Warta
Madrasah – sahabat warta madrasah pada kajian kita kali ini akan membahas
tentang BAGAIMANA HUKUM MEMINUM AIR KENCING UNTA dalam sebuah hadits
Rasulullah SAW mengizinkan suatu kaum untuk meminum air kencing unta. Sementara
ulama berbeda pendapat perihal meminum air kencing unta ini. Sebagian ulama
menyatakan haram, sebagian ulama menyatakan tidak haram. Bagaimana kita
menyikapi perbedaan tersebut?
Sebelum
masuk jauh ke inti persoalan, perlu disinggung di awal bahwa para ulama membagi
dua kategori najis. Pertama, benda yang disepakati ulama status najisnya, yaitu
daging babi, darah, air kencing manusia, muntah dan kotoran manusia, khamar,
nanah, madzi, dan lain sebagainya.
Kedua,
benda yang diperdebatkan ulama perihal status najisnya, yaitu anjing, kulit
bangkai, air kencing anak kecil yang belum makan apapun selain ASI, mani,
cairan pada nanah, dan lain sebagainya. Air kencing unta termasuk kategori
kedua ini. Hal ini disebutkan secara rinci oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli sebagai
berikut:
ثانياً ـ النجاسات المختلف فيها: اختلف الفقهاء
في حكم نجاسة بعض الأشياء… بول الحيوان المأكول اللحم وفضلاته ورجيعه: هناك اتجاهان
فقهيان: أحدهما القول بالطهارة، والآخر القول بالنجاسة، الأول للمالكية والحنابلة،
والثاني للحنفية والشافعية.
Artinya,
“Jenis kedua adalah najis yang masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan
ulama. Ahli fikih berbeda pendapat perihal status najis sejumlah benda ini...
Salah satunya adalah air kencing, kotoran, dan zat sisa tubuh hewan yang boleh
dimakan. Di sini pandangan ulama fikih terbelah menjadi dua. Satu pandangan
menyatakan suci. Sementara pandangan lainya menyatakan najis. Pandangan pertama
dianut oleh madzhab Maliki dan Hanbali. Sedangkan pandangan kedua diwakili oleh
madzhab Hanafi dan madzhab Syafi‘i,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul
Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405, juz I,
halaman 160).
Bagi
Madzhab Maliki dan Hanbali, status air kencing dan kotoran hewan yang halal
dimakan yaitu unta, sapi, kambing, ayam, burung dara, dan aneka unggas tidak
najis. Tetapi bagi Madzhab Maliki, air kencing hewan yang memakan atau meminum
benda najis juga berstatus najis sehingga air kencing dan kotorannya menjadi
najis. Berlaku juga bila hewan-hewan ini makruh dimakan, maka air kencing dan
kotorannya juga makruh. Jadi status kencing hewan itu mengikuti status
kenajisan daging hewan itu sendiri sehingga status air kencing hewan yang haram
dimakan adalah najis. Sedangkan status air kencing hewan yang halal dimakan
adalah suci. Kedua madzhab ini mendasarkan pandangannya pada izin Rasulullah
SAW yang mengizinkan masyarakat Urani meminum air kencing dan susu unta. Bagi
kedua madzhab ini, kebolehan shalat di kandang kambing menunjukkan kesucian
kotoran dan air kencing hewan tersebut.
Adapun
Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi’i memandang status kotoran dan air kencing
unta adalah najis sehingga keduanya memasukkan kotoran dan air kencing unta ke
dalam kategori benda yang haram dikonsumsi. Mereka mendasarkan pandangannya
pada hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa kotoran hewan itu najis.
Sedangkan kedua madzhab ini memahami hadits perihal masyarakat Uraiyin sebagai
izin darurat Rasulullah untuk kepentingan pengobatan.
وقال الشافعية والحنفية: البول والقيء والروث
من الحيوان أو الإنسان مطلقاً نجس، لأمره صلّى الله عليه وسلم بصب الماء على بول الأعرابي
في المسجد، ولقوله صلّى الله عليه وسلم في حديث القبرين: «أما أحدهما فكان لا يستنزه
من البول»، ولقوله صلّى الله عليه وسلم السابق: «استنزهوا من البول» وللحديث السابق:
«أنه صلّى الله عليه وسلم لما جيء له بحجرين وروثة ليستنجي بها، أخذ الحجرين ورد الروثة،
وقال: هذا ركس، والركس: النجس». والقيء وإن لم يتغير وهو الخارج من المعدة: نجس؛ لأنه
من الفضلات المستحيلة كالبول. ومثله البلغم الصاعد من المعدة، نجس أيضاً، بخلاف النازل
من الرأس أو من أقصى الحلق والصدر، فإنه طاهر. وأما حديث العرنيين وأمره عليه السلام
لهم بشرب أبوال الإبل، فكان للتداوي، والتداوي بالنجس جائز عند فقد الطاهر الذي يقوم
مقامه.
Artinya,
“Madzhab Syafi’i dan Hanafi berpendapat bahwa air kencing, muntah, dan kotoran
baik hewan maupun manusia mutlak najis sesuai perintah Rasulullah SAW untuk
membasuh air kencing Arab badui di masjid, sabda Rasulullah SAW perihal ahli
kubur, ‘salah satunya tidak bersuci dari air kencing,’ sabda Rasulullah SAW
sebelumnya, ‘Bersucilah dari air kencing,’ dan hadits sebelumnya bahwa
Rasulullah SAW–ketika dua buah batu dan sepotong kotoran binatang yang
mengering dihadirkan di hadapannya untuk digunakan istinja–mengambil kedua
batu, dan menolak kotoran. ‘Ini adalah najis,’ kata Rasulullah SAW. Sementara
muntah–sekalipun tidak berubah bentuk adalah sesuatu yang keluar dari dalam
perut–adalah najis karena ia termasuk sisa tubuh yang ‘berubah’ seperti air kencing.
Hal ini sama najisnya dengan lender yang keluar dari dalam perut. Lain soal
dengan lendir yang turun dari kepala, pangkal tenggorokan atau dada. Lendir ini
suci. Sedangkan terkait perintah Rasulullah kepada warga Uraniyin untuk meminum
air kencing unta, maka ini berlaku untuk pengobatan. Pengobatan dengan
menggunakan benda najis boleh ketika obat dari benda suci tidak ditemukan dan
benda najis dapat menggantikannya,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul
Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405, juz I,
halaman 160).
Kalau
mau diperjelas, kita dapat mencari tahu alasan empat madzhab ini ke dalam dua
pandangan yang berbeda. Ibnu Rusyd mencoba memetakan persoalan yang melahirkan
dua pandangan berbeda. Ia mengidentifikasi dua sebab yang memicu perbedaan
tajam di kalangan ulama perihal status najis kotoran dan air kencing unta
sebagai berikut:
وسبب اختلافهم شيئان: أحدهما اختلافهم في مفهوم
الإباحة الواردة في الصلاة في مرابض الغنم وإباحته عليه الصلاة والسلام للعرنيين شرب
أبوال الإبل وألبانها وفي مفهوم النهي عن الصلاة في أعطان الإبل. والسبب الثاني اختلافهم
في قياس سائر الحيوان في ذلك على الإنسان فمن قاس سائر الحيوان على الإنسان ورأى أنه
من باب قياس الأولى والأحرى ولم يفهم من إباحة الصلاة في مرابض الغنم طهارة أرواثها
وأبوالها جعل ذلك عبادة، ومن فهم من للعرنيين أبوال الإبل لمكان المداواة على أصله
في إجازة ذلك قال: كل رجيع وبول فهو نجس ومن فهم من حديث إباحة الصلاة في مرابض الغنم
طهارة أرواثها وأبوالها وكذلك من حديث العرنيين وجعل النهي عن الصلاة في أعطان الإبل
عبادة أو لمعنى غير معنى النجاسة، وكان الفرق عنده بين الإنسان وبهيمة الأنعام أن فضلتي
الإنسان مستقذرة بالطبع وفضلتي بهيمة الأنعام ليست كذلك جعل الفضلات تابعة للحوم والله
أعلم.
Artinya,
“Sebab perbedaan pandangan mereka terdiri atas dua hal. Pertama, perbedaan
mereka dalam memahami status mubah shalat Rasulullah SAW di kandang kambing,
izin Rasulullah SAW kepada Uraniyin untuk meminum susu dan air kencing unta,
dan larangan Rasul untuk shalat di kandang unta. Kedua, perbedaan mereka dalam
menganalogi semua jenis hewan dalam konteks air kencing dengan jenis manusia.
Ulama yang menganalogi semua jenis hewan dalam konteks air kencing dengan jenis
manusia dan memandangnya dari qiyas aulawi atau lebih-lebih lagi utama–, dan
tidak memahami dari status mubah shalat di kandang kambing sebagai kesucian
kotoran dan kencingnya di mana itu menjadi ibadah–, dan orang yang memahami
izin meminum air kencing unta sebagai kepentingan pengobatan, akan berpendapat
bahwa semua kotoran dan kencing makhluk hidup dari jenis apapun adalah najis.
Sedangkan ulama yang memahami kesucian kotoran dan kencing kambing dari hadits
yang membolehkan shalat di kandang kambing, dari hadits masyarakat Uraniyin,
atau larangan shalat di kandang unta sebagai makna lain selain najis, di mana
baginya jelas perbedaan antara jenis manusia dan jenis hewan di mana kotoran
sisa dari manusia dianggap kotor secara alamiah, tidak berlaku pada kotoran
sisa dari jenis hewan, memandang status kotoran sisa jenis makhluk apapun
sesuai dengan kategori daging tersebut (halal atau haram di makan). Wallahu
a‘lam,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Darul
Kutub Al-Ilmiyah, cetakan kelima, 2013 M/1434 H, halaman 79-80).
Lalu
bagaimana kita menyikapi perbedaan pandangan ulama dan hadits yang
memperbolehkan meminum air kencing unta?
Kita
dianjurkan untuk bersikap bijak dalam menyikapi perbedaan pendapat di kalangan
ulama. dengan kata lain, kita harus menghargai hasil ijtihad para ulama dengan
segala kelebihan dan kekurangan mereka.
Adapun
perihal sikap kita terhadap hadits yang memperbolehkan meminum air kencing
unta, kita sebaiknya hati-hati. Kita boleh mengikuti pandangan yang mana saja
tanpa harus menyalahkan pandangan orang lain yang berbeda dengan kita.
Sedangkan
dalam hemat kami, kita perlu melihat hadits tersebut dalam kaitannya misalnya
dengan pengobatan. Dalam konteks ini, kita bisa melihat kembali bagaimana para
ulama ushul fikih memetakan perbuatan rasul ke dalam dua bagian besar yaitu,
pertama perbuatan yang disyariatkan, yaitu shalat, puasa, zakat, haji, jual
beli, dan seterusnya yang perlu diikuti soal sah dan tidaknya. Kedua, perbuatan
rasul yang tidak disyariatkan sehingga tidak wajib diikuti.
Ulama
ushul fikih merinci perbuatan rasul jenis kedua yang bukan termasuk bagian dari
syariat menjadi tiga kategori. Pertama, perbuatan rasul sebagai makhluk hidup
yaitu makan, minum, tidur, diri, duduk, jalan. Kedua, perbuatan rasul sebagai
makhluk budaya (pengalaman dan eksperimen dalam soal keduniaan, bisa ditiru dan
bisa dikoreksi) yaitu perdagangan, pertanian, strategi perang, pengaturan
tentara, soal pengobatan, dan bidang lainnya. Rasulullah pernah dikoreksi oleh
petani kurma Madinah yang gagal panen karena mempraktikkan teknik pertanian
yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW juga pernah dikoreksi oleh
salah seorang sahabat yang lebih berpengalaman dalam hal perang perihal
penempatan pasukan di lokasi tertentu. Ketiga, perbuatan rasul yang bersifat
khusus (haram ditiru) yaitu beristri lebih dari empat orang, memutuskan perkara
dengan seorang saksi, puasa wishal, kewajiban shalat dhuha, tahajud, witir.
Terlepas
dari perbedaan pendapat empat madzhab, hadits yang memperbolehkan minum air kencing
unta untuk kepentingan pengobatan dapat dipahami berdasarkan kategori kedua.
Artinya, meminum air kencing unta dapat dibenarkan untuk kepentingan pengobatan
dengan catatan, pertama tidak ada lagi obat lain selain air kecing unta, kedua
air kencing unta terbukti secara klinis mutakhir merupakan obat atas penyakit
tersebut. Artinya, pertimbangan ilmu pengetahuan medis paling mutakhir perlu
menjadi pertimbangan utama dalam hal ini. Jangan sampai justru mendatangkan
bakteri, membuat mudharat baru secara medis, atau tidak memberikan efek positif
apapun sementara kotoran binatang itu terlanjur masuk ke tubuh kita.
Demikian
Kajian kita tentang BAGAIMANA HUKUM MEMINUM AIR KENCING UNTA? Semoga
Bermanfaat.
Wallahul
muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu
’alaikum wr. wb.
SUMBER
: NU online http://www.nu.or.id
0 Response to "BAGAIMANA HUKUM MEMINUM AIR KENCING UNTA"
Post a Comment