ANALISIS PENDAPAT IMAM ALA’U
AL-DIN AL-KASANI KAITANNYA DENGAN HUKUM DAN PELAKSANAAN QASHAR
BAGI MUSAFIR
Tujuan dari sholat tidak lain adalah untuk
beribadah kepada Allah dan itu akan terealisir secara nyata. dalam pengamalan
sholat minimal lima kali dalam sehari semalam. Dalam pengamalan sholat
seseorang dengan sendirinya menyembah dan mengingat Allah (berdzikir
kepada-Nya), apalagi jika pengamalannya dilakukan dengan kaifiyat yang baik
serta diberi bobot dengan khusyu’ dan ikhlas, seperti terlihat
dalam QS. Al-Mu’minun 1-2.
قد أفلح المؤمنون الّذ ين هم في
صلوتهم خاشعون (المؤمنون : 1-2)
Artinya : “Sesungguhnya
menanglah orang-orang yang beriman (yaitu) oang-orang yang khusu’ dalam
sholatnya” (QS. Al-Mu’minum : 1-2).[1]
Dengan mengerjakan dengan khusu’
dan penuh keikhlasan, maka akan timbul dalam diri seseorang itu baik langsung
atau tidak akan menumbuhkan disiplin waktu yang akan membuat diri seseorang
selalu ingat akan kewajibannya tanpa menunda-nunda, dan yang terpenting adalah
disiplin moral yang akan menghindarkannya dari perbuatan rendah, karena
sholatnya itu akan senantiasa membentenginya dari segala perbuatan keji dan
mungkar.
Sementara orang yang sering meninggalkan sholat
baik karena malas atau karena kesibukan. Kesibukan yang tidak terhitung kendala
secara syar’i, maka orang tersebut dianggap kafir dan harus dipenuhi. Seperti
hadits yang berbunyi :
عن ابن عمر أن النبيّ صلىالله عليه وسلم قال : أمرت أن
أقاتل النّاس حتّى يشهد وا أن لا اله الا الله وان محمدارسول الله ويقيمواالصّلاة
ويؤتواالزّكاة فاذا فعلوا ذلك عصموا منّى دماؤهم واموالهم الاّ بحقّ للا سلام
(رواه البخارى مسلم وعنه عمر). [2]
Artinya
: “Dari Ibn Umar, bahwasanya Nabi SAW
berkata : aku diperintahykan untuk memerangi manusia sampai dengan mereka
mengucap syahadah bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah
dan mereka mendirikan sholat serta membayar zakat. Jika mereka melaksanakan
semua yang tiga itu, maka terpeliharalah darah mereka (dari ancaman bunuh) dan
harta-harta mereka kecuali dengan ketentuan Islam” (HR. Bukhari Muslim dan Ibn
Umar).
Pendapat-pendapat Ala’u
Al-Din Al-Kasani yang berbeda adalah berupaya menyelaraskan pendapat dan
ijtihadnya dengan ajaran-ajaran dan sistem hukum dalam Islam sehingga tidak
terdapat salah pengertiandalam memberlakukan hukum Islam secara keseluruhan dan
walaupun ada karena dipengaruhi oleh perbedaan pemahaman saja dikalangan ulama.
Dalam menggali dan
menetapkan suatu hukum selain berdasarkan sumber hukum yakni Al-Qur'an dan
Al-sunnah imam Ala’u Al-Din Al-Kasani menggunakan metode analogi deduksi yang
memberikan kebebasan berijtihad.
Bagaimana juga suatu hukum
dalam (aturannya) dapat berbeda karena
adanya perbedaan kultur dan masyarakat sudut ini terlihat jelas bahwa Islam
adalah universal, dinamis, dengan daya adaptasi yang tinggi.
A. Penggunaan
Hukum Qashar bagi Musafir
Diantara
pendapat imam Ala’u Al-Din Al-Kasani yang berbeda tersebut dibutuhkan suatu
ketetapan hukum manakah yang harus dipakai dalam menjawab suatu permasalahan
yang terjadi diantara pera ulama tentang hukum qoshar apakah rukhsah
atau azimah yang dipengaruhi adanya sumber hukum azazi (mutlak dari
sumber) Al-Qur'an dan sunnah Rasul baik kedudukan suatu hadits maupun sanadnya
yang menyangkut keabsahan periwayatannya.
Hal
tersebut penulis anggap ajaran hakikatnya pemahaman dan pemaknaan tentang
peringatan hadits ditentukan dari
situasi dan keadaan masyarakat yang menjadi subyek dan sangat berpegang pada
hadits dan berfikir rasional, sehingga problem yang terjadi di masyarakat diatasi
dengan petunjuk dari Al-Qur'an dan Hadits serta dengan musyawarah dan
kesepakatan bersama yang antara tokoh-tokoh (ulama-ulama) yang hidup dimasa
itu.[3]
Untuk mencari jawaban di atas penulis juga mencoba membahas
otoritas hadits yang dipakai sebagai sandaran sumber hukum yang dapat yang dapat
dijadikan hujjah dan tidak menyimpang dengan pernyataan imam Ala’u
Al-Din Al-Kasani yang menyatakan bahwa qashar
itu adalah azimah (wajib) berpijak pada Al-Qur'an surat An-Nisa’
ayat 101 dan sesuai hadits yang diriwayatkan oleh umil mukminin Aisyah ra dan
juga hadits Harits bin Wahab Al-Khuzai berkata :
حد يث حارثه بن وهب الحزعب
رضي الله عنه قال صلى بناالنبىّ صلىالله عليه وسلم, ونحن اكثر ما كنّا قطّ وامته
بمنى ركعتين.
Artinya
: “Harits bin Wahab Al-Khuzai ra. berkata
: Nabi Muhammad Saw. Telah bersama kami
dimana sedang kami dalam keadaan aman hanya dua rekaat (yakni Qoshar)”.
(HR.Bukhari-Muslim)
Hadits
ini menerangkan bahwa pelaksanaan qashar tidak terbatas pada waktu (keadaan)
dalam bahaya tetapi juga waktu aman (tidak dalam bahaya) dan ini dilaksanakan
pada saat dalam safar (bepergian). Hadits-hadits di atas membuktikan
bahwasanya qashar dikakukan pada saat bepergian yang menimbulkan keadaaan yang
tidak dapat ditentukan kapan kembali dari bepergian.
Dalam
hal ini sebenarnya adalah bermula dari permasalahan pemaknaan ayat yang
tertuang dalam surat An-Nisa’ 101 yaitu “Laisu Alaikum junatun an naqshuru minash i” yang artinya “tak ada
dosa baginmu mengqashorkan sholatmu”.
Bagi ulama yang menganggap rukhsah (keringanan dan tidak mewajibkan
mengerjakan qashar dengan catatan itu tammam
(sempurna empat rekaat) Sementara dari pihak yang mewaajibkan memberi
argumentasi bahwa ayat ini mengenai qashar
dikala pelaksanaan khauf
dan ayat ini berkemudian dari adanya aturan mengqasharkan bilangan rakaat.
Kemudian
Ibnu Qayyim dalam “Zadul Ma’ad” berkata ayat di atas menghendaki qashar
yang melengkapi qashar dengan meringankannya dan dan melengkapi qashar bilangan
rakaat dengan mengurangai dua rekaat. Qashar ini berkaitan keadaan safar
atau keadaan khauf.[4]
Sementara
imam Ala’u Al-Din Al-Kasani berpendapat wajib dengan beberapa tendensi
bahwasanya hadits Aisyah ra yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim jelas
bahwa safar difardhukan dua-dua
rekaat terkecuali Magrib dan Subuh yang tidak boleh diqasharkan, dengan
demikian tidaklah boleh ditambah sebagaimana tidak boleh menambah terhadap
empat rekaat di dalam hadhar.
Imam
Ala’u Al-Din Al-Kasani menganggap dispensasi (rukhsah) merupakan
penyebaran atas atas berubahnya atas hukum asal karena adanya suatu alasan yang
menuntut perubahan itu yaitu dari yang semula berat menjadi ringan dalam
mengerjakannya (mencari alat hukum dan penyebab di ringankannya suatu
perbuatan).
Sebagaimana
ketentuan dalam ushul fiqh sedangkan dua rekaat bagi musafir, tidak dikemukakan
adanya perubahan hukum sebab pada dasarnya
sebagaimana disyaratkan memang terdiri atas dua rekaat bagi penduduk
atau orang yang menetap sekaligus tetap berlaku bagi para musafir, hanya saja
ada pembaharuan rekaat bagi para muqimin yang semula dua rekaat menjadi empat
rekaat.[5]
Tidak
ditemukannya makna perubahan bagi para muqimin sebenarnya kurang tepat, tetapi
perubahan itu bermula pada pemberatan jumlah rekaat bagi para muqimin bukan
menggampangkan, kemudian mengenai rukhsah bagi sebagian ulama’ Hanafiah
mengatakan mengembalikan pada pemahaman karena bagi mereka (ulama) Hanafiah
kata rukhsah berarti (kiasan makna majazi) (lafal)
yaitu “berubah”.[6]
Iman
Ala’u Al-Din Al-Kasani mengatakan wajib
qashar dalam perjalanan safar (bepergian) bukan tidak
memperhatikan saat orang dalam keadaan payah (terjadi masaqat) tapi masaqat
bagi imam Ala’u Al-Din Al-Kasani adalah penyebutan atas perubahannya suatu
hukum karena ada alasan yang membuat perubahan itu menjadi berat dilaksanakan
dengan alasan perbuatan itu memberatkan suatu orang (kesepakatan banyak orang)
bukan berat itu dilaksanakan oleh pribadi (individu) yang mengalaminya, karena
sesungguhnya Allah tidak memberikan suatu yang berat terkecuali sesuai dengan
kemampuan umatnya. Sesuai dengan firman Allah yang tertuang dalan surat Al-
Baqarah ayat 286 yang berbunyi :
لا يكلّف الله نفسا الاّ
وسعها لهاماكسبت وعليهامااكتسبت ربّنا لا تؤا خذ نا ان نّسينااواخطأنا ربّنا ولا
تحمل علينا اصراكما حملته علىالذ ين من قبلنا ربّنا ولا تحمّلنا مالا طا قة لنابه
وعف عنّا واغفرلنا وارحمنا انت مولنا فانصرنا على القوم الكفرين (البقرة : 286)
Artinya
: “Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebajikan yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa dari kejahatannya yang dikerjakannya mereka
berdo’a “Ya Tuhan kami janganlah engkau hukum kami jika kami lupa atau salah,
Ya Tuhan kami janganlah engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami, Ya Tuhan kami
jangan engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri
maaflah kami, ampuni kami dan rahmatilah kami, engkaulah penolong kami, maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. Al-Baqarah : 286).[7]
Mengenai “mesafatul qshar” imam Ala’u Al-Din Al-Kasani
menetapkan masafatnya 15 farsakh dngan ketentuan setiap sehari lima farskh,
akan tetapi pendapat ini tidaklah bisa dikatakan sempurna sebab sebagian ulama
tidak pernah menemukan berupa lama (jarak) yang diperbolehkan mengqashar dalam
hadits riwayat Nabi atau yang diriwayatkan para sahabat tidak ditentukan secara
jelas tentang masafatul qashar dan menegaskan segala perjalanan yang dipandang
safar baik singkat maupun lama.
B. Masalah
hukum Qashar Beserta Alasan-alasannya
1. Kelebihan
dan kekurangan dari pendapat imam Ala’u Al-Din Al-Kasani
Beliau
menetapkan hukum bukan hanya memandang dari fatwa-fatwa sahabat tapi
mengkajinya juga dilihat dari (bersandar) pada Al-Qur’an dan Assunah sesuai
permasalahan bahwasanya perbedaan di kalangan ulama-ulama pada penetapan hukum
tapi juga penetapan masafat juga penetapan tentang dimulainya qashar.
Ini
terjadi karena ada beberapa pemahaman yang berbeda yang terjadi di kalangan
ulama mengenai ayat yang tertulis di surat An-Nisa’ ayat 101, ada yang
mengatakan azimah dan rukhsah sebagaimana ulama Syafi’iyah dan Hanabillah dan
sebagian ulama lain terutama imam Ala’u Al-Din Al-Kasani dengan beberapa
tendensi yang menguatkan pendapatnya.
Imam
Ala’u Al-Din Al-Kasani memberi hukum qashar adalah azimah (kewajiban)
sesuai riwayat umil mu’minin yaitu Aisyah yang mengatakan bahwasanya
“Rasulullah dalam setiap keluar dari tempat tinggalnya hanya mengerjakan dua
rekaat. Berdasar itulah Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani menetapkan qashar adalah azimah.
Mengenai
masafat ada beberapa pendapat tapi hanya riwayat Syu’bah yang menyebutkan hanya
3 mill atau 1 farsyah. Dan itu kekurangan pendapat Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani
yang menetapkan satu hari 5 farsyah yang tidak bisa dicari di hadits manapun.
Kelebihan
pendapat Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani adalah ketika beliau menetapkan
qashar tidak boleh dilakukan pada qashar
yang maksiat. Sementara sebagian ulama Hanafiyah tetap mewajibkan qashar dalam
keadaan apapun karena itu adalah azimah.
Dalam
menetapkan masyaqat beliau mencari sebab dibolehkannya illat atau sebab masyaqat
bisa dikaji dan ditentukan hukumnya bukan karena kepentingan pribadi tapi
kesepakatan semua ulama dan demi kemasalahatan.
Tujuan
dari pelaksanaan dari qashar diantaranya
adalah memberikan keringanan (rukhsah) lantaran ada masyarakat, dalam
hal ini mengenai halnya keringanan Allah dalam kebolehan berbuka puasa bagi
musafir juga perbuatan lainya. Sesuai hadits riwayat dalam shahih Bukhari.
أنه (رجل من بن عامر) انّى
النبى صلىالله عليه وسلم فقال له النبي صلىالله عليه وسلم ان الله وضع عن المسافر
الصوم وشعطر الصّلاة. [8]
Artinya
: “Seseorang datang pada Nabi kemudian Nabi bersabda padanya: :sesungguhnya
Allah telah membebaskan dari musafir. Itu puasa (shaum) dan setengah
dari”. (HR Bukhri).
Hadits
di atas menunjukkan adanya kemurahan di samping membebeskan dari masaqat
dan tidak menunjukkan qashar itu wajib.
Sebagai
sebab persilangan pendapat dari kalangan fuqaha karena adanya perbedaan maksud
oleh kata safar, karena pengaruh safar dalam hal qashar itu
lantaran adanya berbagai kesukaran dalam safar seperti halnya pengaruh safar
bagi kewajiban puasa, jika demikian halnya mak berarti qashar itu baru
boleh di laksanakan setelah adanya masyaqaqt. Para ulama yang
memperhatikan kata safar seperti sebagian ulama Hanafiah termasuk iman
Ala’u Al-Din Al-Kasani di perkuat pendapatnya menggunakan sabda Nabi SAW :
Artinya
: “Sesungguhnya Allah telah menghilangkan (kewajiban) puasa dan setengah
dari musafir”.
Dengan
demikian orang yang berstatus musafir dibolehkan mengqashar dan tidak berpuasa. Dengan menggunakan pendapatnya
dengan riwayat Muslim dari Umar bin Khatab.
Artinya
: “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW.
Mengqashar dalam jarak tempuh sekitar 17 mil”.
Seperti
pemulis kemukakan di atas bahwa diantara pendapat-pendapat yang berbeda itu ada
perselisihan pendapat tentang berlakunya hukum qashar, hal tersebut bisa
terjadi karena adanya bahan kejadian terhadap perbedaan pendapat itu adil.
Karena kekuatan hadits yang dipakai sebagai hujjah dari dasar istishab.
Hukum mana yang lebih shahih dalam perkawinan seperti alasan ditetapkannya
hukum tersebut.
Dari
keterangan hadits di atas dapat diambil keterangan bahwa para sahabat bersafar
bersama Nabi Muhammad SAW, mereka ada yang mengqasharkan, ada yang
menyempurnakan, ada yang berpuasa dan ada yang berbuka. Demikian bunyi hadits
menurut Anrawani dalam sarah Muslim tapi ini juga mengetahui dan banyak
kontroversi karena sahabat Ustman pernah menyempurnakan nya di Mina karena
beliau beranggapan karena mempunyai istri di Mina jadi mengerjakan secara sempurna (tidak mengqasharnya).
Di
kalangan ulama lainnya ada juga yang mengatakan hadits-hadits Aisyah ra tidak
dapat dijadikan hujjah, karena di tolak oleh ahli-ahli yang terkenal, tapi
pendapat ini juga lemah.
Kenyataan
bahwasanya menyempurnakan dalam safar lebih utama dengan sendirinya tertolak.
Nabi Muhammad SAW terus menerus mengerjakan qashar. Maka dapatlah dipahami
bahwa keadaan itu sekurang-kurangnya menunjukkan keutamaannya, tidaklah dapat
diterima akal bahwasanya Nabi Muhammad SAW sepanjang hayatnya selalu
mengerjakan secara penuh.[11]
Dalam
perjalanannya perbedaan pendapat tentang qashar
di kalangan ulama bukan karena hukum qashar, masafat dan lamanya
bermukim katika dalam perjalanan, tetapi terlebih di sini adalah masalah masyaqat,
jika terjadi kepayahan di dalam perjalanan saat sedang safar, apakah
tetap mengerjakan secara qashar, atau
mengambil rukhsah (keringanan) atau bahkan tidak mengerjakan karena kepayahan. Hal ini dapat dilihat
dengan beberapa cara yaitu mengetahui bagaimana masyaqat dan yang
menjadi illat masyaqat dan ini juga mempengaruhi definisi illat
itu sendiri.
Bila
didefinisikan adalah sifat hukum ashal yang dijadikan dasar hukum dan dengan
itu diketahui hukum tersebut dalam berbagai cabang. Diantara yang telah
disepakati oleh jumhur ulama Islam yaitu bahwasanya Allah SWT tidak membentuk
hukum kecuali untuk kemaslahatan hambanya dan sesungguhnya kemasalahatan itu
adakalanya menarik keuntungan bagi mereka dan adakalanya menolak bahaya dari
mereka.
Maka
yang mendorong pembentukan hukum sebagai tujuan syara’ ialah menarik manfaat
bagi manusia atau menolak bahaya dari padanya. Inilah motiv pembentukan hukum
sebagai tujuan terakhir dari pada yang disebut sebagai hikmah hukum.[12]
Seperti diperkenankan berbuka bagi orang yang sakit ketika bulan Ramadlan,
hikmahnya ialah menghilangkan masyaqat dari padanya.
Adapun illat
hukum yaitu yang nyata dan pasti yang dijadikan dasar hukum dan yang dijadikan
hubungan dalam ada dan tidaknya, karena tujuan pembentukan hukum adalah
mewujudkan hikmah pembentukan hukum itu sendiri.
Jadi
miringkas (qashar) empat rakaat menjadi dua rakaat bagi musafir
hikmahnya ini adalah berupa meringankan dan menolak masyaqat. Hukum ini adalah
hal perkiraan yang tidak bisa (pasti) dijadikan dasar hukum dalam ada dan
tidaknya. Maka oleh syara’ pergi dianggap sebagai hubungan hukum yaitu hal yang
nyata dan pasti dan dijadikannya hubungan hukum adalah tempat dugaan mewujudkan
hikmahnya. Oleh karena itu di dalam bepergian itu terdapat kesulitan, maka
hikmahnya qashar empat rekaat bagi
musafir adalah menghilangkan kesulitan, sedangkan illatnya adalah safat
(bepergian).[13]
Atas
dasar uraian di atas, maka semua hukum syara’ didasarkan pada illatnya,
artinya hubungan dengan wujud ada dan tidaknya bukan atas hikmahnya ini
juga berarti bahwa hukum syara’ itu didapati memakai didapati illatnya
sekalipun tertinggal hikmahnya, dan lenyaplah hukum itu ketika lenyap illatnya
meskipun masih terdapat hikmahnya, karena hikmah itu tersebumbunyi dalam
sebagian hukum dan karena tidak ada kepastian, maka tidak menjadi tanda wujud
hukum atau ketiadaannya, dan tidak dapat tegak pula ukuran (timbangan) beban
manusia (taklif) dan pengamalan hukum itu dihubungkan dengan hikmah.[14]
Jadi
dengan demikian pendapat imam Ala’du Al-Din Al-Kasani dalam menetapkan qashar
sebagai azimah bukan tidak melihat bila terjadi masyaqat, akan
tetapi hukum azimah dengan sendirinya akan dilakukan seseorang imam
manakala sedang bepergian (safar) bukan karena adanya masyaqat,
tapi karena adanya keterangan bahwasanya seseorang yang sedang dalam keadaan safar
diperbolehkan mengurangi jumlah rakaat dalam
wajib menjadi dua rakaat terkecuali maghrib dan subuh seperti dalam
keadaan jama’.
Seperti
hadits yang diriwayatkan imam bin Husain :
روي عن عمران بن حصين رضي
الله عنه قال : ماسفر رسول الله صلىالله عليه وسلم الا وصلى ركعتين الا المغرب ولو
كان القصر رخصة والا كمال, هوالعزيمة لما ترك العزيمة الا أحيانا اذاالعزيمة أفصل. [15]
Artinya
: “Bahwa pada setiap perjalanan Nabi selalu menjalankan dua rekaat kecuali maghrib. Kalau qashar itu rukhsah
sedang ikmal adalah azimah. Sebab Nabi meninggalkannya sesekali waktu. Maka
dengan demikian qashar adalah azimah
(kewajiban, ketetapan) sesekali Nabi meninggalkan amal-amal yang bernilai
fadillah dan menjalankan dispensasi karena ingin memberi pengertian pada
umatnya”.
Sesekali
memang Rasulullah SAW melakukan secara ikmal di Mekkah, sedang beliau
waktu itu musafir karena ada beberapa tendensi yaitu untuk mempergunakan nilai
keutamaan di tanah haram (Mekkah) sebab di situ amaliyah-amaliyahnya menjadi
berlipat ganda, kedua pada waktu itu beliau sedang berjamaah sedang diantaranya
makmumnya ada penduduk ahli Mekkah.[16]
Sehingga beliau berinisiatif secara ikmal
agar ahli Mekkah tetap mendapatkan keutamaan
berjamaah.
Dari apa
yang dilakukan Nabi itu cukuplah menjadi hujjah syar’iyah atas nya
musafir merupakan azimah yang berdasarkan hadits dan ijma’nya
para sahabat. (diriwayatkan ulama Hanafiyah).[17]
Dari semua keterangan yang tertulis dari awal sampai
akhir, bahwasanya 2 rakaat yang
dilaksanakan oleh musafir pada setiap perjalanannya seperti yang dijelaskan
dalam hadits riwayat Aisyah, Nasa’i dan sebagian perowinya yang lain yang
dikemukakan oleh imam Ala’u Al-Din Al-Kasani serta hadits riwayat Ahmad yang
berbunyi :
عن ابن عمر رضىالله عنه قال :
قال رسول الله صلىالله عليه وسلم انّ الله يحبّ ان تؤتى رخصه كما يحبّ ان تؤتى
عزائمه (رواه احمد). [18]
Artinya : “Dari Ibn Umar ra.
Berkata “bersabda Rasulullah SAW : Sesungguhnya Allah menyukai kita kerjakan
segala kelapangan-kelapangannya (hukum-hukum yang dimudahkan) sebagaimanha Dia
menyukai kita mengerjakan azimahnya” (HR. Ahmad).
Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani dalam memberi batasan
qashar sebagai sholat yang dihukum azimah, bukan karena tidak
mempertimbangkan keadaan (sewaktu-waktu terjadi masyaqat), tetapi
berdasar itu pula beliau menetapkan illat masyaqatnya, seperti
para ulama yang menyatakan bahwasanya
qashar itu rukhsah juga dengan beberapa kepatutan yang akan
dialami dalam masa perjalanan seorang sesuai dengan arti ayat Al-Qur’an “tidak
ada dosa bagimu mengqasharkan mu” dari semua pendapat yang menjadikan perbedaan
hukum batasaan (masafat) serta batas qashar adalah terletak pada illat masyaqatnya.
Yakni perbedaan hikmah dan illatnya, karena
sifat dari illat yang dhohir yaitu bisa didefinitifnya yang
sesuai di mana hukum itu pantas disyari’atkan karena sifatnya, atau mencari masalahat
(manfaat) di balik disyari’atkannya sebuah hukum (hikmah).
Tapi dalam illat masyaqat tidak bisa dipakai
karena tidak bisa didefinisikan, akan tetapi illat bisa dipakai pada kata safar
karana bisa didefinisikan “Alhukmu yaduuru ma’a illatihi wujudan wa’adman”
yang artinya : “Hukum itu beredar berdasar pada illatnya”
Kemudian sebagian ulama yang menyutujui adanya rukhsah,
berketetapan bahwasanya menhgerjakan
qashar itu setelah terjadinya masyaqat. Dan ini bisa diperoleh
melalui sebab-sebab yang dapat menghilangkan masyaqat yang diantaranya
“karena takut tidak dapat menyelesaikan dengan sempurna diwaktu menghadapi
banyak tugas yang harus dikerjakan untuk diri dan keluarganya, mungkin kalau
kita terlalu mementingkan sesuatu pekerjaan akan ketinggalan yang lain”.
Sesungguhnya segala amalan kita mengikuti niat kita
yang melakukannya dan sesungguhnya maksud-maksud kita atau tujuan-tujuan kita
dalam mengerjakan hukum, sangatlah diperhatikan syara’ baik dalam ibadah maupun
dalam adat (muamalah) maksud kita dalam mengerjakan ibadah, yaitu
membedakan mana yang wajib dan mana yang tidak wajib. Dan bila menghadapi adat
ialah membedakan antara yang wajib dengan yang mandub, mubah dan makruh
dan dengan yang haram.
Sesuatu amal apabila berpautan dengan sesuatu tujuan,
maka ia menjadi hukum taklifi, tetapi bila kosong dari tujuan, maka
tidaklah ia menjadi hukum taklifi. Dalam menghadapi hal ini janganlah
orang-orang selalu mengatakan diperhatikan, karena diantara pekerjaan-pekerjaan
mukallaf (seorang) memang harus ada yang dipaksanakan dalam
mengerjakannya, maka tentulah orang terpaksa itulah yang mengerjakan perbuatan,
bukan karena mengikuti perintah syara’ karena dipaksa untuk melakukan siksaan
yang dijatuhkan atas dirinya.
Tujuan mukallaf bukanlah suatu keharusan pada
setiap perbuatan hanya ia harus ada pada masalah ibdah yang dikerjakanh atas
nama ibadah. Karena segala perbuatan ibadah yang masuk ke dalam ikhtiar
kita (manusia) tidak dipandang menjadi ibadah tanpa ada tujuan si mukallaf.
Syara’ menetapkan hukum adalah untuk kemaslahatan
hamba. Dan yang dituntut dari seorang mukallaf supaya berjalan atas maksud
syara’ dalam segala perbuatannya jangan ia menyalahi maksud syara’ para mukallaf
diciptakan untuk menyembah Allah, maka hendaklah ia mengerjakan sesuatu sesuai
dengan maksud syara’ dalam hal menetapkan hukum.
Sementara tujuan pokok dari syara’ adalah memelihara
segala dharuriat dan memelihara segala dharuriat dan memelihara
segala yang kembali kepada dharuriyat yaitu hajiat dan tahsiriyat
dan inilah yang ditaklifi hamba. Oleh karena itu haruslah tujuan si hamba
kepada yang demikian itu jika tidak tentulah dia tidak memelihara maksud syara’
mereka dibebani dharuriyat itu dengan jalan mengerjakan sebab-sebab yang
lahir yang Allah telah gariskan dalam hukum syara’ dan Allah telah memberikan
kepadanya akal untuk memahami hukum-hukum itu. Rasulullah SAW bersabda :
Artinya : “Semua kamu
menggembala dan akan ditanyakan tentang penggembalaannya”. (HR. Bukhari
Muslim).
Dan firman Allah SWT yang berbunyi :
ويستخلفكم
في الارض فينظر كيف تعملون (الاعراف : 125)
Artinya : “Allah menjadikanmu
khalifah dan Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu”. (QS. Al-A’raf : 125).[20]
Dari
situlah para ulama berbeda dalam menetapkan landasan hukum mana yang harus
dipakai untuk dapat melaksanakan ketentuan hukum yang di dapat mereka
berbeda-beda, tetapi walau demikian pendapat dan ketetapan mereka dapat
dipertanggung jawabkan tidak melenceng dari syara’ dan tidak juga
menggampangkannya (meringankan) dari perbuatan sulit menjadi mudah
dilaksanakan, akan tetapi berdasar pemahaman yang diyakini agar bisa menjadi
suatu patokan dalam mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an supaya dapat diterapkan di
dalam hukum tanpa dibedakan pendapat mana yang lebih rajin sebab pada dasarnya
pemahaman seseorang yang satu dengan lainnya tidak sama sesuai dengan keadaan
dan masa itu sendiri.
[1]Al-Qur’an, Al-Mu’minun Ayat 1-2, Yayasan Penyelenggara
Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI,
1992. hlm. 526.
[2]Baihaqi AK, Fiqih Ibadah, M2S, Bandung, 1996,
hlm. 43.
[3]Tamar Djaja, Hayat Perjuangan Empat Madzhab
(Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali), CV. Ramadani, Solo, 1989, hlm. 130.
[4]Muhammad Hasbi As-Shidiqi, Koleksi Hadits Hukum,
Cet. V, Maganta Bhakti Guna, Jakarta, 1994, hlm. 363.
[5]Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani, Badaai Al-Shanaai,
Dar Al-Fikr, Beirut, Libanon, 1996, hlm. 138.
[7]Al-Qur’an, Al-Baqarah Ayat 286, Yayasan Penyelenggara
Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI,
1992. hlm. 72.
[8]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz.1, CV.
Asy-Syifa’, Semarang, 1990, hlm. 351-152.
[11]Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Syaukani
Al-Mutawaffa’, Nailul Authar, Juz III, Beirut, Libanon, t.th, hlm.
244-251.
[12]Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 96.
[15]Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani, Op.cit, hlm. 138.
[18]Muhammad Hasbi Ash-Shidiqi, Op.cit, hlm. 359.
[19]Muhammad Hasbi Ash-Shidiqi, Falsafah Hukum Islam,
Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 255.
[20]Al-Qur’an, Al-A’raf Ayat 125, Yayasan Penyelenggara
Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI,
1992. hlm. 240.
0 Response to "PENDAPAT IMAM ALA’U AL-DIN AL-KASANI KAITANNYA DENGAN HUKUM DAN PELAKSANAAN QASHAR BAGI MUSAFIR"
Post a Comment