada anak
pranatal, sebagai berikut :
1. Shalat
Fardhu
Perempuan
yang sudah mengandung tidak lagi mendapat menstruasi (haidh). Oleh kerena itu,
selama sembilan bulan, mulai dari masa awal mengandung sampai dengan
melahirkan, ia tidak pernah lagi mendapat halangan shalat secara syar’i.
Keadaan perempuan semacam itu membuat ia wajib secara terus menerus untuk
mendirikan shalat. Dengan kata lain, ia terkena beban wajib mendirikan shalat
secara tetap seperti halnya dengan suaminya dan laki-laki muslim seluruhnya.
Istri
(calon ibu), dengan tetap mendirikan shalat tersebut berarti membina lingkungan
islami untuk anaknya dan merangsang atau mengajarkan secara tetap materi dan
aplikasi shalat kepada bayi yang dikandungnya melalui dirinya. Sedangkan
suaminya membina lingkungan dan merangsang (mengajar) materi dan aplikasi
shalat itu dengan mendirikan shalat berjama’ah
bersama istrinya atau mendirikan shalat didekatnya. Dengan demikian,
mereka secara bersama-sama atau sendirian telah merangsang (mengajarkan) materi
dan aplikasi shalat kepada bayi mereka yang masih di dalam kandungan.
2. Shalat-Shalat
Sunat
Selain
shalat fardhu yang diajarkan kepada anak dalam kandungan, juga shalat-shalat
sunat yang dianjurkan dalam Islam, paling tidak shalat sunat yang mengiringi
shalat fardhu harus diberikan atau diajarkan melalui pembiasaan dari orang tua
untuk melakukannya.
3. Membaca
al-Qur'an
Membaca
al-Qur'an merupakan materi pelajaran yang sangat relevan. Anak dalam kandungan
harus sudah direspon (diajar) membaca al-Qur'an oleh ibu atau ayahnya. Metodenya adalah dengan membacakan
al-Qur'an kepadanya. Suami merespon (mengajarkannya) dengan membacakan
al-Qur'an didekat istrinya yang sedang mengandung. Istri merespon (mengajarkannya) dengan membacakan sendiri
secara langsung dan mengajak bayinya itu membaca bersamanya.
Setiap
kali membaca al-Qur'an, istri atau suami berkata kepada bayi dalam kandungan :
ayo nak, kita sama-sama mengaji”.
Dengan
metode ajakan semacam itu, orang tua terbiasa bercakap-cakap dengan bayinya.
Sehingga dia merasa lebih dekat dan
dapat merasakan kehadirannya.
4. Aqidah/Tauhid
Mata
pelajaran aqidah atau tauhid sangat penting sekali diajarkan kepada anak untuk
mengembangkan fitrah (potensi) beragama yang dimiliki setiap anak. Potensi
tersebut tidak akan berkembang jika tidak ada usaha dari luar diri anak tersebut
untuk mengembangkannya. Cara mengajarkan mata pelajaran aqidah pada anak dalam
kandungan yaitu melalui ibunya. Misalnya
mengajarkan tentang wujud dan ke-Esa-an Allah.
5. Ilmu
Pengetahuan
Maksud
mengajarkan ilmu pengetahuan di sini, adalah membina kondisi dan situasi ilmiah
dalam keluarga sehingga menjadi lingkungan ilmiah yang islami dan dapat memberi
rangsangan positif kepada anak pranatal.
Cara
mengajarkannya kepada anak dalam kandungan adalah dengan mengajarkan atau
mempercakapkannya kepada ibu yang mengandung. Dengan cara tersebut, maka anak
dalam kandungan mendapat rangsangan ilmu pengetahuan dan dia akan meresponnya
dengan baik.
6. Akhlak
Akhlak
secara umum tidak pernah terpisahkan dari manusia. Diantara manusia ada yang
berakhlak baik dan adapula yang
berakhlak buruk. Atau kadang-kadang, seseorang pada suatu masa berakhlak baik,
tetapi dimasa lainnya ia berakhlak jelek. Ada orang yang hanya kepada anak,
istri dan familinya saja berakhlak baik, sedangkan kepada orang-orang lain ia
berperilaku jahat, khianat atau curang.
Jika
dihubungkan dengan anak pranatal, maka yang diajarkan kepadanya adalah akhlak
baik dan mulia. Caranya, orang tua dalam kehidupannya sehari-hari baik ketika bergaul dengan
keluarga ataupun dengan orang lain,
harus selalu menggunakan akhlak yang
baik. Selain itu jika suami mempunyai pengetahuan yang berkaitan dengan
akhlak, maka hendaknya ia mau menceritakan kepada istrinya. Istri harus
mendengarkan dengan baik. Dengan demikian, suami telah merangsang (mengajar)
bayi dalam kandungan, akhlak mulia melalui ibunya. Istri mengajak serta bayinya
untuk mendengarkan cerita suami seraya berucap : “Nak, dengarkan, ayah akan
menerangkan tentang akhlak mulia”.
7. Do’a
Do’a
merupakan amalan yang membuat hati tenang dan mantap. Setiap manusia mukmin
senantiasa merasakan ketenangan dan kemantapan bila ia sudah berdo’a kepada
Allah baik untuk diri dan orang tuanya,
maupun untuk anak-anak dan keluarganya, terutama setiap ia selesai mendirikan
shalat fardhu lima waktu. Dengan berdo’a itu, terasa adanya sandaran hati dan
tempat mengadu serta adanya harapan bahwa pada masanya nanti akan dikabulkan
oleh Allah. Itulah sebabnya mengapa setelah berdo’a, hati menjadi tenang dan
mantap.
Bagi
istri yang sedang mengandung, do’a tersebut mengandung makna positif bagi
dirinya dan anak yang dikandungnya, ia merasa tenang dan mantap dengan berdo’a.
Begitu juga jika ia dido’akan oleh suaminya, oleh orang tuanya, atau oleh orang
lain yang dekat kepadanya. Semakin
banyak ia berdo’a atau didoa’kan oleh orang lain, semakin tenang dan mantap
hatinya, termasuk pada saat-saat akan melahirkan nanti.
Do’a
semacam itu, atau do’a-do’a lainnya yang
sederhana, sudah harus dirangsangkan (diajarkan) kepada anak dalam kandungan
melalui ibunya. Metodenya adalah dengan membacakan do’a oleh istri, atau suami
didekat istrinya. Pembacaan itu akan direspon secara positif oleh bayi dalam
kandungan, lebih-lebih jika ibunya menggunakan metode mengikutsertakan dengan
ucapan “Nak, mari kita berdo’a, dan
belajar do’a bersama”.
8. Lagu
Lagu
atau musik dapat dijadikan pelajaran bagi
bayi dalam kandungan. Yang melagukan hendaknya ibu yang mengandungnya,
atau orang lain didekatnya, atau kaset lagu yang diputar disekelilingnya. Dan
bayi tersebut merespon. Dengan musik-musik atau lagu-lagu baik yang bernafaskan
Islam ataupun musik klasik tersebut bayi melalui responnya, sudah belajar
tentang musik, dan dia akan merasa tenang. Selain itu, seperti diungkapkan
dalam bab II musik dapat merangsang perkembangan otak bayi. Sehingga diharapkan
ketika lahir, bayi akan lebih cerdas dibanding dengan bayi lain yang tidak
pernah diperdengarkan irama musik ataupun lagu-lagu Islami.
Materi-materi
tersebut tidak dilaksanakan langsung oleh anak pranatal. Tetapi orang tua
terutama ibu yang melaksanakannya, dengan mengikutsertakan anak yang
dikandungnya.
Yang
paling penting pada saat anak masih berada dalam kandungan, suami dan istri,
harus senantiasa menjalankan ajaran agama, dan berusaha menciptakan suasana
yang tenang dalam rumah tangga, karena bayi dalam kandungan sangat peka
terhadap rangsangan dari luar. Apalagi ketika emosi ibu tidak stabil atau
mengalami stres ringan, akan menyebabkan kegiatan janin dan denyut jantung jadi
meningkat. Akibatnya, setelah lahir, bayi tidak setangkas bayi lain dan dia
akan menjadi anak yang mudah marah.
E.
Tujuan Pendidikan Pranatal dalam Islam
Berbicara
tentang tujuan pendidikan, tidak dapat tidak, akan membawa kita kepada tujuan
hidup. Sebab pendidikan bertujuan untuk memelihara kehidupan manusia.[48]
Dalam konteks al-Qur’an dengan tegas dan jelas disebutkan bahwa tindakan apapun
yang dikerjakan oleh manusia haruslah dikaitkan dengan Allah. Hal itu sesuai
dengan firman-Nya :
Artinya
: ”Katakanlah sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku, semuanya
untuk Allah .Tuhan seluruh alam”. (Q.S. al-An’am :162) [49]
Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa tujuan
pendidikan Islam secara umum adalah untuk mencapai tujuan hidup muslim, yakni
menumbuhkan kesadaran manusia sebagai mahluk Allah SWT, agar mereka tumbuh dan
berkembang menjadi manusia yang berakhlak mulia dan beribadah kepada-Nya.
Bila
tujuan kita hanya semata-mata dunia, maka membimbing anak tidak terlalu penting
jika ditujukan kepada pendidikan moral. Karena bila harta benda telah dicapai
maka moral dan etika tidak ada gunanya, karena keduanya hanya dianggap sesuatu
yang basa-basi saja, sebab yang terpenting adalah kecerdasan dan intelektualita
untuk mendapatkan kesenangan dan kedudukan di dunia. Tetapi jika tujuan hidup
kita selain kebahagian dunia juga akhirat, demi keridhaan Allah, maka
membimbing anak merupakan suatu hal yang sangat penting dan tentu saja
pendidikan anak harus ditujukan pada titik tumpu dari tujuan hidup yang
diridhai Allah, yaitu agar menjadi manusia yang takwa dan selamat sejahtera
dunia akhirat.
Manusia
pada hakekatnya diciptakan untuk mengemban tugas-tugas pengabdian kepada
penciptanya. Agar tugas-tugas yang dimaksud dapat berjalan dengan baik, maka
Allah telah menganugerahkan manusia dengan berbagai potensi yang dapat
ditumbuhkembangkan. Potensi yang siap pakai tersebut dianugerahkan dalam bentuk
kemampuan dasar yang hanya mungkin berkembang secara optimal melalui bimbingan
dan arahan yang sejalan dengan petunjuk sang penciptanya.[50]
Tujuan
pendidikan yang diberikan pada tahap awal perkembangan manusia adalah untuk
mengembangkan fitrah yang dimilikinya. Fitrah mengandung makna kesucian, yang
menurut M. Quraish Shihab, terdiri atas tiga unsur :” Benar, baik dan indah.[51]
Berdasarkan fitrah tersebut, maka seseorang cenderung untuk melakukan sesuatu
yang baik, indah dan benar. Namun kecenderungan tersebut tidak akan menjadi
suatu perbuatan yang benar-benar nyata tanpa adanya pendidikan.
Pendidikan
tersebut menjadi tanggung jawab yang dibebankan kepada orang tua. Mereka
dibebankan tanggung jawab agar dapat mengembangkan potensi tersebut melalui
alat-alat pendidikan seperi teladan, contoh, bimbingan, nasehat dan bahkan jika
perlu menggunakan kekerasan.
Jadi
tujuan pendidikan pranatal dalam Islam
adalah untuk mengembangkan potensi dasar manusia (fitrah) dan untuk mewujudkan
insan kamil yang diberikan sedini mungkin, yaitu sejak dalam kandungan melalui
orang tua terutama ibu, yang bersifat peneladanan ataupun pembiasaan mereka
dalam kehidupan sehari-hari.
[1]
Departemen P dan K., Op. Cit., hlm.657
[2]
Ngalim Purwanto, Op. Cit., hlm.15
[3]
Ibid. hlm.150
[4]
Ibid.
[5]
Drs. H.M.Arifin,M.Ed, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan
Sekolah dan Keluarga, Bulan Bintang, Jakarta,1976, hlm.10
[6]
Drs. Muhaimin, MA., Paradigma Pendidikan Islam, Rosda Karya, Bandung,
2001, hlm. 29
[7]
Departemen P dan K., Op. Cit., hlm. 340
[8]
Prof. Dr. Moh. Said., Ilmu Pendidikan , Penerbit Alumni, Bandung,
1989, hlm. 15
[9]
Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuti, Aljamius Shahgir,
Maktabah Darul Ihyail Kutub Al Arabiyah, Indonesia, 911 H, juz 11, hlm. 94
[10]
Drs. Zainuddin dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari Al Ghazali, Bumi
Aksara, Jakarta, 1991, hlm. 65
[11]
Abdul Mujib, M. Ag., Pengantar Zakiah Daradjat, Fitrah & Kepribadian
Islam, Darul Falah, Jakarta, 1999, hlm.16
[12]
Prof. Soenarjo, S.H., Op. Cit., hlm. 645
[13]
Dr. Wahab, Az-zahili, Tafsir Munir Fil Aqidah Wal Syari’ah Wal Manhaj,
Juz. 21, hlm. 81
[14]
Zainuddin, Op. Cit., hlm. 64
[15]
Abdul Mujib, Op.Cit., hlm. 11
[16]
Muhammad Ali Kuthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam,
Diponegoro, Bandung, 1993, hlm. 11
[17]
Prof. Baihaqi, Op. Cit., hlm. 29
[18]
Drs. H.M. Arifin, M.Ed., Op. Cit., hlm. 44
[19]
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, No I Tahun 1974, PT. Pradaya Paramita,
Jakarta, 1991, hlm. 6
[20]
Prof. Dr. H. Chalijah Hasan, Dimensi-dimensi Psikologi Pendidikan,
Al-Ikhlas, Surabaya, 1994, hlm. 182
[21]
Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail ibnu Ibrahim bin Mughiroh bin Bardazibah
al-Bukhari al-Ja’fari, Shahih Bukhari, Juz VII, Darul Kutub Al-Ilmiyah,
Beirut, Libanon, 1401/1981, hlm. 9
[22]
Dr. Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama dalam Keluarga, Rosda Karya,
Bandung,1996, hlm. 15
[23]
Ibid.
[24]
Ibid. hlm. 16
[25]
Abu Isa Muhammad bin Isa Ibnu Saurah, Sunan at Turmudzi, Darul Fikr, Jus
II, hlm. 345
[26]
Al-Qur'an dan Terjemahnya, hlm. 724
[27]
Sunan at Turmudzi, Op.Cit., hlm.348
[28]
Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 58
[29]
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Thoha Putra, Semarang,
1989, hlm.11
[30]
Ibid. hlm. 12
[31]
Ibid.
[32]
Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama dalam Keluarga, Op. Cit., hlm. 35
[33]
Dr. Kamal Muhammad ‘Isa, Manajemen Pendidikan Islam, Fikahati Aneksa, Jakarta, 1994,
hlm. 29
[34]
Husein Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak, Lentera, Jakarta, 2000, hlm.28
[35]
Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 56
[36]
Prof. Dr. H. Baihaqi, A.K., Op. Cit., hlm. 29
[37]
Prof. Dr. H. Chalijah Hasan, Op. Cit., hlm. 192
[38]
al-Qur'an dan Terjemah, hlm. 250
[39]
Baihaqi, Op. Cit., hlm. 31
[40]
Jalaluddin, Op. Cit., hlm. 8
[41]
Asnelly Ilyas, Op. Cit., hlm. 69
[42]
Ibid. hlm. 73
[43]
Hasan Langgulung, Op. Cit., hlm.
373
[44]
Prof. H. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Grafindo Persada, Jakarta,
2001, hlm. 88
[45]
Ibid. hlm. 78
[46]
Ibid. hlm. 80
[47]
Ibid. hlm. 82
[48]
Asnelly Ilyas, Op. Cit., hlm. 26
[49]Al-Qur’an
dan Terjemah, hlm.
[50]
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm.46
[51]
M. Quraih Shihab, Membumikan Al-Qur'an, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 321
0 Response to "ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN PRANATAL DALAM TINJAUAN PEDAGOGIS ISLAMI"
Post a Comment