AKIBAT GAGAL MENDIDIK DIRI SENDIRI
Oleh : Prof. DR. Imam Suprayogo
Pada akhir-akhir ini, tidak sedikit orang bersedih tatkala
mendengarkan berita bahwa kenakalan anak-anak sudah di luar batas kewajaran.
Melalui berbagai jenis media disebutkan bahwa ada belasan remaja beramai-ramai
memperkosa temannya sendiri. Padahal mereka itu, menurut beritanya, baru berada
pada usia sekolah dasar atau sekolah menengah. Mendengar berita itu, siapapun
akan merasakan kesedihan yang mendalam.
Berita tentang kenakalan tersebut, terjadi bukan saja di suatu
wilayah, tetapi juga terjadi di mana-mana. Ibarat gunung es, maka kejadian itu
sebanarnya sudah merata. Kenakalan remaja sudah menjadi gejala umum.
Seolah-olah anak-anak sekarang sudah tidak bisa dididik lagi. Atas kejadian
itu, orang pada umumnya menyalahkan pihak lain, seperti televisi, majalah,
koran, internet, facebook atau berbagai jenis media lainnya.
Sudah barang tentu, beberapa yang disebut sebagai penyebab
kenakalan dimaksud memang benar. Akan tetapi sebenarnya masih ada lagi faktor
yang tidak kurang pentingnya juga menjadi penyebabnya, ialah kegagalan
masing-masing orang atau masing-masing pihak dalam mendidik dirinya sendiri.
Biasanya, perilaku usia anak-anak tidak terlalu jauh dari perilaku orang tua.
Orang tua yang dimaksudkan bisa saja adalah dari orang tuanya
sendiri, para guru, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, dan bahkan juga orang
yang disebut tokoh agama sekalipun. Sehari-hari, siapapun dan tidak terkecuali
anak-anak selalu melihat perilaku orang tua dimaksud secara terbuka, misalnya
saling berebut, saling menyalahkan dan menjatuhkan, memonopoli sumber-sumber
ekonomi tanpa batas, terjadi kesenjangan yang semakin melebar, tidak ada
kepedulian terhadap orang lain, dan bahkan juga jual beli seks, mabuk, dan
seterusnya.
Gambaran tentang keadaan yang menyedihkan tersebut sehari-hari
dipertontonkan kepada siapapun, tidak terkecuali kepada anak-anak. Sebenarnya,
siapapun termasuk anak-anak, memiliki suara hati, bahwa siapa saja harus
berperilaku jujur, adil, memperhatikan kehidupan sesama, tidak perlu berebut,
dan apalagi bermusuhan. Suara hati anak-anak tersebut tidak selalu sama dan
bahkan berlawanan dengan kenyataan sehari-hari yang mereka saksikan.
Selain itu, suasana kebencian, permusuhan, atau saling
merendahkan dengan sedemikian mudah dipertontonkan secara terbuka oleh
siapapun, tidak terkecuali oleh orang tua, pejabat pemerintah, tokoh, guru atau
juga para pendidik. Selain itu, sebagai resiko dari penegakan hukum, tidak
sedikit para pemimpin diadili dan dipenjarakan dengan tuduhan korupsi atau
bentuk penyimpangan lainnya. Akibatnya, anak-anak kehilangan kepercayaan kepada
orang tua, para pemimpin, tokoh dan juga pendidiknya sendiri. Perilaku ideal
yang seharusnya bisa disaksikan dan ditiru oleh anak-anak menjadi sulit
ditemukan.
Sebagai akibat dari gambaran tersebut, maka seolah-olah di
tengah masyarakat tidak ada lagi orang yang benar. Semuanya dilihat sebagai
sosok yang salah, dan seolah-olah sudah tidak ada orang tua lagi. Siapa saja
yang kuat dari berbagai aspeknya, maka mereka itulah yang diangap sukses.
Keberhasilan bukan lagi diukur dari keagungan akhlak, perilaku, atau
kearifannya, melainkan justru dari keberhasilannya melakukan taktik dan
strategi yang belum tentu terpuji. Keadaan seperti itu menggambarkan bahwa di
tengah-tengah masyarakat sudah sangat sulit dicari contoh, tauladan, atau orang
yang bisa dipercaya.
Dalam keadaan seperti digambarkan itu, maka pertanyaan yang
seharusnya dijawab bersama-sama adalah bagaimana berharap muncul anak-anak yang
berperilaku terpuji melebihi apa yang ditampakkan oleh orang tua sebagaimana
dimaksudkan di muka. Mendapatkan perilaku yang bisa dicontoh sudah semakin
sulit. Terasa bahwa, orang tua sendiri sebenarnya telah gagal mendidik dirinya
sendiri, sehingga harus menangung resiko, yaitu melihat kenyataan bahwa
anak-anaknya telah melakukan berbagai jenis penyimpangan yang menyedihkan.
Oleh karena itu, memperbaiki perilaku anak-anak hanya akan
mungkin berhasil setelah orang tua secara bersama-sama berkemauan memperbaiki
perilakunya sendiri. Sebab sebenarnya apa yang dilakukan oleh anak-anak adalah
merupakan buah atau gambaran nyata dari perilaku orang tua sendiri. Atau, bisa
dikatakan bahwa, kenakalan anak sebenarnya adalah merupakan kegagalan orang tua
di dalam mendidik dirinya sendiri. Wallahu a’lam
Sumber
: https://www.facebook.com/imam.suprayogo.1
0 Response to "AKIBAT GAGAL MENDIDIK DIRI SENDIRI"
Post a Comment