ANALISIS ASAS KONSENSUALITAS DALAM AKAD JUAL BELI

ANALISIS ASAS KONSENSUALITAS DALAM 
AKAD JUAL BELI
 

A.     Analisis Terhadap Akad Jual Beli dalam KUH Perdata
Sebagaimana sudah dijelaskan, dalam KUH Perdata jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Dari pasal tersebut menunjukkan bahwa jualbeli dalam KUH perdata merupakan hasil persetujuan. Persetujuan itu merupakan kesepakatan antara dua pihak untuk mengikatkan dirinya dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum itu sendiri merupakan perbuatan yang berakibat hukum.
Hal lain yang bisa dingkapkan dari pasal diatas mengisaratkan jual beli meletakkan hak dan kwajiban kepada pembeli dan penjual. Hak dan kwaiban itu harus dijalankan  sebagaimana mestinya. Jika hak dan kwajiban tersebut tidak dijalankana maka transaksi jual beli bisa menghalangi kegagalan karena salah satu pihak mungkin akan keberatan untuk melangsungkan akad jual beli.
Perkataan jual beli mengandung arti mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik yaitu menjual dan membeli. Sehubungan dengan itu barang yang menjadi obyek jual beli dapat ditentukan bagaimana wujudnya dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli. Dengan demikian dalam sistem KUH Perdata jual beli menurut hukum adalah sah misalnya : jual beli mengenai panenan yang akan diperoleh pada suatu waktu dari sebidang tanah tertentu.Berbeda halnya dengan hukum Islam bahwa jual beli seperti yang dicontohkan tersebut dianggap tidak sah karena barangnya tidak jelas serta tidak ada kepastian apakah jumlahnya dan kwalitasnya sama dengan perjanjian sebelumnya.
Dalam sistem KUH Perdata jual beli mempunyai unsur –unsuir pokok yaitu barang dan harga. Dalam hubungan barang dan harga sistem KUH Perdata menganut asas konsensualitas artinya perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya kata sepakat. Disini tampak, KUH Perdata sangat mengutamakan kesepakatan karena kesepakatan menjadi sebab utama terjadinya perjanjian jual beli meskipun barang itu belum diserahkan dan harganyapun belum dibayar.
Dalam sistem KUH Perdata yang menjadi ukuran tercapainya kata sepakat itu adalah pernyataan-pernyataan yang tel;ah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal pada azas konsensualitas, namun untuk menilai apakah telah tercapai konsensus (dan ini adalah maha penting karena merupakan saat lahirnya perjanjian yang mengikat laksana suatu undang-undang), kita terpaksa berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Dan ini pula merupakan suatu tuntutan' kepastian hukum.
Bukankah dari ketentuan bahwa kita harus berpijak pada apa yang telah dinyatakan itu timbul perasaan aman pada setiap orang yang telah membuat suatu perjanjian bahwa ia tidak mungkin dituntut memenuhi kehendak-kehendak pihak lawan yang tidak pernah dinyatakan kepadanya. Dan apabila timbul perselisihan tentang apakah terdapat konsensus atau tidak (yang berarti apakah telah dilahirkan suatu perjanjian atau tidak) maka Hakim atau Pengadilanlah yang akan menetapkannya. Pemyataan timbal-balik dari kedua belah pihak merupakan sumber untuk menetapkan hak dan kewajiban bertimbal-balik di antara mereka. Apakah semua pernyataan dapat dipertanggung-jawabkan kepada (menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi) pihak yang melakukan pernyataan itu ? Karena mengenai hal ini tidak kita ketemukan sesuatu ketentuan dalam undang-undang, maka persoalan itu telah dipecahkan oleh para sarjana dan oleh yurisprudensi.
Dapat dikatakan bahwa menurut ajaran yang sekarang dianut dan juga menurut yurisprudensi, pernyataan yang boleh dipegang untuk dijadikan dasar sepakat adalah pernyataan yang secara objektip dapat dipercaya. Suatu pernyataan yang kentara dilakukan secara tidak sungguh-sungguh (secara senda- gurau) atau yang kentara mengandung suatu kekhilapan atau kekeliruan, tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar kesepakatan. Dalam Civil Code of Japan masalah ini diatur dalam Bab tentang "Juristic Acts" perihal "declaration of intention" dalam Buku kesatu yang berjudul "General Provisions". Zaman di mana untuk terjadinya suatu perjanjian sungguh-sungguh dituntut tercapainya suatu perjumpaan kehendak, sudah lampau. Setelah melewati pengalaman-pengalaman yang pahit (seperti dalam casus terkenal antara Weiler dan Oppenheim yang terjadi dimuka Pengadilan di Jerman), sekarang sudah dirasakan bahwa berpegang teguh pada tuntutan tersebut akan menjurus kearah ketidak-pastian hukum, padahal diambil nya azas konsensualitas adalah justru untuk memenuhi tuntutan kepastian hukum.
Tuntutan akan adanya sungguh-sungguh suatu perjumpaan kehendak, memang tidak dapat dipertahankan lagi dalam zaman modem sekarang ini dimana transaksi transaksi yang besar lazimnya diadakan tanpa hadlirnya para pihak berhadapan muka, tetapi lewat korespondensi atau lewat perantara-perantara. Oleh karena itu maka sudah tepatlah bahwa adanya perjumpaan kehendak (konsensus) itu diukur dengan pernyataan pernyataan yang secara bertimbal-balik telah dikeluarkan. Adanya konsensus itu malahan sebenarnya sering "dikonstruksikan" oleh Hakim.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan bertimbal-balik itu dianggap bahwa sudah dilahirkan sepakat yang sekaligus melahirkan perjanjian (yang mengikat seperti undang-undang). Dan sekali sepakat itu dianggap ada, maka Hakimlah lagi yang akan menafsirkan apa yang telah disetujui, perjanjian apa yang telah dilahirkan dan apa saja hak dan kewajiban para pihak. Azas konsensualitas yang terkandung dalam pasal 1320 KUH Perdata. (kalau dikehendaki: pasal 1320 dihubungkan dengan pasal 1338 ayat 1), tampak jelas pula dari Perumusan-perumusan Berbagai Macam perjanjian. Kalau kita ambil perjanjian yanq utama, yaitu jual beli, maka konsensualitas itu menonjol sekali dari perumusannya dalam pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi:
“Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar".

Dalam Code Civil Perancis malahan jual-beli yang sifatnya konsensuil itu sudah pula meinindahkan hak inilik atas barang yang diperjual-belikan, sehingga yang disitu dinamakan penyerahan (delivrance) hanyalah merupakan penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang hak miliknya sudah berpindah sewaktu perjanjiannya jual-beli ditutup. "La proprie'te'est acquise des qu'on est convenu de la chose et du prix" demikianlah dikatakan oleh pasal 1583 C.C.
Juga Burgerliches Gesetzbuch Jerman (Barat) dalam paragraph 433, tanpa berbicara tentang sesuatu bentuk-cara yang diharuskan untuk perjanjian jual-beli (Kauf), mewajibkan si penjual berdasarkan perjanjiannya, untuk menyerahkan dan memberikan hak miliknya kepada si pembeli. Akhirnya, untuk mengambil suatu contoh dari hukumnya sebuah negara tetangga, yaitu Philipina, ditunjukkan pada pasal 1356 dari Civil Code of the Philippines, yang di dalam bab tentang bentuk cara perjanjian ("form of contracts"), ialah pasal 1356, menyatakan : "Contracts shall be obligatory, in whatever form they have been entered into"
Perjanjian jual-beli adalah suatu perjanjian pada mana satu pihak mengikatkan diri untuk menyerahkan (leveren) suatu barang (benda) dan pihak lain mengikatkan diri untuk membayar harga yang disetujui bersama. Demikian kira-kira disebutkan di dalam Pasal 1457 B.W.
Definisi tersebut tidak sedikit menimbulkan kritik dari para penulis. Apabila dengan levering (penyerahan) itu dimaksudkan penyerahan hak milik dan bukan penyerahan nyata, maka definisi dalam pasal tersebut tidak lebih jelek dari definisi lain.
Yang menjadi persoalan adalah, apakah hal itu mungkin.
Perjanjian jual-beli secara historis dan logis adalah suatu species dari genus perjanjian tukar-menukar. Perjanjian jual-beli adalah perjanjian tukar-menukar pada mana salah satu prestasinya terdiri dari sejumlah uang dalam arti alat pembayaran yang sah. Di dalam Burgerlijk Wetboek istilah "harga" mempunyai arti yang neutral tapi dalam Pasal 1457 B.W. istilah harga tidak mungkin berarti lain daripada suatu jumlah alat pembayaran yang sah. Pada perjanjian tukar-menukar, uang berhadapan dengan uang dan barang berha dapan dengan barang. Pada perjanjian jual-beli maka barang berhadapan dengan uang. Barang di sini harus diartikan luas baik barang (benda) yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
Agar suatu perjanjian dapat dinamakan perjanjian jual-beli maka salah satu prestasinya harus berupa pemberian alat pembayaran yang sah. Bukan uang, tapi alat pembayaran yang sah. Apabila prestasi dari pihak yang satu adalah sebuah mobil dan prestasi dari pihak lainnya adalah sejumlah uang kuno maka tidak ada perjanjian jual-beli melainkan perjanjian tukar-menukar. Karena itu harus berhati-hati agar perjanjian jual-beli tidak kehilangan sifat perjan jian jual-belinya apabila para pihak telah menyepakati bahwa pem bayarannya tidak terjadi dengan alat pembayaran yang sah melainkan dengan cara lain seperti bankaccept, penyerahan wesel atas pihak ketiga atau dengan pembukuan kredit guna kepenlingan pen juat oleh pembeli pada sebuah bank (accreditief). Memang dalam hal-hal itu mungkin tidak dapat dikatakan bahwa ada pembayaran dengan alat pembayaran yang sah, tapi walaupun demikian prestasinya mempunyai akibat sama seperti pembayaran dengan alat pembayaran yang sah. Karena itu dapat disimpulkan bahwa penukaran uang asing dengan uang Republik Indonesia yang sah adalah perjanjian jual-beli, sedang penukaran uang Republik Indonesia dengan uang Republik Indonesia (lembaran sepuluh ribu dengan dua lembaran lima ribu) adalah perjanjian tukar-menukar. Suatu perjanjian pada mana pihak yang satu harus menyerahkan sesuatu barang tertentu sedang pihak yang lain harus membayar dengan uang dollar, adalah perjanjian tukar-menukar jika itu dilakukan di Indonesia. Perjanjian yang sama itu adalah perjanjian jual-beli apabila dilakukan di Amerika.
Mungkin saja terjadi bahwa momen mengadakan perjanjian jual-beli dan momen melaksanakan perjanjian itu jatuh bersamaan. Jadi pembayaran dan penyerahan (levering) praktis terjadi pada saat yang sama. Dalam hal yang demikian maka mungkin ada yang berpendapat bahwa tidak terjadi jual-beli yang bersifat konsensuil karena para pihak tidak bermaksud menimbulkan perikatan timbal- balik untuk memberi, karena perikatan itu langsung pada waktu terjadi menjadi terhapus. Akan tetapi di sini sebenarnya hanya ada suatu perjanjian jual-beli yang momen-momen terjadinya dan pelaksanaannya jatuh bersamaan; suatu perjanjian jual-beli yang diringkus (samengedrongen).
Jadi ada perjanjian jual-beli konsensuil, dan bahwa kedua prestasi segera telah dipenuhi tidak mengurangi hal itu. Suatu contoh otomat. Seorang pedagang menempatkan sebuah otomat penjualan rokok di muka tokonya. Dengan demikian ia mengadakan pena waran kepada para pejalan kaki unluk membeli rokok dari tokonya. Apabila seorang membutuhkan rokok dan memasukkan uang logam ke dalam otomat tersebut maka terjadi perjanjian jual-beli. Pada saat itu juga keluarlah satu bungkus rokok dari otomat dan dengan demikian pedagang itu telah memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan barang. Apabila otomat tersebut rusak dan setelah pembeli memasukkan uang logam ke dalamnya tidak keluar apa-apa, maka ia akan masuk ke dalam toko dari si pedagang itu dan menuntut penyerahan sebungkus rokok.
Apabila definisi tentang perjanjian jual-beli dari pasal 1457 B.W. diperhatikan, maka tampaklah bahwa perjanjian jual-beli itu menimbulkan kewajiban-kewajiban pada kedua belah pihak. Pada pihak yang satu kewajiban itu berupa kewajiban untuk menyerahkan barang dan pada yang lainnya untuk membayar harganya. Jadi barangnya dan uangnya mungkin belum diserahkan pada waktu itu. Yang ada baru kewajiban-kewajiban belum terjadi penyerahan (levering).
Untuk terjadinya jual-beli menurut sistem Burgerlijk Wetboek tidak diperlukan lain kecuali persesuaian kehendak antara para pihak mengenai barang (zaak) dan harga. Dengan kata lain: perjan jian jual-beli – dan  perjanjian pada umumnya – menurut  sistem Burgerlijk Wetboek adalah konsensuil. Dalam sistem tersebut berlaku asas yang dinamakan konsensualitas. Perkataan ini berasal dari perkataan "consensus" yang berarti sepakat. Asas konsen sualitas bukannya berarti bahwa untuk suatu perjanjian diperlukan kesepakatan. Hal yang demikian itu adalah semestinya. Perjanjian adalah persesuaian kehendak yang berarti bahwa kedua belah pihak saling menyetujui atau sepakat.
Arti asas konsensualitas adalah bahwa pada dasarnya perjanjian itu timbul karena kesepakatan dan sudah ada sejak tercapai kata sepakat. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila sudah ada kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dan karena itu tidak di perlukan suatu formalitas. Barang (zaak) dan harga merupakan unsur pokok (essentialia) dari perjanjian jual-beli. Leveringnyalah yang terikat syarat bentuk, tapi perjanjiannya selalu konsensuil. Untuk menjelaskan hubungan antara perjanjian jual-beli dan levering (penyerahan) maka pembuat undang-undang menegaskan: levering (penyerahan) terjadi menurut peraturan hukum benda; perjanjian jual-beli saja, tidak menyebabkan beralihnya hak milik.
Meskipun tidak disebutkan dalam salah satu pasal undang- undang, tapi kiranya cukup jelas bahwa harga itu harus berupa sejumlah uang, karena bila tidak demikian maka tidak ada perjanjian jual-beli. Apabila pembayaran (prestasi dari pihak pembeli) berupa barang lain, maka tidak ada jual-beli melainkan yang ada adalah tukar-menukar. Jika pembayarannya adalah prestasi lain seperti misalnya "berbuat atau tidak berbuat" maka tidak ada perjanjian jual-beli melainkan yang ada adalah suatu perjanjian yang tidak bernama (onbenoemde contract).
Sejak dalam hukum Romawi maka untuk harga disyaratkan : verum, certum dan justum.
Verum artinya : sungguh-sungguh dimaksudkan.
Harganya harus sungguh-sungguh harganya "zaak" (barang) itu, dan tidak boleh hanya main-main. Kecuali itu harus juga justum. Justum artinya: adil. Dan Certum, yang berarti : dapat ditentukan. Karena itu suatu perjanjian jual-beli sebuah mobil untuk harga satu rupiah, bukanlah suatu perjanjian jual-beli melainkan perjanjian hibah. Juga apabila langsung setelah mengadakan perjanjian jual-beli itu lalu pembeli dibebaskan dari kewajibannya untuk membayar harga yang terhutang, maka tidak ada jual-beli juga, melainkan hibah.
Undang-undang tidak mengharuskan agar ada keseimbangan antara "zaak" dan harga. Dengan sengaja syarat demikian (harus ada keseimbangan antara apa yang dijual dengan harganya) yang terdapat di dalam Code Civil untuk melindungi penjualnya, tidak di oper. Menurut Hoge Raad (13 Nopember 1936, N.J. 1937, 433) maka pasal-pasal 1335 atau pasal 1337 B.W. tidak dapat dikemukakan. Jadi apabila harganya tidak seimbang dengan nilai apa yang dijual maka tidak ada perjanjian tanpa sebab, sebab yang palsu atau sebab yang tidak diperkenankan. Tapi tentu saja bahwa peraturan mengenai kesesatan, penipuan dan paksaan berlaku.
Bahwa para pihaklah dan bukan orang lain yang menetapkan harganya adalah wajar. Biasanya penetapan harga harus tegas tapi sudah cukup asal obyektif dapat ditentukan. Para pihak dapat menyerahkan penentuan harganya kepada pihak ketiga. Para pihak dapat memperjanjikan bahwa yang menentukan harganya adalah orang lain di luar para pihak. Mereka tidak dapat mengadakan perjanjian bahwa yang akan menentukan harganya adalah salah satu dari mereka sendiri karena hal ini akan bertentangan dengan Pasal 1256 B.W. (H.R. 26 Juni 1914. N.J. 1914, 1034. Juga mereka tidak boleh mengadakan perjanjian bahwa salah seorang dari mereka mengingat keadaan, dapat mengubah harga yang telah mereka tetapkan (H.R. 11 Mei 1923, N.J. 1923, 919). Tapi menurut H.R. (15 Nopember 1923, N.J. 1923, N.J. 1924, 887) suatu perjanjian jual-beli pada mana para pihak sama sekali tidak membicarakan tentang harganya, adalah sah. Yang demikian itu terjadi dalam perjanjian jual-beli di toko besar dengan harga pasti dan pada pembelian de ngan harga pasaran hari itu.
Bagaimana sifat perintah kepada pihak ketiga untuk menentukan harga jual-belinya? Perintah demikian itu adalah suatu perin tah untuk memberikan "bindend advies (nasehat yang mengikat).
Para pihak dapat memerintahkan kepada orang lain (pihak luar) untuk menjabarkan (uitwerken) perjanjian yang diadakan oleh mere ka itu lebih lanjut atau menafsirkannya. Yang demikian itu dina makan meminta "bindend advies" (saran yang mengikat). Para pihak telah menyatakan sebelumnya tunduk pada putusan yang akan diberikan pihak ketiga (pihak luar) itu. Ini berbeda dari suatu keputusan arbitral karena suatu keputusan arbitral memberikan alas-hak eksekutorial dan karena itu menggantikan suatu keputusan Pengadilan, sedang "bindend advies" hanya menambah suatu perjanjian yang ada. Apabila salah satu pihak merasa dirugikan, dan tidak patuh pada nasehat itu, pihak lainnya dapat menuntutnya karena cidera janji. Apabila pihak ketiga (pihak luar) yang dimintai "bindend ad vies" itu tidak menentukan harganya, maka tidak terjadi perjanjian jual-beli.
B.     Analisis Asas Konsensualitas (persamaan dan Perbedaan) dalam Hukum Islam dan  KUH Perdata
Jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal-balik dalam mana pihak satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak inilik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri Atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak inilik tersebut.
Perkataan jual-beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal-balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda "koop en verkoop" yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu "verkoopt" (menjual) sedang yang lainnya "koopt" (membeli). Dalam bahasa Inggeris jual-beli disebut dengan hanya "sale" saja yang berarti "penjualan" (hanya dilihat dari sudutnya si penjual), begitu pula dalam bahasa Perancis disebut hanya dengan "vente" yang juga berarti "penjualan", sedangkan dalam bahasa Jerman dipakainya perkataan "Kauf" yang berarti "pembelian".
Barang yang menjadi obyek perjanjian jual-beli harus cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan ujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli. Dengan demikian adalah sah menurut hukum misalnya jual-beli mengenai panenan yang akan diperoleh pada suatu waktu dari sebidang tanah tertentu.
Jual-beli yang dilakukan dengan percobaan atau mengenai barang-barang yang biasanya dicoba terlebih dahulu, selalu dianggap telah dibuat dengan suatu syarat-tangguh (pasal 1463 KUH Perdata). Dengan demikian maka jual-beli mengenai sebuah lemari es, meskipun barang dan harga sudah disetujui, baru jadi kalau barangnya sudah dicoba dan memuaskan. Begitu pula halnya dengan jual-beli sebuah pesawat radio atau televisi. 
Unsur-unsur pokok ("essentialia") perjanjian jual-beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan azas "konsensualitas" yang menjiwai hukum perjanjian KUH Perdata, perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya "sepakat" mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah.
Sifat konsensuil dari jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi: "Jual-beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar".
Apakah yang djnamakan "konsensualitas" itu ? Konsensualitas berasal dari perkataan "konsensus" yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya: apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam "sepakat" tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya:"setuju", "accoord", "oke" dan lain-lain sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh tanda-tangan di bawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu. Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu itu adalah juga yang dikehendaki oleh yang lain atau bahwa kehendak mereka adalah "sama", sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah bahwa yang mereka kehendaki adalah "sama dalam kebalikannya".
Misalnya: yang satu ingin melepaskan hak miliknya atas suatu barang asal diberi sejumlah uang tertentu sebagai gantinya, sedang yang lain ingin memperoleh hak inilik atas barang tersebut dan bersedia memberikan sejumlah uang yang disebutkan itu sebagai gantinya kepada si peinilik barang. Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian dari KUH Perdata menganut azas konsensualitas. Artinya ialah: hukum perjanjian dari KUH Perdata itu menganut suatu azas bahwa untuk melahirkan perjanjian dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu (dan dengan demikian "perikatan" yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan. ada saat atau detik tercapainya konsensus sebagaimana dimaksudkan di atas.
Pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik lain yang terkemudian atau yang sebelumnya. Dari mana dapat kita ketahui atau kita simpulkan bahwa Hukum perjanjian KUH Perdata, menganut azas konsensualitas itu? Menurut pendapat kaini, azas tersebut harus kita simpulkan dari pasal 1320, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari pasal 1338 (1) seperti diajarkan oleh beberapa penulis. Bukankah oleh pasal 1338 (1) yang berbunyi: "Semua perjanjjaan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya" itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada "semua perjanjian yang dibuat secara sah".
Apakah yang dinamakan "perjanjian yang (dibuat secara) sah" itu ? Jawabannya diberikan oleh pasal 1320 yang menyebutkan satu persatu syarat-syarat untuk perjanjian yang sah itu. Syarat-syarat itu adalah: 1. sepakat, 2. kecakapan, 3. hal tertentu dan 4. causa (sebab, isi) yang halal. Dengan hanya disebutkannya "sepakat" saja tanpa dituntutnya sesuatu bentuk-cara (formalitas) apapun, sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat kita simpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Adanya yang dinamakan perjanjian-perjanjian "forinil" atau pula yang dinamakan perjanjian-perjanjian "riil" itu merupakan kekecualian. Perjanjian forinil adalah misalnya perjanjian perdamaian" yang menurut pasal 1851 (2) KUH Perdata. harus diadakan secara tertulis (kalau tidak maka ia tidak sah), sedangkan perjanjian riil adalah misalnya perjanjian "pinjam-pakai" yang menurut pasal 1740 baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi obyeknya atau perjanjian "penitipan" yang menurut pasal 1694 baru terjadi denqan diserahkannya barang yang dititipkan.
Untuk perjanjian-perjanjian ini tidak cukup dengan adanya sepakat saja, tetapi disamping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata riil). Sudah jelaslah kiranya bahwa azas konsensualitas itu harus kita simpulkan dari pasal 1320 dan bukannya dan pasal 1338 (1). Dari pasal yang terakhir ini lazimnya disimpulkan suatu azas lain dari hukum perjanjian KUH Perdata, yaitu adanya atau dianutnya sistim terbuka atau azas kebebasan berkontrak (beginsel der contractsvrijheid). Adapun cara menyimpulkannya ialah dengan jalan menekankan pada perkataan "semua" yang ada di muka perkataan "perjanjian".
Dikatakan bahwa pasal 1338 (1) itu seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan "ketertiban dan kesusilaan umum". Sebab apa hukum perjanjian mengambil azas konsensualitas itu ? Diambilnaya azas konsensualitas tersebut yang berarti “perkataan sudah mengikat" adalah menurut Prof. Eggens suatu tuntutan kesusilaan (zedelijke eis).
Dikatakan bahwa itu merupakan suatu puncak peningkatan martabat manusia yang tersimpul didalam pepatah "een man een man, een woord een woord". Yang dimaksudkan adalah bahwa dengan diletakkannya kepercayaan pada perkataan orang, si orang ini ditingkatkan martabatnya setinggi-tingginya sebagai manusia. Memanglah benar apa yang dikatakan oleh Prof. Eggens itu, bahwa ketentuan bahwa orang harus dapat dipegang perkataannya itu adalah suatu tuntutan kesusilaan, memang benar bahwa kalau orang ingin dihargai sebagai manusia ia harus dapat dipegang perkataannya atau ucapannya, namun bagi Hukum yang ingin menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan keadilan dalam masyarakat, azas konsensualitas itu merupakan suatu tuntutan kepastian hukum.
Bahwa orang yang hidup dalam masyarakat yang teratur harus dapat dipegang perkataan atau ucapannya (dipegang "mulutnya") itu merupakan suatu tuntutan kepastian hukum yang merupakan satu sendi yang mutlak dari suatu tata-hukum yang baik. Pasal 1338 (1) yang menyatakan bahwa perjanjian mengikat sebagai undang-undang tidak memberikan kriterium untuk apa yang dinamakannya perjanjian itu. Apakah untuk perjanjian itu sudah cukup apabila sudah dicapai sepakat ataukah masih diperlukan syarat-syarat lain ? Jawaban diberikan oleh pasal l320: cukup apabila sudah tercapai sepakat (konsensus).
Inilah yang kita namakan konsensualitas. Kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Namun kehendak yaita keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkai perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu, baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang "menawarkan" (melakukan "offerte") maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut.
Dari uraian di atas bahwa jual beli dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata Barat ada persamaan dan perbedaan.
Perbedaanya adalah :
Dalam Hukum Islam, jual beli, barangnya harus diserahkan dan diterima oleh pembeli. Dasar hukumnya Hadits yang berbunyi :


Artinya: Janganlah kamu membeli ikan yang ada di dalam air sesungguhnya yang demikian itu penipuan.

Sedangkan dalam KUH Perdata, jual beli, barangnya boleh saja belum diserahkan dan hargnya belum dibayar.
Dalam Hukum Islam sahnya jual beli tidak hanya cukup dengan kata sepakat karena ada rukun dan sarat.
Sedangka dalam KUH Perdata sahnya jual beli cukup dengan kata sepakat. Dasar hukumnya yaitu pasal 1458 KUH Perdata.
Namun demikian, tidak berarti hukum Islam tidak menganut asas konsensualitas, karena asas konsensualitas menjadi bagian dari sahnya jual beli dalam hukum Islam.
Sedangkan Persamaannya adalah: kedua hukum itu (Hukum Islam dan KUH Perdata) sama-sama menganggap konsensualitas menjadi bagian terpenting untuk sahnya jual beli.
Kelebihan Hukum Islam : bahwa karena rukun dan sarat begitu ketat maka bisa menghindari adanya upaya penipuan.
Kelemahannya adalah: karena syaratnya terlalu berat maka tidak melancarkan transaksi jual beli.
Kelebihan KUH Perdata: karena syaratnya sangat  ringan maka ia melancarkan terjadinya transaksi jual beli.
Kelemahannya: karena terlalu ringan maka sangat mudah terjadinya penipuan.  

   

0 Response to "ANALISIS ASAS KONSENSUALITAS DALAM AKAD JUAL BELI"

Post a Comment