Toleransi Adalah Kunci Kemajuan Umat ISLAM
Di sebuah forum, saya pernah ditanya, kapan orang Islam bisa menjadi ilmuwan hebat dan mendunia? Si fulan bertanya sembari menyebutkan banyak temuan-temuan berharga di dunia, yang kini justru diprakarsai oleh orang-orang yang kebetulan tidak memeluk agama Islam, sebut saja facebook, yang dibuat Mark Zuckerberg. Padahal, andaikan saja yang menciptakan jejaring sosial itu orang Islam, pasti bisa menjadi amal jariyah dan bisa dimanfaatkan sebagai media dakwah. Apalagi penemuan besar seperti listrik. Listrik sangat membawa manfaat besar bagi umat manusia. Jelas amal jariyahnya gede. Begitu ujar teman saya.Dari perbincangan tersebut saya teringat era kejayaan Islam. Sebenarnya dunia Islam pernah menjadi mercusuar dunia, tatkala pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah. Berbagai penemuan penting dan berguna bagi kemanusiaan di berbagai bidang ditemukan oleh ilmuwan muslim saat itu. Di era tersebut pula muncul seorang dokter (tabib) terbaik di dunia, Ibnu Sina (Avicenna). Karya-karyanya menjadi rujukan ilmu kedokteran, hingga sekarang.
Saat itu dunia Islam tengah hebat-hebatnya berkembang, dan dunia Barat masih dalam kejumudan. Amerika? Negara asal Mark Zuckerberg itu bahkan belum ditemukan oleh pelaut Spanyol, Christopher Colombus. Maka cukup ironi apabila statusnya kini berbalik 180 derajat. Di tengah kemajuan bangsa Barat, orang Islam justru jauh tertinggal, baik dari sisi ekonomi, ilmu pengetahuan dan lainnya. Limadza taakharal muslimun, wa taqaddama ghairuhum (mengapa umat Islam mundur dan yang lainnya maju), begitu kegalauan para khotib yang sering saya dengar di tiap khutbah Jum’at.
Lalu apa yang menjadikannya tertinggal? Banyak faktor tentunya, mulai dari faktor yang paling sederhana hingga yang paling rumit. Namun ada ungkapan menarik dari teman diskusi saya tadi, bahwa ia mengaku geram dengan kondisi umat Islam saat ini. Di timur tengah misalnya, negara yang menjadi garda awal dari gerakan Islam, justru berkecamuk dengan berbagai perang saudara. “Saat Barat sudah memikirkan hidup di planet lain, orang Islam masih saja ribut si A sesat!”
Penyakit umat manusia akhir-akhir ini memang merasa dirinya paling benar. Sayangnya, perasaan paling benar itu tidak dilengkapi dengan sikap toleransi dan tenggang rasa. Walhasil, intimidasi atas nama kebenaran seringkali terjadi. Apalagi ketika para ulama’ atau habaibnya ikut memperkeruh suasana. Hal inilah yang perlu menjadi koreksi bersama. Terlebih di Indonesia yang merupakan negara majemuk yang masyarakatnya terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama.
Lalu, masihkah ada harapan umat Islam bisa menjadi unggulan? Jawabannya tentu bisa, asalkan umat Islam mau dan mampu. Mau artinya punya iktikad yang baik untuk mencapai tujuan yang mulia tersebut. Dan mampu membekali diri dengan berbagai macam ilmu pengetahuan dan sikap yang arif dalam menggunakan ilmu tersebut. Indonesia yang dihuni oleh komunitas umat muslim terbesar di dunia harus tampil di depan untuk menjadi bangsa yang maju.
Kemajuan Bani Abbasiyah di masa lampau tidak terlepas dari dua hal. Pertama, menghargai ilmu. Kedua, menghargai orang lain. Ilmu sebagai pemberian dari Allah Swt hendaknya dipelajari, dikaji, dan dikembangkan. Sementara manusia, apapun suku dan agamanya, dia tetaplah ciptaan-Nya yang harus dilindungi dan dijamin keselamatannya. Inilah yang terjadi di era kejayaan Bani Abbasiyah. Banyak sekali diskusi-diskusi mengenai hukum fikih (bahtsul masa’il) dan perkembangan mazhab yang sangat cepat waktu itu. Perbedaan pemikiran dengan yang lain tidak lantas menjadikan seseorang itu memusuhi atau melakukan pengafiran (takfiri). Para ulama saat itu menghargai setiap perbedaan yang ada.
Perbedaan yang terjadi, terutama dalam segi penentuan hukum, negara ikut andil dalam memfasilitasi perbedaan-perbedaan pendapat di tengah umat. Misalnya, negara menyediakan hakim yang sesuai dengan mazhab yang dianut oleh warganya dalam memutuskan suatu perkara. Negara tidak mengintervensi warganya untuk memilih mazhab A atau lainnya. Hubungan yang harmonis antara warga, ulama, dan negara menjadikan kekhalifahan pada saat itu menjadi jaya.
***
Lalu, bagaimana dengan umat Islam di Indonesia saat ini? Walaupun kenyataannya masih banyak kekerasan atas nama agama di Indonesia, namun teman diskusi saya tadi tetap optimis kalau umat Islam di negara tercinta ini bisa menjadi percontohan umat Islam di seluruh dunia. Karena sampai saat ini, toleransi beragama di Indonesia telah diakui oleh dunia internasional. Dengan jiwa toleransinya itu, Indonesia diyakini bisa menjaga dua kunci kemajuan peradaban: menghargai ilmu dan menghargai orang lain. “Bahkan suatu saat nanti, ada orang Islam yang akan menginjakkan kaki di planet mars!” Begitu pendapat teman saya berapi-api.
Akhirnya, di ujung forum diskusi tersebut saya berpendapat, umat Islam di Indonesia itu sebenarnya mampu untuk memimpin peradaban, apalagi ‘hanya’ tinggal di planet mars. Namun masalahnya untuk saat ini sepertinya belum mau. Buktinya umat Islam masih meributkan “ente syiah”, “ente sunni”, “ente komunis”, dll. Wong permasalahan sejarah yang terjadi 1400-an tahun yang lalu saja masih diperdebatkan, bagaimana mau memikirkan masa depan yang masih mengawang-awang?
Wallahhua’lam.
Penulis : Ibnu Faiz Al-Kabumaniy
*) Penulis adalah santri di PP Nailul Ula Plosokuning Sleman
Tulisan ini dimuat di buletin Santri Jaringan Gusdurian Yogyakarta, edisi 4.
SUMBER : GUSDURFILE.COM
0 Response to "Toleransi Adalah Kunci Kemajuan Umat ISLAM"
Post a Comment