Warta Madrasah - sahabat warta madrasah pada kesempatan ini kita akan mengkaji tentang Pengertian Ba’i Bitsaman Ajil, berikut selengkapnya
Pembiayaa Ba’i Bitsaman Ajil adalah pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang atau jasa dengan kewajiban mengembalikan talangn dana tersebut ditambah margin keuntungan secara menyicil dalam jangka waktu tertentu.1
Secara teknis, fasilitas pembiayaan ini didasarkan atas aktivitas membeli dan menjual. Aset yang di inginkan untuk dibeli oleh nasabah, misalnya dibeli dari bank, dan kemudian aset tersebut dijual oleh bank kepada nasabah yang memesan aset itu dilakukan dengan harga yang disepakati dimuka setelah bank dan nasabah menentukan jangka waktu cicilan tersebut. Harga jual bank kepada nasabah terdiri atas harga yang sesungguhnya (actual cost of the asset) ditambah profit margin dari bank.
Keuntungan yang diperoleh bank adalah sah menurut syariah karena transaksi tersebut didasarkan pada suatu kontrak jual-beli (sale contract) bukan didasarkan pada suatu kontrak pinjaman (a loan contract). Keunikan dari fasilitas akad Ba’i Bitsaman Ajil adalah harga jual (selling price) itu sendiri, yang harus tetap dan tidak berubah selama jangka waktu pelunasan.
Jadi jika harga jual ditetapkan dan disepakati, maka harga barang tersebut tidak boleh diubah walaupun terjadi inflas, deflasi, dan kenaikan suku bunga. Hal inilah yang membedakan dengan konsep ekonomi konvensional, yang menetapkan imbalan atas kredit atau pembiayaan yang diberikan berdasarkan prosentasi tertentu (sesuai tingkat suku bunga pasar) dari saldo kredit atau pembiayaan.2 Dengan demikian, bunga atau imbalan yang dibebankan kepada nasabah akan mengikuti pergerakan (naik atauturunnya) tingkat suku bunga. Perbedaan yang lain adalah jika terjadi penunggakan pembayaran, maka dalam konsep ekonomi konvensional akan dikenakan hukuman dengan bunga yang berbeda, hal ini tidak boleh terjadi dalam ekonomi Islam.
Ketentuan syar‟i transaksi Ba‟i bitsaman ajil disamakan dengan transaksi Murabahah, digariskan fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa tersebut membahas tentang ketentuan umum jual-beli murabahah dalam bank syariah, ketentuan jual-beli kepada nasabah, jaminan, utang dalam murabahah, penundaan pembayaran, dan kondisi bangkrut pada nasabah. Fatwa DSN Nomor 4 menyatakan bahwa dalam jual-beli bai bitsaman ajil/ murabahah, barang yang diperjualbelikan bukanlah barang yang diharamkan, bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. DSN mensyaratkan bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri dan harus menyampaikan semua hal kepada nasabah, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
Pada praktik perbankan, umumnya barang yang dipesan nasabah bersifat mengikat untuk dibeli oleh nasabah. Dengan pertimbangan kepraktisan dan menghindari kesalahan spesifikasi yang diinginkan nasabah, DSN memperbolehkan bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga. Transaksi mewakilkan pembelian barangkepada nasabah biasanya didasarkan atas akad wakalah (fatwa DSN Nomor 10 Tahun 2000).3
Bentuk dan sifat pembiayaan Ba‟i bitsaman ajil yang dilakukan oleh Bank Islam.4
1. Bank mengangkat nasabah sebagai agen bank
2. Nasabah dalam kapasitasnya sebagai agen bank, melakukan pembelian barang modal atas nama bank
3. Bank menjual barang modal tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah dengan keuntungan bank (mark-up)
4. Nasbah membeli barang modal tersebut dan pembayaran dilakukan secara mencicil untuk jangka waktu yang telah disetujui bersama.
Pembiayaa Ba’i Bitsaman Ajil adalah pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang atau jasa dengan kewajiban mengembalikan talangn dana tersebut ditambah margin keuntungan secara menyicil dalam jangka waktu tertentu.1
Secara teknis, fasilitas pembiayaan ini didasarkan atas aktivitas membeli dan menjual. Aset yang di inginkan untuk dibeli oleh nasabah, misalnya dibeli dari bank, dan kemudian aset tersebut dijual oleh bank kepada nasabah yang memesan aset itu dilakukan dengan harga yang disepakati dimuka setelah bank dan nasabah menentukan jangka waktu cicilan tersebut. Harga jual bank kepada nasabah terdiri atas harga yang sesungguhnya (actual cost of the asset) ditambah profit margin dari bank.
Keuntungan yang diperoleh bank adalah sah menurut syariah karena transaksi tersebut didasarkan pada suatu kontrak jual-beli (sale contract) bukan didasarkan pada suatu kontrak pinjaman (a loan contract). Keunikan dari fasilitas akad Ba’i Bitsaman Ajil adalah harga jual (selling price) itu sendiri, yang harus tetap dan tidak berubah selama jangka waktu pelunasan.
Jadi jika harga jual ditetapkan dan disepakati, maka harga barang tersebut tidak boleh diubah walaupun terjadi inflas, deflasi, dan kenaikan suku bunga. Hal inilah yang membedakan dengan konsep ekonomi konvensional, yang menetapkan imbalan atas kredit atau pembiayaan yang diberikan berdasarkan prosentasi tertentu (sesuai tingkat suku bunga pasar) dari saldo kredit atau pembiayaan.2 Dengan demikian, bunga atau imbalan yang dibebankan kepada nasabah akan mengikuti pergerakan (naik atauturunnya) tingkat suku bunga. Perbedaan yang lain adalah jika terjadi penunggakan pembayaran, maka dalam konsep ekonomi konvensional akan dikenakan hukuman dengan bunga yang berbeda, hal ini tidak boleh terjadi dalam ekonomi Islam.
Ketentuan syar‟i transaksi Ba‟i bitsaman ajil disamakan dengan transaksi Murabahah, digariskan fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa tersebut membahas tentang ketentuan umum jual-beli murabahah dalam bank syariah, ketentuan jual-beli kepada nasabah, jaminan, utang dalam murabahah, penundaan pembayaran, dan kondisi bangkrut pada nasabah. Fatwa DSN Nomor 4 menyatakan bahwa dalam jual-beli bai bitsaman ajil/ murabahah, barang yang diperjualbelikan bukanlah barang yang diharamkan, bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. DSN mensyaratkan bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri dan harus menyampaikan semua hal kepada nasabah, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
Pada praktik perbankan, umumnya barang yang dipesan nasabah bersifat mengikat untuk dibeli oleh nasabah. Dengan pertimbangan kepraktisan dan menghindari kesalahan spesifikasi yang diinginkan nasabah, DSN memperbolehkan bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga. Transaksi mewakilkan pembelian barangkepada nasabah biasanya didasarkan atas akad wakalah (fatwa DSN Nomor 10 Tahun 2000).3
Bentuk dan sifat pembiayaan Ba‟i bitsaman ajil yang dilakukan oleh Bank Islam.4
1. Bank mengangkat nasabah sebagai agen bank
2. Nasabah dalam kapasitasnya sebagai agen bank, melakukan pembelian barang modal atas nama bank
3. Bank menjual barang modal tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah dengan keuntungan bank (mark-up)
4. Nasbah membeli barang modal tersebut dan pembayaran dilakukan secara mencicil untuk jangka waktu yang telah disetujui bersama.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa Ba‟i Bitsaman Ajil merupakan suatu pembiayaan yang berskema jual-beli, antara BMT dan si nasabah yang pembayarannya dilakukan secara angsuran dengan BMT mengambil keuntungan dari harga barang yang telah disepakati. Adanya unsur penangguhan waktu menyebabkan perlunya jaminan pembayaran. Dalam konsep ini dapat menggunakan surat- surat transaksi sebagai jaminan sampai lunasnya pembayaran.
2. Dasar Hukum
a. Al-Qur’an
Ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar hukum pembiayaan ba’ibitsaman ajil adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 29
Artinya: “Hai orang-orang beriman janganlah kamu makan hak sesamamu dengan jalan yang bathil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”5
2. Surat Al-Baqarah ayat 275
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
b. Al Hadist
Artinya: Dari Abu sa‟id al khudri bahwa Rasulullah SAW. Pernah bersabda, „‟sesungguhnya jual beli itu harus di lakukan suka sama suka‟‟ (HR. Albaihaqi dan Ibnu majah dan dinilai sahih oleh Ibnu hiban).
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional6
1. No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah
2. No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah
3. No. 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka Dalam Murabahah
4. No. 16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon Dalam Murabahah
5. No. 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan Murabahah
6. No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah bagi nasabah tidak mampu membayar
7. No. 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah
8. No. 49/DSN- MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahab
3. Rukun dan Syarat Ba‟i Bitsaman Ajil
a. Rukun
Sebagai sebuah produk perbankan yang didasarkan pada perjanjian jual beli, maka demi keabsahannya harus memenuhi rukun, antara lain sebagai berikut:
1. Penjual Pihak yang memiliki objek barang yang akan diperjualbelikan.
2. Pembeli
Pihak yang ingin memperoleh barang yang diharapkan, dengan membayar sejumlah uang tertentu ke penjual.
3. Objek Jual Beli
terdiri dari barang yang diperjualbelikan tidak termasuk barang yang diharamkan/ dilarang, bermanfaat, penyarahannya dari penjual ke pembeli dapat dilakukan, merupakan hak milik penuh pihak yang berakad, sesuai dengan spefisikasinya antara yang diserahkan penjual dan yang diterima pembeli.
4. Ijab Kabul
Merupaka kesepakatan penyerahan barang dan peneriamaan barang yang diperjual belikan. Ijab kabul harus disampaikan secara jelas atau ditulis untuk ditanda tangani oleh penjual dan pembeli.
b. Syarat
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ba’i bitsaman ajil adalah sebagai berikut:
9. Syarat orang yang berakad (penjual dan pembeli) Syaratnya adalah:
· Berakal, agar tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidaksah jual belinya.
· Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa).
· Tidak mubadzir (pemboros), sebab harta orang yang mubadzir itudi tangan walinya.
· Baligh, anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa, menurut sebagian ulama mereka diperbolehkan jual beli.
10. Syarat yang terkait dengan ijab dan qabul
Syaratnya adalah:
· Orang yang mengucapkan telah baligh dan berakal.
· Qabul sesuai dengan ijab, apabila ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli tidak sah.
· Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis. Artinya, kedua belah pihak melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama.
2. Syarat barang yang dijual belikan Syaratnya adalah:
· Suci, barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai.
· Ada manfaatnya, tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
· Barang itu dapat diserahkan, tidak sah menjual barang yang tidak dapat diserahkan kepada pembeli, misalnya ikan dalam laut dan barang yang sedang dijaminkan.
· Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilkan atau yang mengusahakan.
3. Syarat nilai tukar (harga barang)
· Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
· Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum, seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang), maka waktu pembayarannya harus jelas.
· Apabila harga jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang (al-muqayadah), maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan syara’, seperti babi dan khamar, karena dua jenis benda ini tidak bernilai dalam syara’.
4. Objek Jual Beli
· Barang ada atau ada kesanggupan dari penjual untuk mengadakan barang yang akan dijual.
· Barang yang diperjualbelikan adalah barang halal.
· Barang yang diperjualbelikan merupakan barang yang berwujud.
· Barang yang akan dijual adalah milik sah pembeli yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan.
5. Harga
· Harga jual yang ditawarkan oleh bank merupakan harga beli ditambah dengan margin keuntungan.
· Harga jual tidak boleh berubah selama masa perjanjian.
· Sistem pembayaran dan jangka waktu pembayaran disepakati bersama antara penjual dan pembeli.
1Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, h. 135.
2Sjahdeini,
Sutan Remy, Perbankan Syariah Produk-Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya,
Jakarta: Prenada Media Grup, 2014, h. 229-230.
3 Yaya, Rizal, Akuntansi Perbankan Syariah, Jakarta: Salemba Empat, 2014, h. 158-161.
4Perwataatmadja, Karnaen, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992, h. 28.
7. No. 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah
8. No. 49/DSN- MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahab
3. Rukun dan Syarat Ba‟i Bitsaman Ajil
a. Rukun
Sebagai sebuah produk perbankan yang didasarkan pada perjanjian jual beli, maka demi keabsahannya harus memenuhi rukun, antara lain sebagai berikut:
1. Penjual Pihak yang memiliki objek barang yang akan diperjualbelikan.
2. Pembeli
Pihak yang ingin memperoleh barang yang diharapkan, dengan membayar sejumlah uang tertentu ke penjual.
3. Objek Jual Beli
terdiri dari barang yang diperjualbelikan tidak termasuk barang yang diharamkan/ dilarang, bermanfaat, penyarahannya dari penjual ke pembeli dapat dilakukan, merupakan hak milik penuh pihak yang berakad, sesuai dengan spefisikasinya antara yang diserahkan penjual dan yang diterima pembeli.
4. Ijab Kabul
Merupaka kesepakatan penyerahan barang dan peneriamaan barang yang diperjual belikan. Ijab kabul harus disampaikan secara jelas atau ditulis untuk ditanda tangani oleh penjual dan pembeli.
b. Syarat
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ba’i bitsaman ajil adalah sebagai berikut:
9. Syarat orang yang berakad (penjual dan pembeli) Syaratnya adalah:
· Berakal, agar tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidaksah jual belinya.
· Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa).
· Tidak mubadzir (pemboros), sebab harta orang yang mubadzir itudi tangan walinya.
· Baligh, anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa, menurut sebagian ulama mereka diperbolehkan jual beli.
10. Syarat yang terkait dengan ijab dan qabul
Syaratnya adalah:
· Orang yang mengucapkan telah baligh dan berakal.
· Qabul sesuai dengan ijab, apabila ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli tidak sah.
· Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis. Artinya, kedua belah pihak melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama.
2. Syarat barang yang dijual belikan Syaratnya adalah:
· Suci, barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai.
· Ada manfaatnya, tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
· Barang itu dapat diserahkan, tidak sah menjual barang yang tidak dapat diserahkan kepada pembeli, misalnya ikan dalam laut dan barang yang sedang dijaminkan.
· Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilkan atau yang mengusahakan.
3. Syarat nilai tukar (harga barang)
· Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
· Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum, seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang), maka waktu pembayarannya harus jelas.
· Apabila harga jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang (al-muqayadah), maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan syara’, seperti babi dan khamar, karena dua jenis benda ini tidak bernilai dalam syara’.
4. Objek Jual Beli
· Barang ada atau ada kesanggupan dari penjual untuk mengadakan barang yang akan dijual.
· Barang yang diperjualbelikan adalah barang halal.
· Barang yang diperjualbelikan merupakan barang yang berwujud.
· Barang yang akan dijual adalah milik sah pembeli yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan.
5. Harga
· Harga jual yang ditawarkan oleh bank merupakan harga beli ditambah dengan margin keuntungan.
· Harga jual tidak boleh berubah selama masa perjanjian.
· Sistem pembayaran dan jangka waktu pembayaran disepakati bersama antara penjual dan pembeli.
1Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, h. 135.
3 Yaya, Rizal, Akuntansi Perbankan Syariah, Jakarta: Salemba Empat, 2014, h. 158-161.
4Perwataatmadja, Karnaen, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992, h. 28.
5Nurhayati, Sri, Akuntansi Syariah di Indonnesia, Jakarta: Salemba Empat, 2012, h. 172.
6 Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012, h. 206.
0 Response to "Pengertian Ba’i Bitsaman Ajil"
Post a Comment