ANALISIS PEMIKIRAN MURTADHA
MUTHAHHARI
TENTANG INSAN KAMIL
A.
Analisis Pemikiran Murtadha Muthahhari tentang Insan
Kamil
Konsep
Insan Kamil yang diketengahkan Murtadha Muthahhari lebih memfokuskan
pada keseimbangan mental atau jiwa. Dalam pengertian Muthahhari, nilai
keseimbangan antara pemenuhan faktor esoteris (batiniyah) dan eksoteris
(jasmaniah) harus sebangun, bersamaan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Bagi Muthahhari memperkaya rohani bukan dengan meninggalkan jasmani, begitupun
sebaliknya jasmani tidak menjadi prioritas utama dengan meninggalkan aspek
rohani. Bertolak dari pengerrtian tersebut dalam versi Muthahhari jasmani dan
rohani dibangun dengan harmonis atau serasi.
Mencermati
konsep Muthahhari, penulis sependapat dengan pemikirannya di atas. Karena
keseimbangan nilai dan harmonisasi segenap potensi insani menjadi syarat utama
dalam mencapai Insan Kamil.
Keistimewan
konsep Muthahhari tidak mengurangi kebutuhan pisik ia menganggap pisik dan
rohani sebagai dua komponen saling mempengaruhi keduanya tidak boleh dijadikan
dikhotomi. Jika dicermat latar belakangi historis perkembangan rohani dan
jasmani manusia bahwa banyak para
pengikut tasawuf yang lebih mengutamakan aspek rohani, sementara aspek jasmani
dikesampingkan. Kondisi ini telah menyebabkan salah satu kemunduran umat Islam
untuk bersaing dengan dunia lain. Penulis dapat memahami pemikiran Muthahhari
karena ia pun seorang sufi atau paling tidak salah seorang yang banyak menaruh
perhatian terhadap perkembangan ilmu tasawuf. Muthahhari tampaknya tidak
menginginkan kemunduran umat Islam terulang kembali.
Sebaliknya
Muthahari tidak menghendaki jasmani lebih diutamakan daripada rohani. Pendapat
ini pun bisa dimengerti karena dalam ajaran Islam yang dikejar itu bukan saja
masalah duniawi tetapi juga masalah ukhrowi.
Adapun
usaha-usaha untuk mewujudkannya, maka menurut Murtadha Muthahhari tidak bisa
datang dengan sendirinya meskipun potensi untuk ke arah itu sudah ada. Dalam
konteks ini Muthahhari memberi resep agar manusia tersebut harus lebih dahulu
mengenal, memahami dan mempelajari pribadi-pribadi yang mempunyai kualifikasi
sebagai Insan Kamil. Dengan demikian usaha untuk mewujudkan menjadi
insan kamil itu ada dua cara:
1. Dengan
mempelajari seluruh ayat-ayat al Qur’an dan Hadits yang berbicara tentang
masalah Insan Kamil meskipun al Qur’an dan Hadits tidak menyebut istilah
itu. Tetapi paling tidak memuat ciri-ciri dan syarat-syarat menjadi Insan
Kamil..
2. Untuk
memahami dan mengenal Insan Kamil
selain dari al Qur;an dan Hadits bisa pula dengan melihat dan mempelajari sosok
manusia yang memiliki Insan Kamil itu. Misalnya nabi Muhammad SAW. Kita
sepakat Muhammad SAW memiliki sejumlah keutamaan, keistimewaan dan kelebihan.
Tidak ada manusia yang memiliki karakter seperti nabi Muhammad SAW
Para
orientalis menggambarkan Nabi Muhammad SAW sebagai sosok manusia paripurna baik
dalam rumah tangga, kenegaraan maupun kemasyarakatan.
B.
Upaya Pendidikan
Islam Dalam Membentuk Insan Kamil
Kehadiran
Insan Kamil dalam kehidupan umat manusia, terlebih dalam dunia
pendidikan Islam sangat diharapkan dan mendapatkan posisi yang sangat penting.
Begitu penting kehadirannya sehingga pendidikan Islam berupaya keras untuk
merealisasikan dan melahirkan Insan Kamil ke dunia ini. Untuk
merealisasikan terbentuknya Insan Kamil tidaklah semudah ucapan, karena
proses pembentukannya memerlukan waktu yang panjang dan dilakukan secara
bertahap. Membentuk Insan Kamil tidak bisa hanya terjadi secara alami,
tanpa suatu upaya keras.
Konsep
Murtadha Muthahari tentang keseimbangan seluruh potensi insaniah (fitrah) dalam
membentuk Insan Kamil sangat sejalan bila dikembangkan dalam pendidikan
Islam. Upaya membentuk Insan Kamil bagi pendidikan Islam sebagaimana
yang telah disinggung di atas yaitu dengan menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi
dasar (fitrah) yang telah ada pada diri manusia. Seorang pendidik tidak
dituntut untuk mencetak anak-anak didik untuk menjadi ini dan itu.
Apabila
anak didik mempunyai sifat dasar yang dipandang sebagai pembawaan jahat maka
upaya pendidikan diarahkan dan difokuskan untuk menghilangkan serta
menggantikan atau setidak-tidaknya mengurangi elemen-elemen kejahatan tersebut
dengan cara berikhtiar sebaik-baiknya untuk menjauhkan timbulnya pelajaran yang
dapat menyebabkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik, yaitu dengan menanamkan
nilai etika dan tingkah laku yang baik.
Untuk
menjadikan akal supaya pandai, berilmu pengetahuan dan berwawasan luas ke
depan, maka akal harus difungsikan untuk membaca, berfikir, merenung dan
memahami gejala-gejala alam yang telah tersedia dan tercipta untuk manusia.
Untuk menjangkau sains dan teknologi, maka manusia perlu mi’roj of the mind dengan
jalan membaca dan mencoba semua disiplin ilmu dari manapun datangnya.[1]
Insan
Kamil muda (calon) dalam upaya untuk mengembangkan dan memberdayakan potensi
akalnya dapat dilatih dengan membawa dan mengajaknya untuk menguak hukum-hukum
alam dengan dasar suatu teori dan hipotesis ilmiah melalui kekuatan akal
pikiran, mengajarinya untuk memikirkan ciptaan Allah sehingga memperoleh konklusi
bahwa alam diciptakan dengan tidak sia-sia, mengenalkan anak didik pada materi
logika, filsafat, matematika dan pelajaran yang lain, serta materi-materi yang
dapat menumbuhkan daya kreativitas dan produktifitas daya nalar.
Adapun
ilmu pengetahuan yang diberikan harus sesuai dengan kadar kemampuan akalnya,
dengan cara memberikan materi yang lebih mudah dahulu, lalu beranjak pada
materi yang lebih sulit. Dari yang kongkret ke yang abstrak.
Insan
Kamil sebagai hamba Allah mempunyai kualitas spiritual yang tinggi dan agung
yaitu sikap takwa kepada Allah. Sikap takwa lahir dari keagungan spiritual dari
kualitas iman yang tinggi, sejati dan
amal sholeh.[2]
Untuk mewujudkannya potensi qalbu (hati) harus diberdayakan dan dikembangkan
dengan berbagai macam riadhah dan pendidikan, karena potensi iman dan
takwa tempatnya dalam hati.
Proses
pendidikan yang dilakukan adalah menitikberatkan pada pembangunan aspek
keimanan dan moralitas. Karena aspek ini dapat menyuburkan perkembangan qalbu.
Dengan demikian materi yang disampaikan tidak hanya berupa materi yang
bermuatan pengembangan daya-daya intelektual semata, tetapi juga materi yang
dapat mengembangkan daya intuisi atau daya perasaan.
Untuk
mewujudkan kesempurnaan iman dan akhlak dalam pribadi Insan Kamil,
pendidikan Islam harus menanamkan dan melatih ketaatan untuk beribadah kepada
Allah dengan ikhlas, baik ibadah secara khusus (mahdoh) maupun umum (ghair
mahdoh)
Dengan
membentuk budi pekerti luhur akan dapat menyeimbangkan pola kehidupan di dunia
dan di akhirat serta memperoleh kebahagiaan keduanya. Teknis pendidikan harus
diarahkan agar dapat menyentuh dan merasuk ke dalam hati dan dapat membekas
pada hal positif. Maka dari itu, pembiasaan dan peneladanan amalan-amalan yang
baik yang telah dicontohkan oleh Rasulullah harus kerap diberikan sebagai upaya
untuk memberikan kesan dan bekas yang positif agar mengkristal dalam
kepribadian Insan Kamil muda.
Pendidikan yang pertama dan utama harus diarahkan, yaitu
pada pembinaan kekuatan hati (qolbu), baru kemudian pembinaan pada ranah
kognisi dan ketrampilan-ketrampilan.[3]
Upaya-upaya
yang dilakukan dalam rangka membentuk pribadi Insan Kamil dalam
pendidikan Islam tidak terbatas pada lembaga-lembaga pendidikan formal pada
sekolah-sekolah, tetapi juga di rumah, di masjid, di tempat kerja dan tempat
lainnya dimana manusia hidup dan melangsungkan aktifitas kehidupan. Dengan kata
lain, pendidikan Islam dapat dilakukan di segala tempat dan di sepanjang masa.
Adapun ukuran keberhasilan tidak terletak pada ijazah dengan angka-angka yang
ada padanya, melainkan wujud kepribadian muslim sejati yang diekspresikan
melalui pola pikir dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.[4]
Cita-cita
ideal pendidikan Islam adalah membentuk suatu kepribadian yang utuh, yang
beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, yang didalamnya berisi ilmu dan amal
shaleh, yang selanjutnya disebut sebagai manusia sempurna atau insan kamil.
Siapapun tidak akan bisa membantah kalau cita-cita ideal tersebut akan dapat
direalisasikan oleh pendidikan Islam, karena secara teoritis pendidikan Islam
merupakan pendidikan yang bersumber pada nilai-nilai ajaran Islam, dan umat
Islam percaya bahwa Rasulullah dalam sejarah telah mampu mengemban amanat untuk
menggiring umatnya pada saat itu menjadi umat yang berkepribadian dan berakhlak
mulia.
Secara
teoritis pendidikan Islam juga berkeyakinan bahwa dengan berhasilannya
menginternalisasi program-program pendidikan yang telah ditelurkan dan
dicanangkan kepada anak didik telah mampu membentuk suatu kepribadian utuh
yaitu kepribadian yang dimiliki Insan Kamil. Namun disebabkan oleh
persoalan apa dan kenapa sehingga ketika kita hendak melihat fakta dan realita
yang terjadi, antara cita dan fakta jauh berbeda. Artinya pada kenyataan
kelahiran pribadi yang bermentalitas Insan Kamil yang merupakan hasil
perkawinan dan pengintegrasian antara iman dan akal yang telah diangan-angankan
dan dinantikan muncul kepermukaan terasa sulit diwujudkan. Yang telah terjadi
di lapangan justru banyak kader-kader muslim yang tampil dengan membawa
wajah-wajah yang bermentalitas pecah, tidak utuh sebagaimana yang diharapkan.
Kader-kader
muslim sering mucul dalam pribadi-pribadi yang pecah dalam masyrakat Islam dan
menampilkan wajah-wajah ganda yang samar serta sulit ditebak. Di Masjid dan di
Surau kader-kader muslim bersikap alim, sementara di pasar dan di tempat-tempat
keramaian orang sedang beraktifitas, kader-kader muslim sering tampil sebagai
orang asing sama sekali.[5]
Sementara disisi lain kader-kader muslim kadangkala juga menampilkan pola hidup
jauh dari ikatan norma agama yang tidak mengenal dan terasing dengan dirinya
dan Tuhannya, daya spiritualitasnya telah tercabut dari kehidupannya sehingga
merasa krisis tentang makna dan tujuan hidupnya sebagai akibat dari dampak
modernisasi.[6]
Kegagalan
mewujudkan pengintegrasian antara dimensi iman (spiritualitas ) dan ilmu (
intelektualitas ) dalam pribadi kader muslim sebagai perwujudan pembentukan Insan
Kamil merupakan tujuan umat Islam secara keseluruhan. Di samping itu pula
suatu ketegangan antara kenyataan dengan apa yang seharusnya, antara cita dan
fakta juga menjadi tugas pendidikan Islam untuk mencari penyelesaiannya.
Lembaga
pendidikan Islam betapapun tidak sempurnanya pada tataran teoritik maupun
praktiknya, tetapi ia mempunyai peranan penting dalam membentuk sebuah
pembangunan peradaban umat manusia. Untuk Indonesia dengan jumlah penganut
Islam yang terbesar di seluruh dunia, maka peranan pendidikan yang bercorak
Islam haruslah ditempatkan pada posisi untuk kepentingan bangsa secara
menyeluruh.[7]
Agar terbentuk Insan Kamil yang unggul secara intelektual, kaya dalam
amal, serta anggun dalam moral dan kebijakan, meskipun hanya dalam jumlah yang
relatif sedikit.
Sampai
saat ini, hampir sebagian besar para pakar dan ahli pendidikan, intelektual,
dan cendikiawan muslim masih merasakan bahwa sistem pendidikan Islam di negara
Indonesia baik dalam sistem pendidikan pesantren, madrasah maupun sekolah atau
perguruan tinggi umum masih menampakkan permasalahan. Pendidikan Islam
cenderung disintegratif, eksklusif dan ambivalen. Pengaruh pendidikan Barat
yang sekuler yang berakibat pada penyakit pendikotomian antara ilmu pengetahuan
masih sangat kental dalam mewarnai corak pendidikan Islam.
Sebagian
pakar pendidikan mengeluhkan sistem pendidikan di negara kita dan memberikan
kesimpulan bahwa di negara kita tidak ada pendidikan Islam. Anggapan ini
berawal dari kenyataan di lapangan bahwa pendidikan kita belum mencerminkan
ajaran Islam secara keseluruhan yang berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. Karena
dalam ajaran Islam tidak mengenal pembagian, pemilahn, pemisahan antara ilmu
umum dan ilmu agama. Menjadikan ilmu agama sebagai fardhu ain dan
ilmu-ilmu yang dianggap sekuler ( ilmu umum ) sebagai fardhu kifayah, [8]
atau sebaliknya.
Kondisi
ini memang sangat dilematis, disatu sisi dari pendidikan Islam diharapkan dapat
mewujudkan manusia yang berkepribadian utuh, tetapi disatu sisi yang lain
pendidikan kita masih berputar pada sistem pendidikan yang kurang Islami.
Permasalahan-permasalahan tersebut di atas timbul bisa jadi disebabkan kelemahan-kelemahan
orang Islam sedikit yang kurang serius dalam menafsirkan dan menterjemahkan Al
qur’an dan hadits secara benar. Lemahnya filterasi umat Islam terhadap budaya
luar yang berusaha merusak dan mencabik-cabik ajaran Islam dengan ajaran
sekuler yang berimbas pada sistem pendidikan Islam dapat berpengaruh pada
penentuan materi, sistem pembelajaran, kurikulum dan sebagainya.
Dalam
rangka untuk menghindari dan menepis ajaran sekuler yang dikotomik tersebut,
para pakar lebih setuju dengan melakukan proses Islamisasi sains dan
teknologi, yaitu suatu proses integrasi ilmu dengan nilai-nilai
ajaran-ajaran Islam, dan dengan proses ini akan mengeluarkan pendidikan yang
memilah-memilah ilmu pengetahuan. Di samping itu, upaya melakukan reformulasi
dalam pendidikan yang meliputi: arah, tujuan, dan pendekatan pendidikan Islam
harus jelas yakni dapat menyentuh aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Adapun muatan materinya harus secara utuh tentang Islam yang meliputi hablumminallah,
hablumminanas dan hablumminal alam.[9]
Jadi
tidak bertemunya antara dunia cita dan dunia nyata dalam pembentukan Insan
Kamil boleh jadi disebabkan sisitem pendidikan Islam sendiri yang masih
perlu pembenahan, dan faktor internal pada diri pribadi manusia didik yang
menjadi obyek pendidikan Islam, karena sesempurna apapun sistem pendidikan yang
diformulasikan apabila si terdidik tidak berkehendak membantu proses
pembentukan dirinya maka adalah sangat mustahil terwujud Insan Kamil
yang dicita-citakan.
C.
Relevansi Insan Kamil dan Tujuan Pendidikan Islam
Berbicara mengenai
tujuan pendidikan Islam masing-masing
ulama mengemukakan pendapat dengan titik berat yang berbeda tetapi pada intinya
sama. Ibnu khaldun menganggap tujuan pendidikan islam itu memiliki dua dimensi,
pertama dimensi keagamaan yaitu beramal untuk akhirat. Sedangkan tujuan ilmiah
yang bersifat keduniaan yaitu mempunyai nilai manfaat atau persiapan untuk
hidup. Sementara al Ghozali berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam yang
paling utama adalah beribadah, taqarrub kepada Allah, kesempurnaan insani yang
tujuannnya kebahagiaan dunia dan akhirat. Disamping kedua pendapat diatas masih
banyak pendapat lain seperti rumusan Mustafa Amin, al Abrasyi, Saleh Abdul Aziz
dan Abdul Aziz Abdul Najib. Jika diperhatikan rumusan-rumusan tersebut dapat
lah disimpulkan bahwa tujuan pendidikan islam adalah untuk menciptakan manusia
seutuhnya baik dalam aspek jasmani maupun rohani yang dalam Islam disebut Insan
Kamil.
Dari kesimpulan diatas
jelas ada relevansi antara Insan Kamil dalam perspektif pemikiran
Murtadha Muthahhari dengan tujuan pendidikan Islam. Ini berarti ada kedekatan
relevansi Insan Kamil dengan pendidikan Islam karena keduanya mempunyai
hubungan timbal balik yang saling mengikat ibarat mata rantai yang satu sama
lain saling berhubungan. Sehingga jika salah satunya terputus maka terputus
pula seluruh komponen yang ada pada diri manusia. Insan Kamil merupakan
pancaran akhir dan cita-cita ideal yang menjadi harapan pendidikan Islam.
Pendidikan Islam
merupakan salah satu tujuan yang hendak dilaksanakan Insan Kamil dalam
kegiatan hidupnya. Insan Kamil dengan tujuan pendidikan islam mempunyai
tanggung jawab dan tantangan yang sama sesuai dengan dinamika masyarakat.
Relevansi antara Insan Kamil dengan
tujuan pendidikan Islam sangat erat,
keduanya tidak dapat dipisahkan. Kedekatan hubungan Insan Kamil dengan
pendidikan Islam sebenarnya disebabkan karena keduanya mempunyai hubungan
timbal balik yang saling mengikat. Insan Kamil merupakan final aim,
pancaran akhir dan cita-cita ideal yang diproyeksikan dan diharapkan pendidikan
Islam, sementara pendidikan Islam merupakan salah satu tujuan dan misi yang
diemban yang hendak direalisasikan Insan Kamil dalam aktifitas hidupnya.
[1] A.M Syaifuddin, Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, (Bandung:Mizan,
1990), cet. II, hlm. 80
[2] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Membumikan Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995), Cet.II, hlm.77
[3] Syamsul Arifin dkk, Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa
Depan, (Yogyakarta: Sippress, 1996), hlm.169
[4] Imam Bawani dkk, Cendikiawan Muslim Dalam Perspektif Pendidikan
Islam, (Surabaya:Bina Ilmu, 1991), hlm.127
[5] Ahmad Syafi’I Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam Di
indonesia, (Bandung:Mizan, 1995), cet.III, hlm. 146
[6] Syamsul Arifin, op.cit, hlm. 36
[7] Ahmad Syafi’i Ma’arif, op cit, hlm.153
[8] Ibid, hlm.151
[9] A.M Syaifuddin, op.cit, hlm.116-120
0 Response to "ANALISIS PEMIKIRAN MURTADHA MUTHAHHARI TENTANG INSAN KAMIL"
Post a Comment