HUKUM KEWARISAN : GHARAWAIN, ‘AUL
DAN RADD
A. PENDAHULUAN
Di dalam Hukum Waris
Islam ada masalah-masalah kewarisan yang diselesaikan secara khusus. Masalah-masalah Khusus Dalam
Kewarisan ini adalah persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesaiannya
menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan kata lain pembagian harta
warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya.
Masalah-masalah khusus ini timbul
karena adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan tersebut
dilakukan secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka
penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus[1].
Adapun beberapa persoalan
kewarisan yang harus diselesaikan secara khusus, yaitu :
1. Al-Gharawain (Umariyatain)
2. Al-Musyarakah (Musyarikah)
3. Masalah Datuk Bersama Saudara (Akdariyah)
4. ‘Aul dan Rad
Dalam pembahasan
makalah ini selanjutnya hanya akan membahas tentang Gharawain (masalah yang
menyimpang dari ketentuan yang berlaku secara umum) dan penyelesaian pembagian
warisan apabila ahli waris hanya terdiri dari ashabul furud yang
penyelesaiannya dengan cara ‘Aul dan Radd.
B. AL-GHARAWAIN (UMARIYATAIN)
Gharawain, bentuk
tasniyah (double) dari lafadz gharr ( غر,bintang cemerlang). Disebut demikian karena kemasyhurannya
bagaikan bintang yang cemerlang. Nama lain dari gharawain adalah Umariyatain karena cara penyelesaiannya tersebut
diperkenalkan oleh Umar bin Khattab r.a[2].
Masalah gharawain
adalah salah satu bentuk masalah dalam kewarisan yang pernah diputuskan oleh
Umar dan diterima oleh mayoritas sahabat dan diikuti oleh jumhur ulama. Masalah ini terjadi waktu
penjumlahan beberapa furudh dalam satu kasus kewarisan yang
hasilnya tidak memuaskan beberapa pihak[3].
Alasan yang
dikemukakan jumhur ulama adalah bahwa ibu dan bapak jika bersama-sama mewarisi
dengan tidak ada ahli waris yang lain, maka ibu menerima bagian 1/3 dan bapak
menerima ashabah. Karena itu cara demikian wajib diberlakukan manakala terdapat
sisa. Mereka memandang sebagai suatu hal yang menyalahi prinsip apabila bagian
yang diterima ibu lebih besar daripada bagian yang diterima bapak.
Prinsip dasarnya
adalah bahwa ibu menerima 1/3 dan bapak 2/3, dengan kata lain bagian lak-laki
adalah dua kali lipat bagian perempuan. Keadaan ini tetap berlaku manakala ibu
dan bapak bersama-sama dengan ahli waris suami atau istri. Jadi setelah bagian
suami atau istri diberikan maka ibu menerima 1/3 dan bapak sisanya[4].
Kasus al-gharawain ini terjadi
hanya dalam dua kemungkinan saja, yaitu :
1. Jika seseorang yang meninggal dunia hanya meninggalkan
ahli waris :
- Suami
- Ibu
- Bapak
2. Jika seseorang yang meninggal dunia hanya meninggalkan
ahli waris :
- Istri
- Ibu
- Bapak
Adapun maksud ahli
waris disini adalah ahli waris yang tidak terhijab, karena boleh jadi ahli
waris yang lain masih ada, namun terhijab oleh bapak.
Jadi suatu kasus bisa
dikatakan gharawain apabila telah diketahui dan ditentukan siapa saja yang
menjadi ahli waris dari yang meninggal, kemudian siapa yang terhijab dan
ternyata yang berhak untuk mendapat warisan hanyalah (terdiri dari)
suami/istri, ibu dan bapak.
Dan apabila ternyata
ahli waris yang berhak untuk mendapatkan warisan hanya terdiri dari
suami/istri, ibu, bapak, maka dapat dipastikan bahwa persoalan kewarisan tersebut sadalah persoalan yang
khusus yaitu Al-Gharawain.
Adapun penyelesaian
kasus dalam masalah Gharawain ini tidaklah seperti penyelesaian kasus-kasus
kewarisan pada umumnya, sebab apabila diselesaikan secara biasa maka hasilnya
sebagai berikut :
AW
|
Bagian
|
AM (6)
|
Suami
|
½
|
3
|
Ibu
|
1/3
|
2
|
Bapak
|
Ashabah
|
1
|
6/6
|
Apabila
penyelesaiannya dilakukan seperti di atas terlihat hasilnya bahwa untuk ibu
adalah 1/3 x 6 = 2, sedangkan bapak hanya memperoleh 1. Padahal semestinya
pendapatan bapak haruslah lebih besar dari pendapatan ibu. Sebab bapak selain
sebagai shahibul fardh juga merupakan ashabah (dapat menghabisi seluruh harta).
Jadi, persoalan Al-Gharawain ini
terletak pada pendapatan ibu yang lebih besar dari pendapatan bapak. Untuk
menghilangkan kejanggalan ini haruslah diselesaikan secara khusus, yaitu
pendapatan ibu bukanlah 1/3 dari harta warisan melainkan hanya 1/3 dari sisa
harta[5].
Dan yang dimaksud sisa harta
disini adalah keseluruhan harta warisan setelah dikurangi bagian yang harus
diterima oleh suami atau bagian istri. Maka penyelesaiannya
sebagai berikut :
AW
|
Bagian
|
AM (6)
|
Suami
|
1/2
|
3 (sisa=3)
|
Ibu
|
1/3 dari sisa
|
1/3 x 3 = 1
|
Bapak
|
Ashabah
|
2
|
6/6
|
Contoh kemungkinan kedua :
AW
|
JP
|
AM (12)
|
Istri
|
1/4
|
3
|
Ibu
|
1/3
|
4
|
Bapak
|
Ashabah
|
5
|
12/12
|
Penyelesaian kasus
seperti diatas adalah salah, sebab persoalan ini termasuk Gharawain. Dan tidak
sesuai dengan ketentuan “bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan”.
Maka penyelesaian yang benar adalah sebagai berikut :
AW
|
JP
|
AM (12)
|
Istri
|
¼
|
3 (sisa=9)
|
Ibu
|
1/3 dari sisa
|
1/3 x sisa(=9) = 3
|
Bapak
|
Ashabah
|
6
|
12/12
|
Perlu diingat bahwa
untuk memudahan dalam penyelesaiannya tempatkan suami /istri paling atas, sebab
1/3 dari sisa merekalah (setelah dikeluarkan bagian mereka) untuk bagian ibu.
C. MASALAH ‘AUL
Secara harfiah, ‘aul
artinya bertambah atau meningkat. Dikatakan ‘aul, karena dalam praktek
pembagian warisan, angka asal masalah harus ditingkatkan atau dinaikkan sebesar
angka bagian yang diterima oleh ahli waris yang ada. Langkah ini diambil karena
apabila pembagian warisan diselesaikan menurut ketentuan baku secara
semestinya, maka akan terjadi kekurangan harta[6].
Terjadinya masalah
aul adalah apabila terjadi angka pembilang lebih besar dari angka penyebut
(misalnya 8/6), sedangkan biasanya harta selalu dibagi dengan penyebutnya,
namun apabila hal ini dilakukan akan terjadi kesenjangan pendapatan dan
sekaligus menimbulkan persoalan, yaiu siapa yang lebih diutamakan dari para
ahli waris tersebut.
Untuk mencapai
pembagian yang adil, maka pembagian harta didasarkan kepada angka pembilang
(aul) dan penyebutnya (AM) dalam hal ini tidak dipergunakan sama sekali.
Contoh kasus I :
Seorang istri
meninggal dan meninggalkan ahli waris :
AW
|
Bagian
|
6 AM aul 8
|
Suami
|
1/2
|
3 3
|
Ibu
|
1/6
|
1 1
|
Sdr pr sisb
|
1/2
|
3 3
|
Sdr pr sb
|
1/6
|
1 1
|
6/8 8/8
|
Dalam kasus ini
terlihat bahwa pembilang lebih besar daripada penyebut, yaitu pembilang 8
sedangkan penyebut 6 (8/6). Kemudian masing-masing ahli waris pendapatannya
berkurang dari porsi yang semestinya diterimanya, yaitu :
Suami harusnya 3/6
akan tetapi menjadi 3/8
Ibu harusnya 1/6 akan
tetapi menjadi 1/8
Sdr pr sisb 3/6 akan
tetapi menjadi 3/8
Sdr pr
sb 1/6 akan tetapi menjadi 1/8
Namun demikian
pengurangan pendapatan masing-masing ahli waris tersebut tetap proporsional,
sehingga dipandang lebih adil daripada jika dikerjakan seperti biasa, sebab
jika seperti itu akan ada ahli waris yang dirugikan, dan yang diuntungkan.
Keterangan :
1. Suami mendapat 1/2 bagian karena tidak ada anak dan
cucu
2. Ibu mendapat 1/6 bagian karena saudara lebih dari 1
orang (>1)
3. 1 sdr pr seibu sebapak mendapat 1/2 karena hanya 1
orang
4. 1 sdr pr sebapak mendapat 1/6 karena mewaris bersama
dengan 1 orang sudara perempuan seibu sebapak.
Contoh kasus lain :
Seseorang meninggal
dunia, harta warisannya sebesar Rp. 60.000,- ahli warisnya terdiri dari :
istri, ibu, 2 saudara perempuan sekandung dan saudara seibu. Bagian
masing-masing adalah :
>> jika
diselesaikan dengan apa adanya :
Ahli Waris
|
Bag.
|
AM (12)
|
HW Rp. 60.000.000,-
|
Penerimaan
|
Istri
|
1/4
|
3
|
3/12 x 60.000.000
|
Rp. 15.000.000
|
Ibu
|
1/6
|
2
|
2/12 x 60.000.000
|
Rp. 10.000.000
|
2sdr pr skd
|
2/3
|
8
|
8/12 x 60.000.000
|
RP. 40.000.000
|
saudara seibu
|
1/6
|
2
|
2/12 x 60.000.000
|
Rp. 10.000.000
|
15
|
Jumlah
|
Rp. 75.000.000
|
Hasilnya terjadi
kekurangan harta sebesar Rp. 15.000.000,-
>>jika
diselesaikan dengan cara ‘aul, maka akan diperoleh hasil sebagai berikut :
Ahli Waris
|
Bag.
|
AM (12)
|
HW Rp. 60.000.000,-
|
Penerimaan
|
Istri
|
1/4
|
3
|
3/15 x 60.000.000
|
Rp. 12.000.000
|
Ibu
|
1/6
|
2
|
2/15 x 60.000.000
|
Rp. 8.000.000
|
2sdr pr skd
|
2/3
|
8
|
8/15 x 60.000.000
|
RP. 32.000.000
|
saudara seibu
|
1/6
|
2
|
2/15 x 60.000.000
|
Rp. 8.000.000
|
15
|
Jumlah
|
Rp. 60.000.000
|
Asal masalah
di’aulkan dari 12 menjadi 15, karena jika tidak di’aulkan akan terjadi
kekurangan harta sebesar Rp. 15.000.000,-
Jumhur ulama
menetapkan masalah ‘aul ini karena : tidak ada ketentuan dalam nas yang
mengatur tentang pengutamaan ashabul furud yang satu atas yang lain. Begitu
pula tidak ada ketentuan yang membedakan mereka, karena harta warisan terdapat
kelebihan atau kekurangan. Dan apabila ada ahli waris yang didahulukan dan
mengorbankan ahli waris yang lain, berarti menetapkan hokum baru. Kemudian
Rasulullah SAW. Juga memerintahkan dalam sabda beliau : “Berikanlah bagian-bagian
tertentu kepada yang berhak menerimanya. “
Maka, masalah ‘aul
adalah masalah ijtihadiyah dan kondisional sifatnya. Nilai-nilai keadilan
didalamnya tentu tergantung siapa dan bagaimana melihatnya. Namun demikian akan
lebih adil jika dalam penyelesaian semacam ini, tidak terjadi pemberian hak
kepada ahli waris dengan cara mengorbankan ahli waris lainnya. Oleh karena itu
cara yang terbaik adalah dengan cara ‘aul, agar bagian masing-masing ahli waris
yang ada dikurangi secara proporsional[7].
D. MASALAH RADD
Secara harfiah Radd
artinya mengembalikan. Masalah radd terjadi apabila dalam pembagian waris
terdapat kelebihan harta setelah ahli waris ashabul furud memperoleh bagiannya
dan atau pembilang lebih kecil daripada penyebut (23/24). Pada dasarnya
radd merupakan kebalikan dari masalah ‘aul. Namun demikian penyelesaian
masalahnya tentu berbeda dengan masalah aul, karena aul pada dasarnya kurangnya
yang akan dibagi sedangkan pada radd ada kelebihan setelah diadakan pembagian.
Cara radd ini
ditempuh bertujuan untuk mengembalikan sisa harta kepada ahli waris yang ada
seimbang dengan bagian yang diterima masing-masing secara proporsional. Caranya
dengan mengurangi asal masalah, sehingga besarnya sama dengan jumlah bagian
yang diterima oleh ahli waris. Dan apabila tidak ditempuh cara radd akan
menimbulkan persoalan siapa yang berhak menerima kelebihan harta, sementara
tidak ada ahli waris yang menerima asabah.
Contoh I :
Seseorang meninggal dunia,
ahli warisnya terdiri dari : anak perempuan dan ibu. Harta
warisannya sebesar Rp. 12.000.000,- bagian masing-masing adalah :
>> Jika tidak ditempuh cara
radd :
Ahli Waris
|
Bag.
|
AM (6)
|
HW Rp. 12.000.000,-
|
Penerimaan
|
Anak pr
|
1/2
|
3
|
3/6 x 12.000.000
|
Rp. 6.000.000
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
1/6 x 12.000.000
|
Rp. 2.000.000
|
4
|
Jumlah
|
Rp. 8.000.000
|
Terdapat sisa harta sebesar
Rp. 4.000.000,-
>> Jika diselesaikan dengan
cara radd :
Ahli Waris
|
Bag.
|
AM (6-4)
|
HW Rp. 12.000.000,-
|
Penerimaan
|
Anak pr
|
1/2
|
3
|
3/4 x 12.000.000
|
Rp. 9.000.000
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
1/4 x 12.000.000
|
Rp. 3.000.000
|
4
|
Jumlah
|
Rp. 12.000.000
|
Anak perempuan yang semula
menerima bagian Rp. 6.000.000,- berubah mendapat bagian Rp. 9.000.000,- dan ibu
yang semula menerima bagian Rp. 2.000.000,- mendapat bagian Rp. 3.000.000,-
Contoh II :
Seseorang meninggal dunia, ahli
warisnya tediri dari : saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah,
dan saudara perempuan seibu. Harta warisannya sejumlah Rp. 30.000.000,- bagian
masing-masing adalah :
>> Jika tidak diselesaikan
dengan cara radd
Ahli Waris
|
Bag.
|
AM (6)
|
HW Rp. 30.000.000,-
|
Penerimaan
|
Sdr pr skd
|
1/2
|
3
|
3/6 x 30.000.000
|
Rp.15.000.000
|
Sdr pr seayh
|
1/6
|
1
|
1/6 x 30.000.000
|
Rp. 5.000.000
|
Sdr pr seibu
|
1/6
|
1
|
1/6 x 30.000.000
|
Rp. 5.000.000
|
5
|
Jumlah
|
Rp. 25.000.000,-
|
Jadi ada kelebihan harta sebanyak
Rp. 5.000.000,-
>> Jika diselesaikan dengan
cara radd
Ahli Waris
|
Bag.
|
AM (6-5)
|
HW Rp. 30.000.000,-
|
Penerimaan
|
Sdr pr skd
|
1/2
|
3
|
3/5 x 30.000.000
|
Rp.18.000.000
|
Sdr pr seayh
|
1/6
|
1
|
1/5 x 30.000.000
|
Rp. 6.000.000
|
Sdr pr seibu
|
1/6
|
1
|
1/5 x 30.000.000
|
Rp. 6.000.000
|
5
|
Jumlah
|
Rp. 30.000.000,-
|
BEBERAPA PENDAPAT MENGENAI RADD :
1. Radd atau pengembalian sisa harta warisan bisa
dilaksanakan hanya terbatas pada ahli waris nasabiyah. Jadi ahli sababiyah
(suami atau istri) tidak dapat menerima radd. Demikian pendapat mayoritas
(jumhur Ulama)
2. Radd dapat dilakukan dengan mengembalikan sisa harta
warisan kepada semua ahli waris yang ada, baik ashabul furud nasabiyah maupun
sababiyah. Pendapat ini dikemukakan oleh sahaat Usman bin Affan.
Pertimbangannya, logika dan segi praktis pembagian warisan. Menurutnya suami
dan istri dalam masalah ;aul bagian mereka ikut dikurangi, maka apabila
terdapat kelebihan harta, maka sudah sepantasnya mereka juga diberi hak untuk
menerima kelebihan tersebut.
3. Pendapat yang menolak secara mutlak penyelesaian
pembagan warisan dengan cara radd. Demikian pendapat Zaid bin Tsabit dan
minoritas ulama lainnya. Menurut pendapat ini apabila dalam pembagian warisan
terdapat kelebihan harta, tidak perlu dikembalikan kepada ahli waris, tetapi
diserahkan ke Baitul Mal. Fuqaha Syafi’iyah, Muhammad Syarbini, menegaskan “
baik baitul mal atau kas pembendaharaan Negara berfungsi dengan baik atau
tidak, hak terhadap kelebihan harta warisan itu berada pada kaum muslimin dan
kepada baitul mal itulah sebagai nazir atau penanggungjawab atas kepentingan
kaum muslimin[8].
Pendapat terakhir ini
cukup praktis dan rasional tapi tidak bisa diberlakukan secara mutlak. Karena
apabila suatu saat kepentingan kaum muslimin sangat membutuhkan pendanaan, yang
salah satunya misalnya harus dipenuhi melalui sarana baitul mal, maka kelebihan
harta perlu disetor ke baitul mal, maka kelebihan harta warisan tersebut lebih
baik diserahkan ke baitul mal. Akan etapi jika kebutuhan umum hanya bersifat
subsider saja, maka cara radd untuk mengembalikan sisa harta kepada ahli waris
merupakan langkah yang lebih tepat.
Dari penjabaran di atas, maka
dapat kita simpulkan bahwa di dalam pembagian warisan, apabila terdapat
kelebihan harta warisan, ada 3 versi. Yaitu ;
1. Jumhur ulama berpendapat, sisa harta dikembalikan
kepada ahli waris ashabul furud atau ahli waris yang memiliki hubungan darah
dengan yang meninggal. Suami dan istri tidak diberi hak untuk menerima radd
karena statusnya sebagai ahli waris sababiyah.
2. Usman bin Affan meyatakan, bahwa sisa harta secara
mutlak dikembalikan kepada semua ahli waris yang ada tanpa membedaa status
kekerabatannya apakah ahli waris nasabiyah atau sababiyah. Sudah tentu
penerimaan sisa harta tersebt besar kecilnya sesuai dengan proporsi bagian yang
diterimanya.
3. Zaid bin Tsabit menolak penyelesaian pembagian warisan
dengan cara radd secara mutlak. Menurutnya, sisa harta warisan diserahkan
kepada baitul mal atau kas pembendaharaan Negara. Dalam konteks sekarang ini di
Indonesia, badan atau lembaga mana yang dapat diserahi sisa harta warisan yang
dapat melakukan fungsi baitul mal, tampaknya perlu pemikiran dann kesepakatan
tersendiri[9].
E. PENUTUP
Demikianlah makalah
tentang masalah kewarisan mengenai Gharawain, ‘aul dan radd yang dapat kami
uraikan, semoga memberikan manfaat bagi kita dan dapat menambah khazanah
keilmuan, khususnya mengenai bahasan dalam hukum waris Islam.
Kami menyadari bahwa
dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam tulisan maupun
penyusunannya, karena selain kami masih dalam tahap belajar, kami juga manusia
biasa yang tidak akan lepas dari salah dan dosa. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran konstruktif pembaca demi perbaikan makalah kami
selanjutmya.
DAFTAR PUSTAKA
· Lubis, Suhrawardi K., Komis Simanjuntak, Hukum
Waris Islam; lengkap dan praktis, ( Jakarta : Sinar grafika, 2008)
· Maruzi, Muslich, Pokok-pokok ilmu Waris, cet I, (Semarang: Mujahidin,
1981)
· Muhammad Hasbi Ash Shiddiqie, Teungku, Fiqh Mawaris, cet III, (Semarang : Pustaka
Rizki Putra, 2001)
· Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, cet IV (Jakarta :
Raja Grafindo persada, 2001)
· Salman, Otje, Mustafa Haffas, Hukum Waris Islam. (Bandung: Refika Aditama, 2006)
· Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta: Kencana, 2005 )
[1] Suhrawardi K. Lubis, Komis
Simanjuntak, Hukum Waris Islam; lengkap dan praktis, ( Jakarta : Sinar
grafika, 2008) h. 131
[2] Otje Salman S.S.H dan Mustafa
Haffas, S.H, Hukum Waris Islam. (Bandung: Refika Aditama, 2006)
hal.75
0 Response to "HUKUM KEWARISAN : GHARAWAIN, ‘AUL DAN RADD"
Post a Comment