TELAAH FILOSOFIS TENTANG NILAI-NILAI DEMOKRASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

TELAAH FILOSOFIS TENTANG NILAI-NILAI DEMOKRASI
DALAM PENDIDIKAN ISLAM

bahwa secara filosofis akan dibahas pendidikan Islam dari sudut pandang demokrasi yang lebih terkonsentrasi pada aspek tujuan pendidikan Islam secara substansial mengandung nilai-nilai substansif demokrasi. Dari kerangka pemikiran tersebut, akan menggeledah secara filosofis dan berusaha menampakkan nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam rumusan tujuan pendidikan Islam.

Untuk menemukan nilai-nilai demokrasi dalam rumusan tujuan pendidikan Islam, penulis akan mencoba mengedepankan delapan perspektif nilai-nilai demokrasi tersebut, yaitu positifistik jeneralistik, humanisasi, pengembangan potensi, transfer nilai religius, moralitas, legitimasi potensi, patriotisme, dan wawasan modern.
Sebelum dipaparkan kedelapan perspektif di atas kaitannya dengan pembahasan ini, terlebih dahulu akan disimpulkan tujuan-tujuan pendidikan Islam yang termuat dalam bab dua. Hal tersebut sangat penting sekali, karena tujuan-tujuan pendidikan Islam tersebut merupakan obyek yang akan dianalisis.
Dari keseluruhan tujuan pendidikan Islam tersebut menunjukkan bahwa tulus dan ikhlas, berakhlak mulia, mengabdikan diri terhadap lingkungan di mana ia tinggal, bangsa dan agama, menguasai ketrampilan-ketrampilan, memiliki semangat ilmiah yang tinggi dan mengabadikan ajaran dan kebudayaan Islam. Tujuan-tujuan pendidikan Islam tersebut seluruhnya bermuara pada keseimbangan potensi, dunia dan akhirat, yang akhirnya sebagai kata kunci dari kesimpulan tersebut ialah, pendidikan Islam menghendaki terbentuknya insan kamil. Untuk lebih jelasnya berikut klasifikasi tujuan pendidikan Islam.

Klasifikasi Tujuan Pendidikan Islam



















Catatan: Klasifikasi di atas diambil dari pokok-pokok esensial berbagai tujuan-tujuan pendidikan Islam yang telah dirumuskan di muka.
Pada hakikatnya klasifikasi di atas, merupakan kata kunci yang paling tepat sebagai kesimpulan akhir adalah pendidikan Islam setelah dilakukan proses pendidikan baik di sekolah, keluarga, maupun masyarakat menghendaki pencapaian pada peserta didik, yaitu “menjadi manusia yang paripurna” baik di mata peserta didik sendiri sebagai pelaku, di mata khaliqnya dan di mata masyarakat pada umumnya.
Harus betul-betul dipahami bahwa untuk menjadi manusia sempurna, pendidikan tidak mungkin mensosialisasikan secara langsung dan dalam waktu dekat bisa menjadi manusia yang sempurna. Untuk memaparkan hal ini penulis akan mencoba memaparkannya dengan sebuah pendekatan kronologis.
Yang dimaksud dengan pendekatan kronologis adalah pendekatan yang didasarkan atas proses perkembangan melalui proses pentahapan.1 Melalui pendekatan ini manusia dipandang sebagai makhluk evolutif, disadari bahwa manusia bukanlah makhluk siap jadi, yakni setelah lahir langsung menjadi dewasa.
Secara fisik, kejadian manusia diawali dari proses pembuahan (pertemuan sel telur dengan sperma), dan kemudian berkembang menjadi janin (QS. 23 : 12 – 14), lalu berkembang menjadi anak-anak, remaja, dewasa hingga mencapai lanjut usia (QS. 40 : 67), setiap tahap perkembangan ditandai dengan ciri khas (karakteristik) tertentu pada kemampuan yang dimilikinya. Jadi manusia memiliki periodisasi dalam perkembangan dan kemampuannya.2
Sebelum dianalisis panjang lebar, sebetulnya apa yang dimaksud dengan manusia sempurna itu adalah yang mengkaver seluruh isi (content) dari rumusan-rumusan tujuan pendidikan Islam.
Manusia sempurna menurut Islam tidak mungkin di luar hakekatnya. Berikut ini merupakan ciri-ciri pokok manusia sempurna menurut Islam:
Pertama, jasmani yang sehat serta kuat dan berketrampilan.3
Orang Islam perlu memiliki jasmani yang sehat dan kuat, terutama yang berhubungan dengan keperluan penyiaran dan pembelaan serta penegakan ajaran Islam. Dilihat dari sudut ini, maka Islam mengidealkan muslim yang sehat serta kuat jasmaninya. Hal ini erat kaitannya dengan hakekat diturunkannya manusia di muka bumi ini, yaitu menjadi khalifah yang sanggup mengatur ketertiban alam.
Khalifah telah berperan sebagai pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, dan itu semua harus dicapai dengan fisik yang kuat. Kekuatan fisik ditunjukkan oleh tafsiran Imam Nawawi dalam kata “al-Qawy” sebagai kekuatan iman, penafsiran Imam Nawawi ini disandarkan pada hadits Nabi:
المؤمن القوى خير واحب الى الله من المؤمن الضعيف
Artinya :       Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disayangi oleh Allah ketimbang orang mukmin yang lemah.4
Tetapi perlu diingat, bahwa persoalan khalifah dalam perannya akan membawa misi yang sangat besar, dan itu semua membutuhkan kekuatan-kekuatan yang besar pula, bukan hanya kekuatan iman semata tetapi lebih dari itu kekuatan dari aspek fisikpun menjadi sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Dari sekelumit penjelasan di atas, apabila kekuatan fisik merupakan bagian pokok dari tujuan pendidikan Islam, maka pendidikan harus mempunyai tujuan ke arah ketrampilan-ketrampilan fisik yang dianggap perlu bagi teguhnya keperkasaan tubuh yang kuat.
Kedua, cerdas dan pandai.5
Islam menghendaki pemeluknya cerdas dan pandai, itulah ciri akal yang berkembang secara sempurna. Cerdas ditandai oleh adanya kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat, sedangkan pandai ditandai oleh banyaknya pengetahuan. Kecerdasan dan kepandaian itu dapat ditilik melalui indikator-indikator sebagai berikut:
1. Memiliki sains yang banyak dan berkualitas tinggi. Sains adalah merupakan pengetahuan manusia yang merupakan produk indera dan akal, dengan sains seorang muslim akan kelihatan kualitas akalnya. Dari pengoptimalan kecerdasan dan kepandaian inilah Islam akan berkembang tidak hanya pada dimensi agama semata, tetapi lebih dari itu, menguasai segala bentuk ilmu pengetahuan umum dan dapat menguasai peradaban modern.
2.  Mampu memahami dan menghasilkan filsafat. Berbeda dari sains, filsafat adalah jenis pengetahuan yang semata-mata akliyah. Dengan ini, orang Islam akan mampu memecahkan masalah-masalah filosofis.6
Sedemikian pentingnya sebuah kecerdasan dan kepandaian yang harus dimiliki oleh peserta didik kaitannya dengan kontek kesempurnaan manusia, oleh karena itu pendidikan Islampun harus mengarahkan peserta didiknya ke arah kecerdasan dan kepandaian.
Ketiga, rohani yang berkualitas tinggi.7
Rohani yang dimaksud dalam hal ini adalah aspek manusia selain jasmani. Perihal rohani itu samar, ruwet dan belum jelas batasannya. Manusia belum (atau tidak akan) memiliki cukup pengetahuan untuk mengetahui hakikatnya. Kebanyakan buku tasawuf dan pendidikan Islam menyebutkan qalb (kalbu) saja.
Kalbu yang berkualitas tinggi itu adalah kalbu yang penuh berisi iman dan taqwa kepada Allah. Dan ketinggian kualitas kalbu ini, peserta didik akan berpegang pada ajaran dan aturan-aturan Tuhannya, mentaati seluruh perintah dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Di luar hubungan peserta didik dengan Tuhannya, dalam hubungan manusiapun peserta didik dalam setiap langkah dan prilakunya tetap berpegang pada aturan-aturan agama, karena didasari dengan kualitas kalbu yang baik, yang penuh dengan iman dan taqwa.
Dari ketiga indikator manusia sempurna menurut Islam tersebut. Pendidikan Islam harus mampu merealisasikan dalam wujud yang riil bagi terbentuknya manusia yang sempurna dengan metodologi dan pendekatan yang sesuai.
Metodologi Islam dalam melakukan pendidikan adalah dengan melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun, baik segi jasmani, intelektual maupun rohani, baik kehidupannya secara fisik maupun kehidupannya secara mental, dan segala kegiatannya di muka bumi. Jasmani, intelektual dan rohani merupakan tiga potensi dasar yang tersurat dan tersirat dalam tujuan pendidikan Islam, yang ketiganya bermuara pada cita-cita luhur, yaitu pembentukan manusia yang sempurna.
Dari beberapa tujuan pendidikan Islam di atas, penulis akan mencoba memaparkan dari sudut pandang demokrasi, dengan mengungkap sejumlah nilai-nilai yang terdapat dalam tujuan pendidikan Islam, baik nilai-nilai yang tersurat maupun yang tersirat.
Di dalam berbagai objek terdapat kualitas yang nampaknya hakiki bagi kebanyakan objek tersebut dan kualitas itu dapat ditangkap oleh panca indra (kualitas skunder).8 sebaliknya di dalam berbagai objek kualitas objek yang bernilai yang diberikan kepada objek dan yang dimiliki oleh objek.9
Sejumlah rumusan tujuan pendidikan Islam terdapat nilai-nilai demokrasi yang tersirat, dalam arti secara empiris teks tidak dapat tampak. Tetapi meskipun demikian, rumusan tujuan pendidikan Islam merupakan objek yang bernilai, maka dengan beberapa pendekatan akan tampaklah nilai-nilai yang dimaksud. Nilai-nilai tersebut tidak nampak dalam realitas objek (teks) dan dapat dirasionalkan, maka penulis memberikan istilah dengan nilai metafisik rasional demokrasi dalam tujuan pendidikan Islam.
Sejumlah rumusan tujuan pendidikan Islam secara tersurat, terdapat sejumlah nilai-nilai demokrasi yang nampak dalam realitas objek. Nilai-nilai tersebut tampak secara empiris dalam realitas objek (teks), maka penulis memberikan istilah sub pembahasan bab empat ini dengan nilai empiris rasional demokrasi dalam tujuan pendidikan Islam.


A.   Nilai Metafisik Rasional Demokrasi dalam Tujuan Pendidikan Islam
1.    Perspektif Positivistik Jeneralistik
Sebagai pemahaman awal yang memang tidak secara tegas tertulis dari berbagai tujuan pendidikan Islam, secara jeneralis dan asumsi positif, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah sebuah tujuan yang tidak mendikotomi dan berasaskan kebebasan persamaan dan keadilan, yang merupakan nilai-nilai luhur yang di perjuangkan dalam idealitas demokrasi.
Pendidikan Islam sesuai tujuannya, memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia sebagai masyarakat didik, baik dalam instansi formal maupun instansi non-formal (sekolah, keluarga maupun masyarakat). Untuk merasakan pendidikan, tidak membatasi ruang dan waktu, kapanpun dan di manapun pendidikan itu berlangsung (di sekolah, majlis, masjid, alam terbuka, siang maupun malam), berlaku bagi siapa saja, laki-laki maupun perempuan, anak-anak, dewasa dan orang tua, lintas ras, suku bahkan bangsa.
Hal di atas tentu tidak tersurat secara tertulis dalam teks-teks rumusan tujuan pendidikan Islam. Pendidikan dalam langkah-langkah operasionalnya harus sesuai dengan tujuan yang tidak memilih beberapa aspek yang telah disebutkan di atas. Jika dalam realitas riil pendidikan mendikotomi, membatasi atau memberikan sekat-sekat, maka menurut hemat penulis pendidikan telah menyimpang dari tujuannya.
Penulis memperkuat landasan di atas dari tiga aspek: Pertama dari aspek Islam sebagai agama di mana mengacu pendidikan Islam, kedua dari aspek manusia sebagai penganut dan masyarakat didik, ketiga perumus tujuan pendidikan Islam. Berikut akan dijelaskan tiga aspek tersebut:
a.   Islam adalah agama kebebasan, kemerdekaan, keadilan dan persaudaraan.
Seorang muslim bebas merdeka bersikap dan bertindak, tetapi tetap dalam landasan iman dan taqwa. Masyarakat Islam yang benar adalah masyarakat yang adil di mana yang lemah tidak diperlakukan dhalim dan sewenang-wenang oleh orang yang berkuasa. Semua orang muslim adalah bersaudara tidak ada perpecahan dan saling mengungguli dalam Islam menurut pandangan kesukubangsaan, warna kulit, kelompok atau kekayaan.10
Hal di atas merupakan ajaran Islam sebagai agama, juga diperkuat dengan keterangan-keterangan Allah dan Rasul. Sebagaimana terkaver dalam bab tiga tentang keadilan, persamaan, dan kebebasan. Realitas di atas merupakan referensi bahwa Islam sebagai Agama menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dan tujuan pendidikan Islam tentunya mengacu pada referensi luhur di atas (tidak mendikotomi, membatasi, dan membuat sekat-sekat).
b.   Manusia memiliki kemampuan berkehendak (free will)
Manusia memiliki kesadaran berkehendak untuk bersikap dan berbuat, kebebasan berkehendak inilah yang membuat manusia mampu melakukan seleksi terhadap elemen-elemen yang akan berinteraksi dengan fitrahnya. Dalam merealisasikan berbagai fungsi, fitrah dipengaruhi oleh kehendak bebas yang dimiliki manusia.11
c.    Perumus tujuan pendidikan Islam
Meskipun tidak cukup representatif karena terbatasnya referensi, penulis akan berpikir jeneralis dan menjastifikasi dari sejumlah perumus tujuan pendidikan Islam yang penulis tampilkan di muka yang dianggap mewakili seluruh pemikir pendidikan Islam, dalam hal perumusan tujuan pendidikan Islam. Perumus tujuan pendidikan Islam tanpa diperdebatkan lagi, dalam kerangka berpikirnya sudah tentu mengacu pada nilai-nilai Agama sebagai standar, dan berwawasan luas, metodologik dan komprehensif dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam. Atas dasar logika tersebutlah penulis berpikir, para perumus tujuan pendidikan Islam merancang tujuan pendidikan Islam sarat dengan nilai-nilai ajaran Islam yang dalam hal ini (kebebasan, keadilan dan persamaan), serta melihat aspek-aspek kemanusiaan sebagai objek ontologi dari tujuan pendidikan Islam, baik aspek kemampuan untuk memilih, berkehendak, mendambakan kebebasan dan keadilan. Dan yang paling penting adalah secara riil dari rumusan-rumusan tujuan pendidikan Islam, tidak satupun menggambarkan adanya sekat-sekat dan memihak pada objek tertentu. Dari realitas tersebut penulis berkeyakinan para perumus tujuan pendidikan Islam tidak ada yang bersifat parsial dalam merancang tujuan pendidikan Islam.
Dari tiga aspek di atas yang merupakan fakta, kiranya sangat representatif apabila berpikir positifistik dan jeneral terhadap  rumusan tujuan pendidikan Islam, bahwa rumusan tujuan pendidikan Islam berlaku untuk siapa saja, dioperasionalkan di mana saja, dan kapan saja. Pemaparan tersebut di atas terlihat setelah dilakukan analisis adanya nilai-nilai demokrasi yang berupa kebebasan, keadilan, dan persamaan.
2.    Perspektif Humanisasi
Perspektif kedua, melihat dari segi visi dan misi tujuan pendidikan Islam, bahwa tujuan pendidikan Islam menghendaki terealisasinya proyek besar yaitu humanisasi atau memanusiakan manusia, yang dalam hal ini penulis akan meminjam beberapa filsafat Paulo Freire.
a.   Manusia berbeda dengan binatang, presentasi filsafat Paulo Freire ini jika dikaitkan dalam konteks pembahasan ini jelas bahwa binatang tidak hidup dalam kondisi statis, tidak berhubungan dengan pencipta-Nya (ta’abud), tidak memperdulikan nilai etika dalam kehidupannya dan tidak menggunakan kecerdasan intelektual. Oleh karena itu, pola pendidikan yang harus diberikan kepada manusia harus dibedakan dengan pola pemeliharaan binatang, agar manusia tampil lebih humanis.
Manusia bisa beraktifitas dengan refleksi dan tindakan manusia terarah pada perubahan dunia. Maka, aktifitas manusia berupa teori dan praktek. Itulah sebabnya manusia tidak boleh tereduksi menjadi teori semata berupa verbalisme, atau menjadi praktek semata dalam aktifisme. Bagi Freire, suatu revolusi sejati yakni humanisasi struktur-struktur manusia harus terlaksana dalam agenda praksis. Bukan verbalisme atau aktifisme yang pada hakikatnya adalah penindasan.12
b.   Beberapa manusia hanya “hidup” dan tidak berhasil “mengada”. Situasi penindasan manusia, berarti mereduksi manusia menjadi benda atau binatang. Dalam konteks inilah, Freire melalui distingsi K. Jaspers menekankan aspek perbedaan penting antara to live (hidup dengan to exist (ada). “Ada” ataupun “mengada” bagi Freire lebih dari sekedar hidup, maka berada atau bereksistensi (mengada) berarti tidak hanya di dalam dunia, tetapi juga bersama dunia dalam berkomunikasi. Jadi, seseorang hanya dapat bereksistensi dalam hubungannya dengan orang lain yang juga bereksistensi.13
c.    Eksistensi manusia adalah tugas praksis. Dengan demikian, bereksistensi bagi manusia merupakan tugas praksis. Menurut Adolfo Sanchez Vasque dalam bukunya The Philosophy of Praxis, (1978) ditegaskan, bahwa praksis adalah konsep filsafat tentang aktifitas manusia. Oleh karena itu, bereksistensi yang sejati harus sejalan dengan tindakan sejati manusia. Sebagaimana sudah kita simak, bahwa tindakan sejati manusia adalah kesatuan dialektis antara teori dan praktek, refleksi, dan aksi.14
Yang perlu digarisbawahi dari ketiga filsafat Freire di atas adalah proyek besar memanusiakan manusia “humanisasi” yang pada pemahaman dasarnya adalah apabila manusia tidak beribadah kepada Tuhannya, tidak berakhlak dan selalu beradaptasi adalah diidentikkan dengan binatang. Proses humanisasi ini membutuhkan waktu dan pendekatan yang matang dan strategi.
Humanisasi secara aksiologi adalah masalah utama manusia. Berkaitan dengan manusia sempurna dan misi suci manusia sebagai khalifah di muka bumi ini, manusia sempurna adalah manusia sebagai subjek atau dalam terminologi Freire adalah “manusia utuh”. Manusia utuh adalah manusia sebagai subjek. Sebaliknya, manusia yang hanya beradaptasi saja adalah posisi manusia sebagai objek, karena adaptasi merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh. Seseorang hanya beradaptasi, tidak akan mampu mengubah dunia. Menyesuaikan diri (adaptasi) adalah khas binatang, yang jika ada pada manusia, maka telah terjadi gejala dehumanisasi. Itulah sebabnya, dalam rangka humanisasi, manusia harus menjadi subjek. Menjadi subjek dalam hubungannya dengan dunia adalah “memberi nama” (to name). To name adalah to act. Dengan to act, berarti manusia memberi arti temporal terhadap ruang geografis dengan menciptakan kebudayaan.15
Dapat dipertegas, hal di atas merupakan representasi logis yang digali dari isi tujuan pendidikan Islam, berkaitan dengan misi suci manusia sebagai khalifah di bumi. Dalam dataran idealis manusia setelah melalui proses humanisasi dalam pendidikan, mampu menjadi subjek yang mewarnai dunia, berkreasi dan mengatur kehidupan secara arif dan bijaksana.
Oleh karena tujuan pendidikan Islam adalah menghendaki sebuah proses humanisasi. Oleh karena itu, dalam proses pendidikannya harus menggunakan pendekatan yang humanis (pendekatan yang manusiawi). Demokrasi sebagaimana telah dipaparkan dalam bab tiga, merupakan sebuah sistem yang baik dan manusiawi (humanis), yang di dalamnya memperhatikan manusia dari berbagai aspek dan memperlakukan manusia dengan baik dan bebas.
Pendidikan yang humanistis dalam prosesnya, memperlakukan manusia secara adil dan memberikan kebebasan untuk berkehendak dan berpendapat. Jika memang pendidikan Islam dalam dataran riil menghendaki terwujudnya tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, maka pendekatan demokratislah yang sesuai dalam merealisasikan tujuan pendidikan Islam dalam wujud yang nyata.
Dalam perspektif Islam, sebagai acuan konsep pendidikan Islam, humanisasi sangat ditekankan dan telah mendapatkan legitimasi dari Allah. Manusia sebagai hamba dalam kedudukannya di bawah transendensi Tuhan, manusia itu hamba Tuhan, tidak memiliki harga dengan sendirinya, tetapi manusia itu lebih berbahagia karena adanya deklarasi yang diberikan oleh Tuhan yang rahman dan rahim secara sepihak.16 Konversi semacam itu memberikan stabilitas dan menetapkan status yuridis bagi setiap orang. Deklarasi tersebut digandakan dan disempurnakan dengan ayat al-Qur'an.
Prinsip-prinsip yang terdapat dalam al-Qur'an tentang keadilan, kejujuran dan solidaritas kemanusiaan menimbulkan kewajiban bagi tiap anggota masyarakat Islam, orang perorangan, prinsip-prinsip tersebut menimbulkan suatu iklim hormat menghormati dan juga menjaga yang timbal balik, yang merupakan praktek peradaban yang berdasarkan keagamaan.17
Selain prinsip-prinsip keadilan tersebut, prinsip persamaan menetapkan konsepsi manusia dan oleh karena itu merupakan soko guru yang mendasari konstruksi sistem sosial. Dari segi metafisik, manusia itu pada pokoknya sama, karena semuanya adalah hamba Tuhan. Hal ini terformulasi dalam sebuah tujuan pendidikan Islam yang dirumuskan oleh Abdul Fattah Jalal, bahwa tujuan umum pendidikan dan pengajaran dalam Islam adalah menjadikan seluruh manusia sebagai abdi atau hamba Allah SWT.18 Rumusan tujuan pendidikan tersebut adalah pengakuan atas prinsip persamaan, bahwa tiada lain tujuan pendidikan Islam adalah untuk memproyeksikan manusia sama sebagai hamba Allah SWT, apapun golongan, ras, dan suku bangsanya.
Dari pemaparan tentang humanisasi di atas, baik dari perspektif Islam maupun filsafat Freire, penulis menegaskan pada intinya tujuan Islam memiliki cita-cita luhur, yaitu upaya untuk merealisasikan proyek humanisasi, supaya manusia menjadi manusia utuh dan pada akhirnya mencurahkan segala kemampuannya untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Dan demokrasi lahir adalah untuk memperjuangkan hak-hak manusia (kemanusiaan) dari penindasan, kediktatoran, dan ketidakadilan, oleh karena humanisasi adalah sebuah nilai yang merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, maka dapat ditarik benang merah, dalam rumusan tujuan pendidikan Islam terdapat nilai-nilai kemanusiaan.
3.    Perspektif Pengembangan Potensi
Pertanyaan awal yang diajukan untuk mengawali pembahasan ini, apakah hubungan pengembangan potensi dengan demokrasi? Pembahasan dalam hal ini merupakan jawaban teoritis dari pertanyaan di atas, sehingga akan mengalami titik temu yang signifikan, dan akan terlihat secara objektif akan keberadaan nilai demokrasi dalam tujuan pendidikan Islam. Dalam hal ini penulis akan mengedepankan konsep kebebasan sebagai salah satu pendekatan dalam pengembangan potensi.
Pemberdayaan sifat dan potensi insani pada hakikatnya adalah merupakan pengembangan self merupakan proses kreatif.19 Dalam proses tersebut manusia memainkan peranan aktif, tidak hanya melakukan proses penyesuaian diri sebagaimana disebutkan dalam pembahasan sebelumnya (perspektif humanisasi), akan tetapi lebih dari itu (adaptasi), yaitu selalu melakukan aksi dan reaksi dengan tujuan yang jelas (kiprah konstribusi).
Sebelum panjang lebar membahas tentang pengembangan potensi kaitannya dengan nilai demokrasi, penulis akan membahas terlebih dahulu konsep potensi menurut Islam. Potensi-potensi manusia menurut pandangan Islam tersimpulkan pada al-Asma al-Husna, yaitu sifat-sifat Allah yang berjumlah 99.20 Menurut filosof-filosof Islam, sifat-sifat Allah tersebut yang berjumlah 99 merupakan potensi-potensi manusia yang harus dikembangkan dengan wajar dan sempurna, yang pada akhirnya mencapai derajat yang tinggi (waly), yaitu yang mengaktualisasikan segala potensi yang dikaruniakan Tuhan kepadanya.21
Harun Nasution mencoba membagi alat-alat potensi manusia dengan berbagai kemampuannya yang sangat umum, sebagai berikut:
Pertama, jiwa tumbuh-tumbuhan (al-Nafs al-Nabatiyah), yang mempunyai tiga daya, yaitu daya makan, daya tumbuh, dan daya membiak.
Kedua, jiwa binatang (al-Nafs al-Hayawaniyah) yang memiliki dua daya, yaitu daya penggerak (al-Muharrikah) dan daya mencerap (al-Mudrikah).
Ketiga, jiwa manusia (al-Nafs al-Insaniyah) yang hanya mempunyai daya berpikir yang disebut akal.22
Dari ketiga klasifikasi alat potensi di atas pendidikan dengan seperangkat metodologi dan prakteknya harus mampu menetralisir, menyikapi dan mengembangkan, dengan pengertian teori dalam praktek pendidikan sangat dipengaruhi oleh pandangan fitrah manusia. Jika manusia dipandang sebagai makhluk dengan pembawaan dasar jahat, maka pendidikan berarti upaya menekan atau mengkikis unsur-unsur jahat. Teori yang menganggap sifat dasar manusia dalam netral, Tabula Rasa memberikan perhatian yang dasar terutama kepada pengajaran karena anak tidak mempunyai sifat baik atau jahat pada asalnya, maka pembelajaran yang efektif akan menghasilkan personalitas yang diinginkan. Dan jika manusia dipandang sebagai makhluk yang mula-mula membawa sifat yang baik (fitrah), maka pendidikan berarti upaya mengembangkan elemen-elemen (baik) yang dibawa sejak lahir.23
Merujuk pada kenyataan di atas, maka pengembangan potensi manusia harus diarahkan kepada bimbingan secara bertahap pula. Selain itu, pengembangan potensi manusia tidak mungkin dilakukan dengan paksa.24 Chabib Thoha menambahkan bahwa kebebasan marupakan syarat mutlak untuk pengembangan potensi fitrah manusia serta kemampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan. Iqbal dalam sebuah sajaknya tentang kebebasan, menggambarkan bahwa kehidupan ibarat seperti aliran air, dan pendidikan adalah proses mengalirkan debit air yang bersumber dari kesadaran individualisme manusia sendiri. Sajak tersebut berbunyi:
Bila dikekang ketat dan diperbudak,
Hidup itu menciut mengerdil
Bagaikan selokan kecil
Bila dilepas bebas
Ia meriak menggejolok
Bagaikan gelombang dahsyat samudera luas. 25
Kebebasan bukan sesuatu yang sederhana, kebebasan mengandung resiko yang besar. Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan tentang batasan-batasan kebebasan. Menurut Abdul Azizi El Qussy, dalam hal tertentu peserta didik jangan sampai diberikan sebuah kebebasan, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
a.   Dalam keadaan yang membahayakan hidupnya atau keselamatan anak.
b.   Hal-hal yang terlarang bagi anak dan tidak nampak alasan-alasan yang lahir.
c.    Permainan yang menyenangkan bagi anak, tetapi menyebabkan rusuhnya suasana yang mengganggu ketenangan umum.
d.   Hal-hal yang prinsipil, seperti mengenai pemilihan agama pemilihan nilai hidup yang bersifat universal dan absolut, kecuali anak telah memiliki wawasan yang cukup.26
Zakiyah Daradjat menambahkah berkaitan dengan batasan kebebasan dalam pendidikan. Kehidupan dalam pendidikan, di manapun pendidikan itu berlangsung harus terikat pada aturan-aturan tertentu dalam arti yang positif. Pada prinsipnya pengertian kebebasan mengandung tiga aspek: “Self – Direction Self – Discipline and Self – Control”. Hal tersebut dengan batasan kebebasan Fulton Sheen yang merumuskan kebebasan menjadi tiga kategori “There is the freedom to do only what you want to do; there is freedom to do only what you must do; there is freedom to do what you ought to do”. Kebebasan menurut kategori pertama disebutkan anarkhi, yang kedua totalitarinisme dan yang ketiga democracy. Kategori yang ketiga inilah yang dipersamakan dengan self direction, self discipline dan self control.27
Oleh karena pentingnya sebuah kebebasan dalam pendidikan agar potrensi-potensi dasar manusia dapat berkembang, di bawah ini akan dipertegas lagi sebuah hakikat dan kebebasan yang dapat mengembangkan potensi-potensi dasar manusia, karena kesalahan mengartikan kebebasan dapat menjadi sebab dari kebanyakan bencana sosial termasuk pendidikan.
Chabib Thoha telah membagi pola asuh dalam pendidikan menjadi tiga pola asuh:28
a.   Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturan-aturan yang ketat, sering kali memaksa anak untuk berprilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan bertindak atas nama dirinya sendiri dibatasi. Tanda kedua dari pola asuh otoriter ditandai dengan penggunaan hukuman yang keras, lebih banyak menggunakan hukuman badan. Anak juga diatur segala keperluannya dengan aturan yang ketat dan masih tetap diberlakukan meskipun sudah menginjak usia dewasa.
b.   Pola asuh demokrasi
Pola asuh demokrasi ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberikan kesempatan untuk selalu tidak bergantung kepada orang tua. Orang tua memberikan kebebasan untuk memilih hal yang bagi dirinya, anak didengarkan pembicaraannya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu.
c.    Pola asuh permisive
Pola asuh permisive ditandai dengan cara orang tua mendidik anak secara bebas. Anak dianggap sebagai orang dewasa/ muda. Ia diberikan kelonggaran untuk melakukan apa saja yang dikehendaki. Kontrol orang tua terhadap anak yang sangat lemah, tidak akan memberikan bimbingan yang cukup berarti untuk anaknya. Semua yang dilakukan anak adalah benar dan tidak perlu mendapatkan bimbingan atau arahan.
Dari pemaparan tentang kebebasan di atas jelas bahwa, pengembangan potensi manusia yang dikehendaki oleh tujuan pendidikan Islam sangat mutlak dibutuhkan. Tanpa kebebasan, seluruh potensi tidak akan berkembang secara maksimal, dan otomatis manusia sempurna dari berbagai aspek tidak akan pernah terwujud.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan kebebasan adalah yang sesuai dengan demokrasi yang dipaparkan panjang lebar di atas. Maka kenyataan yang ada, apabila pendidikan Islam dioperasionalkan tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi (kebebasan), maka tujuan yang telah dirumuskan tidak akan tercapai atau paling tidak, tidak menghasilkan hasil yang maksimal. Dan dari perspektif ini (pengembangan potensi) setelah mengalami analisa yang terlihat dengan nyata dan objektif adanya nilai kebebasan dalam rumusan tujuan pendidikan Islam.


Pendekatan dan Metode Pengembangan Potensi dalam Merealisasikan
Tujuan Pendidikan Islam


Tujuan Pendidikan Islam
 
Pembinaan Individu
 
Pembinaan Materiil
 
Pembinaan Profesi
 
Pengembangan Potensi
 
·         Pendekatan
·         Metode
 
Demokrasi (kebebasan)
 
 






















Catatan : Betapa pentingnya pendekatan dan metode untuk mengembangkan potensi. Penulis menawarkan pendekatan dan metode yang demokratis untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh manusia.
B.   Nilai Empiris Rasional Demokrasi dalam Tujuan Pendidikan Islam
Pembahasan dalam subbab empat ini, akan mencoba memproyeksikan ke dalam data-data (isi) yang secara langsung dan jelas tertulis dari berbagai tujuan pendidikan Islam yang telah dirumuskan. Dalam hal ini penulis akan membatasi pembahasan dan mengambil pokok esensial dari kandungan tujuan pendidikan Islam sebagaimana yang telah diklasifikasikan dalam pembahasan di muka, dan mencoba memaparkan dalam perspektif demokrasi.
Dalam pembahasan yang akan dijabarkan, terlebih dahulu penulis akan memaparkan realitas nilai yang dimiliki oleh demokrasi dan mencoba untuk menemukan titik-titik yang signifikan, sehingga akan tampak dengan jelas akan nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam rumusan tujuan pendidikan Islam.
1.    Perspektif Transfer Nilai Religius
Memberikan nilai-nilai religius atau transfer sebuah nilai religius tidak selalu dengan komunikasi dialektika. Penghayatan sikap individu dan kolektif yang tampak dalam sebuah kebudayaan merupakan transfer religius yang efektif dan representatif. Dengan catatan nilai-nilai yang ditranfer melalui sikap tersebut mekandung nilai-nilai substansial religius.
Dalam konteks demokrasi, demokrasi tidak didialekkan secara teoritas belaka, tetapi dipraktekkan dalam sebuah sistem riil dalam berbagai bidang. Oleh karena demokrasi sesuai ajaran agama yang menjunjung tinggi sebuah kebebasan, keadilan dan persamaan (inti demokrasi), maka praktek yang ditimbulkan oleh demokrasi secara langsung merupakan manifestasi ajaran agama. Dengan logika sederhana apabila ajaran agama ditransfer melalui teori-teori dengan berbagai metode (ceramah, diskusi, dan peragaan) yang disengaja (direncanakan dan dievaluasi). Demokrasi mentransfer nilai-nilai agama dengan sebuah praktek yang tidak direncanakan untuk sebuah transfer nilai agama. Tetapi apabila diperhatikan dan dihayati, dalam praktek sebetulnya demokrasi mengajarkan nilai-nilai agama. Keadilan, persamaan dan kebebasan merupakan tiga nilai agama, sebagaimana dipaparkan dalam bab tiga dengan ayat-ayat dan hadits yang menjelaskan perintah berbuat adil, menghormati sebagian manifestasi persamaan, dan kebebasan.
Dalam pendekatan antropologi, kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, memberikan kebebasan untuk berpikir, bersuara dan bertindak, merupakan sistem nilai yang patut diambil contoh, juga dalam kehidupan politik yang juga memberikan kebebasan pada individu maupun kelompok untuk memberikan hak suaranya tanpa batasan dalam koridor demokrasi, serta terjalin suatu iklim hormat menghormati dan menghargai sebuah keragaman, merupakan tata nilai yang patut untuk dianut dan dilestarikan. Budaya mencontoh dan menganut tata nilai yang dibangun oleh kehidupan sosial berbangsa dan bernegara di atas merupakan penerimaan secara sadar atas transfer yang dianut oleh tata nilai masyarakat atau warga negara di atas, dan tata nilai di atas adalah tidak lain merupakan ajaran agama yang direalisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari pola pikir di atas, demokrasi secara tidak langsung mempunyai nilai transformatif nilai-nilai agama yang berbentuk nilai keadilan, persamaan dan kebebasan. Pemaparan demokrasi di atas membawa individu atau masyarakat yang baik, agar individu dalam komunikasi luas dapat diterima dan berkiprah di dalamnya. Perkenalan individu dan masyarakat yang dibawa oleh demokrasi tersebut merupakan nilai tersendiri, agar individu dalam proses akulturasinya mendapatkan tempat yang baik. Karena individu tersebut dalam interaksinya membawa dan merealisasikan nilai-nilai demokrasi.
Rumusan tujuan pendidikan Islam sebagaimana tersimpul dalam klasifikasi di muka menghendaki akan sebuah transfer nilai-nilai agama. Pengenalan individu pada lingkungan di mana ia hidup, agar individu berpegang pada nilai-nilai tersebut dan mengabdi sepenuhnya kepada Allah serta diterima oleh masyarakat, merupakan sebuah rumusan tujuan pendidikan Islam yang ideal dan perlu direalisasikan.
Dari berbagai pemaparan di atas, terdapat titik temu yang sangat signifikan, dari sisi rumusan tujuan pendidikan Islam yang menghendaki transfer nilai-nilai religius dan pengenalan individu pada lingkungan dan sisi demokrasi yang memiliki nilai transformatif nilai-nilai agama yang tergambarkan melalui tata nilai budaya, dan memberikan gambaran tentang sebuah interaksi ideal pada masyarakat. Jika demokrasi dijadikan sebagai perspektif, maka dari titik temu di atas jelaslah bahwa dalam kandungan rumusan tujuan pendidikan Islam terdapat nilai-nilai demokrasi, yaitu nilai ilmu pengetahuan dan keagamaan,29 merupakan nilai dalam pendekatan proses budaya yang dikelompokkan oleh Abdullah Sigit.
2.    Perspektif Moralitas
Tiga hal yang harus dipahami sebagai dasar dalam pembahasan ini, pertama, “kebebasan kemauan adalah dasar moral (menurut Kant), karena hal ini merupakan tapak tempat tegaknya tanggung jawab.”30 Tetapi hal tersebut tidak dapat diuniversalkan sebagai komitmen yang dimiliki oleh setiap individu. Tidak sedikit kasus, ketika individu diberikan kebebasan akan menjadi tidak bermoral. Dengan kebebasan berkehendak, individu akan mandiri tidak tergantung dengan individu lain. Dari sinilah terbangun karakteristik kemandirian, tanggung jawab terhadap diri sendiri dan sesama. Kedua, pendidikan moral sebagai pendidikan keadilan. Dalam arti keutamaan moral lebih berhubungan dengan praktis dari pada teori. Maksudnya keutamaan moral dihasilkan oleh pelaksanaan tingkah laku moral itu sendiri, agar seorang menjadi adil, jujur, menghormati dan tanggung jawab,31 Ketiga, demokrasi sendiri itu merupakan sistem atau nilai moralitas yang menjunjung tinggi moral, meluruskan sebuah sistem yang tidak manusiawi, otoriter, korup memperlakukan keadilan, memelihara atas persamaan dan kebebasan.
Dari tiga gambaran tersebut diatas dapat dipahami, bahwa demokrasi adalah sebuah konsep moralitas, membentuk individu, masyarakat dan sistem yang bermoral.
Rumusan tujuan pendidikan Islam dalam klasifikasi di muka adalah menghendakinya suatu terminologi untuk meligitimasi sikap dan tindakan individu maupun sebuah komunitas. Dari pemahaman demokrasi yang sarat dengan nilai-nilai di atas, dan tujuan pendidikan Islam yang merupakan kesatuan yang bertalian. Dan dari pemahaman komprehensif di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa tujuan pendidikan Islam memiliki nilai demokrasi (moralitas).
3.    Perspektif Patriotisme
Dengan paradigma demokrasi tentang konsepnya dalam pembangunan bangsa dan negara, sikap ideal individu sebagai warga negara sistem pemerintah yang revaratif dan menjamin hak-hak warga negaranya, merupakan nilai konstributif demokrasi dalam membangun bangsa dan negara, dan nilai kontribusi tersebut berada dalam bingkai patriotisme.
Tujuan pendidikan Islam yang menghendaki kepada terbentuknya jiwa patriotisme (cinta tanah air) sebagaimana klasifikasi di muka, agar peserta didik mampu memberikan konstribusi positif dalam upaya pembangunan bangsa dan negara, adalah sebuah rumusan tujuan pendidikan yang tidak bisa dipungkiri lagi mengandung nilai demokrasi (patriotisme).
4.    Perspektif Legitimasi Potensi
Secara tegas sejumlah tujuan pendidikan Islam merumuskan tentang konsep potensi, seperti rumusan-rumusan tujuan pendidikan Islam An-Nahlawi dan Ali Ashraf di muka, ditambah dengan rumusan tujuan pendidikan Islam Chabib Thoha, bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk mengembangkan potensi kreatif peserta didik agar menjadi manusia yang baik, menurut pandangan manusia dan Tuhan Yang Maha Esa.32
Di muka telah banyak membahas tentang konsep potensi dan pengembangannya. Bila dikaji secara tidak langsung menyentuh aspek potensi manusia dalam berpikir, bertindak dan berkreasi, menjamah secara totalitas potensi-potensi yang ada dalam manusia baik jasmani, rohani, dan intelektual.
Dari sudut pandang antropologis, demokrasi adalah sistem nilai yang dianut dan diciptakan oleh manusia, sebagai refleksi kegelisahan manusia akan sistem yang baik, ideal, menjamin kebebasan, keadilan, dan terealisasinya hak-hak rakyat. Persoalan berpikir adalah persoalan potensi, yaitu potensi intelektual. Dengan potensi intelektual individu atau sebuah komunitas mampu berpikir untuk sebuah pembaharuan-pembaharuan, sehingga dari potensi intelektual inilah muncul sebuah konsep demokrasi. Realisasi konsep demokrasi tidak akan terwujud dengan potensi intelektual semata. Dengan potensi jasmani, alam ideal yang terkandung dalam pemikiran individu dan kolektif akan terwujud. Potensi rohani dalam merealisasikan konsep demokrasi akan tampak positif, karena individu-individu yang ada di dalamnya berpikir dan bersikap serta berpegang teguh pada nilai-nilai religius.
Pemikiran di atas merupakan landasan rasional atas pengakuan fungsional potensi dalam demokrasi. Demokrasi tidak akan terealisasi tanpa sirkulasi potensi-potensi manusia. Rumusan tujuan pendidikan Islam dalam konteks pembahasan ini, juga mengakui atas konsep potensi (legitimasi). Dengan mengarahkan pengembangan potensi, merupakan nilai tersendiri yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam.
5.    Perspektif Wawasan Modern
Demokrasi lahir bersama fungsinya untuk mendongkrak kediktatoran. Sistem yang tradisional yang tidak menjamin hak-hak warga negara, sistem tradisional merupakan sistem dari budaya-budaya yang kurang sesuai dengan alam modernitas. Berwawasan modern dapat ditandai dengan wawasan yang maju, berkembang, komprehensif, fungsional dan efektif (perubahan paradigma kehidupan). Demokrasi mengedepankan hal-hal tersebut, disertai dengan kebebasan untuk berpikir dan berkehendak. Pemaparan tersebut merupakan nilai tersendiri dalam tubuh demokrasi.
Tujuan pendidikan Islam yang berkehendak merealisasikan wawasan modern agar melekat terhadap peserta didik, membuka peluang terhadap individu untuk modernitas yang bersifat positif. Dari tujuan inilah peserta didik akan memiliki semangat keilmuan yang tinggi, berwawasan modern dan berminat untuk mengkaji dan menguasai ilmu dan keahlian diberbagai bidang. Dari perspektif inilah, keeratan sebuah nilai demokrasi melekat dalam subtansi rumusan tujuan pendidikan Islam.
Perubahan Paradigma Masyarakat
Dalam Proses Modernitas33


         Dari kelima perspektif di atas, terlihat sebuah gambaran yang signifikan akan keeratan nilai-nilai demokrasi dalam rumusan-rumusan tujuan pendidikan Islam. Demokrasi dengan transfer nilai-nilai religius sangat mengedepankan moralitas, mengakui sebuah konsep potensi dan mengarahkan individu untuk berjiwa patriotisme serta berwawasan modern. Nilai-nilai luhur yang terpatri, terealisasikan dalam prakteknya. Nilai-nilai tersebut terkandung dalam substansi rumusan tujuan pendidikan Islam yaitu mengenai pemahaman nilai-nilai agama, perkenalan pada lingkungan sosial, memupuk rasa cinta tanah air, menumbuhkan semangat ilmiah, mengabdikan ajaran dan kebudayaan Islam serta penguasaan ketrampilan-ketrampilan di berbagai aspek.



1Jalaluddin,Teologi Pendidikan,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 38.

2Ibid. hal. 39.

3Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal. 41.
4Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur'an, Alih Bahasa H. M. Arifin, dan Zainuddin, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hal. 138.

5Ahmad Tafsir, Op. Cit, hal. 43.
6Loc. Cit.

7Ibid, hal. 44.
8Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal. 8.

9Ibid. hal. 9.
10Fadhil Al-Djamily, Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam, Alih bahasa, Muzayin Arifin, Golden Terayon, Jakarta, 1993, hal. 16.

11Abdur Rahman Shalih Abdullah. Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut Al-Qur’an serta Implikasinya, Diponegoro, Bandung, 1991, hal. 93.
12Budy Munawar Rachman, Islam Pluralis, Paramadina, Jakarta, 2001, hal. 371.

13Ibid., hal. 371-372.

14Ibid, hal. 372.
15Ibid, hal. 373.
16Marcela Boisard, Humanisem Del ‘Islam, Alih Bahasa, Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Bulan Bintang, hal. 110-111.

17Ibid, hal. 108.

18Abdul Fattah Jalal, Minal Ushulut Tarbiyah fil Islam, Alih Bahasa, Herry Noer Ali, Diponegoro, Bandung, hal. 119.
19Chabib Thoha, Op. Cit., hal. 33.

20Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Pustaka al-Husna, Jakarta, 1995. hal. 263.
21Hasan Langgulung, Kreativitas dan Pendidikan Islam: Suatu Kajian Psikologi dan Falsafah, al-Husna, Jakarta, 1991, hal. 363.

22Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hal. 14-15.

23Lihat Abdur Rahman Shaleh Abullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut al-Qur'an serta Implementasinya, Op. Cit., hal. 84.
24Jalaluddin, Op. Cit., hal. 38.

25Chabib Thoha, Op. Cit., hal. 34.

26Ibid., hal. 112.
27Zakariyah Daradjat, et.al, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hal. 123-124.

28Chabib Thoha, Op.Cit., hal. 111-112.
29Chabib Thoha, Op.Cit., hal. 64.

30Hasan Langgulung, Kreativitas dan Pendidikan Islam, Op. Cit., hal 527.

31F. Budi Hardiman, Pendidikan Kegelisahan Sepanjang Zaman, Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal. 66.
32Chabib Thoha, Op. Cit., hal. 59.
33Jujun S. Suriasumanti, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 289.

0 Response to "TELAAH FILOSOFIS TENTANG NILAI-NILAI DEMOKRASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM"

Post a Comment