Segala puji bagi Allah
atas segala nikmatnya, baik yang nampak maupurn yang tersembunyi di masa lalu
dan saat ini. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi-Nya dan
Rosul-Nya, Muhammad beserta para Sahabatnya yang menolong agama-Nya dengan
usaha yang sungguh-sungguh serta orang-orang yang mengikuti mereka yang
mewarisi ilmu mereka, dan ulama itu pewaris para Nabi. Muliakanlah para ulama
tersebut sebagai pewaris dan yang diwarisi.
Amma ba'du. (Kitab) ini merupakan
ringkasan yang mencakup pokok-pokok dalil berdasarkan hadits bagi hukum-hukum
syari'iat. Aku telah menulisnya dengan tulisan yang dapat dimengerti, agar
orang yang menghapal (hadits-hadits) nya dapat mcngulang-ngulang di antara
(waktu-waktu) yang sama. Juga agar seorang penuntut ilmu pemula dapat meminta
bantuan (jika lupa akan satu hadits dan ingin menghapalnya lagi'pent) pada
kitab ini dan orang yang menyukainya dapat puas dengannya.
Dan telah kujelaskan
sember semua hadits dari para imam yang meriwayatkannya dengan tujuan menasehai
umat, Adapun yang dimaksud dengan imam yang tujuh, yaitu Ahmad1,
al-Bukhori2, Muslim3, Abu Dawud4, at-Tirmidzi5,
an-Nasa-i6, dan Ibnu Majah7. Yang dimaksud dengan imam
yang enam, yaitu para imam selain Ahmad. Juga yang dimaksud dengan imam
yang lima, yaitu para imam selain al-Bukhori dan Muslim. Kadang-kadang aku
juga mengatakan, "Imam yang empat dan Ahmad." Maksud dari imam
yang empat adalah para imam selain tiga imam yang pertama (Ahmad,
al-Bukhori, dan Muslim). Adapun maksud dari imam yang tiga, yaitu para imam
selain (tiga yang pertama dan 'pent) selain yang imam yang terakhir
(Ibnu Majah pent). Maksud dari Muttafaq 'alaihi, yaitu
(riwayat) al-Bukhori dan Muslim. Dan terkadang pula aku tidak menyebutkan beserta
keduanya (al-Bukhori dan Muslim) selain keduanya. Dan apa yang selain itu, maka
hal tersebut telah dijelaskan.
Aku menamakan kitab
ini, "Bulughul Maroom min Adillatil Ahkam." Aku
memohon kepada Allah agar tidak menjadikan apa yang kita ketahui itu akan
mendebat kita dan sebagai kelusuhan. Dan agar Allah memberikan kita amal yang
diridhoi-Nya Subhanahu wa Ta 'ala.
Catatan Kaki
1.
Lahir pada tahun 164 H dan wafat tahun 241 H di
Baghdad.
2.
Namanya adalah Muhammad hin Ismail, dilahirkan pada
tahun 194 H dan wafat tahun 256 H di Samarqond.
3.
Lahir pada tahun 204 H dan wafat 261 H di Naisabur.
4.
Namanva Sulaiman bin al 'Asvab as-Sijistani. Lahir
pada tahun 202 H dan wafat tahun 275 H di Bashroh.
5.
Namanya Ahmad
bin Syu'aib. Lahir pada tahun 215 H dan wafat tahun 303 H.
6.
Namanya Muhammad bin Isa. Wafat tahun 276 H di
Turmudz.
7.
Namanva Muhammad bin Yazid al-Qpzwaini. Lahir pada
tahun 207 H dan wafat tahun 275 H.
BIOGRAFI
AL-HAFIDH IBNU HAJAR
AL-ASQALANY
( 773-852 H )
Nama sebenarnya
Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud
bin Hajar, al-Kinani, al-‘Asqalani, asy-Syafi’i, al-Mishri. Kemudian dikenal
dengan nama Ibnu Hajar, dan gelarnya “al-Hafizh”. Adapun penyebutan
‘Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah
Palestina, dekat Ghuzzah.
Beliau lahir di Mesir
pada bulan Sya’ban 773 H, namun tanggal kelahirannya diperselisihkan. Beliau
tumbuh di sana dan termasuk anak yatim piatu, karena ibunya wafat ketika beliau
masih bayi, kemudian bapaknya menyusul wafat ketika beliau masih kanak-kanak
berumur empat tahun.
Ketika wafat,
bapaknya berwasiat kepada dua orang ‘alim untuk mengasuh Ibnu Hajar yang masih bocah
itu. Dua orang itu ialah Zakiyuddin al-Kharrubi dan Syamsuddin Ibnul Qaththan
al-Mishri.
Perjalanan Ilmiah
Ibnu Hajar
Perjalanan hidup al
Hafizh sangatlah berkesan. Meski yatim piatu, semenjak kecil beliau memiliki
semangat yang tinggi untuk belajar. Beliau masuk kuttab (semacam Taman
Pendidikan al-Qur’an) setelah genap berusia lima tahun. Hafal al-Qur’an ketika
genap berusia sembilan tahun. Di samping itu, pada masa kecilnya, beliau
menghafal kitab-kitab ilmu yang ringkas, sepeti al-‘Umdah, al-Hawi ash-Shagir,
Mukhtashar Ibnu Hajib dan Milhatul I’rab.
Semangat dalam
menggali ilmu, beliau tunjukkan dengan tidak mencukupkan mencari ilmu di Mesir
saja, tetapi beliau melakukan rihlah (perjalanan) ke banyak negeri. Semua itu
dikunjungi untuk menimba ilmu. Negeri-negeri yang pernah beliau singgahi dan
tinggal disana, di antaranya:
1.
Dua tanah haram,
yaitu Makkah dan Madinah. Beliau tinggal di Makkah al-Mukarramah dan shalat
Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Yaitu pada umur 12 tahun. Beliau
mendengarkan Shahih Bukhari di Makkah dari Syaikh al Muhaddits (ahli hadits)
‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki Rahimahullah. Dan Ibnu
Hajar berulang kali pergi ke Makkah untuk melakukah haji dan umrah.
2.
Dimasyq (Damaskus).
Di negeri ini, beliau bertemu dengan murid-murid ahli sejarah dari kota Syam,
Ibu ‘Asakir Rahimahullah. Dan beliau menimba ilmu dari Ibnu Mulaqqin dan al
Bulqini.
3.
Baitul Maqdis, dan
banyak kota-kota di Palestina, seperti Nablus, Khalil, Ramlah dan Ghuzzah.
Beliau bertemu dengan para ulama di tempat-tempat tersebut dan mengambil
manfaat.
4.
Shana’ dan beberapa
kota di Yaman dan menimba ilmu dari mereka.
Semua ini, dilakukan
oleh al-Hafizh untuk menimba ilmu, dan mengambil ilmu langsung dari ulama-ulama
besar. Dari sini kita bisa mengerti, bahwa guru-guru al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani
sangat banyak, dan merupakan ulama-ulama yang masyhur. Bisa dicatat, seperti:
‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki (wafat 790 H), Muhammad
bin ‘Abdullah bin Zhahirah al-Makki (wafat 717 H), Abul Hasan al-Haitsami (wafat
807 H), Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H), Sirajuddin al-Bulqini Rahimahullah (wafat
805 H) dan beliaulah yang pertama kali mengizinkan al-Hafizh mengajar dan
berfatwa.
Kemudian juga, Abul-Fadhl
al-‘Iraqi (wafat 806 H) –beliaulah yang menjuluki Ibnu Hajar dengan sebutan
al-Hafizh, mengagungkannya dan mempersaksikan bahwa Ibnu Hajar adalah muridnya
yang paling pandai dalam bidang hadits, ‘Abdurrahim bin Razin Rahimahullah –
dari beliau ini al-Hafizh mendengarkan shahih al-Bukhari, al-‘Izz bin Jama’ah
Rahimahullah, dan beliau banyak menimba ilmu darinya. Tercatat juga al Hummam al-Khawarizmi
Rahimahullah. Dalam mengambil ilmu-ilmu bahasa arab, al-Hafizh belajar kepada
al-Fairuz Abadi Rahimahullah, penyusun kitab al-Qamus (al-Muhith-red), juga
kepada Ahmad bin Abdurrahman Rahimahullah. Untuk masalah Qira’atus-sab’
(tujuh macam bacaan al-Qur’an), beliau belajar kepada al-Burhan at-Tanukhi
Rahimahullah, dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 500 guru dalam berbagai
cabang ilmu, khususnya fiqih dan hadits.
Jadi, al-Hafizh Ibnu
Hajar al-Asqalani mengambil ilmu dari para imam pada zamannya di kota Mesir,
dan melakukakan rihlah (perjalanan) ke negeri-negeri lain untuk menimba ilmu,
sebagaimana kebiasaan para ahli hadits.
Layaknya sebagai
seorang ‘alim yang luas ilmunya, maka beliau juga kedatangan para thalibul
‘ilmi (para penuntut ilmu, murid-red) dari berbagai penjuru yang ingin
mengambil ilmu dari beliau, sehingga banyak sekali murid beliau. Bahkan
tokoh-tokoh ulama dari berbagai madzhab adalah murid-murid beliau. Yang
termasyhur misalnya, Imam ash-Shakhawi (wafat 902 H), yang merupakan murid
khusus al-Hafizh dan penyebar ilmunya, kemudian al-Biqa’i (wafat 885 H),
Zakaria al-Anshari (wafat 926 H), Ibnu Qadhi Syuhbah (wafat 874 H), Ibnu Taghri
Bardi (wafat 874 H), Ibnu Fahd al-Makki (wafat 871 H), dan masih banyak lagi
yang lainnya.
Karya-Karyanya
Kepakaran al-Hafizh
Ibnu Hajar sangat terbukti. Beliau mulai menulis pada usia 23 tahun, dan terus
berlanjut sampai mendekti ajalnya. Beliau mendapatkan karunia Allah Ta’ala di
dalam karya-karyanya, yaitu keistimewaan-keistimewaan yang jarang didapati pada
orang lain. Oleh karena itu, karya-karya beliau banyak diterima umat islam dan
tersebar luas, semenjak beliau masih hidup. Para raja dan amir biasa saling
memberikan hadiah dengan kitab-kitab Ibnu hajar Rahimahullah. Bahkan sampai
sekarang, kita dapati banyak peneliti dan penulis bersandar pada karya-karya
beliau Rahimahullah.
Diantara karya beliau
yang terkenal ialah: Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari, Bulughul
Marom min Adillatil Ahkam, al-Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Tahdzibut
Tahdzib, ad-Durarul Kaminah, Taghliqut Ta’liq, Inbaul Ghumr bi-Anbail
Umr dan lain-lain.
Bahkan menurut
muridnya, yaitu Imam asy-Syakhawi, karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab.
Sebagian peneliti pada zaman ini menghitungnya, dan mendapatkan sampai 282
kitab. Kebanyakan berkaitan dengan pembahasan hadits, secara riwayat dan
dirayat (kajian).
Mengemban Tugas
Sebagai Hakim
Beliau terkenal
memiliki sifat tawadhu’, hilm (tahan emosi), sabar, dan agung. Juga
dikenal banyak beribadah, shalat malam, puasa sunnah dan lainnya. Selain itu,
beliau juga dikenal dengan sifat wara’ (kehati-hatian), dermawan, suka
mengalah dan memiliki adab yang baik kepada para ulama pada zaman dahulu dan
yang kemudian, serta terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau, baik tua
maupun muda. Dengan sifat-sifat yang beliau miliki, tak heran jika perjalanan
hidupnya beliau ditawari untuk menjabat sebagai hakim.
Sebagai contohya, ada
seorang hakim yang bernama Ashadr al-Munawi, menawarkan kepada al-Hafizh untuk
menjadi wakilnya, namu beliau menolaknya, bahkan bertekad untuk tidak menjabat
di kehakiman. Kemudian, Sulthan al-Muayyad Rahimahullah menyerahkan kehakiman
dalam perkara yang khusus kepada Ibnu Hajar Rahimahullah. Demikian juga hakim
Jalaluddin al-Bulqani Rahimahullah mendesaknya agar mau menjadi wakilnya.
Sulthan juga menawarkan kepada beliau untuk memangku jabatan Hakim Agung di
negeri Mesir pada tahun 827 H. Waktu itu beliau menerima, tetapi pada akhirnya
menyesalinya, karena para pejabat negara tidak mau membedakan antara orang
shalih dengan lainnya. Para pejabat negara juga suka mengecam apabila keinginan
mereka ditolak, walaupun menyelisihi kebenaran. Bahkan mereka memusuhi orang
karena itu. Maka seorang hakim harus berbasa-basi dengan banyak pihak sehingga
sangat menyulitkan untuk menegakkan keadilan.
Setelah satu tahun,
yaitu tanggal 7 atau 8 Dzulqa’dah 828 H, akhirnya beliau mengundurkan diri. Pada
tahun ini pula, Sulthan memintanya lagi dengan sangat, agar beliau menerima
jabatan sebagai hakim kembali. Sehingga al-Hafizh memandang, jika hal tersebut
wajib bagi beliau, yang kemudian beliau menerima jabatan tersebut tanggal 2
rajab. Masyarakat pun sangat bergembira, karena memang mereka sangat mencintai
beliau. Kekuasaan beliau pun ditambah, yaitu diserahkannya kehakiman kota Syam
kepada beliau pada tahun 833 H.
Jabatan sebagai
hakim, beliau jalani pasang surut. Terkadang beliau memangku jabatan hakim itu,
dan terkadang meninggalkannya. Ini berulang sampai tujuh kali. Penyebabnya,
karena banyaknya fitnah, keributan, fanatisme dan hawa nafsu. Jika dihitung, total jabatan kehakiman beliau
mencapai 21 tahun. Semenjak menjabat hakim Agung. Terakhir kali beliau memegang
jabatan hakim, yaitu pada tanggal 8 Rabi’uts Tsani 852 H, tahun beliau wafat.
Selain kehakiman,
beliau juga memilki tugas-tugas:
1.
Berkhutbah di Masjid
Jami’ al-Azhar.
2.
Berkhutbah di Masjid
Jami’ ‘Amr bin al Ash di Kairo.
3.
Jabatan memberi fatwa
di Gedung Pengadilan.
Di tengah-tengah
mengemban tugasnya, beliau tetap tekun dalam samudra ilmu, seperti mengkaji dan
meneliti hadits-hadits, membacanya, membacakan kepada umat, menyusun
kitab-kitab, mengajar tafsir, hadits, fiqih dan ceramah di berbagai tempat,
juga mendiktekan dengan hafalannya. Beliau mengajar sampai 20 madrasah. Banyak
orang-orang utama dan tokoh-tokoh ulama yang mendatanginya dan mengambil ilmu
darinya.
Kedudukannya
Ibnu Hajar
Rahimahullah menjadi salah satu ulama kebanggaan umat, salah satu tokoh dari
kalangan ulama, salah satu pemimpin ilmu. Allah Ta’ala memberikan manfaat
dengan ilmu yang beliau miliki, sehingga lahirlah murid-murid besar dan
disusunnya kitab-kitab.
Seandainya kitab
beliau hanya Fathul Bari, cukuplah untuk meninggikan dan menunjukkan
keagungan kedudukan beliau. Karena kitab ini benar-benar merupakan kamus Sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaii wasallam. Sedangkan karya beliau berjumlah lebih dari
150 kitab.
Wafatnya
Ibnu Hajar wafat pada
tanggal 28 Dzulhijjah 852 H di Mesir, setelah kehidupannya dipenuhi dengan ilmu
yang bermanfaat dan amal shalih, menurut sangkaan kami, dan kami tidak memuji
di hadapan Allah terhadap seorangpun. Beliau dikuburkan di Qarafah ash-Shugra.
Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas, memaafkan dan
mengampuninya dengan karunia dan kemurahan-Nya.
SEKILAS
KITAB BULUGHUL MARAM
Kitab ini merupakan
kitab yang membawa berkah dan manfaat, walaupun ukurannya yang kecil, namun di
dalamnya terkandung ilmu yang terdapat pada kitab-kitab yang berukuran besar.
Para ulama zaman dahulu sampai sekarang menerimanya dan mengambil manfaat
darinya. Bahkan tidak ada suatu majelisnya seorang ulama, melainkan kitab
Bulughul Marom dijadikan sebagai pelajaran pokoknya. Para penuntut ilmu pun
menghafalkannya dan mengambil manfaat darinya.
Keistimewaan Kitab
Penulis (Ibnu Hajar al-Asqolani)
menjelaskan martabat (derajat) hadits berupa shahih, hasan, dan dhoifnya,
sehingga para penuntut ilmu tidak perlu mencari rujukan dari kitab lain.
Beliau menuliskan
sebagian matan hadits saja yang berhubungan dengan bab yang di maksud, sehingga
singkat dan padat manfaat. Jika suatu hadits memiliki riwayat lain yang dapat
menjadi tambahan yang bermanfaat, penulis membawakannya dengan ringkas dan
jelas. Dengan demikian riwayat-riwayat hadits saling menyempurnakan terhadap
suatu masalah.
Penulis menyeleksi
hadits-hadits dari diwan dan kitab induk yang terkenal, seperti musnad Imam
Ahmad, Shahih Bukhori dan Shohih Muslim, Kitab Sunan yang empat, dll.
Kebanyakan hadits bersumber Shahih Bukhori dan Muslim atau Shahih salah
satunya, kemudian diikuti dengan riwayat Sunan agar hadits-hadits yang
benar-benar shahih menjadi landasan dan referensi terhadap suatu masalah dan
selainnya menjadi penyempurna.
Penulis menyebutkan 'illah
(cacat) yang ada pada hadits tertentu. Jika hadits tersebut memiliki penguat (tabi'
atau syahid), beliau mengisyaratkannya dengan isyarat yang
lembut. Dari sini teraihlah faedah dari sisi menjama' (menggabungkan) hadits
lebih baik dibandingkan mencelanya.
Penulis mengurutkan
bab-bab dan hadits-hadits sesuai dengan kitab-kitab fiqh, agar memudahkan
pembacanya untuk muroja'ah. Beliau menutup kitabnya dengan bab tentang
adab yang merupakan kumpulan-kumpulan dari hadits-hadits pilihan yang beliau
namakan bab "Jami' fil-Adab" agar pembaca mengambil manfaat
dari kitab ini, bukan hanya hukum tetapi juga akhlak.
Secara keseluruhan,
kitab Bulughul Marom ini merupakan ruhnya kitab-kitab ahkam (tentang
hukum). Layak bagi penuntut ilmu untuk menghafal dan memahaminya. Sumber: kitab
Taudihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah
bin Abdirrahman al-Bassam.
بُلُوْغُ الْمَرَامِ
كِتَابُ الطَّهَارَةِ - بَابُ الْمِيَاهِ
BAB
I: TENTANG AIR
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
1. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْبَحْرِ هُوَ الطَّهُورُ
مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِي
شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ
وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ[1]
2. وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ
طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ أَخْرَجَهُ الثَّلَاثَةُ وَصَحَّحَهُ أَحْمَد[2]
3. وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ
الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ
وَلَوْنِهِ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ
وَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ
أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ[3]
4. وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ وَفِي لَفْظٍ لَمْ
يَنْجُسْ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ
وَالْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ[4]
5. وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْتَسِلْ
أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ. لِلْبُخَارِيِّ
لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي
ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ. وَلِمُسْلِمٍ
مِنْهُ وَلِأَبِي دَاوُد : وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ[5]
6. وَعَنْ رَجُلٍ صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ أَوْ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ
وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ وَإِسْنَادُهُ
صَحِيحٌ[6]
7. وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ
مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ. وَلِأَصْحَابِ السُّنَنِ
: اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
جَفْنَةٍ فَجَاءَ يَغْتَسِلُ مِنْهَا فَقَالَتْ : إنِّي كُنْت جُنُبًا فَقَالَ :
إنَّ الْمَاءَ لَا يَجْنُبُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ[7]
8. وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ
مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ[8]
9. وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طُهُورُ إنَاءِ
أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ
أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَفِي لَفْظٍ لَهُ فَلْيُرِقْهُ
وَلِلتِّرْمِذِيِّ أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ[9]
10.
وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ - فِي الْهِرَّةِ - :
إنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ
أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَة[10]
11.
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ : جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ
النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا
قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ
مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ[11]
12.
وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُحِلَّتْ لَنَا
مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ. فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالْجَرَادُ وَالْحُوتُ
وَأَمَّا الدَّمَانِ : فَالطِّحَالُ وَالْكَبِدُ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ
مَاجَهْ وَفِيهِ ضَعْفٌ[12]
13.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ
أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ
دَاءً وَفِي الْآخَرِ شِفَاءً أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ وَأَبُو دَاوُد . وَزَادَ
وَإِنَّهُ يَتَّقِي بِجَنَاحِهِ الَّذِي فِيهِ الدَّاءُ[13]
14.
وَعَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا
قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ - وَهِيَ حَيَّةٌ - فَهُوَ مَيِّتٌ أَخْرَجَهُ أَبُو
دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَاللَّفْظُ لَهُ[14]
BAB II
TENTANG BEJANA
15.
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا تَأْكُلُوا فِي
صِحَافِهِمَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ[15]
16.
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي
يَشْرَبُ فِي إنَاءِ الْفِضَّةِ إنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ[16]
17.
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الْلَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ الْلَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دُبِغَ
الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.
وَعِنْدَ الْأَرْبَعَةِ: ( أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ )[17]
18.
وَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْمُحَبِّقِ رضي
الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ الْلَّهِ صلى الله عليه وسلم دِبَاغُ جُلُودِ
الْمَيْتَةِ طُهُورُهاَ صَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ[18]
19.
وَعَنْ مَيْمُونَةَ رَضِيَ الْلَّهُ عَنْهَا
قَالَتْ: مَرَّ رَسُولُ الْلَّهِ صلى الله عليه وسلم بِشَاةٍ يَجُرُّونَهَا
فَقَالَ: لَوْ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا؟ فَقَالُوا: إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ:
يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ[19]
20.
وَعَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قُلْت : يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ أَهْلِ
كِتَابٍ أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ ؟ قَالَ : لَا تَأْكُلُوا فِيهَا
إلَّا أَنْ لَا تَجِدُوا غَيْرَهَا فَاغْسِلُوهَا وَكُلُوا فِيهَا مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ[20]
21.
وَعَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ
تَوَضَّئُوا مِنْ مَزَادَةِ امْرَأَةٍ مُشْرِكَةٍ .مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ فِي حَدِيثٍ
طَوِيلٍ.[21]
22.
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ : أَنَّ قَدَحَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْكَسَرَ
فَاِتَّخَذَ مَكَانَ الشَّعْبِ سَلْسَلَةً مِنْ فِضَّةٍ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ[22]
BAB III:
TENTANG NAJIS & CARA MENSUCIKANNYA
23.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ : سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
الْخَمْرِ تُتَّخَذُ خَلًّا ؟ قَالَ: لَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَالتِّرْمِذِيُّ
وَقَالَ حَسَنٌ صَحِيحٌ[23]
بُلُوْغُ الْمَرَامِ
من ادلّة الأحكام
al-Hafidz al-Imam Ibnu
Hajar al-Asqalany
Kitab Digital
Versi 3.01
Tasikmalaya,
8 Rabi'ul Awwal 1431 H / 23 Februari 2010 M
Kompilasi CHM oleh: Dani Hidayat
editor: Pondok Pesantren Bahjaturraghibin
Ds. Sokopuluhan Kec. Pucakwangi Kab. Pati
CopyRight: 2016
[1] Dari Abu
Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa-sallam
bersabda tentang (air) laut. "Laut itu airnya suci dan mensucikan,
bangkainya pun halal." Dikeluarkan oleh Imam Empat dan Ibnu Syaibah.
Lafadh hadits menurut riwayat Ibnu Syaibah dan dianggap shohih oleh Ibnu
Khuzaimah dan Tirmidzi. Malik, Syafi'i dan Ahmad juga meriwayatkannya.
Faedah Hadits: (1) Kesucian air laut bersifat mutlak tanpa
ada perincian. Airnya suci substansinya dan dapat mensucikan yang lainnya.
Seluruh ulama menyatakan demikian kecuali sebagian kecil yang pendapatnya tidak
dapat dianggap. (2) Air laut dapat menghapus hadats besar dan kecil, serta
menghilangkan najis yang ada pada tempat yang suci baik pada badan, pakaian,
tanah, atau selainnya. (3) Air jika rasanya atau warnanya atau baunya berubah
dengan sesuatu yang suci, maka air tersebut tetap dalam keadaan sucinya selama
air tersebut masih dalam hakikatnya, sekalipun menjadi sangat asin atau sangat
panas atau sangat dingin atau sejenisnya. (4) Bangkai hewan laut halal, dan
maksud bangkai di sini adalah hewan yang mati yang tidak bisa hidup kecuali di
laut. (5) Hadits ini menunjukkan tidak wajibnya membawa air yang mencukupi
untuk bersuci, walaupun dia mampu membawanya, karena para sahabat mengabarkan
bahwa mereka membawa sedikit air saja. (6) Sabdanya (suci dan mensucikan
airnya), dengan alif lam, tidak menafikan kesucian selain air laut,
sebab perkataan tersebut sebagai jawaban atas pertanyaan tentang air laut. (7)
Keutamaan menambah jawaban dalam fatwa dari suatu pertanyaan, hal ini dilakukan
jika orang yang berfatwa menduga bahwa orang yang bertanya tidak mengetahui
hukum (yang ditambahnya tersebut). (8) Ibnul Arobi berkata, “Merupakan kebaikan
dalam berfatwa jika menjawab lebih banyak dari yang ditanyakan kepadanya
sebagai penyempurna faedah dan pemberitahuan tentang ilmu yang tidak
ditanyakan, dan ditekankan melakukan hal ini ketika adanya kebutuhan ilmu
tentang suatu hukum sebagaimana pada hadits ini (Rasulullah shallallahu
'alaihi wa-sallam menambah "dan halal bangkainya"), dan
ini tidak dianggap membebani si penanya dengan sesuatu yang tidak penting. (9)
Imam As Syafi’i berkata, “Hadits ini merupakan setengah dari ilmu tentang
bersuci”, Ibnul Mulaqqin berkata, “Hadits ini merupakan hadits yang agung dan
prinsip diantara prinsip-prinsip bersuci, yang mencakup hukum-hukum yang banyak
dan kaidah-kaidah yang penting”.
Perbedaan Pendapat Para Ulama: (1) Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa hewan laut tidak halal kecuali ikan dengan
seluruh jenisnya, adapun selain ikan yang menyerupai hewan darat, seperti ular
(laut), anjing (laut), babi (laut) dan lainnya, maka beliau berpendapat tidak
halal. (2) Pendapat Imam Ahmad yang masyhur adalah halalnya seluruh jenis hewan
laut, kecuali katak, ular, dan buaya. Katak dan ular merupakan hewan yang
menjijikkan, adapun buaya merupakan hewan bertaring yang digunakannya untuk
memangsa (3) Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat halalnya seluruh jenis
hewan laut tanpa terkecuali, keduanya berdalil dengan firman Allah ta’ala,
“Dihalalkan bagi kamu hewan buruan laut” (QS Al Maidah : 96), dan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa-sallam:
[2] Dari Abu Said
Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa-sallam
bersabda: "Sesungguhnya (hakekat) air adalah suci dan mensucikan, tak
ada sesuatu pun yang menajiskannya." Dikeluarkan oleh Imam Tiga dan
dinilai shahih oleh Ahmad.
[3] Dari Abu
Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa-sallam
bersabda: "Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya
kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya." Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim. Dalam riwayat
Al Baihaqi, "Air itu thohur (suci dan mensucikan) kecuali jika
air tersebut berubah bau, rasa, atau warna oleh najis yang terkena
padanya."
[4] Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa-sallam
bersabda: "Jika banyaknya air telah mencapai dua kullah maka ia tidak
mengandung kotoran." Dalam suatu lafadz hadits: "Tidak najis". Dikeluarkan
oleh Imam Empat dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban.
Kata قلتين (qullataini) = dua kullah. Dua kullah sama dengan 500
ritl irak, dan 1 ritl irak sama dengan 90 misqol. Dengan takaran kilo, dua
kullah sama dengan 200 kg.
Faedah
hadits: (1) Jika air mencapai dua kullah, maka air tersebut dapat
menghilangkan najis (dengan sendirinya) sehingga najis tidak memberi pengaruh,
dan inilah makna tersurat dari hadits tersebut. (2) Dipahami dari hadits
tersebut bahwa air yang kurang dari dua qullah, terkadang terkontaminasi oleh
najis dengan masuknya najis sehingga air tersebut menjadi ternajisi, tetapi
terkadang tidak menjadi ternajisi dengannya. (3) Ternajisi atau tidaknya air
bergantung pada ada atau tidaknya zat najis di dalamnya, jika najis tersebut
telah hancur dan larut, maka air tersebut tetap pada kesuciannya.
Perbedaan
pendapat ulama: (1) Imam
Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan Ahmad, serta pengikut madzhab mereka,
berpendapat bahwa air yang sedikit menjadi ternajisi dengan masuknya najis,
walaupun najisnya tidak mengubah sifat air.Sedikitnya air menurut Abu Hanifah
adalah air yang jika digerakkan di satu ujung wadahnya, maka ujung lainnya juga
ikut bergerak. Adapun sedikitnya air menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad
(Hanabilah) adalah air yang kurang dua kullah. (2) Imam Malik, Az-
Zhohiriyyah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,
ulama-ulama salafiyah di Nejd, dan para muhaqqiqin berpendapat bahwa air tidak
menjadi ternajisi dengan masuknya najis selama salah satu dari tiga sifat air
(rasa, warna, dan bau) tidak berubah. Para ulama yang mengatakan bahwa air
dapat ternajisi dengan sekedar masuknya najis berdalil dengan pemahaman hadits
Ibnu Umar ini. Pemahamannya menurut mereka bahwa air yang kurang dari dua
kullah akan mengandung kotoran [najis]. Di dalam satu riwayat, “jika (air)
mencapai dua kullah, maka tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya”. Maka
pemahamannya bahwa air yang kurang dari dua kullah menjadi ternajisi dengan
sekedar masuknya najis, sebagaimana mereka berdalil dengan hadits tentang
perintah menumpahkan air pada wadah yang dijilati oleh anjing tanpa
memperdulikan tentang perubahan sifat air nya.
Hadits
qullatain (dua kullah) tidak bertentangan dengan pendapat Abu Hanifah, sebab
air seukuran dua kulah jika diisi dalam suatu wadah, maka air di salah satu
ujung wadah tidak bergerak dengan bergeraknya ujung lainnya.
Adapun dalil-
dalil para ulama yang tidak memandang sebagai air yang ternajisi kecuali dengan
perubahan sifat, diantaranya hadits qullataini ini, sesungguhnya makna hadits
tersebut adalah air yang mencapai dua kullah tidak ternajisi dengan sekedar
masuknya najis, karena air yang mencapai dua kullah tersebut tidak mengandung
kotorang [najis] dan dapat menghilangkan najis-najis di dalamnya.
Adapun
pemahaman hadits tersebut, tidak lazim demikian, sebab terkadang air menjadi
ternajisi jika najis mengubah salah satu sifat air, dan terkadang air tidak
ternajisi. Sebagaimana mereka juga berdalil dengan hadits tentang menuangkan
seember air pada air kencing Arab Badui dan dalil lainnya.
Ibnul Qoyyim
berkata, “yang dituntut oleh prinsip dasar syariat adalah : jika air tidak
berubah sifatnya oleh najis maka air tersebut tidak menjadi ternajisi, hal itu
karena air tetap dalam sifat alaminya, dan air yang seperti ini termasuk yang thoyyib
(baik) dalam firman Allah, ((dan dihalalkan bagi mereka yang baik-baik)). Ini
dapat diqiyaskan terhadap seluruh benda cair, jika terkena najis dan tidak
mengubah warna, rasa, dan bau. Sumber: Taudhihul Ahkam min Bulughul
Marom karya Syaikh Abdullah al-Bassam.
[5] Dari Abu Hurairah
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa-sallam bersabda: "Janganlah
seseorang di antara kamu mandi dalam air yang tergenang (tidak mengalir) ketika
dalam keadaan junub." Dikeluarkan oleh Muslim. Menurut Riwayat Imam
Bukhari: "Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu kencing dalam air
tergenang yang tidak mengalir kemudian dia mandi di dalamnya. "Menurut
riwayat Muslim dan Abu Dawud: "Dan janganlah seseorang mandi junub di
dalamnya."
Faedah Hadits: (1) Larangan mandi
janabah di dalam air yang tenang (tidak mengalir). (2) Larangan berkonsekuensi
haram, maka haram mandi janabah di dalam air yang tenang. (3) Larangan ini
(mandi janabah di dalam air yang tenang) menunjukkan rusaknya sesuatu yang
dilarang (yaitu rusaknya air bekas mandi janabah). (4) Larangan kencing di
dalam air yang tenang, kemudian mandi janabah di dalamnya. (5) Larangan
berkonsekuensi haram, maka haram mandi janabah di dalam air yang dikencingi.
(6) Larangan ini (mandi janabah di dalam air yang dikencingi) juga menunjukkan
rusaknya yang dilarang (yaitu rusaknya air bekas dikencingi dan mandi janabah).
(7) Secara zhohir, hadits ini tidak membedakan antara air yang sedikit ataupun
banyak. (8) Rusak yang diakibatkan oleh kedua larangan tersebut adalah rusaknya
air, karena menjadi kotor dan menjijikkan bagi orang-orang yang akan
menggunakannya. Dan akan dijelaskan – insyaAllah- perbedaan pendapat mengenai
air musta’mal (air bekas digunakan), apakah menggunakannya untuk thoharoh
(bersuci) akan menghasilkan kesucian atau tidak. (9) Larangan dari kencing atau
mandi di dalam air yang tenang tidak secara mutlak berdasarkan kesepakatan. Air
yang sangat banyak tidak termasuk yang dilarang berdasarkan kesepakatan,
dan peng-khusus-an (air yang sangat banyak) ini dikhususkan oleh ijma’. (10) Imam
Ash-Shon’ani berkata dalam kitab Subulus Salam, “yang sesuai dengan
kaidah bahasa arab bahwa yang dilarang di dalam hadits adalah menggabungkan
(kencing kemudian mandi sekaligus), karena kata ثم (kemudian) tidak memberikan makna sebagaimana yang diberikan
oleh wawu ‘athof (= dan), kata ثم memberikan makna
gabungan dan berurutan (kencing kemudian mandi sekaligus di dalam air yang
sama). (11) Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata, “larangan menggabungkan (kencing
kemudian mandi) diambil dari satu hadits, dan larangan dari masing-masing
(mandi saja atau kencing saja) diambil dari hadits lain” (12) Keharaman ini
juga berlaku untuk buang air besar dan istinja’ (mencebok) di dalam air yang
tenang yang tidak mengalir. (13) Haram merugikan orang lain dan memberikan
mudhorot kepada mereka dengan amalan apapun yang tidak diridhoi, yang lebih
besar mudhorotnya daripada manfaatnnya.
Perbedaan Pendapat Ulama: Para ulama
berbeda pendapat apakah larangan ini berkonsekuensi haram atau makruh. (1) Madzhab
Malikiyah berpendapat makruh, karena air tetap dalam keadaan suci. (2) Madzhab
Hanabilah dan Zhohiriyyah berpendapat haram. (3) Sebagian ulama
berpendapat haram pada air yang sedikit, dan makruh pada air yang banyak.
Secara zhohir, larangan tersebut hukumnya haram baik pada air yang sedikit
maupun banyak, meskipun air tidak ternajisi, ‘illah (sebab) nya adalah karena
kotornya air dan menjijikkan bagi orang lain. Peringatan: dikecualikan
air yang sangat banyak (seperti air laut dan danau) berdasarkan kesepakatan
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
[6] Seorang laki-laki
yang bersahabat dengan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa-sallam berkata: Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa-sallam melarang perempuan mandi dari sisa air laki-laki
atau laki-laki dari sisa air perempuan, namun hendaklah keduanya menyiduk
(mengambil) air bersama-sama." Dikeluarkan oleh Abu
Dawud dan Nasa'i, dan sanadnya benar.
Faedah
Hadits: (1) Larangan
bagi laki-laki mandi dengan air bekas bersuci wanita. (2) Larangan bagi wanita
mandi dengan air bekas bersuci laki-laki. Yang disyariatkan adalah mandi
bersama dan mengambil air bersama. Ada hadits di Shahih Bukhori dari Ibnu Umar
bahwa dahulu laki-laki dan wanita di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa-sallam
mereka wudhu’ bersama-sama, di dalam riwayat Hisyam bin Ammar dari Malik
berkata, “di dalam satu wadah”, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu Dawud
meriwayatkan hadits ini dari jalur lain. Kemutlakan ini dimuqoyyad (dibatasi)
bahwa maksudnya bukan laki-laki yang asing bagi wanita, akan tetapi maksud dari
laki-laki dan wanita tersebut adalah suami istri, atau orang yang dihalalkan
melihat anggota-anggota wudhu’.
[7] Dari Ibnu
Abbas r.a: Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa-sallam pernah mandi dari air sisa
Maimunah r.a. Diriwayatkan oleh Imam Muslim. Menurut para
pengarang kitab Sunan: Sebagian istri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa-sallam mandi
dalam satu tempat air, lalu Nabi datang hendak mandi dengan air itu, maka
berkatalah istrinya: Sesungguhnya aku sedang junub. Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa-Sallam bersabda: "Sesungguhnya
air itu tidak menjadi junub." Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu
Khuzaimah.
Faedah
Hadits: (1) Bolehnya seorang
laki-laki mandi dengan air bekas bersucinya wanita walaupun wanita tersebut
junub, dan kebalikannya lebih diperbolehkan bagi wanita untuk mandi dengan air
bekas bersucinya laki-laki. (2) Mandinya orang yang junub atau wudhu’nya orang
yang berwudhu dari wadah tidak memberikan dampak terhadap kesucian air, maka
air tetap dalam kesuciannya. (3) Al-Wazir dan An-Nawawi menceritakan adanya
ijma’ atas bolehnya laki-laki berwudhu’ dengan air bekas bersucinya wanita
walaupun mereka tidak wudhu' bersama. Kecuali ada salah satu riwayat dari
Ahmad, yaitu riwayat yang masyhur bagi pengikutnya. Dan riwayat lain, beliau
berkata di Al-Inshof, dan dari Imam Ahmad, “hilangnya hadats laki-laki
tersebut" dan inilah pendapat yang benar dari dua pendapat yang ada, dan
pendapat ini dipilih oleh Ibnu ‘Uqoil dan Abu Khottob dan Al Majid. Dikatakan
di Syarhul Kabir, “inilah madzhab imam yang tiga”. Adapun wudhu’nya wanita
dengan air bekas bersucinya laki-laki maka boleh tanpa ada perbedaan pendapat.
[8] Dari Ibnu
Abbas r.a: Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa-sallam pernah mandi dari air
sisa Maimunah r.a. Diriwayatkan oleh Imam Muslim.
[9] Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa-sallam bersabda: "Sucinya tempat air seseorang
diantara kamu jika dijilat anjing ialah dengan dicuci tujuh kali, yang
pertamanya dicampur dengan debu tanah." Dikeluarkan
oleh Muslim. Dalam riwayat lain disebutkan: "Hendaklah ia membuang air
itu." Menurut riwayat Tirmidzi: "Yang terakhir atau yang
pertama (dicampur dengan debu tanah)".
Faedah Hadits: (1) Anjing itu najis,
demikian juga anggota tubuh dan kotorannya, seluruhnya najis. (2) Najisnya
adalah najis yang paling berat. Tidak cukup untuk menghilangkan najisnya dan
bersuci darinya kecuali dengan tujuh kali cucian. (3) Jika anjing
menjilat ke dalam wadah, maka tidak cukup membersihkan jilatannya dengan
dibersihkan saja, tetapi mesti dengan menumpahkan isi di dalamnya kemudian
mencuci wadah tersebut sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan debu. (4) Wajibnya
menggunakan debu sekali dari tujuh kali cucian, dan yang lebih utama pada
cucian pertama sehingga air digunakan untuk cucian selanjutnya. (5) Penggunaan
debu tidak boleh digantikan dengan pembersih lainnya karena: Dengan debu
dihasilkan kebersihan yang tidak diperoleh jika menggunakan bahan pembersih
lain. (6) Tampak dari kajian ilmiah bahwa debu memiliki kekhususan dalam
membersihkan najis ini, tidak seperti pada bahan pembersih lainnya. Ini
merupakan salah satu mukjizat ilmiah pada syariat Muhammad ini yang beliau
tidak berbicara dari hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu yang diwahyukan
kepadanya. (7) Sesungguhnya debu adalah kata yang tercantum di dalam hadits,
wajib kita mengikuti nash. Seandainya ada benda lain yang boleh menggantikannya
maka tentu telah datang nash yang menjelaskannya. “Dan tidaklah Rabb-mu lupa”
(al ayah). (8) Menggunakan debu boleh dengan mencampurkan air dengan debu atau
mencampurkan debu dengan air atau dengan mengambil debu yang telah bercampur
dengan air, lalu tempat yang terkena najis dicuci dengannya. Adapun dengan
mengusap tempat najis dengan debu saja, maka tidak sah. (9) Telah tetap secara
medis dan terungkap melalu alat mikroskop dan alat modern lainnya bahwa di
dalam air liur anjing terdapat mikroba dan penyakit yang mematikan dan
air saja tak dapat menghilangkannya kecuali disertai dengan debu. Tidak ada
cara lain. Maha suci Allah Yang Maha Mengetahui lagi Memberi tahu. (10) Makna lahiriyah hadits ini adalah umum
untuk seluruh jenis anjing, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Akan tetapi
sebagian ulama mengatakan, “anjing untuk berburu, menjaga kebun, anjing
peliharaan adalah anjing-anjing yang dikecualikan dari keumuman ini. Hal ini
berdasarkan pada kaidah toleransinya syariat dan kemudahannya. “Kesulitan
dapat menarik kemudahan”.
Sahabat-sahabat kami menyamakan anjing dengan babi di
dalam kenajisannya yang berat, dan hukum mencuci najisnya babi sama dengan
mencuci najisnya anjing. Akan tetapi jumhur ulama menyelisihi pendapat ini,
mereka TIDAK menyamakan hukum mencuci najis babi dengan mencuci najis anjing
yang tujuh kali dan berurutan. Mereka mencukupkan apa yang ada di dalam nash.
Selain itu illah (alasan) hukum di dalam beratnya najis anjing tidak jelas.
Perbedaan pendapat
ulama terhadap wajibnya menggunakan debu
Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah
berpendapat bahwa yang wajib adalah mencuci tujuh kali, adapun penggunaan
debu bersama tujuh kali cucian hukumnya tidak wajib. Hal ini karena kegoncangan
(idhtirob)-nya periwayatan hadits tentang pencuciannya yang disertai dengan
debu, di dalam sebagian riwayat debu tersebut pada cucian pertama, di sebagian
riwayat lain pada cucian terakhir, dan di riwayat lain tidak menentukan
urutannya hanya menyebutkan “salah satunya dengan debu”. Oleh karena idhtirob
ini maka gugurlah hukum wajib penggunaan debu, karena “asal”nya adalah tidak
adanya hukum wajib.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
serta pengikut-pengikut mereka dan kebanyakan madzhab azh-Zhohiriyah, Ishaq,
Abu Ubaidah, Abu Tsaur, Ibnu Jarir, dan yang lainnya mensyaratkan penggunaan
debu. Jika najis anjing dicuci tanpa debu maka tidak suci. Hal
ini berdasarkan nash yang shahih. Adapun celaan idhtirob pada
periwayatannya ini tertolak. Dihukumi gugurnya suatu periwayatan karena idhtirob
hanyalah jika idhtirob-nya pada seluruh sisi, adapun jika sebagian sisi
hadits unggul atas sebagian yang lain – sebagaimana dalam kasus ini- maka yang
dijadikan hukum adalah riwayat yang rajih, sebagaimana yang ditetapkan di dalam
ilmu ushul fiqh. Dan di sini, yang rajih adalah riwayat Muslim, yaitu
penggunaan debu pada cucian yang pertama.
Perbedaan pendapat ulama, apakah najisnya anjing ini
khusus pada mulut dan air liurnya saja, atau umum seluruh badan dan anggota
tubuhnya?
Jumhur (mayoritas) ulama
berpendapat bahwa najisnya adalah umum untuk seluruh badannya, dan mencuci
dengan cara seperti ini juga berlaku secara umum. Mereka menyamakan badan
anjing dengan mulutnya.
Imam Malik dan Dawud
berpendapat bahwa hukum tersebut hanya sebatas untuk lidah dan mulut anjing,
mereka memandang bahwa perkara mencuci ini adalah dalam rangka ta’abbudi
(ibadah) bukan semata-mata karena najis. Perkara ibadah hanya dibatasi pada
nash dan tidak melebihinya karena tidak adanya illah (alasan hukum).
Pendapat pertama lebih rajih (unggul) karena: Ditemukan di dalam
badan anjing beberapa bagian yang lebih najis dan lebih kotor dari mulut dan
lidahnya. Asal di dalam hukum
adalah ta’lil, maka dibawa kepada yang umum. Sekarang tampak bahwa
najisnya anjing adalah najis mikroba, maka sudah tidak menjadi hukum yang bisa
dicari illahnya, hanyalah hukumnya berdasarkan hikmah yang jelas.
Imam Asy Syafi’i berkata, “seluruh
anggota badan anjing berupa tangannya, telinganya, kakinya, atau anggota badan
apapun jika masuk ke dalam wadah, maka wadah tersebut dicuci tujuh kali setelah
menumpahkan isi (air) di dalam wadah.
Prof. Thobaroh berkata di dalam
bukunya “Ruhuddin al-Islamiy”, “di antara hukum islam adalah menjaga
badan dari najisnya anjing. Ini adalah mukjizat ilmiah bagi Islam yang telah
mendahului ilmu kedokteran modern, dimana telah ditetapkan bahwa anjing
menularkan kebanyakan dari penyakit kepada manusia. Sebab anjing mengandung cacing
pita yang dapat menyebabkan penyakit kronis berbahaya bagi manusia.
Telah ditetapkan bahwa seluruh jenis anjing tidak terlepas dari cacing pita
ini, maka harus dijauhi dari seluruh hal yang berhubungan dengan makanan dan
minuman manusia.”
[10]Dari Abu
Qotadah Radliyallaahu 'anhu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa-sallam bersabda
perihal kucing - bahwa kucing itu tidaklah najis, ia adalah termasuk hewan
berkeliaran di sekitarmu. Diriwayatkan oleh
Imam Empat dan dianggap shahih oleh Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah.
Faidah Hadits: (1) Kucing bukan hewan yang najis, sehingga
tidak ternajisi apa-apa yang disentuhnya dan air yang dijilatnya. (2) Alasan (‘illah)
tidak najis tersebut adalah karena kucing merupakan hewan yang banyak
mondar-mandir dan merupakan hewan pelayan yang melayani majikannya, kucing
tersebut bersama manusia di rumah-rumah mereka dan tidak mungkin mereka
melepaskan diri darinya.
Hadits ini dan semisalnya merupakan dalil kaidah yang
umum yaitu “kesulitan dapat menarik kemudahan”, maka seluruh yang
tersentuh oleh kucing adalah suci, walaupun basah. Di-qiyas-kan (diserupakan
hukumnya) dengan kucing yaitu seluruh hewan sejenisnya yang haram (dimakan),
akan tetapi hewan-hewan tersebut jinak dan penting untuk dipelihara, seperti baghol
dan himar (keledai), atau sejenis hewan yang tidak mungkin dihindari
keberadaannya seperti tikus.
Ahli fiqh dari
kalangan Hanabilah dan selain mereka menjadikan seluruh hewan yang haram
(dimakan) dan burung yang berukuran sama dengan kucing atau yang lebih kecil
disamakan hukumnya dari sisi kesucian dan kebolehan untuk menyentuhnya, namun
kesucian hewan-hewan ini dan sejenisnya bukan berarti halal dimakan dengan sesembelihan,
kesucian yang dimaksud hanyalah kesucian tubuhnya dan apa-apa yang tersentuh
olehnya. Akan tetapi yang lebih rajih (pendapat yang lebih kuat) adalah memuqoyyad-kan-nya
dengan hewan-hewan yang diharamkan, baik hewan itu bertubuh besar ataupun kecil,
karena inti dari ‘illah tersebut adalah “hanyalah ia hewan yang suka
berkeliaran di sisi kalian”. Sabda beliau, “Sesungguhnya ia bukanlah hewan
yang najis” merupakan dalil tentang kesucian seluruh anggota badan dari kucing.
Inilah pendapat yang lebih benar daripada perkataan yang membatasi kesuciannya
pada jilatan dan apa-apa yang tersentuh oleh mulutnya saja, serta menjadikan
anggota badan lainnya berhukum najis, pendapat ini menyelisihi apa yang
terpahami dari hadist di atas, dan menyelisihi ta’lil (alasan) yang
terpahami dari sabda beliau – shallallahu ‘alaihi wa-sallam-, “hanyalah ia
hewan yang banyak berkeliaran di sisi kalian”, karena “berkeliaran
(mondar-mandir)” berarti bisa disentuh seluruh anggota badannya.
Yang terpahami dari
hadits di atas adalah disyariatkannya menjauhi sesuatu yang najis. Jika sangat
dibutuhkan atau darurat untuk menyentuhnya, seperti istinja (mencebok)
atau menghilangkan kotoran dengan tangan, maka wajib membersihkannya.
[11]Anas Ibnu Malik
Radliyallaahu 'anhu berkata: "Seseorang Badui datang kemudian kencing
di suatu sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi Shallallaahu
'alaihi wa-sallam melarang mereka. Ketika ia telah
selesai kencing, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa-sallam menyuruh untuk diambilkan
setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu." (Muttafaq
Alaihi).
Faedah Hadits: (1) Air kencing
(manusia) itu najis, dan wajib mensucikan tempat yang mengenainya baik itu
badan, pakaian, wadah, tanah, atau selainnya. (2) Cara mensucikan air kencing
yang ada di tanah adalah menyiramkannya dengan air, dan tidak disyaratkan
memindahkan debu dari tempat itu baik sebelum menyiramnya maupun setelahnya.
Hal serupa (penyuciannya) dengan air kencing adalah (penyucian) najis-najis lainnya,
dengan syarat najis-najis tersebut tidak berbentuk padatan. (3) Penghormatan terhadap masjid dan
pensuciannya, serta menjauhkan kotoran dan najis darinya. Telah diriwayatkan
oleh al-jama’ah, kecuali imam Muslim bahwa beliau –shallallahu ‘alaihi wa-sallam
berkata kepada orang Badui tersebut, “Sesungguhnya masjid ini tidak layak
dikotori sesuatu berupa kencing ini dan kotoran, tempat ini hanyalah untuk
berdzikir kepada Allah dan membaca al-Qur’an”. (4) Toleransinya akhlak Nabi
– shallallahu
a’laihi wa-sallam-. Beliau memberi petunjuk kepada orang arab Badui tersebut
dengan lemah lembut setelah dia selesai kencing, yang membuat dia mengkhususkan
doanya untuk nabi, dia berkata, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan
janganlah engkau rahmati seorangpun yang ada bersama kami”, sebagaimana
yang terdapat di Shahih Al Bukhori. (5) Luasnya pandangan beliau dan pengenalan
beliau tentang tabiat manusia serta baiknya akhlak beliau bersama mereka
sampai-sampai seluruh hati mereka mencintai beliau, Allah ta’ala berfirman, “Dan
sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur” (Q.S. al-Qolam
: 4). (6) Ketika ada berbagai kerusakan
berkumpul, maka yang dilakukan adalah kerusakan yang lebih ringan. Beliau – shallallahu
‘alaihi wa-sallam- membiarkannya sampai selesai kencing, agar tidak
mengakibatkan mudhorat dengan terputusnya kencing (secara mendadak) dan dari
terkotorinya badannya, pakaiannya, dan menyebarnya kencing tersebut ke daerah
lain di dalam masjid tersebut, serta bahaya yang terjadi pada tubuhnya
khususnya saluran kencing. (7) Jauhnya dari masyarakat dan kota menyebabkan
kurangnya pengetahuan dan kebodohan. (8) Anjuran lemah lembut dalam mengajarkan
orang yang bodoh tanpa kekerasan. (9) Bahwa yang dikenai hukum-hukum syar’i berupa dosa atau hukuman
di dalam kehidupan hanyalah untuk orang yang tahu terhadap hukumnya, adapun
orang yang bodoh maka tidak tercela baginya, akan tetapi diajarkan padanya agar
dia mengerjakannya.
[12]Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu
berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa-sallam bersabda: "Dihalalkan
bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah belalang dan ikan, sedangkan dua macam
darah adalah hati dan jantung." Diriwayatkan oleh
Ahmad dan Ibnu Majah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan.
Faedah Hadits: (1) Haramnya darah yang mengalir, diambil
dari kebolehan dua darah yang disebutkan di dalam hadits tersebut. Pengecualian
halalnya sebagian tertentu menjadi dalil tentang keharaman selainnya. (2)
Haramnya bangkai, yaitu hewan yang mati begitu saja atau disembelih tidak
dengan cara yang sesuai dengan syari’at. (3) Hati dan limpa itu halal dan suci.
(4) Bangkai belalang dan ikan juga halal dan suci. (5) Makna bangkai belalang
adalah belalang yang mati bukan akibat ulah manusia, melainkan mati begitu saja
dengan sebab-sebab kematian seperti kedinginan, hanyut, atau yang lainnya. (6) Adapun
yang mati dengan sebab racun maka bangkai tersebut diharamkan karena di
dalamnya terkandung racun yang mematikan yang diharamkan. Demikian juga bangkai
ikan adalah ikan yang mati bukan akibat perbuatan manusia, melainkan yang mati
begitu saja, baik dengan sebab hanyut oleh ombak atau keringnya air sungai,
atau karena suatu musibah yang bukan akibat ulah manusia. Maksudnya adalah
bahwa jika ditemukan telah menjadi bangkai dengan cara apa saja, maka ia halal
dan suci. Adapun yang mati dengan sebab oleh sesuatu yang disebut dengan
pencemaran air laut dengan bahan beracun atau hal-hal yang mematikan, maka ini diharamkan,
bukan karena substansi bangkai ikannya akan tetapi karena racun dari zat-zat
yang berbahaya atau yang mematikan tersebut. (7) Hadits ini menjadi dalil bahwa
jika ikan dan belalang mati di air, maka air tersebut tidak ternajisi, baik air
tersebut banyak maupun sedikit, sekalipun rasanya, warnanya, dan baunya
berubah, maka perubahan tersebut bukan dengan sesuatu yang najis, akan tetapi
perubahan itu dengan sesuatu yang suci. Inilah konteks kesesuaian hadits ini di
dalam Bab Air.
[13]Dari Abu Hurairah Radliyallaahu
'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa-sallam bersabda: "Apabila
ada lalat jatuh ke dalam minuman seseorang di antara kamu maka benamkanlah
lalat itu kemudian keluarkanlah, sebab ada salah satu sayapnya ada penyakit dan
pada sayap lainnya ada obat penawar." Dikeluarkan oleh Bukhari dan Abu Dawud
dengan tambahan: "Dan hendaknya ia waspada dengan sayap yang ada
penyakitnya."
[14]Dari Abu Waqid Al-Laitsi
Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa-sallam bersabda: "Anggota
yang terputus dari binatang yang masih hidup adalah termasuk bangkai." Dikeluarkan
oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan beliau menyatakannya shahih. Lafadz hadits ini
menurut Tirmidzi.
[15]Dari Hudzaifah
Ibnu al-Yamani Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa-Sallam
bersabda: "Janganlah kamu minum dengan bejana yang terbuat dari emas
dan perak, dan jangan pula kamu makan dengan piring yang terbuat dari keduanya,
karena barang-barang itu untuk mereka di dunia sedang untukmu di akhirat."
Muttafaq Alaihi.
[16]Dari Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa-Sallam bersabda: "Orang
yang minum dengan bejana dari perak sungguh ia hanyalah memasukkan api jahannam
ke dalam perutnya." Muttafaq Alaih.
[17]Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu
'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa-Sallam bersabda: "Jika
kulit binatang telah disamak maka ia menjadi suci." Diriwayatkan
oleh Muslim. Menurut riwayat Imam Empat: Kulit
binatang apapun yang telah disamak (ia menjadi suci).
[18]Dari Salamah Ibnu
al-Muhabbiq Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa-Sallam bersabda: "Menyamak kulit
bangkai adalah mensucikannya." Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.
[19]Maimunah
Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa-Sallam melewati
seekor kambing yang sedang diseret orang-orang. Beliau bersabda: Alangkah
baiknya jika engkau mengambil kulitnya. Mereka berkata: Ia benar-benar
telah mati? Beliau bersabda: Ia dapat disucikan dengan air dan daun salam.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i.
[20]Dari Abu Tsa'labah
al-Khusny berkata: Saya bertanya, wahai Rasulullah, kami tinggal di daerah
Ahlul Kitab, bolehkah kami makan dengan bejana mereka? Beliau
menjawab: Janganlah engkau makan dengan bejana mereka kecuali jika engkau
tidak mendapatkan yang lain. Oleh karena itu bersihkanlah dahulu dan makanlah
dengan bejana tersebut. Muttafaq Alaihi.
[21]Dari Imran Ibnu
Hushoin Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa-Sallam dan para sahabatnya
berwudlu di mazadah (tempat air yang terbuat dari kulit
binatang) milik seorang perempuan musyrik. Muttafaq
Alaihi dalam hadits yang panjang.
[22]Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu
bahwa bejana Nabi Shallallaahu 'alaihi wa-sallam retak, lalu beliau menambal
tempat yang retak itu dengan pengikat dari perak. Diriwayatkan
oleh Bukhari.
[23]Anas Ibnu Malik
Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa-sallam pernah
ditanya tentang khamar (minuman memabukkan) yang dijadikan cuka. Beliau
bersabda: "Tidak boleh." Riwayat Muslim dan Tirmidzi. Menurut
Tirmidzi hadits ini hasan dan shahih.
0 Response to "KITAB BULUGHUL MARAM"
Post a Comment