TELAAH FILOSOFIS TENTANG
NILAI-NILAI DEMOKRASI
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
bahwa secara filosofis akan dibahas pendidikan Islam dari sudut pandang demokrasi yang lebih terkonsentrasi pada aspek tujuan pendidikan Islam secara substansial mengandung nilai-nilai substansif demokrasi. Dari kerangka pemikiran tersebut, akan menggeledah secara filosofis dan berusaha menampakkan nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam rumusan tujuan pendidikan Islam.
Untuk menemukan
nilai-nilai demokrasi dalam rumusan tujuan pendidikan Islam, penulis akan
mencoba mengedepankan delapan perspektif nilai-nilai demokrasi tersebut, yaitu
positifistik jeneralistik, humanisasi, pengembangan potensi, transfer nilai
religius, moralitas, legitimasi potensi, patriotisme, dan wawasan modern.
Sebelum dipaparkan
kedelapan perspektif di atas kaitannya dengan pembahasan ini, terlebih dahulu
akan disimpulkan tujuan-tujuan pendidikan Islam yang termuat dalam bab dua. Hal
tersebut sangat penting sekali, karena tujuan-tujuan pendidikan Islam tersebut
merupakan obyek yang akan dianalisis.
Dari keseluruhan
tujuan pendidikan Islam tersebut menunjukkan bahwa tulus dan ikhlas, berakhlak
mulia, mengabdikan diri terhadap lingkungan di mana ia tinggal, bangsa dan
agama, menguasai ketrampilan-ketrampilan, memiliki semangat ilmiah yang tinggi
dan mengabadikan ajaran dan kebudayaan Islam. Tujuan-tujuan pendidikan Islam
tersebut seluruhnya bermuara pada keseimbangan potensi, dunia dan akhirat, yang
akhirnya sebagai kata kunci dari kesimpulan tersebut ialah, pendidikan Islam
menghendaki terbentuknya insan kamil. Untuk lebih jelasnya berikut klasifikasi
tujuan pendidikan Islam.
Klasifikasi Tujuan
Pendidikan Islam
Catatan: Klasifikasi di atas diambil dari pokok-pokok esensial berbagai
tujuan-tujuan pendidikan Islam yang telah dirumuskan di muka.
Pada
hakikatnya klasifikasi di atas, merupakan kata kunci yang paling tepat sebagai
kesimpulan akhir adalah pendidikan Islam setelah dilakukan proses pendidikan
baik di sekolah, keluarga, maupun masyarakat menghendaki pencapaian pada
peserta didik, yaitu “menjadi manusia yang paripurna” baik di mata
peserta didik sendiri sebagai pelaku, di mata khaliqnya dan di mata masyarakat
pada umumnya.
Harus betul-betul
dipahami bahwa untuk menjadi manusia sempurna, pendidikan tidak mungkin
mensosialisasikan secara langsung dan dalam waktu dekat bisa menjadi manusia
yang sempurna. Untuk memaparkan hal ini penulis akan mencoba memaparkannya
dengan sebuah pendekatan kronologis.
Yang dimaksud
dengan pendekatan kronologis adalah pendekatan yang didasarkan atas proses
perkembangan melalui proses pentahapan.1
Melalui pendekatan ini manusia dipandang sebagai makhluk evolutif, disadari
bahwa manusia bukanlah makhluk siap jadi, yakni setelah lahir langsung menjadi
dewasa.
Secara fisik,
kejadian manusia diawali dari proses pembuahan (pertemuan sel telur dengan
sperma), dan kemudian berkembang menjadi janin (QS. 23 : 12 – 14), lalu
berkembang menjadi anak-anak, remaja, dewasa hingga mencapai lanjut usia (QS.
40 : 67), setiap tahap perkembangan ditandai dengan ciri khas (karakteristik)
tertentu pada kemampuan yang dimilikinya. Jadi manusia memiliki periodisasi
dalam perkembangan dan kemampuannya.2
Sebelum dianalisis
panjang lebar, sebetulnya apa yang dimaksud dengan manusia sempurna itu adalah
yang mengkaver seluruh isi (content) dari rumusan-rumusan tujuan
pendidikan Islam.
Manusia
sempurna menurut Islam tidak mungkin di luar hakekatnya. Berikut ini merupakan
ciri-ciri pokok manusia sempurna menurut Islam:
Pertama, jasmani yang sehat serta kuat
dan berketrampilan.3
Orang Islam perlu
memiliki jasmani yang sehat dan kuat, terutama yang berhubungan dengan
keperluan penyiaran dan pembelaan serta penegakan ajaran Islam. Dilihat dari
sudut ini, maka Islam mengidealkan muslim yang sehat serta kuat jasmaninya. Hal
ini erat kaitannya dengan hakekat diturunkannya manusia di muka bumi ini, yaitu
menjadi khalifah yang sanggup mengatur ketertiban alam.
Khalifah telah
berperan sebagai pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, dan
itu semua harus dicapai dengan fisik yang kuat. Kekuatan fisik ditunjukkan oleh
tafsiran Imam Nawawi dalam kata “al-Qawy” sebagai kekuatan iman,
penafsiran Imam Nawawi ini disandarkan pada hadits Nabi:
المؤمن القوى خير واحب
الى الله من المؤمن الضعيف
Artinya : Orang mukmin yang kuat lebih baik dan
lebih disayangi oleh Allah ketimbang orang mukmin yang lemah.4
Tetapi
perlu diingat, bahwa persoalan khalifah dalam perannya akan membawa misi yang
sangat besar, dan itu semua membutuhkan kekuatan-kekuatan yang besar pula,
bukan hanya kekuatan iman semata tetapi lebih dari itu kekuatan dari aspek
fisikpun menjadi sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Dari sekelumit penjelasan
di atas, apabila kekuatan fisik merupakan bagian pokok dari tujuan pendidikan
Islam, maka pendidikan harus mempunyai tujuan ke arah ketrampilan-ketrampilan
fisik yang dianggap perlu bagi teguhnya keperkasaan tubuh yang kuat.
Kedua, cerdas dan pandai.5
Islam
menghendaki pemeluknya cerdas dan pandai, itulah ciri akal yang berkembang
secara sempurna. Cerdas ditandai oleh adanya kemampuan menyelesaikan masalah
dengan cepat dan tepat, sedangkan pandai ditandai oleh banyaknya pengetahuan.
Kecerdasan dan kepandaian itu dapat ditilik melalui indikator-indikator sebagai
berikut:
1.
Memiliki sains yang banyak dan berkualitas tinggi. Sains adalah merupakan
pengetahuan manusia yang merupakan produk indera dan akal, dengan sains seorang
muslim akan kelihatan kualitas akalnya. Dari pengoptimalan kecerdasan dan kepandaian
inilah Islam akan berkembang tidak hanya pada dimensi agama semata, tetapi
lebih dari itu, menguasai segala bentuk ilmu pengetahuan umum dan dapat
menguasai peradaban modern.
2. Mampu memahami dan menghasilkan filsafat.
Berbeda dari sains, filsafat adalah jenis pengetahuan yang semata-mata akliyah.
Dengan ini, orang Islam akan mampu memecahkan masalah-masalah filosofis.6
Sedemikian
pentingnya sebuah kecerdasan dan kepandaian yang harus dimiliki oleh peserta
didik kaitannya dengan kontek kesempurnaan manusia, oleh karena itu pendidikan
Islampun harus mengarahkan peserta didiknya ke arah kecerdasan dan kepandaian.
Ketiga, rohani yang berkualitas
tinggi.7
Rohani yang
dimaksud dalam hal ini adalah aspek manusia selain jasmani. Perihal rohani itu
samar, ruwet dan belum jelas batasannya. Manusia belum (atau tidak akan)
memiliki cukup pengetahuan untuk mengetahui hakikatnya. Kebanyakan buku tasawuf
dan pendidikan Islam menyebutkan qalb (kalbu) saja.
Kalbu
yang berkualitas tinggi itu adalah kalbu yang penuh berisi iman dan taqwa
kepada Allah. Dan ketinggian kualitas kalbu ini, peserta didik akan berpegang
pada ajaran dan aturan-aturan Tuhannya, mentaati seluruh perintah dan menjauhi
segala yang dilarang-Nya. Di luar hubungan peserta didik dengan Tuhannya, dalam
hubungan manusiapun peserta didik dalam setiap langkah dan prilakunya tetap
berpegang pada aturan-aturan agama, karena didasari dengan kualitas kalbu yang
baik, yang penuh dengan iman dan taqwa.
Dari ketiga
indikator manusia sempurna menurut Islam tersebut. Pendidikan Islam harus mampu
merealisasikan dalam wujud yang riil bagi terbentuknya manusia yang sempurna
dengan metodologi dan pendekatan yang sesuai.
Metodologi Islam
dalam melakukan pendidikan adalah dengan melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap
wujud manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun,
baik segi jasmani, intelektual maupun rohani, baik kehidupannya secara fisik
maupun kehidupannya secara mental, dan segala kegiatannya di muka bumi.
Jasmani, intelektual dan rohani merupakan tiga potensi dasar yang tersurat dan
tersirat dalam tujuan pendidikan Islam, yang ketiganya bermuara pada cita-cita
luhur, yaitu pembentukan manusia yang sempurna.
Dari beberapa
tujuan pendidikan Islam di atas, penulis akan mencoba memaparkan dari sudut
pandang demokrasi, dengan mengungkap sejumlah nilai-nilai yang terdapat dalam
tujuan pendidikan Islam, baik nilai-nilai yang tersurat maupun yang tersirat.
Di dalam berbagai
objek terdapat kualitas yang nampaknya hakiki bagi kebanyakan objek tersebut
dan kualitas itu dapat ditangkap oleh panca indra (kualitas skunder).8 sebaliknya di dalam berbagai objek
kualitas objek yang bernilai yang diberikan kepada objek dan yang dimiliki oleh
objek.9
Sejumlah
rumusan tujuan pendidikan Islam terdapat nilai-nilai demokrasi yang tersirat,
dalam arti secara empiris teks tidak dapat tampak. Tetapi meskipun demikian,
rumusan tujuan pendidikan Islam merupakan objek yang bernilai, maka dengan
beberapa pendekatan akan tampaklah nilai-nilai yang dimaksud. Nilai-nilai
tersebut tidak nampak dalam realitas objek (teks) dan dapat dirasionalkan, maka
penulis memberikan istilah dengan nilai metafisik rasional demokrasi dalam
tujuan pendidikan Islam.
Sejumlah rumusan
tujuan pendidikan Islam secara tersurat, terdapat sejumlah nilai-nilai
demokrasi yang nampak dalam realitas objek. Nilai-nilai tersebut tampak secara
empiris dalam realitas objek (teks), maka penulis memberikan istilah sub
pembahasan bab empat ini dengan nilai empiris rasional demokrasi dalam tujuan
pendidikan Islam.
A. Nilai
Metafisik Rasional Demokrasi dalam Tujuan Pendidikan Islam
1. Perspektif
Positivistik Jeneralistik
Sebagai
pemahaman awal yang memang tidak secara tegas tertulis dari berbagai tujuan
pendidikan Islam, secara jeneralis dan asumsi positif, bahwa tujuan pendidikan
Islam adalah sebuah tujuan yang tidak mendikotomi dan berasaskan kebebasan
persamaan dan keadilan, yang merupakan nilai-nilai luhur yang di perjuangkan
dalam idealitas demokrasi.
Pendidikan
Islam sesuai tujuannya, memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia sebagai
masyarakat didik, baik dalam instansi formal maupun instansi non-formal
(sekolah, keluarga maupun masyarakat). Untuk merasakan pendidikan, tidak
membatasi ruang dan waktu, kapanpun dan di manapun pendidikan itu berlangsung
(di sekolah, majlis, masjid, alam terbuka, siang maupun malam), berlaku bagi
siapa saja, laki-laki maupun perempuan, anak-anak, dewasa dan orang tua, lintas
ras, suku bahkan bangsa.
Hal
di atas tentu tidak tersurat secara tertulis dalam teks-teks rumusan tujuan
pendidikan Islam. Pendidikan dalam langkah-langkah operasionalnya harus sesuai
dengan tujuan yang tidak memilih beberapa aspek yang telah disebutkan di atas.
Jika dalam realitas riil pendidikan mendikotomi, membatasi atau memberikan
sekat-sekat, maka menurut hemat penulis pendidikan telah menyimpang dari
tujuannya.
Penulis
memperkuat landasan di atas dari tiga aspek: Pertama dari aspek Islam
sebagai agama di mana mengacu pendidikan Islam, kedua dari aspek manusia
sebagai penganut dan masyarakat didik, ketiga perumus tujuan pendidikan
Islam. Berikut akan dijelaskan tiga aspek tersebut:
a. Islam
adalah agama kebebasan, kemerdekaan, keadilan dan persaudaraan.
Seorang
muslim bebas merdeka bersikap dan bertindak, tetapi tetap dalam landasan iman
dan taqwa. Masyarakat Islam yang benar adalah masyarakat yang adil di mana yang
lemah tidak diperlakukan dhalim dan sewenang-wenang oleh orang yang berkuasa.
Semua orang muslim adalah bersaudara tidak ada perpecahan dan saling
mengungguli dalam Islam menurut pandangan kesukubangsaan, warna kulit, kelompok
atau kekayaan.10
Hal
di atas merupakan ajaran Islam sebagai agama, juga diperkuat dengan
keterangan-keterangan Allah dan Rasul. Sebagaimana terkaver dalam bab tiga
tentang keadilan, persamaan, dan kebebasan. Realitas di atas merupakan
referensi bahwa Islam sebagai Agama menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi,
dan tujuan pendidikan Islam tentunya mengacu pada referensi luhur di atas
(tidak mendikotomi, membatasi, dan membuat sekat-sekat).
b. Manusia memiliki kemampuan berkehendak (free will)
Manusia
memiliki kesadaran berkehendak untuk bersikap dan berbuat, kebebasan
berkehendak inilah yang membuat manusia mampu melakukan seleksi terhadap
elemen-elemen yang akan berinteraksi dengan fitrahnya. Dalam merealisasikan
berbagai fungsi, fitrah dipengaruhi oleh kehendak bebas yang dimiliki manusia.11
c. Perumus tujuan pendidikan Islam
Meskipun
tidak cukup representatif karena terbatasnya referensi, penulis akan berpikir
jeneralis dan menjastifikasi dari sejumlah perumus tujuan pendidikan Islam yang
penulis tampilkan di muka yang dianggap mewakili seluruh pemikir pendidikan
Islam, dalam hal perumusan tujuan pendidikan Islam. Perumus tujuan pendidikan
Islam tanpa diperdebatkan lagi, dalam kerangka berpikirnya sudah tentu mengacu
pada nilai-nilai Agama sebagai standar, dan berwawasan luas, metodologik dan
komprehensif dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam. Atas dasar logika
tersebutlah penulis berpikir, para perumus tujuan pendidikan Islam merancang
tujuan pendidikan Islam sarat dengan nilai-nilai ajaran Islam yang dalam hal
ini (kebebasan, keadilan dan persamaan), serta melihat aspek-aspek kemanusiaan
sebagai objek ontologi dari tujuan pendidikan Islam, baik aspek kemampuan untuk
memilih, berkehendak, mendambakan kebebasan dan keadilan. Dan yang paling
penting adalah secara riil dari rumusan-rumusan tujuan pendidikan Islam, tidak
satupun menggambarkan adanya sekat-sekat dan memihak pada objek tertentu. Dari
realitas tersebut penulis berkeyakinan para perumus tujuan pendidikan Islam tidak
ada yang bersifat parsial dalam merancang tujuan pendidikan Islam.
Dari
tiga aspek di atas yang merupakan fakta, kiranya sangat representatif apabila
berpikir positifistik dan jeneral terhadap
rumusan tujuan pendidikan Islam, bahwa rumusan tujuan pendidikan Islam
berlaku untuk siapa saja, dioperasionalkan di mana saja, dan kapan saja.
Pemaparan tersebut di atas terlihat setelah dilakukan analisis adanya
nilai-nilai demokrasi yang berupa kebebasan, keadilan, dan persamaan.
2. Perspektif
Humanisasi
Perspektif
kedua, melihat dari segi visi dan misi tujuan pendidikan Islam, bahwa tujuan
pendidikan Islam menghendaki terealisasinya proyek besar yaitu humanisasi
atau memanusiakan manusia, yang dalam hal ini penulis akan meminjam beberapa
filsafat Paulo Freire.
a. Manusia
berbeda dengan binatang, presentasi filsafat Paulo Freire ini jika dikaitkan
dalam konteks pembahasan ini jelas bahwa binatang tidak hidup dalam kondisi
statis, tidak berhubungan dengan pencipta-Nya (ta’abud), tidak
memperdulikan nilai etika dalam kehidupannya dan tidak menggunakan kecerdasan
intelektual. Oleh karena itu, pola pendidikan yang harus diberikan kepada
manusia harus dibedakan dengan pola pemeliharaan binatang, agar manusia tampil
lebih humanis.
Manusia bisa
beraktifitas dengan refleksi dan tindakan manusia terarah pada perubahan dunia.
Maka, aktifitas manusia berupa teori dan praktek. Itulah sebabnya manusia tidak
boleh tereduksi menjadi teori semata berupa verbalisme, atau menjadi praktek
semata dalam aktifisme. Bagi Freire, suatu revolusi sejati yakni humanisasi
struktur-struktur manusia harus terlaksana dalam agenda praksis. Bukan
verbalisme atau aktifisme yang pada hakikatnya adalah penindasan.12
b. Beberapa
manusia hanya “hidup” dan tidak berhasil “mengada”. Situasi
penindasan manusia, berarti mereduksi manusia menjadi benda atau binatang.
Dalam konteks inilah, Freire melalui distingsi K. Jaspers menekankan aspek
perbedaan penting antara to live (hidup dengan to exist (ada). “Ada”
ataupun “mengada” bagi Freire lebih dari sekedar hidup, maka berada atau
bereksistensi (mengada) berarti tidak hanya di dalam dunia, tetapi juga bersama
dunia dalam berkomunikasi. Jadi, seseorang hanya dapat bereksistensi dalam
hubungannya dengan orang lain yang juga bereksistensi.13
c. Eksistensi
manusia adalah tugas praksis. Dengan demikian, bereksistensi bagi manusia
merupakan tugas praksis. Menurut Adolfo Sanchez Vasque dalam bukunya The
Philosophy of Praxis, (1978) ditegaskan, bahwa praksis adalah konsep
filsafat tentang aktifitas manusia. Oleh karena itu, bereksistensi yang sejati
harus sejalan dengan tindakan sejati manusia. Sebagaimana sudah kita simak,
bahwa tindakan sejati manusia adalah kesatuan dialektis antara teori dan
praktek, refleksi, dan aksi.14
Yang
perlu digarisbawahi dari ketiga filsafat Freire di atas adalah proyek besar
memanusiakan manusia “humanisasi” yang pada pemahaman dasarnya adalah
apabila manusia tidak beribadah kepada Tuhannya, tidak berakhlak dan selalu
beradaptasi adalah diidentikkan dengan binatang. Proses humanisasi ini
membutuhkan waktu dan pendekatan yang matang dan strategi.
Humanisasi
secara aksiologi adalah masalah utama manusia. Berkaitan dengan manusia
sempurna dan misi suci manusia sebagai khalifah di muka bumi ini, manusia
sempurna adalah manusia sebagai subjek atau dalam terminologi Freire adalah “manusia
utuh”. Manusia utuh adalah manusia sebagai subjek. Sebaliknya, manusia yang
hanya beradaptasi saja adalah posisi manusia sebagai objek, karena adaptasi
merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh. Seseorang hanya beradaptasi,
tidak akan mampu mengubah dunia. Menyesuaikan diri (adaptasi) adalah khas
binatang, yang jika ada pada manusia, maka telah terjadi gejala dehumanisasi.
Itulah sebabnya, dalam rangka humanisasi, manusia harus menjadi subjek. Menjadi
subjek dalam hubungannya dengan dunia adalah “memberi nama” (to name). To
name adalah to act. Dengan to act, berarti manusia memberi
arti temporal terhadap ruang geografis dengan menciptakan kebudayaan.15
Dapat
dipertegas, hal di atas merupakan representasi logis yang digali dari isi
tujuan pendidikan Islam, berkaitan dengan misi suci manusia sebagai khalifah di
bumi. Dalam dataran idealis manusia setelah melalui proses humanisasi dalam
pendidikan, mampu menjadi subjek yang mewarnai dunia, berkreasi dan mengatur
kehidupan secara arif dan bijaksana.
Oleh
karena tujuan pendidikan Islam adalah menghendaki sebuah proses humanisasi.
Oleh karena itu, dalam proses pendidikannya harus menggunakan pendekatan yang
humanis (pendekatan yang manusiawi). Demokrasi sebagaimana telah dipaparkan
dalam bab tiga, merupakan sebuah sistem yang baik dan manusiawi (humanis), yang
di dalamnya memperhatikan manusia dari berbagai aspek dan memperlakukan manusia
dengan baik dan bebas.
Pendidikan
yang humanistis dalam prosesnya, memperlakukan manusia secara adil dan
memberikan kebebasan untuk berkehendak dan berpendapat. Jika memang pendidikan
Islam dalam dataran riil menghendaki terwujudnya tujuan pendidikan yang telah
dirumuskan, maka pendekatan demokratislah yang sesuai dalam merealisasikan tujuan
pendidikan Islam dalam wujud yang nyata.
Dalam
perspektif Islam, sebagai acuan konsep pendidikan Islam, humanisasi sangat
ditekankan dan telah mendapatkan legitimasi dari Allah. Manusia sebagai hamba
dalam kedudukannya di bawah transendensi Tuhan, manusia itu hamba Tuhan, tidak
memiliki harga dengan sendirinya, tetapi manusia itu lebih berbahagia karena
adanya deklarasi yang diberikan oleh Tuhan yang rahman dan rahim secara
sepihak.16 Konversi semacam itu
memberikan stabilitas dan menetapkan status yuridis bagi setiap orang.
Deklarasi tersebut digandakan dan disempurnakan dengan ayat al-Qur'an.
Prinsip-prinsip
yang terdapat dalam al-Qur'an tentang keadilan, kejujuran dan solidaritas
kemanusiaan menimbulkan kewajiban bagi tiap anggota masyarakat Islam, orang
perorangan, prinsip-prinsip tersebut menimbulkan suatu iklim hormat menghormati
dan juga menjaga yang timbal balik, yang merupakan praktek peradaban yang
berdasarkan keagamaan.17
Selain
prinsip-prinsip keadilan tersebut, prinsip persamaan menetapkan konsepsi
manusia dan oleh karena itu merupakan soko guru yang mendasari konstruksi
sistem sosial. Dari segi metafisik, manusia itu pada pokoknya sama, karena
semuanya adalah hamba Tuhan. Hal ini terformulasi dalam sebuah tujuan
pendidikan Islam yang dirumuskan oleh Abdul Fattah Jalal, bahwa tujuan umum
pendidikan dan pengajaran dalam Islam adalah menjadikan seluruh manusia sebagai
abdi atau hamba Allah SWT.18
Rumusan tujuan pendidikan tersebut adalah pengakuan atas prinsip persamaan,
bahwa tiada lain tujuan pendidikan Islam adalah untuk memproyeksikan manusia
sama sebagai hamba Allah SWT, apapun golongan, ras, dan suku bangsanya.
Dari
pemaparan tentang humanisasi di atas, baik dari perspektif Islam maupun
filsafat Freire, penulis menegaskan pada intinya tujuan Islam memiliki
cita-cita luhur, yaitu upaya untuk merealisasikan proyek humanisasi, supaya
manusia menjadi manusia utuh dan pada akhirnya mencurahkan segala kemampuannya
untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Dan
demokrasi lahir adalah untuk memperjuangkan hak-hak manusia (kemanusiaan) dari
penindasan, kediktatoran, dan ketidakadilan, oleh karena humanisasi adalah
sebuah nilai yang merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, maka dapat
ditarik benang merah, dalam rumusan tujuan pendidikan Islam terdapat nilai-nilai
kemanusiaan.
3. Perspektif
Pengembangan Potensi
Pertanyaan
awal yang diajukan untuk mengawali pembahasan ini, apakah hubungan pengembangan
potensi dengan demokrasi? Pembahasan dalam hal ini merupakan jawaban teoritis
dari pertanyaan di atas, sehingga akan mengalami titik temu yang signifikan,
dan akan terlihat secara objektif akan keberadaan nilai demokrasi dalam tujuan
pendidikan Islam. Dalam hal ini penulis akan mengedepankan konsep kebebasan
sebagai salah satu pendekatan dalam pengembangan potensi.
Pemberdayaan
sifat dan potensi insani pada hakikatnya adalah merupakan pengembangan self
merupakan proses kreatif.19 Dalam
proses tersebut manusia memainkan peranan aktif, tidak hanya melakukan proses
penyesuaian diri sebagaimana disebutkan dalam pembahasan sebelumnya (perspektif
humanisasi), akan tetapi lebih dari itu (adaptasi), yaitu selalu melakukan
aksi dan reaksi dengan tujuan yang jelas (kiprah konstribusi).
Sebelum
panjang lebar membahas tentang pengembangan potensi kaitannya dengan nilai
demokrasi, penulis akan membahas terlebih dahulu konsep potensi menurut Islam.
Potensi-potensi manusia menurut pandangan Islam tersimpulkan pada al-Asma
al-Husna, yaitu sifat-sifat Allah yang berjumlah 99.20 Menurut filosof-filosof Islam,
sifat-sifat Allah tersebut yang berjumlah 99 merupakan potensi-potensi manusia
yang harus dikembangkan dengan wajar dan sempurna, yang pada akhirnya mencapai
derajat yang tinggi (waly), yaitu yang mengaktualisasikan segala potensi
yang dikaruniakan Tuhan kepadanya.21
Harun
Nasution mencoba membagi alat-alat potensi manusia dengan berbagai kemampuannya
yang sangat umum, sebagai berikut:
Pertama, jiwa tumbuh-tumbuhan (al-Nafs
al-Nabatiyah), yang mempunyai tiga daya, yaitu daya makan, daya tumbuh, dan
daya membiak.
Kedua, jiwa binatang (al-Nafs
al-Hayawaniyah) yang memiliki dua daya, yaitu daya penggerak (al-Muharrikah)
dan daya mencerap (al-Mudrikah).
Ketiga, jiwa manusia (al-Nafs
al-Insaniyah) yang hanya mempunyai daya berpikir yang disebut akal.22
Dari
ketiga klasifikasi alat potensi di atas pendidikan dengan seperangkat
metodologi dan prakteknya harus mampu menetralisir, menyikapi dan
mengembangkan, dengan pengertian teori dalam praktek pendidikan sangat
dipengaruhi oleh pandangan fitrah manusia. Jika manusia dipandang sebagai
makhluk dengan pembawaan dasar jahat, maka pendidikan berarti upaya menekan
atau mengkikis unsur-unsur jahat. Teori yang menganggap sifat dasar manusia
dalam netral, Tabula Rasa memberikan perhatian yang dasar terutama kepada
pengajaran karena anak tidak mempunyai sifat baik atau jahat pada asalnya, maka
pembelajaran yang efektif akan menghasilkan personalitas yang diinginkan. Dan
jika manusia dipandang sebagai makhluk yang mula-mula membawa sifat yang baik (fitrah),
maka pendidikan berarti upaya mengembangkan elemen-elemen (baik) yang dibawa
sejak lahir.23
Merujuk
pada kenyataan di atas, maka pengembangan potensi manusia harus diarahkan
kepada bimbingan secara bertahap pula. Selain itu, pengembangan potensi manusia
tidak mungkin dilakukan dengan paksa.24
Chabib Thoha menambahkan bahwa kebebasan marupakan syarat mutlak untuk
pengembangan potensi fitrah manusia serta kemampuan untuk berinteraksi dengan
lingkungan. Iqbal dalam sebuah sajaknya tentang kebebasan, menggambarkan bahwa
kehidupan ibarat seperti aliran air, dan pendidikan adalah proses mengalirkan
debit air yang bersumber dari kesadaran individualisme manusia sendiri. Sajak
tersebut berbunyi:
Bila dikekang ketat dan
diperbudak,
Hidup itu menciut
mengerdil
Bagaikan selokan
kecil
Bila dilepas bebas
Ia meriak menggejolok
Bagaikan
gelombang dahsyat samudera luas. 25
Kebebasan
bukan sesuatu yang sederhana, kebebasan mengandung resiko yang besar. Oleh
karena itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan tentang batasan-batasan
kebebasan. Menurut Abdul Azizi El Qussy, dalam hal tertentu peserta didik
jangan sampai diberikan sebuah kebebasan, sebagaimana dijelaskan sebagai
berikut:
a. Dalam
keadaan yang membahayakan hidupnya atau keselamatan anak.
b. Hal-hal
yang terlarang bagi anak dan tidak nampak alasan-alasan yang lahir.
c. Permainan
yang menyenangkan bagi anak, tetapi menyebabkan rusuhnya suasana yang
mengganggu ketenangan umum.
d. Hal-hal
yang prinsipil, seperti mengenai pemilihan agama pemilihan nilai hidup yang
bersifat universal dan absolut, kecuali anak telah memiliki wawasan yang cukup.26
Zakiyah
Daradjat menambahkah berkaitan dengan batasan kebebasan dalam pendidikan.
Kehidupan dalam pendidikan, di manapun pendidikan itu berlangsung harus terikat
pada aturan-aturan tertentu dalam arti yang positif. Pada prinsipnya pengertian
kebebasan mengandung tiga aspek: “Self – Direction Self – Discipline and
Self – Control”. Hal tersebut dengan batasan kebebasan Fulton Sheen yang
merumuskan kebebasan menjadi tiga kategori “There is the freedom to do only
what you want to do; there is freedom to do only what you must do; there is
freedom to do what you ought to do”. Kebebasan menurut kategori pertama
disebutkan anarkhi, yang kedua totalitarinisme dan yang ketiga democracy.
Kategori yang ketiga inilah yang dipersamakan dengan self direction, self
discipline dan self control.27
Oleh
karena pentingnya sebuah kebebasan dalam pendidikan agar potrensi-potensi dasar
manusia dapat berkembang, di bawah ini akan dipertegas lagi sebuah hakikat dan
kebebasan yang dapat mengembangkan potensi-potensi dasar manusia, karena
kesalahan mengartikan kebebasan dapat menjadi sebab dari kebanyakan bencana
sosial termasuk pendidikan.
Chabib
Thoha telah membagi pola asuh dalam pendidikan menjadi tiga pola asuh:28
a. Pola asuh
otoriter
Pola
asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturan-aturan yang
ketat, sering kali memaksa anak untuk berprilaku seperti dirinya (orang tua),
kebebasan bertindak atas nama dirinya sendiri dibatasi. Tanda kedua dari pola
asuh otoriter ditandai dengan penggunaan hukuman yang keras, lebih banyak
menggunakan hukuman badan. Anak juga diatur segala keperluannya dengan aturan
yang ketat dan masih tetap diberlakukan meskipun sudah menginjak usia dewasa.
b. Pola asuh
demokrasi
Pola
asuh demokrasi ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan
anak, anak diberikan kesempatan untuk selalu tidak bergantung kepada orang tua.
Orang tua memberikan kebebasan untuk memilih hal yang bagi dirinya, anak
didengarkan pembicaraannya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang menyangkut
dengan kehidupan anak itu.
c. Pola asuh
permisive
Pola
asuh permisive ditandai dengan cara orang tua mendidik anak secara bebas. Anak
dianggap sebagai orang dewasa/ muda. Ia diberikan kelonggaran untuk melakukan
apa saja yang dikehendaki. Kontrol orang tua terhadap anak yang sangat lemah,
tidak akan memberikan bimbingan yang cukup berarti untuk anaknya. Semua yang
dilakukan anak adalah benar dan tidak perlu mendapatkan bimbingan atau arahan.
Dari
pemaparan tentang kebebasan di atas jelas bahwa, pengembangan potensi manusia
yang dikehendaki oleh tujuan pendidikan Islam sangat mutlak dibutuhkan. Tanpa
kebebasan, seluruh potensi tidak akan berkembang secara maksimal, dan otomatis
manusia sempurna dari berbagai aspek tidak akan pernah terwujud.
Dalam
hal ini yang dimaksud dengan kebebasan adalah yang sesuai dengan demokrasi yang
dipaparkan panjang lebar di atas. Maka kenyataan yang ada, apabila pendidikan
Islam dioperasionalkan tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi (kebebasan),
maka tujuan yang telah dirumuskan tidak akan tercapai atau paling tidak, tidak
menghasilkan hasil yang maksimal. Dan dari perspektif ini (pengembangan
potensi) setelah mengalami analisa yang terlihat dengan nyata dan objektif
adanya nilai kebebasan dalam rumusan tujuan pendidikan Islam.
Pendekatan dan Metode
Pengembangan Potensi dalam Merealisasikan
Tujuan Pendidikan Islam
|
||||||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||
Catatan : Betapa pentingnya pendekatan dan metode untuk
mengembangkan potensi. Penulis menawarkan pendekatan dan metode yang demokratis
untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh manusia.
B. Nilai
Empiris Rasional Demokrasi dalam Tujuan Pendidikan Islam
Pembahasan
dalam subbab empat ini, akan mencoba memproyeksikan ke dalam data-data (isi)
yang secara langsung dan jelas tertulis dari berbagai tujuan pendidikan Islam
yang telah dirumuskan. Dalam hal ini penulis akan membatasi pembahasan dan
mengambil pokok esensial dari kandungan tujuan pendidikan Islam sebagaimana
yang telah diklasifikasikan dalam pembahasan di muka, dan mencoba memaparkan
dalam perspektif demokrasi.
Dalam
pembahasan yang akan dijabarkan, terlebih dahulu penulis akan memaparkan
realitas nilai yang dimiliki oleh demokrasi dan mencoba untuk menemukan
titik-titik yang signifikan, sehingga akan tampak dengan jelas akan nilai-nilai
demokrasi yang terkandung dalam rumusan tujuan pendidikan Islam.
1. Perspektif
Transfer Nilai Religius
Memberikan
nilai-nilai religius atau transfer sebuah nilai religius tidak selalu dengan
komunikasi dialektika. Penghayatan sikap individu dan kolektif yang tampak
dalam sebuah kebudayaan merupakan transfer religius yang efektif dan
representatif. Dengan catatan nilai-nilai yang ditranfer melalui sikap tersebut
mekandung nilai-nilai substansial religius.
Dalam
konteks demokrasi, demokrasi tidak didialekkan secara teoritas belaka, tetapi
dipraktekkan dalam sebuah sistem riil dalam berbagai bidang. Oleh karena
demokrasi sesuai ajaran agama yang menjunjung tinggi sebuah kebebasan, keadilan
dan persamaan (inti demokrasi), maka praktek yang ditimbulkan oleh demokrasi
secara langsung merupakan manifestasi ajaran agama. Dengan logika sederhana
apabila ajaran agama ditransfer melalui teori-teori dengan berbagai metode
(ceramah, diskusi, dan peragaan) yang disengaja (direncanakan dan dievaluasi).
Demokrasi mentransfer nilai-nilai agama dengan sebuah praktek yang tidak
direncanakan untuk sebuah transfer nilai agama. Tetapi apabila diperhatikan dan
dihayati, dalam praktek sebetulnya demokrasi mengajarkan nilai-nilai agama.
Keadilan, persamaan dan kebebasan merupakan tiga nilai agama, sebagaimana
dipaparkan dalam bab tiga dengan ayat-ayat dan hadits yang menjelaskan perintah
berbuat adil, menghormati sebagian manifestasi persamaan, dan kebebasan.
Dalam
pendekatan antropologi, kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai
demokrasi, memberikan kebebasan untuk berpikir, bersuara dan bertindak,
merupakan sistem nilai yang patut diambil contoh, juga dalam kehidupan politik
yang juga memberikan kebebasan pada individu maupun kelompok untuk memberikan
hak suaranya tanpa batasan dalam koridor demokrasi, serta terjalin suatu iklim
hormat menghormati dan menghargai sebuah keragaman, merupakan tata nilai yang
patut untuk dianut dan dilestarikan. Budaya mencontoh dan menganut tata nilai
yang dibangun oleh kehidupan sosial berbangsa dan bernegara di atas merupakan
penerimaan secara sadar atas transfer yang dianut oleh tata nilai masyarakat
atau warga negara di atas, dan tata nilai di atas adalah tidak lain merupakan
ajaran agama yang direalisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari
pola pikir di atas, demokrasi secara tidak langsung mempunyai nilai
transformatif nilai-nilai agama yang berbentuk nilai keadilan, persamaan dan
kebebasan. Pemaparan demokrasi di atas membawa individu atau masyarakat yang
baik, agar individu dalam komunikasi luas dapat diterima dan berkiprah di
dalamnya. Perkenalan individu dan masyarakat yang dibawa oleh demokrasi
tersebut merupakan nilai tersendiri, agar individu dalam proses akulturasinya
mendapatkan tempat yang baik. Karena individu tersebut dalam interaksinya
membawa dan merealisasikan nilai-nilai demokrasi.
Rumusan
tujuan pendidikan Islam sebagaimana tersimpul dalam klasifikasi di muka
menghendaki akan sebuah transfer nilai-nilai agama. Pengenalan individu pada
lingkungan di mana ia hidup, agar individu berpegang pada nilai-nilai tersebut
dan mengabdi sepenuhnya kepada Allah serta diterima oleh masyarakat, merupakan
sebuah rumusan tujuan pendidikan Islam yang ideal dan perlu direalisasikan.
Dari
berbagai pemaparan di atas, terdapat titik temu yang sangat signifikan, dari
sisi rumusan tujuan pendidikan Islam yang menghendaki transfer nilai-nilai
religius dan pengenalan individu pada lingkungan dan sisi demokrasi yang
memiliki nilai transformatif nilai-nilai agama yang tergambarkan melalui tata
nilai budaya, dan memberikan gambaran tentang sebuah interaksi ideal pada
masyarakat. Jika demokrasi dijadikan sebagai perspektif, maka dari titik temu
di atas jelaslah bahwa dalam kandungan rumusan tujuan pendidikan Islam terdapat
nilai-nilai demokrasi, yaitu nilai ilmu pengetahuan dan keagamaan,29 merupakan nilai dalam pendekatan
proses budaya yang dikelompokkan oleh Abdullah Sigit.
2. Perspektif
Moralitas
Tiga
hal yang harus dipahami sebagai dasar dalam pembahasan ini, pertama,
“kebebasan kemauan adalah dasar moral (menurut Kant), karena hal ini merupakan
tapak tempat tegaknya tanggung jawab.”30
Tetapi hal tersebut tidak dapat diuniversalkan sebagai komitmen yang dimiliki
oleh setiap individu. Tidak sedikit kasus, ketika individu diberikan kebebasan
akan menjadi tidak bermoral. Dengan kebebasan berkehendak, individu akan
mandiri tidak tergantung dengan individu lain. Dari sinilah terbangun
karakteristik kemandirian, tanggung jawab terhadap diri sendiri dan sesama. Kedua,
pendidikan moral sebagai pendidikan keadilan. Dalam arti keutamaan moral lebih
berhubungan dengan praktis dari pada teori. Maksudnya keutamaan moral
dihasilkan oleh pelaksanaan tingkah laku moral itu sendiri, agar seorang
menjadi adil, jujur, menghormati dan tanggung jawab,31 Ketiga, demokrasi sendiri itu
merupakan sistem atau nilai moralitas yang menjunjung tinggi moral, meluruskan
sebuah sistem yang tidak manusiawi, otoriter, korup memperlakukan keadilan,
memelihara atas persamaan dan kebebasan.
Dari
tiga gambaran tersebut diatas dapat dipahami, bahwa demokrasi adalah sebuah
konsep moralitas, membentuk individu, masyarakat dan sistem yang bermoral.
Rumusan
tujuan pendidikan Islam dalam klasifikasi di muka adalah menghendakinya suatu
terminologi untuk meligitimasi sikap dan tindakan individu maupun sebuah
komunitas. Dari pemahaman demokrasi yang sarat dengan nilai-nilai di atas, dan
tujuan pendidikan Islam yang merupakan kesatuan yang bertalian. Dan dari
pemahaman komprehensif di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa tujuan pendidikan
Islam memiliki nilai demokrasi (moralitas).
3. Perspektif
Patriotisme
Dengan
paradigma demokrasi tentang konsepnya dalam pembangunan bangsa dan negara,
sikap ideal individu sebagai warga negara sistem pemerintah yang revaratif dan
menjamin hak-hak warga negaranya, merupakan nilai konstributif demokrasi dalam
membangun bangsa dan negara, dan nilai kontribusi tersebut berada dalam bingkai
patriotisme.
Tujuan
pendidikan Islam yang menghendaki kepada terbentuknya jiwa patriotisme (cinta
tanah air) sebagaimana klasifikasi di muka, agar peserta didik mampu memberikan
konstribusi positif dalam upaya pembangunan bangsa dan negara, adalah sebuah
rumusan tujuan pendidikan yang tidak bisa dipungkiri lagi mengandung nilai
demokrasi (patriotisme).
4. Perspektif
Legitimasi Potensi
Secara
tegas sejumlah tujuan pendidikan Islam merumuskan tentang konsep potensi,
seperti rumusan-rumusan tujuan pendidikan Islam An-Nahlawi dan Ali Ashraf di
muka, ditambah dengan rumusan tujuan pendidikan Islam Chabib Thoha, bahwa
pendidikan Islam bertujuan untuk mengembangkan potensi kreatif peserta didik
agar menjadi manusia yang baik, menurut pandangan manusia dan Tuhan Yang Maha
Esa.32
Di
muka telah banyak membahas tentang konsep potensi dan pengembangannya. Bila
dikaji secara tidak langsung menyentuh aspek potensi manusia dalam berpikir,
bertindak dan berkreasi, menjamah secara totalitas potensi-potensi yang ada
dalam manusia baik jasmani, rohani, dan intelektual.
Dari
sudut pandang antropologis, demokrasi adalah sistem nilai yang dianut dan diciptakan
oleh manusia, sebagai refleksi kegelisahan manusia akan sistem yang baik,
ideal, menjamin kebebasan, keadilan, dan terealisasinya hak-hak rakyat.
Persoalan berpikir adalah persoalan potensi, yaitu potensi intelektual. Dengan
potensi intelektual individu atau sebuah komunitas mampu berpikir untuk sebuah
pembaharuan-pembaharuan, sehingga dari potensi intelektual inilah muncul sebuah
konsep demokrasi. Realisasi konsep demokrasi tidak akan terwujud dengan potensi
intelektual semata. Dengan potensi jasmani, alam ideal yang terkandung dalam
pemikiran individu dan kolektif akan terwujud. Potensi rohani dalam
merealisasikan konsep demokrasi akan tampak positif, karena individu-individu
yang ada di dalamnya berpikir dan bersikap serta berpegang teguh pada nilai-nilai
religius.
Pemikiran
di atas merupakan landasan rasional atas pengakuan fungsional potensi dalam
demokrasi. Demokrasi tidak akan terealisasi tanpa sirkulasi potensi-potensi
manusia. Rumusan tujuan pendidikan Islam dalam konteks pembahasan ini, juga mengakui
atas konsep potensi (legitimasi). Dengan mengarahkan pengembangan potensi,
merupakan nilai tersendiri yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam.
5. Perspektif
Wawasan Modern
Demokrasi
lahir bersama fungsinya untuk mendongkrak kediktatoran. Sistem yang tradisional
yang tidak menjamin hak-hak warga negara, sistem tradisional merupakan sistem
dari budaya-budaya yang kurang sesuai dengan alam modernitas. Berwawasan modern
dapat ditandai dengan wawasan yang maju, berkembang, komprehensif, fungsional dan
efektif (perubahan paradigma kehidupan). Demokrasi mengedepankan hal-hal
tersebut, disertai dengan kebebasan untuk berpikir dan berkehendak. Pemaparan
tersebut merupakan nilai tersendiri dalam tubuh demokrasi.
Tujuan
pendidikan Islam yang berkehendak merealisasikan wawasan modern agar melekat
terhadap peserta didik, membuka peluang terhadap individu untuk modernitas yang
bersifat positif. Dari tujuan inilah peserta didik akan memiliki semangat
keilmuan yang tinggi, berwawasan modern dan berminat untuk mengkaji dan
menguasai ilmu dan keahlian diberbagai bidang. Dari perspektif inilah, keeratan
sebuah nilai demokrasi melekat dalam subtansi rumusan tujuan pendidikan Islam.
Perubahan
Paradigma Masyarakat
Dalam
Proses Modernitas33
Dari kelima perspektif di atas, terlihat sebuah gambaran yang signifikan akan keeratan nilai-nilai demokrasi dalam rumusan-rumusan tujuan pendidikan Islam. Demokrasi dengan transfer nilai-nilai religius sangat mengedepankan moralitas, mengakui sebuah konsep potensi dan mengarahkan individu untuk berjiwa patriotisme serta berwawasan modern. Nilai-nilai luhur yang terpatri, terealisasikan dalam prakteknya. Nilai-nilai tersebut terkandung dalam substansi rumusan tujuan pendidikan Islam yaitu mengenai pemahaman nilai-nilai agama, perkenalan pada lingkungan sosial, memupuk rasa cinta tanah air, menumbuhkan semangat ilmiah, mengabdikan ajaran dan kebudayaan Islam serta penguasaan ketrampilan-ketrampilan di berbagai aspek.
1Jalaluddin,Teologi Pendidikan,Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2001, hal. 38.
2Ibid. hal.
39.
3Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal. 41.
4Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan
Berdasarkan al-Qur'an, Alih Bahasa H. M. Arifin, dan Zainuddin, Rineka
Cipta, Jakarta, 1990, hal. 138.
5Ahmad Tafsir, Op. Cit, hal. 43.
6Loc. Cit.
7Ibid, hal. 44.
8Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal. 8.
9Ibid. hal. 9.
10Fadhil Al-Djamily, Menerabas Krisis Pendidikan
Dunia Islam, Alih bahasa, Muzayin Arifin, Golden Terayon, Jakarta, 1993,
hal. 16.
11Abdur Rahman Shalih Abdullah. Landasan dan Tujuan
Pendidikan menurut Al-Qur’an serta Implikasinya, Diponegoro, Bandung, 1991,
hal. 93.
12Budy Munawar Rachman, Islam Pluralis,
Paramadina, Jakarta, 2001, hal. 371.
13Ibid., hal.
371-372.
14Ibid, hal.
372.
15Ibid, hal.
373.
16Marcela Boisard, Humanisem Del ‘Islam, Alih
Bahasa, Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Bulan Bintang, hal. 110-111.
17Ibid, hal.
108.
18Abdul Fattah Jalal, Minal Ushulut Tarbiyah fil
Islam, Alih Bahasa, Herry Noer Ali, Diponegoro, Bandung, hal. 119.
19Chabib Thoha, Op. Cit., hal. 33.
20Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan suatu
Analisa Psikologi dan Pendidikan, Pustaka al-Husna, Jakarta, 1995. hal.
263.
21Hasan Langgulung, Kreativitas dan Pendidikan Islam:
Suatu Kajian Psikologi dan Falsafah, al-Husna, Jakarta, 1991, hal. 363.
22Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2001, hal. 14-15.
23Lihat Abdur Rahman Shaleh Abullah, Landasan dan
Tujuan Pendidikan Menurut al-Qur'an serta Implementasinya, Op. Cit.,
hal. 84.
24Jalaluddin, Op. Cit., hal. 38.
25Chabib Thoha, Op. Cit., hal. 34.
26Ibid., hal.
112.
27Zakariyah Daradjat, et.al, Metodik Khusus
Pengajaran Agama Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hal. 123-124.
28Chabib Thoha, Op.Cit., hal. 111-112.
29Chabib Thoha, Op.Cit., hal. 64.
30Hasan Langgulung, Kreativitas dan Pendidikan Islam,
Op. Cit., hal 527.
31F. Budi Hardiman, Pendidikan Kegelisahan Sepanjang
Zaman, Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal. 66.
32Chabib Thoha, Op. Cit., hal. 59.
33Jujun S. Suriasumanti, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal. 289.
0 Response to "TELAAH FILOSOFIS TENTANG NILAI-NILAI DEMOKRASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM"
Post a Comment