Warta Madrasah - sahabat warta madrasah pada kesempatan ini kita akan membahas tentang Pengertian performance guru dalam mengajar. Performance dalam bahasa Indonesia berarti
penampilan, sedangkan penampilan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai
arti proses, cara, perbuatan menampilkan.[1] Penampilan
disini meliputi: membuka dan menutup pelajaran, penampilan guru mengusai
materi, penampilan guru menyampaikan pelajaran, penampilan guru mengelola
kelas.
Dalam dunia pendidikan, istilah guru
bukanlah hal yang asing. Menurut pandangan lama, guru adalah sosok manusia yang
patut digugu dan ditiru. Digugu dalam arti segala ucapannya dapat dipercayai.
Ditiru berarti segala tingkah lakunya harus dapat menjadi contoh atau teladan
bagi masyarakat[2].
Menurut Hafidh Hasan Masudi dalam kitab Taisiiru
al-khallaaq, guru diartikan sebagai orang yang membimbing murid supaya
sempurna ilmu dan pengetahuannya.[3]
Sedangkan menurut Imam Ghazali
mendefinisikan guru sebagai orang yang bertanggung jawab dan bertugas mendidik
anak menuju pendekatan diri kepada Allah SWT.[4]
Adapun menurut Sayyid Muhammad dalam
bukunya yang berjudul At-Tahliyyah wa at-Targhiib mendefisinikan guru
sebagai berikut:
ان استاذك هوالذ ى
انقذك من مصيبة الجهل وبث في فؤادك ما يصير ك انسانا كا ملا
Sesungguhnya guru adalah orang yang
menyelamatkan kita dari musibah kebodohan dan orang yang memberi ilmu dalam
hati kita,dengan ilmu kita menjadi manusia yang sempurna.[5]
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa guru adalah orang yang membimbing dan mendidik
murid sehingga berilmu pengetahuan dan menuju pendekatan diri kepada Allah SWT.
Sedangkan mengajar menurut kamus
adalah memberi pelajaran. Namun menurut Nana Sudjana mengajar
bukan hanya menyampaikan pelajaran,
melainkan suatu proses membelajarkan siswa.[6]
Adapun maksud dari performance
guru dalam mengajar adalah penampilan guru dalam membuka dan menutup pelajaran,
penampilan guru mengusai materi, penampilan guru menyampaikan pelajaran,
penampilan guru mengelola kelas dalam suatu proses membelajarkan siswa.
2. Syarat-Syarat Guru
Pekerjaan
menjadi guru merupakan pekerjaan yang luhur dan mulia baik dipandang dari sudut
masyarakat, negara, maupun agama. Bahkan ia dikatakan sebagai pahlawan yang
berjasa besar dalam pembentukan moralitas budaya bangsa. Maju mundurnya
nilai-nilai tersebut sebagian besar tergantung kepada pendidikan dan pengajaran
yang diberikan oleh guru.
Maka
untuk melakukan tugas sebagai guru, tidak semua orang dapat melaksanakannya. Karena
dituntut dengan berbagai syarat-syarat tertentu. Secara formal menjadi guru, harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Berijasah formal dan menguasai pelajaran
b.
Sehat jasmani dan rohani
c.
Takwa kepada Allah Yang Maha Esa dan berkelakuan
baik
d.
Bertanggung jawab
e.
Berjiwa nasional. [7]
Berijasah
berarti seorang yang ingin memangku jabatan sebagai guru harus memiliki ijasah, dan ijasah disini
bukan semata-mata sehelai kertas saja. Tetapi surat bukti yang menunjukkan
bahwa seseorang telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan-kesanggupan
tertentu yang diperlukan untuk suatu jabatan atau pekerjaan. Zakiah Darajat,
menyatakan “Dalam keadaan normal ada
patokan bahwa semakin tinggi pendidikan guru, semakin baik pendidikan dan pada
gilirannya semakin tinggi pula derajat masyarakat. [8]
Sehat
jasmani dan rohani merupakan syarat yang tidak dapat diabaikan, jasmani yang
tidak sehat akan menghabat pelaksanaan pendidikan bahkan dapat membahayakan
anak didiknya bila mempunyai penyakit menular. Sedang dari segi rohani yang
kurang sehat seperti, idiot, gila, tidak mungkin dapat mendidik karena ia tidak
mampu bertanggung –jawab.
Taqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berkrlakuan baik harus selalu melekat pada diri
seorang pendidik, sebab ia adalah teladan bagi anak didiknya, sebagaimana
Rasulullah SAW, menjadi tauladan bagi umatnya. Sejauh mana guru mampu memberi
teladan yang baik kepada anak didiknya sejauh itu pula diperkirakan akan
berhasil mendidik mereka agar menjadi generasi penerus bangsa yang baik dan
mulia.
Bertanggung
jawab berarti guru harus punya tanggung
jawab sebagai pendidik dan pengajar yang
mencerdaskan kehidupan siswa didiknya, pribadi susila yang cakap adalah yang
diharapkan ada pada diri setiap anak. Untuk itulah guru dengan penuh dedikasi
dan loyalitas berusaha membimbing dan membina anak didik agar dimasa mendatang
menjadi orang yang berguna bagi nusa dan agama.
Berjiwa
nasional merupakan syarat penting dalam mendidik anak-anak. Guru hendaknya
selalu ingat dan menjaga sikap kebersamaan agar anak jangan sampai timbul chauvinisme
yaitu perasaan kebangsaan yang berlebih-lebihan, sehingga tidak
membeda-bedakan golongan satu dengan lainnya dalam upaya mendidik siswanya
secara demokratis menuju tujuan pendidikan yang diharapkan.
Selain
syarat-syarat tersebut ada syarat lain yang harus dimiliki oleh guru, khususnya
guru agama. Yaitu syarat non formal yang lepas dari keterkaitan instansi, akan
tetapi sebagai syarat pelengkap untuk menjadi guru agama yang baik(profesional)
sehingga guru tersebut dikatakan memenuhi syarat maksimal.
Menurut
Al-Abrasy untuk menjadi guru agama harus memenuhi beberapa kriteria sebagai
berikut :
a. Seorang pendidik hendaknya memiliki sifat
zuhud yaitu melaksanakan tugasnya bukan semata-mata karena materi , akan tetapi
lebih dari itu adalah karena mencari keridhaan Allah SWT.
b. Seorang pendidik hendaknya bersih fisiknya
dari segala macam kotoran dan bersih jiwanya dari segala macam sifat tercela.
c. Seorang pendidik hendaknya ikhlas dan tidak
riya’ dalam melaksanakan tugas.
d. Seorang pendidik hendaknya bersikap pemaaf dan
memaafkan kesalahan orang orang lain(terutama terhadap peserta didiknya), sabar
dan sanggup menahan amarah, senantiasa membuka diri dan menjaga kehormatannya.
e. Seorang pendidik hendaknya mampu mencintai
peserta didiknya sebagaimana ia mencintai anaknya sendiri (bersikap keibuan
atau kebapakan).
f. Seorang pendidik hendaknya mengetahui karakter
peserta didiknya, seperti: pembawaan, kebiasaan, perasaan dan berbagai potensi
yang dimilikinya.
g. Seorang pendidik hendaknya menguasai pelajaran
yang diajarkannya dengan baik dan profesional.[9]
Sedangkan
Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menjelasan beberapa kewajiban
yang perlu diperhatikan oleh guru, yang diterjemahkan sebagai berikut:
a. Harus menaruh kasih sayang terhadap murid
dan memberlakukannya bagaikan anaknya sendiri.
b. Tidak mengharap balas jasa ataupun ucapan
terima kasih, tetapi dengan mengajar itu bermaksud mengikuti jejak Rasulullah
SAW dan semata-mata hanya mencari ridha Allah SWT.
c. Hendaknya guru memberikan nasihat kepada
murid setiap ada kesempatan seperti melarang mereka menduduki suatu tingktat
sebelum ia berhak mendudukinya(ilmu yang samar sebelum ia selesai dari ilmu
yang jelas,) dan memperingatkan bahwa mencari ilmu adalah guna mendekatkan diri
kepada Allah bukan bermegah-megahan atau bersaing.
d. Hendaknya guru melarang muridnya
berkelakuan tidak baik dengan cara sindiran (lemah lembut) dan jangan cara
terang-terangan(kasar).
e. Jangan ditimbulkan rasa benci pada diri
murid mengenai suatu cabang ilmu yang lain, tetapi seyogyanya dibukakan jalan bagi
mereka untuk belajar cabang ilmu
tersebut. Artinya si murid jangan terlalu fanatik terhadap jurusan pelajarannya
saja.
f. Supaya
memperhatikan tingkat akal pikiran anak-anak dan berbicara dengan mereka
menurut kadar akalnya dan jangan disampaikan sesuatu yang melebihi tingkat tangkapannya agar ia tidak lari dari
pelajaran atau dengan kata lain berbicara dengan bahasa mereka.
g. Seyogyanya
kepada murid yang masih di bawah umur diberikan pelajaran yang jelas dan pantas
buat dia, dan tidak perlu disebutkan kepadanya akan rahasia–rahasia yang
terkandung di belakang sesuatu,sehingga tidak menjadikannya gelisah pikirannya.
h. Guru harus mengamalkan ilmunya agar
ucapannya tidak mendustai perbuatannya. Dalam hal ini AL-Ghozali mengumpamakan
guru yang membimbing terhadap murid yang dibimbingnya, seperti ukiran dari
tanah dan bayangan dari kayu, maka
bagaimanakah mungkin tanah itu akan terukir oleh sesuatu yang tidak ada
ukirannya, dan kapankah bayangan itu lurus sedang kayu itu sendiri bengkok. [10]
Allah berfirman:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ
وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ (البقرة : 44)
Apakah kamu menyuruh manusia untuk berbuat
kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu ( Surat
Al-Baqoroh: 44).[11]
3. Kepribadiaan Guru
Kepribadian guru sangat penting karena berpengaruh
terhadap keselamatan perilaku anak didiknya. Maka sebagai pendidik ia harus
memiliki sikap yang bisa dijadikan teladan dan panutan, baik dilingkungan
sekolah atau diluar sekolah, sehingga guru akan benar-benar menjadi guru yang
digugu dan ditiru.
Oleh karena itu kepribadian guru merupakan faktor
terpenting dalam proses pendidikan. Sebagaimana Mustaqim mengungkapkan dalam
bukunya Psikologi Pendidikan sebagai berikut:
Kompetensi kepribadian merupakan faktor terpenting
bagi guru, kepribadian itu yang akan menentukan apakah ia akan menjadi
pembimbing dan pembina yang baik bagi anak didiknya ataukah akan menjadi
perusak atau penghancur bagi hari esok anak didiknya, terutama bagi siswa yang
masih muda dan mereka sedang mengalami masa goncang remaja,sebab mereka belum
mampu melihat dan memilih nilai, mereka baru mampu melihat pendukung nilai. Saat-saat
seperti ini proses imitasi dan identifikasi sedang berjalan.[12]
Sehubungan dengan kepribadi guru KH.M.Hasyim
Asy’ari dalam kitab Adab a-Alim wa al-Muta’alim mengemukakan beberapa
etika seorang guru atas kepribadiannya, yang diterjemahkan sebagai berikut:
a. Selalu mendekatkan diri kepada Allah baik
dalam keadaan sendiri maupun dimuka umum.
b. Takut kepada Allah dalam segala gerakan
(hati, ucapan dan tindakan).
c. Bersikap tenang(memiliki jiwa yang
tenang).
d. Bersikap wira’i.
e. Tawadhu’(rendah diri).
f. Khusu’ kepada Allah.
g. Tawakkal (semua urusan diserahkan kepada
Allah).
h. Tidak menjadikan ilmu sebagai perantaraan
mencari harta, pangkat, dan kemasyhuran (mengungguli orang).
i. Tidak mendatangi anak-anak kecuali dalam
kemaslahatan.
j. Bersikap zuhud.
k. Menjauhi pekerjaan yang hina dan pekerjaan
yang dimakruhkan.
l. Menjauhi tempat yang mencurigakan supaya
tidak dicurigai orang.
m. Menjaga syiar Islam, seperti shalat jamaah
di masjid, mengucapkan salam, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
n. Menegakkan sunah nabi dan menghilangkan
bid’ah.
o. Menjaga hal-hal yang disunahkan menurut syara’
baik ucapan maupun tindakan.
p. Berbuat baik dengan sesama.
q. Membersihkan hati dan badan dari akhlaq
tercela.
r. Senang menambah ilmu dan amal.
s. Tidak meremehkan orang lain dalam hal
pengetahuan.
t. Hendaknya membuat karya-karya ilmiah. [13]
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan
bahwa hendakya guru harus mempunyai kepribadian yang harmonis, atau
keseimbangan antara aspek jasmani dan rohani. Sehingga dapat diaktualisasikan
ke dalam tindakan yang nyata dan dapat
dijadikan teladan bagi siswanya. Dalam Al-Qur’an dijelaskan dalam surat Ali
Imron : 79
مَا
كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ
ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ
كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
(ال عمران : 79)
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah
berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada
manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah
Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi
orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan
kamu tetap mempelajarinya (Surah Ali Imran ayat 79)[14]
[1] Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2007, hlm. 750
[2] Sukadi, Guru
Powerful Guru Masa Depan, Bandung: Kolbu, 2009, hlm.8
[3] Hafidh Hasan
Masudi, Taisiiru al-Khallaq, Surabaya: Al-Miftah, tt.th, hlm. 5
[4]Imam Ghazali, Ihya’ ulumuddin juz I, Indonesia Darul Ihya al-Kutub, tp.
thn, hlm. 22
[5] Sayyid Muhammad,
At-Tahliyyah wa at-Targhiib, Surabaya, Al-Miftah, tt.th, hlm. 7
[6] Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru, 2006, Cet.5, hlm. 29
[7] Ngalim Purwanto,
Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2003, hlm.139 .
[8] Syaiful Bahri
Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hlm. 33.
[9] M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok
Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2004, hlm. 86
[10] Al-Ghazali, Op.Cit,
Indonesia Darul Ihya al-Kutub, tp. thn, hlm. 55-58
[11] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag
RI , 1971, hlm. 89
[12] Mustaqim, Psikologi Pendidikan, Semarang: Pustaka
Pelajar, 2001, hlm. 93
[13] M.Hasyim
Asy’ari, Adab a-Alim wa al-Muta’alim,
editor: Muhammad Isham Handziq, Jombang: Maktab al-Turat,t.th., hlm . 55-57
[14]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, (Jakarta: Depag RI
,1971), hlm.89
0 Response to "Pengertian performance guru dalam mengajar"
Post a Comment