Warta Madrasah - pada kesempatan ini kita akan mengkaji tentang Analisis Impilkasi Metode Kisah dan Kepribadian Muslim. Ayat 111 surat yusuf
menyebutkan bahwa cerita-cerita Al-Qur’an mengandung instruksi bagi manusia,
yang diberkahi akal pikiran.Refleksi dan tidak sekedar narasi atau hiburan
adalah jiwa cerita Al-Qur’an.
Relevansi
penyampaian cerita dalam lingkungan sekolah, adalah sangat tinggi. Penyampaian
cerita merupakan teknik penyampaian informasi dan instruksi yang amat bernilai
dan seorang pendidik muslim mesti manfaatkan potensi kisah atau aacerita bagi
pembentukan sikap, yang merupakan bagian esensial pendidikan Islam.
Berusaha menjadikan
siswa menjadi tertarik pada aktivitas yang berguna adalah masalah metode, dan
bukan merupakan akhir pendidikan. Dengan demikian, pengembangan interes
pelajar, sebenarnya merupakan sebuah pendekatan bernilai. Mesti, tentu saja
pendidikan harus selalu ingat akan tujuannya membentuk pribadi beriman, yang
menjadikan Islam sebagaia way of life.
Implikasi Metode Kisah
Terhadap Pembentukan Kepribadian Muslim
1. Metode Kisah Membentuk Kepribadian Muslim yang Taat Kepada Allah
Seperti
kita ketahui bahwa seseorang yang mempunyai kepribadian muslim adalah pribadi
yang memilki akhlak kepada Allah SWT antara lain:Cinta dan ikhlas kepada-Nya;
berbaik sangka kepada-Nya; rela atas qadar dan qadha-Nya; bersyukur atas
nikmat-Nya; bertawakal kepada-Nya; senantiasa mengingat-Nya; memikirkan
keindahan ciptaan-Nya; serta melaksanakan apa-apa yang disuruh-Nya.
Dapatlah
dikatakan bahwa akhlak kepada Allah salah satunya yaitu taat kepada Allah.
Setiap muslim diwajibkan untuk beriman kepada Allah. Beriman kepada Allah
berarti taat atau patuh dalam mengikuti segala yang diperintahkan-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya. Taat menurut bahasa adalah senantiasa menurut
(kepada Tuhan, pemerintah, dan sebagainya). Menurut istilah, taat kepada Allah
artinya senantiasa melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya.
Mentaati Allah menghendaki
mendahulukan nash-nash al-Qur’an dan
as-Sunnah atas pikiran manusia, walaupun betapa tinggi kecerdasan dan kedudukan
mereka dalam falsafah dan hikmat. Tegasnya, mendahulukan amal dan kalam-Nya dan
kalam Rasul-Nya atas segala rupa pendapat manusia, walaupun sangat tinggi
derajat ijtihad manusia itu telah sangat kukuh adat mengerjakan.
Seseorang
baru dapat dikatakan telah mencintai Allah, jika dia benar-benar hanya taat
kepada Allah dan Rasul-Nya.
Lalu
bagaimana implikasi metode kisah dalam pembentukan kepribadian muslim.
Dalam
kisah Nabi Ibrahim A.S dan umatnya:
Artinya:
“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik
bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap pahala Allah dan (keselamatan)
pada hari kemudian… “(Q.S Al-Mumtahanah: 6)[1]
Pengertian ayat tersebut
diatas, menurut Syeh Musthafa Al-Maraghi dalam tafsirnya adalah:
“Wahai
orang-orang mukmin, sungguh pelajaran Ibrahim dan orang-orang mukmin yang
bersamanya terdapat contoh yang baik bagimu, yaitu bagimu, yaitu bagi orang
yang mengharap pertemuan dengan Allah dan pahala-Nya yang melimpah serta
keselamatan pada hari kemudian, diantara kamu. Disini terdapat dorongan yang
kuat untuk beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta memegangi keduanya itu
dengan kokoh bagai mendidik dengan gigi-gigi geraham, dan penjelasan keduanya
itu merupakan pokok dari segala urusan pada hari disampaikannya amal dan
hisab.” [2]
Mencintai
Allah SWT adalah tidak melimpahkan kasihnya kepada selain Allah SWT dan hanya
Allah SWT saja buah tuturnya.
Ikhlas
pada Allah SWT berarti: semua gerak laku manusia hanya karena dan untuk Allah
SWT. Umpamanya:
-
Kita
lakukan shalat 5 waktu, hanya kaarena Dia
-
Kita
bangun negara ini hanya karena Dia.
Metode
Kisah Membentuk Pribadi Muslim yang Taat kepada Rasul
Sifat
orang yang memiliki kepribadian muslim adalah orang yang memiliki akhlak kepada
Rasul. Yang dapat diartikan pula taat kepada Rasul. Mentaati Rasul ialah
berpegang kepada Agama yang telah didatangkan Rasul. Menerima dengan patuh dan
tunduk kepada segala yang beliau sampaikan. Mengikuti sunnahnya meneladani
hidup dan perbuatannnya, baik dalam damai maupun dalam perang dan berusaha
menyebar dan mengembangkan Agama dan jiwa agama ke dalam jiwa manusia, agar
semua mereka paham dan yakin bahwa orang yang mendapat hidayat dan pertolonan
Illahi, hanyalah orang yang beragama dengan agama yang dibawa oleh Muhammad
SAW.
Bagaimana
implikasi metode kisah dalam membentuk pribadi muslim yang taat kepada Rasul.
Bila kita lihat kisah Nabi Muhammad SAW.:
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullaah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.”(Q.S. al-Ahzab: 21)[3]
Hasbi ash-Shiddieqy dalam
tafsir An-Nuur, menjelaskan ayat di atas, sebagai berikut:
“Hai
orang-orang yang tidak mau berperang, kamu memperoleh teladan yang baik pada
diri Nabi. Maka seharusnya kamu meneladani Rasulullah dalam segala
gerak-gerikmu. Rasulullah itu adalah contoh yang baik dalam segi keberanian,
kesabaran dan tabah menghadapi bencana. Orang yang mengharap pahala Allah dan
takut akan siksa-Nya serta banyak mengingat Allah, memperoleh teladan yang baik
pada diri Rasulullah SAW.”[4]
Sedangkan menurut Musthafa
al-maraghi, bahwa ayat di atas mengandung maksud sebagai berikut:
“Sesungguhnya
norma-norma yang tinggi dan teladan yang baik itu telah dihadapkan kalian.
Seandainya kalian mencontoh Rasulullah SAW. dalam amal perbuatannya. Dan
hendaklah kalian benar-benar menghendaki pahala dari Allah serta takut akan
adzab-Nya di hari semua orang memikirkan dirinya sendiri dan pelindung serta
penolong ditiadakan, kecuali hanyalah amal saleh yang telah dilakukan seseorang
(pada hari kiamat). Dan adalah kalian orang-orang yang selalu ingat kepada
Allah itu akan membimbing kamu untuk taat kepada-Nya dan mencontoh perbuatan
Rasul-Nya.”[5]
Dalam ayat lain, Allah telah
berfirman:
Artinya:
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi dan pembawa kabar
gembira dan pemberi peringatan. Dan untuk menjadi penyeru kepada Agama Allah
dengan izin-Nya, dan untuk menjadi cahaya yang menerangi.”(Q.S. Al-Ahzab:
45-46)[6]
Dalam kisah ini Allah telah
menempatkan personalitas Muhammad SAW. sebagai gambaran yang sempurna untuk
metode samawi (Islami), agar menjadi gambaran hidup dan abadi bagi
generasi-generasi umat selanjutnya dalam kesempurnaan moral dan keagungannya.
Dalam hal ini, kita dapat
melihat
3. Metode
Kisah Membentuk Pribadi Muslim yang Taat Kepada Orang tua dan Guru
Setelah
taat kepada Allah, maka seoramg yng berkepribadian muslim haruslah berbuat baik
kepada kedua orang tua. Dengan kata lain taat kepada orang tua. Seperti kita
ketahui bahwa orang tua adalah pendidik pertama dalam keluarga yang harus kita
taati.
4. Metode
Kisah Membentuk Pribadi Muslim yang Tawadhu’
Tawadhu’
ialah sikap menundukkan kepala karena kesadaran bahwa semua manusia mempunyai
asal yang sama, dijadikan dari tanah. Untuk menghasilkan tawadhu’ yang hakiki,
manusia harus memrenungi dan bertanya pada dirinya sendiri bahwa dia berasal
dari mana dan hendak ke mana. Hendaklah ia menginsyafi bahwa ia dari tanah,
kemudian menjadi setitik mani, berubah menjadi segumpal darah, berubah ke
sekepal dagimg, berbentuk tubuh yang beku, kemudian diberikan ruh, terakhir
lahir hidup ke dunia. Sesudah melalui fase-fase hidup. Ia pun menghadapi maut,
dan tubuhnya kembali ke tanah. Selain itu memahami bahaya-bahay takabur dan
menginsafi faedah-faedah tawadhu’.
5. Metode
Kisah Membentuk Pribadi Muslim Berakhlak Mulia
Syeh Musthafa Al-Ghulayani, mendefinisikan
pendidikan sebagai berikut:
Artinya:
”Pendidikan adalah penanaman akhlak mulia dalam jiwa anak-anak yang sedang
tumbuh dan meyiramnya denn sirman petunjuk dan nasehat sehingga menjadi suatu
watak yang melekat dalam jiwa, kemudian buahnya berupa keutamaan, kebaikan,
suka beramal demi kemanfaatan bangsa.”
Drs.
Ahmad D.Marimba, mendefinisikan pendidikan sebagai “bimbingan atau pimpinan
secara sadar oleh pendidikan terhadap perkembangan jasmani dan rohani untuk
menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[8]
Sedangkan
pengertian pendidikan menurut pandangan Islam, adalah: “Tindakan yan dilakukan
secara sadar dengan tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi
(sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).”[9]
Tujuan
yang ingin dicapai dalam pendidikan, termaktub di dalam firman Allah SWT:
Artinya:
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (mengabdi)
kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56)[10]
Menurut
Musthafa al-Kik, yang disitir oleh Dr. Quraish Shihab, menafsirkan ayat di atas
bahwa: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menjdikan tujuan
akhir atau segala aktivitasnya sebagai pengabdian kepada-Ku (Allah).”[11]
Aktivitas
yang dimaksud diatas, tersimpul dalam firman Allah:
Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”(Q.S. Al-Baqarah : 30)[12]
Dalam
ayat lain, Allah berfirman:
Artinya:
“ …. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya”.(Q.S. Hud: 61)[13]
Dari
kedua ayat di atas, mengandung pengertian bahwa manusia diciptakan oleh Allah
sebagai khalifah dimuka bumi ini, bertugas untuk memelihara dan memakmurkan
(membangun) bumi ini sesuai dengan konsep yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
sebagai penguasa jagat raya ini.
Tentang
tujuan pendidikan ini, Athiyah Al-Abrasyi, mengatakan bahwa “The first and
highest goal of Isamic education is moral and spritual training.”[14]
Artinya:
“Tujuan pendidikan Islam yang pertama dan utama adalah penghalus budi pekerti
dan latihan spiritual.”
Jadi,
berpijak pada pengertian di ats, maka tujuan pendidikan dalam Islam adalah
membentuk kepribadian muslim yang beriman, berbudi pekerti yang luhur,
bertaqwa, berilmu pengetahuan yang berguna bagi diri, masyarakat, dan
bangsanya.
Sebagaiamana
kita ketahui bersama, bahwa seorang anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, akan
tetapi telah dibekali dengan pendengaran, penglihatan dan kata hati, sebagai
modal yang harus dikembangkan dan diarahkan kepada martabat yang mulia. Yaitu
mengisi dan menjadikan kehidupannya untuk mencari keridhaan Allah SWT.
semata-mata. Fitrah tidak dapat berkembang dengan baik apabila tidak ada
kesadaran dari kedua orang tua untuk memegang peranan yang besar terhadap
pendidikan anak, dimana harus sejak dini diterapkan dan ditanamkan kepada anak
terutama yang menyangkut masalah pendidikan agama.
Mengingat
sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
“Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah maka kedua orang tuanyalah yang
dapat menjadikannya Majusi, Yahudi dan Nashrani.”[15]
Pengalaman
dan kenyataan menunjukkan bahwa anak-anak memiliki gairah dan kesenangan yang luar
biasa untuk membaca kisah.
Hal
itu karena cerita atau kisah mampu menghidangkan kepuasan dan kegembiraan
kepada anak-anak. Karena itu pendidik berpendapat bahwa kisah-kisah dapat
digunakan sebagai sarana pendidikan atau media dakwah utnuk mendidik anak-anak.
Dalam kisah para Nabi, Khalifah, Ulama’, Para Shalihin terkandung akhlak mulia
serta sifat-sifat terpuji. Dengan demikin jiwa mereka dapat merasakan dan hati
mereka dapat memahami esensi dari kisah itu, yakni akhlak, sifat mulia yang
harus dimiliki dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
GBHN 1983 dinyatakan:
“Pendidikan
Nasional berdasarkan Pancasila dan bertujuan meningkatkan ketakwaan terhadap
Tuhan Yang Mahaesa, kecerdasan, ketrampilan, mempertinggi budi pekerti,
memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan, agar dapat
menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri
serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.”[16]
Dalam
rumusan di atas, jelaslah apa yang ingin dicapai, yakani terbentuknya manusia
Indonesia yang: (a) tinggi takwanya terhadap Tuhan Yang Mahaesa; (b) cerdas dan
terampil; (c) berbudi pekerti luhur dan berkepribadian; dan (d) memiliki
semangan kebangsaan. Semuanya bertujuan untuk menumbuhkan manusia-manusia pembangunan
yang dapat membangun dirinya sendiri dan bersama-sama bertnggung jawab atas
pembangunan bangsa.
Tidaklah
berlebih-lebihan bila kita katakan bahwa seorang “muslim kamil” atau muslim
yang sempurna ialah seorang yang terpelajar, menta’ati Allah dan Rasul-Nya,
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, tidak menyakiti
hati keluarga dan tetangganya, tidak menyinggung perasaan orang lain, tidak
dengki daan berusaha terus agar ia bersifat seorang yang adil dalam putusannya,
tidak hanya mengingat yang buruk tetapi melupakan kebaikan-kebaikan orang,
tahan menderita dan tidak pusing dengan kepahitan-kepahitan hidup; rela mati
karena itu sudah merupakan qadar, beramal buat dunia seakan-akan ia akan hidup
selamanya dan beramal buat akhirat se-akan-akan ia akan mati besok pagi; suka
kembali keada kebenaran dang membangkang terhadap sesuatu yang bathil,
menghormati agama dan bekerja buat agama serta memuliakan pula ulama-ulama dan
melayani mereka itu dengan segala keikhlasan dan penghormatan.
Kartini
Kartono menjelaskan:
“Minat anak pada
periode tersebut terutama sekali tercurah pada segala sesuatu yang dinamis
bergerak. Anak pada usia ini sangat aktif dan dinamis. Segala sesuatu yang
aktif dan bergerak akan sangat menarik sesuatu yang aktif dan bergerak akan
sangat menarik minat perhatian anak. Lagi pula minatnya banyak tertuju pada
macam-macam aktivitas. Dan semakin banyak dia berbuat, makin bergunalah
aktivitas tersebut bagi proses pengembangan kepribadiannya.”[17]
Tentang ingatan
anak pada usia ini, ia juga menjelaskan:
“Ingatan anak pada
usia ini mencapai intensitas paling besar dan paling kuat. Daya menghafal dan
memorisasi (dengan sengaja memasukkan dan melekatkan pengetahuan dalam ingatan)
adalah paling kuat. Dan anak mampu memuat jumlah materi ingatan paling banyak.”[18]
Para
ahli pendidikan Islam telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran
bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka
ketahui, tetapi maksudnya ialah mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan
rasa fadhilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi,
mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas dan
jujur. Maka tujuan utama pendidikan
Islam ialah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa.
[1]
Prof. R.A.H. Soenarjo, Op. Cit. hlm.
[2]
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,Musthafa al-Bab
al-Halaby, Mesir, 1973, Hlm.
[3]
Prof. R.A.H. Soenarjo dkk, Op. Cit., Hlm.670.
[4]
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Madjid “An-Nur”,
Bulan bintang, Jakarta, 1965, Hlm. 157-158
[5]
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Op. Cit., Hlm.65
[6]
Prof. R.A.H. Soenarjo dkk, Op. Cit., Hlm.
[7]
Syeh Musthafa al-Ghulayani, Idhatun Nasyi”in, al-Maktabah
al-Ahliyah, Beirut, 1949, Hlm. 189.
[8]
Drs. Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,
Al-Ma’arif, Bandung, 1989, Hlm. 19.
[9]
Achmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media,
Yogyakarta, 1992, Hlm. 16
[10]
Prof. R.A.H. Soenarjo, dkk., Op. Cit., Hlm.862.
[11]
Dr. M. Quraish Shihab, M.A., Membumikan al-Qur’an, Mizan,
Bandung, 1992, Hlm.172.
[12]
Prof. R.A.H. Soenarjo, dkk., Op. Cit., Hlm. 13.
[13]
Ibid., Hlm. 336
[14]
Prof. Dr. Athiyah al-Abrasyi, Education in Islam, Supreme Council
for Islamic Affair, Cairo, Mesir, Hlm. 11
[17]
Kartini Kartono, Psikologi Anak, Bandung, Mandar Maju, 1990,
Hm.138
[18]
Ibid.
0 Response to "ANALISIS IMPLIKASI METODE KISAH DAN KEPRIBADIAN MUSLIM"
Post a Comment