ANAK KARIR

TINJAUAN UMUM ANAK KARIR


   A.    Pengertian Anak Karir
Sebelum penulis menguraikan pengertian anak karir, terlebih dahulu penulis jelaskan apa yang dimaksud dengan anak dalam skripsi ini dan apa pula yang dimaksud karier.
Yang dimaksud anak di sini adalah anak yang sah adalah “anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.[1]
Sedangkan istilah “karier” itu sama dengan “karir” yang artinya pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju, pekerjaan yang mendatangkan keuntungan ekonomis, sosial maupun politis.
Jadi pengertian anak karir adalah anak yang dalam kehidupannya telah mengalami perkembangan dan kemajuan serta dalam hal ini anak yang belum dewasa ( belum baligh ).
Anak yang memiliki predikat karir ini, dapat menghasilkan sesuatu kekayaan sendiri. anak yang demikian inilah menjadi inti pembahasan skripsi ini, yaitu mengenai hubungannya dengan orang tua yang berupa hak dan kewajiban. Pembahasan mengenai hak dan kewajiban. Pembahasan mengenai hak dan kewajiban antara orang tua dan anak karir ini sebenarnya menyeluruh yang mencakup materi dan immateri. Namun tekanannya dititik-beratkan pada hak dan kewajiban yang sifatnya materi. Dan pembahasan anak karir ini, di samping anak sah itu juga umurnya belum baligh dan rusyd

B.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak Karir
Kesadaraan orang tua serta sikapnya yang lemah lembut itu dapat digunakan untuk membantu anak ke arah masa depan yang lebih cerah dengan cara mengembangkan kemampuan intelektualnya atau potensi yang dimiliki seoptimal mungkin.
Masalah anak sebenarnya tidak dapat terpisah dari masyarakat umumnya. sebab pada hakekatnya anak itu adalah merupakan bagian masyarakat, oleh karena masalah yang dihadapi banyak dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang yang terdapat dalam lingkungan anak.
Menurut Bakir Yusuf Barmawi menjelaskan bahwa “ baik buruknya anak itu sangat berkaitan erat dengan pembinaan dan pendidikan agama Islam dalam keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan agama dan sosial “.[2]
Berasumsi pada uraian di atas, maka untuk seterusnya dapat diketahui hal-hal yang mempengaruhi terhadap perkembangan anak pada sampai pada tingkat karir itu bisa di bedakan antara yang sifatnya ekstern ( luar diri anak ) dan yang sifanya intern ( terdapat dalam diri anak ). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada uraian berikut ini, yaitu :
1.   Hal-hal yang sifatnya intern ialah :
a.      Aspek jasmaniah.
b.      Keistimewaan anak.
c.       Kegairahan dan kesediaan anak.
Anak adalah generasi penerus yang dimasa depannya akan menjadi angota masyarakat secara penuh dan mandiri. Oleh karena itu, seorang anak harus sejak kecil harus sudah mulai belajar bermasyarakat, agar nanti dia dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang dapat menjalankan fungsi-fungsi sosialnya. Masyarakat adalah tempat hidup anak sebagai individu yang memberikan kemungkinan kepada anak untuk menjadi maju dan berkembang.[3]
Kalau perkembangan jasmani terganggu, maka anak itu akan mengalami gangguan, maka tidak hanya berakibat negatif terhadap perkembangan jasmani saja, anak tetapi juga berakibat negatif terhadap perkembangan kecerdasan. Sebab akal yang sehat itu terdapat pada jasmani yang sehat. Tentunya untuk mencapai perkembangan jasmani yang sempurna nilai gizi yang tinggi pula.
Jika anak telah mengalami perkembangan jasmani yang baik, maka sikap selanjutnya yang hendak ditempuh oleh orang tua adalah mengetahui keistimewaan anak, kemudian setelah diketahui keistimewaan anak tersebut lalu diarahkan dengan sebaik-baiknya.
Karena pendidikan akan dalam keluarga adalah bersifat kodrati, maka hal ini harus menjadi fondamen bagi pendidikan yang diterima di luar rumah tangga (keluarga). Karena anak harus terus mengembangkan kwalitas dirinya, maka dalam hal ini tidaklah mungkin anak memperoleh seluruh pendidikan dan bimbingan atau pembinaan yang diperlukan dari anggota keluarganya. Untuk itu anak membutuhkan lingkungan pendidikan yang lain seperti di sekolah dan lembaga-lembaga agama.[4]
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kegairahan atau kesediaan anak adalah :
a.      Kesanggupan
b.      Pengalaman seseorang
c.       Sifat atau taraf kompleksitas situasi
d.     Latihan
e.      Trial and error.[5]
Yang dimaksud dengan belajar itu berkaitan erat dengan kematangan otak dan mental anak didik. karena mempelajari sesuatu harus disesuaikan dengan kadar kemampuan yang diperlukan anak didik. anak umur 5 tahun misalnya, tidak bisa diajari ilmu “Irab yang berbelit itu.
Ketidak mampuannya anak itu karena anak belum sampai pada tingkat kematangan mental yang memungkinkan untuk itu. Tidak diketahui kenyataan itu, karena terjadinya pemaksaan orang tua kepada anak untuk mempelajari sesuatu yang tidak sesuai dengan umurnya.
Orang tua yang bijaksana senantiasa memilihkan pelajaran anaknya yang sesuai dengan kemampuan tubuh dan mentalnya. Mengenai pengalaman yang baru, biasanya anak tidak mau membaca topik-topik tertentu kecuali apabila pengalamannya yang lalu mendukung untuk berfikir, menguasai dan menjelaskan topik-topik tersebut.
Mengenai sesuainya materi pelajaran dengan metode pengajaran merupakan faktor yang dipertimbangkan. Pada waktu mengajar anak, hendaklah orang tua atau guru menggunakan kata-kata biasa dan tepat bahkan kalau perlu melalui permainan, biar anak tidak memalingkan diri dari pelajaran dan tidak merasa bosan.
Adapun mengenai keadaan emosi anak dan kadar penyesuaian dirinya dengan lingkungan adalah faktor yang sifatnya melengkapi faktor-faktor yang terdahulu. Anak-anak bisa menurun prestasinya karena kegoncangan perasaan. Dalam hal seperti ini anak tidak dapat dipaksakan belajar terus menerus melainkan harus dihilangkan sebab-sebab yang menggoncangkan jiwanya serta mengobati keadaan kejiwaan sesuai dengan sebab-sebabnya.
2.   Hal-hal yang sifatnya ekstern
a.   Pengarahan menurut bakat (dari orang tua)
b.   Sistem penyampaian (dari orang tua)
c.    Ilmu psikologi anak (yang dimiliki orang tua)
d.     Figur tauladan atau tokoh (orang tua atau orang lain)
e.      Akhlak al-karimah (dari orang tua).
Termasuk faktor yang ikut menentukan perkembangan anak adalah pengarahan menurut bakat dan potensi yang dimiliki. Hal ini merupakan tugas orang tua yang cukup berat serta memerlukan ketelitian. Dengan adanya pengarahan dari orang tua, anak dapat meraih prestasi yang baik dan berjalan sesuai dengan kemampuannya, anak terbebani tanggung jawab di atas kemampuan maksimalnya. Jika anak terbebani tanggung jawab di atas kemampuan maksimalnya, maka anak tidak akan dapat meraih prestasi apa-apa, melainkan justru akan merasa rendah diri karena kegagalan-kegagalan yang dialami. Demikian pula jika anak ditempatkan di bawah tingkat kemampuan maksimalnya, maka anak tersebut akan mengeluarkan tenaga yang kuat dari yang seharusnya. Hal ini berarti anak telah kehilangan tenaga dengan sia-sia, dan perbuatan sia-sia itu dilarang oleh agama. Firman Allah :
ولا تبذر تبذ يرا انّ المبذرين كانوااخوان الشيطين (الاسراء : 26-27)

Artinya : “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros, sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan”.[6]

Orang tua yang mempunyai sangkaan bahwa anak terbelakang dalam bidang ilmu nahwu misalnya disebabkan karena kurang baik dalam belajar atau kurang konsentrasi, hal ini perlu diragukan kebenarannya sebelum diadakan penelitian terlebih dahulu. Sebab bisa saja anak terbelakang dalam bidang ilmu nahwu tetapi faktornya belum tentu karena kurang belajar, mungkin karena faktor lain seperti kurang kecerdasannya.
Kalau orang tua sudah salah sangka, maka yang akan terjadi ialah pemaksaan anak untuk belajar pada bidang yang tidak sesuai dengan bakatnya. Sebagai akibat paksaan tersebut, mental dan jasmani anak akan cepat lelah dan juga akan menghabiskan materi orang tua dengan sia-sia.
Akan tetapi jika orang tua mengetahui batas kemampuan anak, maka pengarahannya dapat disesuaikan dengan keadaan yang ada, agar anak dapat memperoleh suatu prestasi yang dapat diambil manfaatnya. Mengenai hal ini sebenarnya mencontoh kebijaksanaan Allah SWT, yang mana Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya. Firman Allah SWT :



لا يكلّف الله نفسا الاّ وسعها (البقره : 286)

Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.[7]

Di dalam memandang anak, hendaknya dipandang sebagai bagian dari generasi penerus dan yang akan melangsungkan kehidupan bangsa. Selanjutnya dalam benak kita akan terlintas bahwa anak itu adalah anak zaman yang akan mengemban tugas masa depan. Berangkat dari sini saja kita dapat memahami bahwa betapa besarnya beban tanggung jawab orang tua untuk meluruskan garis perjalanan anak agar berada dalam nilai-nilai moral agama, selanjutnya tugas orang tua memelihara keluhuran dan ketinggian nama anak, karena pada dasarnya seseorang lahir itu dalam keadaan suci.
Bertitik tolak dari hadits tersebut di atas tersimpul suatu isyarat bahwa hitam putihnya anak itu adalah tergantung dari orang tua, sejauhmana orang tua memperhatikan anak serta bagaimana pula cara mengarahkan agar anak dapat tumbuh dengan sehat, baik jasmani maupun rokhani.
Anak yang saat ini kita asuh yaitu anak yang umurnya belum baligh dan rusyd, karena anak yang umurnya telah baligh dan rusyd tidak berada dalam asuhan. Akan menghadapi tantangan zaman yang berbeda dengan tantangan yang kita hadapi pada waktu kita masih kanak-kanak. Lingkungan masyarakat yang ada sekarang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat yang akan datang. Tentunya berubah menuju suatu proses kemajuan. Akibatnya tatanan nilai yang sudah mapan dalam masyarakat itu akan mengalami perubahan juga, yang demikian ini akan mempengaruhi terhadap sikap dan pola pikir anak kita. Media-media komunikasi seperti film pornografi, komik dan sebagainya akan memberikan pengaruh yang cukup mendalam kepada anak. Oleh karena itu hendaknya orang tua harus waspada terhadap pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak, agar anak tidak terjerumus ke dalam pola pergaulan negatif yang akhirnya akan merugikan masa depan anak.
Pada usia balita, anak itu sangat memerlukan jemari kasih orang tua, perhatian orang tua dan bergaul dengan akrab. Tetapi kadang-kadang karena kesibukan orang tua, anak hanya diserahkan kepada pembantu rumah tangga. Dalam posisi seperti ini anak akan dengan mudah mencari dunianya sendiri tanpa adanya pengarahan dari orang tua, melainkan hanya di bawah asuhan pembantu yang kurang pengalaman dan pendidikan. Dengan demikian apabila anak tidak menemukan keteduhan dan ketenangan jiwanya, maka ia mencari kepuasan di luar rumah. Keadaan yang demikian ini jelas menimbulkan segi-segi negatif bagi perkembangan jiwa anak, karena pertumbuhan pribadinya tidak terarah, melainkan hanya sesuai dengan kesan yang didapat dari pembantu yang kurang baik atau lingkungan yang tidak menguntungkan.
Di tangan orang tualah anak akan menjadi kader-kader bangsa kelak kemudian hari atau sebaliknya yaitu kader penghancur bangsa. Dalam pada itu dengan agamalah perkembangan pribadi anak dapat tumbuh sehat sempurna, karena agama merupakan obor yang senantiasa menjadi suluh dan menjadi pedoman manusia. Memang Al-Qur’an diturunkan itu sebagai pedoman dan petunjuk bagi diri kita semua yang bertaqwa. Firman Allah :
ذ لك الكتب لاريب فيه هدى للمتقين (البقره : 2)

Artinya :   “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.[8]

Dalam surat Al-Isra’ ayat 82 :
وننزل من القران ماهوشفاء وّرحمة لّلمؤمنين ولا يزيد الظلمين الاّ خسارا (الاسراء : 82)

Artinya :   “Dan kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang lazim selain kerugian”.[9]

Oleh karena yang belajar adalah siswa dan yang mengajar adalah guru, maka hubungan diantara mereka harus ada keakraban, agar tercipta suatu keserasian dan keharmonisan atau kesenangan. Tujuan pendidikan pengajaran, akan dicapai secara bersama-sama antara guru dan siswa, maka usaha atau cara yang ditempuh oleh guru berpengaruh sekali.[10]
Pelaksanaan program belajar mengajar itu sangat ditentukan oleh metode, lebih-lebih apabila pendidikan itu dipandang sebagai proses, yang mana proses pendidikan itu terdiri dari ineteraksi dan komunikasi antara guru dan murid. Dengan dilaksanakannya metode mengajar seperti ini, maka dapat dimungkinkan terjadinya proses kemajuan yang berkelanjutan untuk anak didik.
Alangkah baiknya apabila orang tua yang dalam mengamati perilaku anak dibekali dengan sebuah ilmu yang membicarakan tentang perkambangan anak dan cara mendidiknya seperti ilmu mendidik anak-anak. Dengan bekal ini orang tua dapat mengetahui perkembangan anak secara pasti serta dapat mengetahui tanda-tanda yang biasanya dianggap kelainan. Sebab setiap anak itu sedang berada dalam perkembangan untuk mencapai tingkat dewasa. Dalam perkembangan yang dialami anak-anak itu tentunya mengalami perubahan-perubahan yang kadang-kadang terlihat sebagai kelainan. Anak yang biasanya penurut tiba-tiba menjadi nakal, anak yang biasanya penyabar tiba-tiba menjadi pengusik adiknya dan sebagainya. kelainan perilaku anak itu sesungguhnya perilaku yang wajar, yang dalam perkembangannya menuju yang lebih dewasa. Bahkan Langeveld mengatakan bahwa jiwa orang itu selalu berkembang sejak terciptanya sampai meninggal dunia.
Terhadap hal yang seperti itu, tentu saja pendekatan orang tua haruslah disesuaikan dengan perkembangan anak untuk menjaga keseimbangan emosinya. Tetapi ketegangan-ketegangan tidak jarang terjadi yang disebabkan oleh ketidaktahuan pihak orang tua semata-mata. Sebagai tindak lanjut ia merasa kurang diperhatikan, dan hal semacam ini dapat menimbulkan gap antara orang tua dan anak.
Diantara corak gangguan negatif yang mengkhawatirkan kestabilan emosi anak adalah jenis ini. Sebab gangguan ini dapat membuat anak menjadi murung, kadang-kadang menyendiri dan kurang percaya diri.
Jadi sepanjang dalam kehidupan anak itu memerlukan bimbingan yang sungguh-sungguh dengan disertai suritauladan yang baik, karena di samping anak belum mampu menangkap hal-hal yang abstrak, anak itu selalu mengikuti perilaku orang tua karena dekatnya hubungan dengan orang tua. Dengan demikian maka jelaslah bahwa pengetahuan tentang perkembangan anak dan cara mendidiknya sangat diperlukan oleh setiap orang tua dan guru.
Memang volume kenakalan anak banyak yang datang dari lingkungan yang kurang memadahi, seperti kurangnya keakraban antara orang tua dengan anak, kurangnya perhatian orang tua terhadap anak dan adanya perasaan tertekan. Beberapa faktor terakhir ini dapat menimbulkan macam-macam tingkah laku kompensasi (penyesuaian) yang tidak terarah dan tidak terkendali. Untuk hal ini peranan orang tua sangat penting dalam kerangka usaha pencegahannya.
Sebenarnya anak itu selalu ingin tahu, mereka senantiasa memperhatikan segala sesuatu yang dilakukan orang lain dan memperhatikan apa yang ingin mereka lakukan. Sebaliknya jika anak sedang memperhatikan sesuatu yang merangsang, dia dianjurkan untuk mencoba melakukannya.
Memang suatu keuntungan besar apabila anak memiliki semangat meneliti dan mencari serta berusaha menemukan apa yang merangsang baginya. Apa yang bisa diketahui anak dapat menjadikan rasa senang, bahkan dapat menjadi sumber kehidupan atau mata pencaharian.
Perlu diketahui pula bahwa keberhasilan anak didik di samping dengan metode belajar mengajar juga memerlukan seorang figur tauladan. Sebagaimana kita semua membutuhkan seorang tokoh untuk kita ikuti dan hal ini memang telah tersedia yaitu Rasulullah. Firman Allah SWT :
لقد كان لكم في رسول الله اسوة حسنة (الاحزاب : 21)

Artinya :   “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”.[11]

Jika orang tua ingin membina anak menjadi muslim yang bertaqwa dan berakhlak mulia, maka orang tua harus memiliki kepribadian yang islami karena orang tua sebagai pendidik. dan itu dapat ditunjukkan pada setiap perilaku orang tua sehari-hari secara tidak langsung anak akan terpengaruh dengan kebiasaan yang dilakukan orang tua, misalnya shalat ke mushola atau masjid ini adalah merupakan latihan yang pada akhirnya menjadi kebiasaan yang baik bagi sikap dan perilaku anak di masa yang akan datang. Kebiasaan yang seperti ini diharapkan mampu bertahan sampai mati, mengingat firman Allah SWT :
يا يها الذ ين امنواا تقواالله حقّ تقته ولا تموتنّ الا وانتم مّسلمون (العمران : 102)

Artinya :   “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaaan beragama Islam”.[12]

Rencana untuk membina anak yang baik sebenarnya bisa dimulai dan diusahakan sejak anak masih dalam kandungan atau belum lahir. Kecuali itu juga bisa diusahakan melalui keturunan. Untuk yang terakhir ini, Islam menetapkan dasar-dasar yang bijaksana seperti dalam memilih istri yang baik, dalam kaitannya dengan masalah ini, Islam menganjurkan agar kaum muslimin dalam memilih istri hendaknya memperhatikan faktor-faktor yang antara lain ialah faktor agama dan faktor keturunan. Maksud adanya istri yang beragama dengan baik serta berasal dari keturunan yang sehat-sehat, maka keturunan yang dilahirkan itu dalam keadaan yang baik pula. Sebab sifat demikian itu bisa menurun kepada anak-anaknya. Sabda Rasulullah SAW :
تنكح المراة لاربع, لمالها ولحسبهاولجمالهاولدينهافاظفر بذات الدين تربت يداك (رواه البخارى ومسلم)

Artinya : “Perempuan itu dikawini karena empat perara; karena cantiknya atau karena keturunannya, atau karena hartanya atau karena agamanya. Tetapi pilihlah yang beragama, agar selamatlah dirimu”.[13]

Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa untuk membina anak yang baik bisa dimulai sejak anak masih dalam kandungan atau anak belum lahir.
Dengan demikian sewaktu ibu sedang hamil hendaknya selalu bersikap hati-hati, baik dalam ucapan maupun dalam tindakannya. Sebab secara psikologis mental seorang ibu yang sedang hamil itu bisa menurun pada anak.
Bila ibu yang sedang hamil itu mau menjaga kesehatannya, yakni denganmakan teratur dan penuh gizi, maka anak yang dilahirkan itu selalu sehat serta akan mengalami perkembangan normal.
Uraian di atas ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan sebelum lahir atau prenatal itu memiliki keterkaitan dengan “mental education” dan “physical education”. Lebih jelas lagi, pendidikan prenatal itu mempunyai dua macam fungsi, yaitu :
a.   Untuk melindungi anak dari segi fisik atau kesehatan jasmani.
b.   Untuk melindungi anak dari segi mental, kejiwaan dan pendidikan.
Oleh karena itu pengaruh pendidikan prenatal terhadap kedua hal tersebut, maka selanjutnya bagi orang tua, ibu maupun bagi calon ibu bila memiliki cita-cita ingin mempunyai keturunan yang sehat jasmani, rukhani serta dapat di didik dengan baik, harus difikirkan dengan sungguh-sungguh sebelumnya.
Memang memperhatikan anak sebagai generasi penerus dalam kehidupan keluarga itu sangat penting sekali, sebabnya adalah :
a.   Lingkungan keluarga itu merupakan soko guru yang fundamental bagi lingkungan lainnya yang lebih luas.
b.   Lingkungan keluarga itu selalu bersentuhan langsung dengan lingkungan lainnya yang lebih luas.
c.       Orang yang paling dekat hubungannya dengan anak adalah orang yang ada di dalam keluarga, yaitu orang tua.
Mungkin karena itulah, jika orang Jawa mau melakukan perkawinan selalu memperhatikan apa yang dinamakan dengan istilah bibit, bebet dan bobot. Dengan memperoleh pasangan suami istri yang berasal dari keluarga yang nenek moyangnya tidak memiliki cacat yang dapat menurun seperti penyakit ayan, maka dari pasangan tersebut dapat diharapkan lahirnya keturunan yang sehat jasmani dan rukhani.
Dengan memperoleh pasangan suami istri yang bentuk fisiknya bagus, rupawan misalnya dapat diharapkan lahirnya suatu keturunan yang meraih prestasi yang optimal di bidangnya seperti bentuk badannya bagus dapat menjadi olah ragawan, bila rupawan menjadi bintang film, yang suaranya bagus dapat menjadi qari’ atau penyanyi.
Dengan memperoleh pasangan suami istri yang cukup atau kaya itu maka dapat diharapkan adanya kehidupan keluarga yang tenang, damai serta bahagia. Oleh karena itu bagi orang tua, khususnya seorang ibu hendaknya lebih waspada jika ingin mempunyai anak yang sehat jasmani, rohani serta dapat mendidik dengan baik.
Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa salah satu fungsi manusia adalah fungsi sosial. Dalam kaitannya dengan masalah ini, manusia itu senantiasa hidup bermasyarakat, yang mana antara manusia satu dengan manusia yang lainnya saling pengaruh mempengaruhi. Dari situlah lahir suatu peradaban atau kebudayaan.
Kebudayaan yang dalam masyarakat ini akan selalu berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan-perubahan tersebut kita tak bisa mengelaknya, bila belum mengorientasikan diri dengan keadaan baru yang akan terjadi it, dalam diri anak akan terjadi kehilangan pegangan karena adanya konflik-konflik tersebut, biasanya anak hanya mengikuti naluri saja, seperti kurang tertib atau disiplin, kenakalan remaja, kegagalan, lebih berbahaya lagi jika anak lari kepada penyalahgunaan narkotika sebagai penyelesaian problem.
Jika dibandingkan dengan orang dewasa, anak yang masih muda itu lebih mudah terpengaruh oleh pencemaran, karena mereka merupakan kelompok sosial yang kurang mempunyai kemampuan bergerak ke sana ke sini sebelum mencapai usia tertentu, mereka dapat pergi ke taman sendiri, ke tempat bermain, akan tetapi mereka selalu membutuhkan seorang teman untuk dijadikan pendamping. Sedangkan yang namanya pendamping itu belum tentu ada. Maka sebagai akibatnya mereka lebih mudah terancam budaya pencemaran dibanding orang dewasa.
Oleh karena itu, sejak anak masih kecil hendaknya dibekali dengan perilaku-perilaku yang berpijak pada sendi-sendi moral atau akhlak. Dengan melalui akhlak itu akan dapat tumbuh pribadi yang luhur dan menjadi mukmin yang sempurna. Ahmad Amin menjelaskan bahwa “orang yang baik ialah orang yang menguasai keinginan baik dengan langsung berturut-turut, dan sebaliknya orang yang jahat atau durhaka”.[14]

C.    Kedudukan Anak Karir dalam Kehidupan Keluarga
1.      Kedudukan Anak Karir dalam Hukum
Di dalam UU No. I/ 1974 Pasal 42 disebutkan bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.[15]
Dari ketentuan Undang-Undang tersebut di atas ini bisa dilihat adanya 2 (dua) kemungkinan mengenai sahnya anak dalam kehidupan keluarga, yaitu anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah. Untuk kemungkinan pertama, dipandang sesuai dengan ketentuan hukum Islam apabila diperhatikan bahwa terjadinya anak itu benar-benar setelah perkawinan dilakukan, dengan cara memperhatikan lamanya waktu hamil dan tidak jelas bahwa anak itu telah terjadi sebelum perkawinan dilakukan. Adapun untuk kemungkinan yang kedua itu tidak menjadi masalah. Sebab hukum Islam pun menentukan demikian.
Anak karir yang lahir sebagai akibat perkawinan tersebut bisa menimbulkan kewajiban nafakah, sebab hubungan perkawinan itu bisa menimbulkan nafakah suami istri dan anak yang dilahirkan. Di samping itu anak merupakan bagian orang tua. Firman Allah SWT :
وعلىالمولود له رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف (البقره : 233)

Artinya :   “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”.[16]

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang ayah itu itu berkewajiban memberi nafkah kepadaistri dan anak, seorang tidak dibebani kewajiban kecuali menurut kadar kemampuannya. Seorang ibu jangan sampai menderita kesengsaraan karena anaknya, demikian juga seorang ayah jangan sampai menderita kesengsaraan karena anaknya.
Ketentuan nafkah tersebut di atas bagi kelurga yang membutuhkan dana menjadi beban keluarga yang mampu. Dengan demikian, jika orang tua miskin ia berhak memanfaatkan hak milik anak karir itu. Karena orang tua yang demikian itu memerlukan bantuan dan di dalam kehidupan keluarga itu anak adalah merupakan kerabat yang dekat, yang tidak boleh dinikahi serta merupakan bagian orang tua. Dengan demikian anak itu seperti dirinya sendiri. secara psikologis masing-masing antara orang tua dan anak merasa tidak senang apabila yang lain mengalami hidup sengsara, seperti kelaparan.
2.      Nasab Anak Karir
Firman Allah SWT :
ادعوهم لابائهم هواقسط عندالله (الاحزاب : 5)

Artinya : “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah”.[17]

Ayat di atas ini memberikan ketentuan bahwa anak itu selalu bernasab kepada ayah, bukan kepada ibu. Hal ini berlaku juga bagi anak karir. Hanya yang bernasab kepada ibu ialah Isa bin Maryam dan anak zina. Karena Nabi Isa itu dilahirkan oleh Maryam yang mana Maryam itu belum pernah ketemu dengan laki-laki. Dalam hubungannya dengan masalah ini Firman Allah  dalam surat Maryam, di situ disebutkan bahwa ketika Maryam kedatangan malaikat Jibril yang menjelma sebagai seorang laki-laki, Ia menolak kedatangannya sambil mohon perlindungan kepada Allah agar jangan sampai melakukan perbuatan serong. Tetapi malaikat Jibril menjawab bahwa ia diutus untuk memberi kabar gembira bahwa Maryam akan dianugerahi seorang putera yang bersih. Mendengar jawaban malaikat Jibril itu Maryam langsung mengatakan bahwa bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh seorang laki-laki; demikian pula aku bukan perempuan pezina.[18]
3.      Sahnya Anak Karir
Islam menentukan bahwa anak itu dihukumi sah apabila terjadinya kehamilan pada ibu anak dengan laki-laki yang menghamili karena terjadinya perkawinan yang sah. Untuk mengetahui apakah anak berada dalam kandungan itu berasal dari suami ibu atau bukan, hal ini bisa ditentukan dengan masa kehamilan. Masa hamil yang terpendek ialah 6 (enam) bulan sedangkan masa yang terpanjang menurut madzhab Abu Hanifah ialah 1 (satu) tahun.[19]
Dengan demikian, jika seorang perempuan melahirkan dalam keadaan perkawinan yang sah dengan seorang laki-laki tetapi jarak waktu antara terjadinya perkawinan dengan saat melahirkan itu kurang dari 6 (enam) bulan maka anak yang dilahirkan itu bukan anak sah bagi suami ibunya. Demikian pula apabila seorang janda yang ditinggal mati suaminya melahirkan seorang anak setelah lebih dari 1 (satu) tahun dari kematian suami, maka anak yang dilahirkan itu bukan anak sah bagi almarhum suami perempuan tersebut.
Jika seorang perempuan diketahui telah hamil sebagai akibat hubungan zina, kemudian dikawinkan dengan laki-laki yang menyebabkan kehamilan itu dan akhirnya melahirkan kandungannya lebih dari 6 (enam) bulan dari waktu perkawinan maka meskipun ia lahir dalam keadaan perkawinan yang sah antara laki-laki yang menyebabkan kehamilan dan ibu yang melahirkannya, namun demikian kedudukan anak hanya menjadi sah dari ibunya saja.
Ketiga ketentuan di atas ini berlaku bagi anak pada umumnya. jadi apabila anak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan Islam, maka anak itu sah menurut Islam pula. Dan jika akan tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Islam, maka anak itu tidak sah menurut Islam.
Begitu juga bagi anak karir, apabila anak karir memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan Islam, maka anak karir itu sah menurut Islam. Dan jika anak karir itu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Islam, maka anak karir itu tidak sah menurut Islam. Dengan demikian, kedudukan anak karir itu sama dengan anak dalam pengertian pada umumnya.



[1]Undang-andang perkawinan No. 1 tahun 1974 dengan penjelasannya PP. Nomor 9 tahun 1975, Aneka ilmu, semarang, 1985, halaman 15.
[2]Drs. Bakir Yusuf Barmawi, Pembinaan Kehidupan Beragama Islam pada Anak, Dina Utama, semarang , 1993, hlm. 6.

[3]Ibid, hlm. 31.
[4]Ibid, hlm. 8.

[5]S. Nasution, Didaktik Asas-Asas Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, t.th, hlm. 42.
[6]Al-Qur’an, Surat Al-Isra’ Ayat 26-27, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir al-Qur’an, Depag RI, 1989, hlm. 428.
[7]Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah Ayat 286, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir al-Qur’an, Depag RI, 1989, hlm. 72.
[8]Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah Ayat 2, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir al-Qur’an, Depag RI, 1989, hlm. 8.
[9]Al-Qur’an, Surat Al-Isra’ Ayat 82, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir al-Qur’an, Depag RI, 1989, hlm. 437.

[10]Marasudin Siregar, Didagtik Metodik dan Kedudukannya dalam Proses Belajar Mengajar, Sumbangsih, Yogyakarta, 1985, hlm. 67.
[11]Al-Qur’an, Surat Al-Akhzab Ayat 21, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir al-Qur’an, Depag RI, 1989, hlm. 670.

[12]Al-Qur’an, Surat Al-Imran Ayat 102, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir al-Qur’an, Depag RI, 1989, hlm. 92.
[13]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid VI, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1990, hlm. 30.
[14]Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 62.
[15]Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dengan Penjelasan PP. Nomor 9 Tahun 1975, Aneka Ilmu, Semarang, 1985, hlm. 15.
[16]Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah Ayat 233, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir al-Qur’an, Depag RI, 1989, hlm. 57.
[17]Al-Qur’an, Surat Al-Ahzab Ayat 5, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir al-Qur’an, Depag RI, 1989, hlm. 667.
[18]Al-Qur’an, Surat Maryam Ayat 19-20, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir al-Qur’an, Depag RI, 1989, hlm. 464.
[19]Muhammad Abu Zahrah, Al-Akhwal Al-Syahshiyyah, Dar Al-Fikri Al-Arabi, Beirut, t.th, hlm. 451-452.

0 Response to "ANAK KARIR"

Post a Comment