KONSEP PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA MENURUT ISLAM

KONSEP PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA MENURUT ISLAM


   A. KONSEP PENDIDIKAN  ANAK

   1.  Pengertian Pendidikan Anak
Pengertian pendidikan anak dalam Islam erat hubungannya dengan pendidikan Islam, sebab anak adalah obyek dalam proses pendidikan. Sebelum melanjutkan pengertian pendidikan anak maka terlebih dahulu penulis ketengahkan tentang pengertian pendidikan.
Petama, dalam bahasa Arab ada tiga istilah yang biasa digunakan untuk menyebut pendidikan. Yaitu: Tarbiyah, Ta’lim dan Ta’dib, namun yang paling populer digunakan adalah istilah Tarbiyah. Dari kata tarbiyaah ini, Imam Al-Baidlowi dalam tafsirnya Anwar At-Tanzil Wa Asrar At-Ta’wil, mengemukakan pengertian tarbiyah sebagai menyampaikan sesuatu hingga mencapai kesempurnaan.[1]
Selanjutnya menurut An-Nahlawi, kata tarbiyah berasal dari tiga kata, yaitu raba-yarbu yang artinya bertambah dan berkembang, rabiya-yarba dengan wazan (bentuk) khafiya-yakhfa yang berarti tunbuh dan berkembang, rabba-yarbbu dengan wazan (bentuk) madda yamuddu yang berarti memperbaiki, mengurusi kepentingan, mengatur, menjaga dan memperhatikan.[2]  Pendidikan menurut Ahmadi, pendidikan adalah proses kegiatan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan seirama dengan perkembangan peserta didik.[3]

 
Kata pendidikan (education), dalam pandangan barat adalah suatu kata akar kata yang menunjukkan aktifitas pembentukan individu melalui pembentukan jiwanya, agar dalam hidupnya tertanam kebahagiaan, baik kepada dirinya maupun orang lain dalam sebuah acuan karakteristik yang sempurna.[4] Sementara menurut Mahmud Ali sendiri bahwa pendidikan adalah sebuah system sosial yang menetapkan pengaruh adanya efektif dari keluarga dan sekolah dalam membentuk generasi muda dari aspek jasmani, akal dan akhlak. Sehingga tercipta generasi yang baik yang dapat hidup diligkungannya. Senada dengan pendapat ini jalaluddin berpendapat bahwa pendidikan adalah usaha untuk membimbing dan mengembangkan makhluk sosial secara bertahap sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya, jenis kelamin, bakat, tingkat kecerdasan, serta potensi spiritual yang dimiliki masing-masing secara makimal.
Dalam Hadis Nabi saw. Menjelaskan tentang pendidikan anak yang harus diberikan oleh kedua orang tuanya sebagai bekal untuk masa depan. Yakni pendidikan adalah mengajarkan anak agar dapat menulis dan membaca, berenang, memanah dan mengajari sesuatu yang baik. Hadis tersebut adalah:
حَدَّ ثَنَا آَبُوْ القَا سِمِ عَبْدُ الرَّ حْمَنِ بْنِ مُحَمَّدِّ بْنِ السِرَاجِ امِلَآءٌ اَنْبِآ اَبُوْ لحَسَنِ اَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ بْنِ عَبْدُوْسٍ الطَّرَ ائِفِى اَنْبَآ عُثْمَانُ بْنُ سَعِيْدٍ ثَنَا يَزِيْدُ بْنُ عَبْدِرَبِّهِ ثَنَا بَقِيَةٌ عَنْ عِيْسَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ عَنِ الزُّهْرِى عَنْ اَبِىْ سُلَيْمَانِ مَوْلَى آَبِى رَافِعِ قَالَ قُلْتُ يَارَسُوْلَ الله آَلِلْوَلَدِ عَلَيْنَا حَقٌّ كَحِّقِنَا عَلَيْهِمْ قَالَ نَعَمْ حَقَّ اْلوَلَدِعَلَى اْلوَالَدِ اَنْ يُعَلِّمَهُ اْلكِتَابَةَ وَالسِّبَاحَةَ وَالرُّمَىَ وَاَنْ يُوْرِثُهُ طَيِبًا
{ رواه البيهقي }[5]

“Telah menceritakan kepada kita Abu Qasim Abdurrahman bin Muhammad bin Siraj memberikan kabar dengan mendekte Abu Hasan Ahmad bin Muhammad bin Abdusiththara’ifi memberi kabar kepada Usman bin Said telah menceritakan kepada kita Yazid bin Abdirrobbin telah menceritakan kepada kita Baqiyyah dari Isa bin Ibrahim dari Zuhri dari Abi Sulaiman Maula Abi Rofi’ berkata : Katakan kepada saya ya rasulullah: Apakah anak mempunyai hak seperti hak kita (orang tua) kepada mereka. Nabi Menjawab: Ya, hak anak atas bapaknya adalah mengajarkan tulis, renang, memanah dan mewarisinya dengan hal yang baik”
(HR. Al Baihaqi).
Istilah berenang dan memanah adalah sesuatu aktifitas yang berhubungan dengan lingkungan alam, agar anak dapat memiliki perkembangan potensi dalam menghadapi sebuah kehidupan. Sedangkan sesuatu yang baik adalah berkaitan dengan sifat dan sikap dalam memahami dan mengambil sesuatu yang bermanfaat untuk hidup.
Ahmad D Marimba, juga tidak jauh berbeda. Ia mengemukakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohni siterdidik menuju kepribadian yang utama.[6] Kepribadian utama yang dimaksud oleh marimba ini adalah sebuah kepribadian yang mengarah pada terbentuknya kerpibadian muslim yakni sebuah pribadi yang mampu melaksanakan fitrah manusia sebagai hamba Allah dan khalifatullah. Jadi dari beberapa pendapat tersebut dapat kami simpulkan bahwa arti pendidikan adalah sebuah proses untuk pendewasaan yang melibatkan berbagai media, materi, alat, serta tujuan.
Sementara kata “anak”, sering diartikan sebagai masa dalam perkembangan dari berakhirnya masa bayi menjelang pubertas.[7] Dari uraian tersebut tentu dapat dipahami bahwa pndidikan anak adalah bimbiungan atau suatu proses yang diberikan oleh orang yang lebih dewasa (orang tua atau guru), demi terbentuknya kedewasaan, baik emosi, mental, cara berpikir, maupun kedewasaan fisik bagi generasi penerus, mulai dari anak keluar dari fase bayi hingga menjelang pubertas.



2.      Dasar Dan Tujuan Pendidikan Anak
a.      Dasar Pendidikan Anak
Dalam pelaksanaan pendidikan anak di Indonesia mempunyai dasar yang dapat ditinjau dari segi aspek berikut:
-          Dasar yuridis atau hukum
Dasar dari sisi ini berasal dari peraturan-peraturan perundang-undangan yang secara langsung dapat dijadikan pedoman atau dasar dalam pelaksanaan dan pembinaan anak, yang dapat dilihat pada undang-undang sistem pendidikan nasional (UUSPN) No. 20 Tahun 2003 pada bab II pasal 3 yaitu, pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratif serta bertanggung jawab.[8]
-          Dasar religius atau agama
Adalah dasar yang bersumber dari ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan al-Hadist. Dalam al-Qur’an bahwa anak adalah sama dengan amanah dari Allah, yang disebutkan dalam surat At-Tahrim ayat 6.
يَآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا قُوْااَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا000( التحريم 6) [9]

“wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimui dan keluargamu dari siksa api neraka……

Menurut tafsir ayat-ayat pendidikan (tafsir al-ayat Al- Tarbawih), Dr. H. Abuddin Nata. Memberikan penjelasan, bahwa “quuanfusakum” berarti membuat penghalang datangnya siksaan api neraka, dengan cara menjauhkan perbuatan maksiat, memperkuat diri agar tidak mengikuti hawa nafsu, dan senantiasa taat menjalankan perintah Allah SWT. Sedangkan “wa ahlikum” adalah keluarga yang terdiri dari istri, anak, pembantu, dan budak, diperintahkan untuk menjaganya dengan cara memberikan bimbingan, nasehat dan pendidikan kepada mereka.10
Ayat ini memberikan anjuran untuk memberikan pendidikan dan pengetahuan mengenai kebaikan terhadap diri dan keluarga. Dalam tafsir HAMKA menjelaskan, bahwa beriman saja tidaklah cukup, iman mestilah dipelihara baik untuk keselamatan diri dan rumah tangga. Sebab dari rumah tangga itulah dimulai menanamkan iman dan memupuk Islam. Karena dari rumah tangga itulah akan terbentuk umat. Dan dalam umat itulah akan tegak masyarakat Islam. Masyarakat Islam adalah suatu masyarakat yang bersamaan pandangan hidup, bersamaan penilaian terhadap alam.11
M. Quraish Shihab juga menjelaskan berkaitan dengan surat Ah Tahrim ayat 6 tersebut. Yaitu memberikan makna pada “memelihara keluarga” yang meliputi, istri, anak-anak dan seluruh yang ada di bawah tanggung jawab suami, dengan membimbing dan mendidik mereka agar semuanya terhindar dari api neraka.12 dan lagi Ahmad Mushthafa Al Maraghi juga memberikan penafsirannya berupa, mengajarkan kepada keluarga akan perbuatan yang dapat menjaga diri melalui nasehat dan pengajaran. Yang dimaksud al-ahl (keluarga), disini mencakup istri, anak-anak, budak baik laki/perempuan.13 
Dalam hadits nabi disebutkan:
حَدَّ ثَنَا عَبْدَانُ آخْبَرَنَا عَبْدُالله آَخْبَرَنَا يُوْنُسْ عَنِ الزُّهْرِيْ قَالَ: آَخْبَرَنِي آَبُوْ سَلَمَةُ بْنُ عَبْدُالرَّحْمَنْ آَنَّ آبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ, فَآَبَوَاهُ فَآَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ آَوْ يُنَصِّرَانِهِ آَوْ يُمَجِّسَانِه. (رواه البخارى) 14

“Telah menceritakan kepada kita Abdan telah mengabarkan kepada kita Abdullah telah mengabarkan kepada kita Yunus dari Zuhri sesungguhnya Aba Hurairah ra. Berkata : Rasulullah saw berkata: Tiada seoarang anakpun yang lahir kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR.Bukhari).

b.      Tujuan pendidikan anak
Islam sebagai agama kesejatian bagi manusia, menempatkan masalah pendidikan yang bertujuan memelihara dan mengembangkan potensi kesejatian manusia pada tempat pertama dalam ajarannya, sebagaimana yang diisyaratkan dalam ajarannya yang pertama untuk mencerdaskan manusia lewat proses baca-tulis yang akan mengembangkan ilmunya untuk mencapai tujuan spiritual, materi, sosial, individu dan tujuan lainnya.15
Dalam membahas tujuan pendidikan anak, tentu tidak dapat lepas dari tujuan pendidikan islam yaitu untuk mencapai tujuan hidup muslim. Sebagaimana ungkapan Chabib Thoha bahwa tujuan pendidikan, secara umum adalah untuk mencapai tujuan hidup muslim, yakni  menumbuhkan kesadaran manusia sebagai makhlik Allah SWT. Agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berakhlak mulia dan beribadah kepada-Nya.16
Pendapat senada juga dikatakan oleh Heri Noer Aly dan Munzier tentantg tujuan pendidikan Islam dan mengkategorikannya menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah berusaha mendidik individu mukmin agar tunduk, bertakwa, dan beribadah dengan baik kepada Allah, sehingga memperoleh kebahagiaan di dunia dan akherat.17 Dari tujuan umum tersebut, kemudian mereka membagi menjadi tiga tujuan khusus, yaitu: (1) Mendidik individu yang saleh dengan memperhatikan dimensi perkembangan, meliputi ruhaniah, emosional, sosial, intelektual dan fisik. (2) Mendidik anggota kelompok sosial yang saleh, baik dalam keluarga, maupun masyarakat muslim. (3) Mendidik manusia yang saleh bagi masyarakat.18
Sehingga, dari tujuan-tujuan tersebut, diharapkan proses pendidikan dapat menciptakan manusia yang bertakwa kepada Allah. Karena ketakwaan merupakan sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan pendidikan Islam, kedamaian hidup di dunia (bermasyarakat dan bernegara) dapat terjalin dengan baik, sehingga membawa kebahagiaan akhirat.

3.     Pendidikan Anak Dalam Perspektif Islam dan Psikologi.
a.      Pendidikan Anak Dalam Perspektif Islam
Islam tidak memandang anak dengan teropong yang sempit, Islam melihat anak secara lebih riil dan lebih proporsional artinya, kehidupan anak tidak dipenggal, dilepaskan dari dunianya serta dimensi dan prospeknya.19 Pertama keanakan dilihat sebagai tahapan awal dalam perkembangan manusia, kehidupan dan perkembangan anak dilihat dalam rintangan historisnya, maka mengenali (dan mendidik anak) haruslah memperhatikan tahapan-tahapan perkembangan lainnya baik fisik maupun psikis.
Kedua, anak adalah amanah dari Allah yang dititipkan kepada orang tuanya. Istilah amanat mengimplikasikan keharusan mengahdapi dan memperlakukannya dengan sungguh hati-hati, teliti dan cermat. Sebagai amanat, anak harus dijaga, diraksa, dibimbing dan diarahkan selaras dengan apa yang diamanatkan. Ketiga, anak membawa potensi fitrah. Anak dilahirkan dalam keadaan lengkap dan tidak pula dalam keadaan kosong. Ia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Memang ia dialahirkan dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Akan tetapi ia telah dibekali denga pendengaran, penglihatan dan kata hati (Af-Idah), sebagai modal yang harus dikembangkan dan diarahkan kepada martabat manusia yang mulia, yaitu mengisi dan menjadikan kehidupannya sebagai takwa kepada Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam Qur’an Surat Al-Hujarat ayat 13.
ان اكرمكم عندالله اتقكم ان الله عليم خبير { الحجرات 13}
“Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah, ialah orang yang paling takwa diantara kaliyan.” (Al-Hujarat ayat 13)

Bila kedua orang tua berhasil merealisasikan tanggung jawabnya sebagai orang tua, sebagai pendidik pertama, maka anak akan tampil dalam wajahnya yang ketiga, yaitu anak sebagai hiasan kehidupan di dunia. 20
Salah satu tugas utama orang tua adalah mendidik keturunannya. Dengan kata lain relasi antara anak dan orang tua itu secara kodrati tercakup unsur pendidikan untuk membangun kepribadian anak dan mendewasakannya. Ditambah dengan adanya menjadi agen pertama dan terutama yang mampu dan berhak menolong keturunannya serta wajib mendidik anak-anaknya.21
Masa pengasuhan anak dalam Islam terhitung sejak anak dalam kandungan, orang tua harus sudah memikirkan perkembangan anak dengan menciptakan lingkungan fisik dan suasana batin dalam rumah tangga.22 Jadi, pendidikan anak dalam Islam adalah merupakan tanggung jawab mutlak kedua orang tuanya sebagai amanah dari Allah agar menjadi mahluk yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.

b.     Pendidikan Anak Dalam Perspektif Psikologi
Dalam usaha mendidik anak tentu disesuaikan dengan usia perkembangan serta kemampuan dari anak., sehingga banyak perbedaan pandangan tentang fase perkembangan anak. Menurut Husaini, anak adalah masa periode perkembangan dari berakhirnya masa bayi (0,0 – 3,0 Th), hingga menjelang pubertas.23 Sedangkan menurut Hanna Djumhana Bustaman yang dimaksud dengan anak adalah masa antara 3,0 th sampai dengan sekitar 11,0 th yang mencakup tahapan, masa pra-Sekolah (3,0 – 5,0 th), masa Peralihan (5,0 – 6,0 th), masa Sekolah (6,0 – 12,0 th), yang masing-masing menunjukkan tanda-tanda kekhususan sendiri.24
Subino subroto membagi perkembangan anak menurut usia antara lain, periode pertama, umur 0-3 th. Pada masa ini yang terjadi adalah perkembangan fisik penuh. Periode kedua, umur 3-6 th, pada masa ini yang domonan bagi anak adalah perkembangan bahasanya. Oleh karena itu, ia akan bertanya segala macam. Dalam periode ini merupakan masa yang baik untuk mengajari anak dengan bahasa yang baik dan benar. Periode ketiga, umur 6-9 th, yaitu masa social imitation atau masa mencontoh. Pada usia ini sangat baik untyuk menanamkan contoh-contoh teladan yang baik. Periode keempat, umur 9-12 th, periode ini disebut second star of individualization. Tahap ini adalah tahap individualisasi anak usia ini sering mengeluarkan back ide, tetapi sebaliknya juga sudah timbul pemberontakan dalam arti menentang apa yuang tadinya dipercayai sebagi nilai atau norma. Dan masa ini disebut masa kritis yang sudah saatnya mendapatkan konfirmasi. Periode kelima, umur 12-15 th, yang disebut social adjusment, yaitu penyesuaian diri secara sosial. Disini sudah mulai terjadi pematangan, sudah menyadari adanya lawan jenis. Pada umur ini juga tumbuh sikap-sikap humanistic, oleh karena itu maka pengokohan hidup secara Islami sudah waktunya untuk diperkuat. Periode keenam, umur 15-18 th, masa penentuan hidup, mau apa dia nantinya.25   
Pendidikan anak secara umum didalam keluarga terjadi secara alamiah, tanpa disadari oleh orang tua, namun pengaruh buruk yang kadang dilakukan oleh orang tua, akan berakibat sangat besar, terutama tahun-tahun pertama dari kehidupan anak atau pada masa balita (dibawah lima tahun). Pada umur tersebut pertumbuhan kecerdasan anak masih terkait dengan panca inderanya dan belum bertumbuh pemikiran logis atau maknawi abstrak atau dapat dikatakan bahwa anak masih berpikir inderawi.26
Terkadang peran orang tua dalam usahanya untuk mendidik anak sudah semaksimal mungkin dan masih juga gagal, itu tidak jadi apa, dan orang tua tidak bisa disalahkan begitu saja. Bukankah Tuhan sendiri telah memberi tahu keadaan kita tentang belum pastinya pendidikan ini apalagi dengan cara yang semaunya, tanpa dengan cara-cara yang baik, dengan cara yang baik saja terkadang masih gagal, apalagi yang tidak memakai cara sama sekali. Meskipun berhasil hanya ada seribu satu, dan itu adalah karena Allah SWT semata.27 Penjagaan, kasih sayang, serta kebaikan orang tua pada anak adalah bagian penting dari entitas pendidikan guna mewujudkan kekayaan personal anak serta menghilangkan berbagai kekcauan mental yang merupakan penyakit paling serius.28     

B.     PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA MENURUT ISLAM

1.      Pendidikan Anak dalam Keluarga
Pendidikan anak dalam keluarga menurut Islam, dalam bahasa Arab, istilah pendidikan (education) secara leksikal berarti “Tarbiyah” dengan pengertian mengembangkan, memelihara, mangasuh atau membesarkan.29 Sedangkan dari kutipan Andrias Harefa dari gagasan Nurcholis Madjid dalam tulisannya tentang “Hubungan Orang Tua dan Anak” dari pengertian tarbiyah ini mengandung pra -anggapan bahwa dalam diri manusia terdapat bibit-bibit kebaikan. Bibit itu dapat dikembangkan (atau dilakukan tarbiyah kepadanya), tapi dapat juga terlambat, tersumbat dan mungkin juga mati jika tidak dikembangkan. Dalam idiom keagamaan bibit naluri kebaikan itu disebut fitrah.30 Dari kata fitrah inilah pendidikan diwujudkan dalam sebuah keluarga kepada anak-anak yang lahir dari sebuah rumah tangga yang telah menikah yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya.
a.      Pengertian Keluarga
Keluarga adalah salah satu elemen pokok pembangunan entitas-entitas pendidikan, menciptakan proses-proses naturalisasi soaial, membentuk kepribadian, serta memberi berbagai kebiasaan baik pada anak-anak yang akan terus menerus bertahan selamanya. Dengan kata lain keluarga merupakan benih awal penyususnan kematangan individu dan struktur kepribadian.31 Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan unit pertama dalam masyarakat. Dalam keluarga pulalah proses sosialisasi dan perkembangan individu mulai terbentuk.32
Menurut A.M. Rose, keluarga adalah kelompok sosial yang terdiri atas dua orang atau lebih yang mempunyai ikatan darah, perkawinan atau adopsi. Sedangkan menurut Emory S. Bogardus, dengan kata lain keluarga adalah suatu kelompok sosial terkecil yang biasanya terdiri dari ayah, ibu, satu anak atau lebih, dimana cinta/kasih sayang dan tanggung jawab dibagi secara adil agar anak mampu mengendalikan diri dan menjadi orang yang berjiwa sosial. 33
b.      Unsur – Unsur Keluarga
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, dikatakan bahwa keluarga adalah orang seisi rumah yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Maksud dari uraian tersebut berarti bahwa unsur keluarga meliputi : Ayah, Ibu dan Anak.34 Keluarga bagi para Sosiolog, adalah sebuah ikatan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak mereka, juga termasuk kakek-nenek serta cucu-cucu dan beberapa kerabat asalkan mereka tinggal dirumah yang sama. Sosiologi lainnya beranggapan bahwa suatu perbikahan tanpa adanya anak keturunan tidak dapat dianggap sebagai keluarga.35
Dalam keluarga ayah sebagai pemimpin keluarga (rumah tangga) dan pemberi nafkah, sedangkan ibu mengurus rumah tangga, memelihara dan mendidik anak.36  Ayah dan ibu (orang tua) memiliki kedudukan yang istimewa di mata anak-anaknya. Orang tua memiliki tanggung jawab yang besar untuk mempersiapkan dan mewujudkan kecerahan hidup masa depan anak, maka mereka dituntut untuk berperan aktif.37
c.       Fungsi dan Peran Keluarga bagi Pendidikan Anak
Secara rinci fungsi sebuah keluarga dalam pendidikan anak adalah untuk dapat menciptakan keturunan yang baik dan membesarkan anak. Dapat memberikan kasih sayang, dukungan dan keakraban. Untuk mengembangkan kepribadian, mengatur pembagian tugas, menanamkan kewajiban, hak dan tanggung jawab. Dan untuk meneruskan atau mengajarkan adat istiadat, kebudayaan, agama, sistem moral kepada anak selaku generasi penerus dari sebuah keluarga.38
Peran keluarga dalam pendidikan anak, merupakan kemampuan penting dalam satuan pendidikan kehidupan keluarga (family life education). Disini peran keluarga adalah sebagai pendidik bagi anak-anaknya yang telah lahir dari rahim ibu yang sebelumnya dilalui dari proses perkawinan atau pernikahan yang syah. Peran keluarga juga sebagai Dai. Maksudnya dengan metode dakwah bagi proses pendidikan anak, dengan tanggung jawab yang kokoh dan ada keserasian hubungan yang Islami yang sesuai dengan aturan nilai-nilai yang religius.
Istilah pendidikan anak dalam keluarga, secara etimologi para pakar menaruh perhatian besar untuk menerangkan. Pendidikan anak adalah badan atau organisasi termasuk organisasi yang paling kecil sekalipun yaitu organisasi rumah tangga yang bertujuan melakukan usaha pendidikan bagi anak-anak.39 Dalam hal ini pendidikan anak langsung ditangani oleh pihak keluarga yang bersangkutan dan pendidik yang paling berkompeten adalah orang tua si anak jika tidak ada udzur.40 Udzur dalam hal ini adalah bisa berupa sakit yang parah ataupun karena meninggal dunia sehingga hak pengasuhan berpindah pada kerabat terdekat. Namun tidak diperkenankan pada non-muslim dalam pengasuhannya atau lembaga pendidikan anak pada sekolah agama selain Islam, karena dapat membuka pintu kekafiran bagi anak.
Keluarga merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang tua bagi anak-anaknya. Orang tua sebagai pendidik kodrati, karena secara kodrat ibu dan bapak diberikan oleh Tuhan berupa naluri sebagai orang tua.41 Pendidikan keluarga merupakan pendidikan alamiah yang melekat pada setiap rumah tangga. Institusi keluarga merupakan lingkungan pertama yang dijumpai anak dan yang mula-mula memberikan pengaruh yang mendalam serta memegang peranan utama dalam proses perkembangan anak.
Jadi pendidikan keluarga dapat diartikan sebagai usaha dan upaya orang tua dalam memberikan bimbingan, pengarahan, pembinaan dan pembentukan kepribadian anak serta memberikan bekal pengetahuan terhadap anak agar dapat lebih mandiri dalam menyesuaikan diri pada setiap realitas pendidikan yang dihadapinya kelak. Memang dalam hal ini tidak mudah, tapi dengan kesabaran dan perhatian khusus tentu hal ini akan tercipta dengan mudah dan menjadi kebiasaan tersendiri pada sebuah keluarga yang mandiri dan memperhatikan perkembangan anak.

2.      Fungsi Pendidikan Anak Dalam Keluarga
Fungsi dari pada pendidikan anak dalam keluarga adalah akan lebih memperkuat tali cinta dan kasih diantara kedua orang tua dengan anak. Berlangsungnya peranan pendidikan anak dalam sebuah keluarga, akan membuat anak dapat belajar bagaimana sesuatu itu dilihat, diraba, didengar, dicium dan dirasa. Pengalaman ini merupakan pilar-pilar terpenting bagi pembinaan mental emosional dan mental intelektual anak. Anak dengan pengalaman-pengalaman dalam kehidupan sehari-hari bersama kedua orang tuanya merupakan unsur pertama dimana anak membina dan menciptakan sebuah realitas baru bagi diri dan masa depan anak.42 Hal inilah yang akan menjadi pondasi pertama bagi tumbuhnya kecerdasan anak dan sekaligus menjadi awal berdirinya kemampuan berpikir bagi anak.
Dengan memberikan pendidikan fisik pada anak yang dalam bahasa Arab disebut sebagai tarbiyah jismiyah, orang tua akan membantu mengembangkan jasmaninya dengan kekuatan yang diridhoi Allah. Sehingga anak kelak mampu menghadapi tantangan kesulitan-kesulitan dalam mengisi kesempatan dan peluang pembangunan menuju kesempurnaan hidupnya.43 Pendidikan fisik adalah awal dari pendidikan yang lain-lainnya, sebab pendidikan lain tidak akan dapat terwujud sebelum pendidikan fisik diberikan kepada sang anak.
Demikian halnya dengan pemberian fasilitas pendidikan intelektual atau tarbiyah aqliyah, maka peran orang tua akan menyiapkan anak dalam mewujudkan dan mengembangkan kecerdasannya serta menajamkan pisau analisanya sehingga mampu menalar sekian banyak fenomena dan realitas kehidupan untuk menghasilkan konklusi (kesempatan) yang bermanfaat bagi dirinya dan juga masyarakat serta negara dan agamanya.44 Daya tangkap intelektual anak dalam menerima dan memahami sebuah realitas kehidupan mungkin saja dapat terbangun dan terwujud setelah adanya fiasilitas-fasilitas yang mendukung, semisal bacaan ringan, dongeng, gambar-gambar sesuatu yang dapat merangsang pemikiran anak dan lain sebagainya yang dapat membentuk inteletual anak.
Adapun hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah pemberian pendidikan emosi dan sikap sosial atau tarbiyah ruhaniyah dan tarbiyah adabiyah, dimana orang tua membuka kesempatan pada anak untuk mengembangkan sikap perilaku yang benar melalui teori dan praktek, agar mengahsilkan anak yang memiliki pengetahuan agama yang fungsional dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di bumi.45 Dalam hal ini anak dirangsang dengan sebuah tindakan nyata dari orang tua yang berkaitan dengan emosi anak dan kemampuan sikap sosial anak terhadap sebuah realitas.




3.      Materi Pendidikan Anak Dalam Keluarga
a.      Pendidikan Aqidah
Aqidah merupakan materi pertama yang harus diberikan kepada anak dalam rangka merealisasikan pendidikan dalam sebuah keluarga yang agamis. Materi ini mencapai enam aspek, yaitu : Iman kepada Allah, kepada Malaikat Allah, kepada Kitab Allah, kepada Rasul Allah, kepada hari akhir dan kepada ketentuan yang telah dikehendaki Allah. Iman lebih awal harus sudah ditanamkan pada diri anak sejak masa pertumbuhannya. Hal ini penting agar pertumbuhan dan perkembangannya selalu berada di bawah kendali iman yang telah dimilikinya.46 Dengan terbentuknya aqidah pada anak diusia dini, akan lebih mempermudah masuknya ingatan-ingatan yang agamis yang dilakukan secara nyata oleh kedua orang tuanya.
Dalam upaya menanamkan nilai keimanan pada diri anak memerlukan kesabaran dan ketekunan. Iman merupakan hal yang ghaib sehingga sukar ditangkap dalam panca indera. Sedangkan anak, menurut teori perkembangan, baru dapat berpikir secara abstrak setelah mencapai usia kira-kira 11 tahun. Oleh karena itu penanaman nilai-nilai keimanan pada diri anak memerlukan kesabaran dan ketekunan dari orang tua maupun para pendidik.47 Memahami perkembangan anak dan spiritualnya dalam mewujudkan keimanan, adalah sebuah landasan utama bagi berjalannya nilai-nilai keimanan yang telah ada dan diketahui sesuai dengan daya tangkap anak terhadap realitas wujud keimanan secara nyata.
Pendidikan aqidah menjadi pendidikan dasar dan prioritas yang diberikan sejak usia anak-anak, ketika pribadi mereka masih mudah dibentuk dan mereka masih lekat dengan kultur kehidupan keluarga Bapak dan Ibu menjadi pilar utama dan pendidik bagi anak-anaknya.
b.      Pendidikan Ibadah
Ibadah merupakan materi kedua yang harus diberikan kepada anak. Pendidikan ibadah merupakan tindak lanjut dari pendidikan aqidah. Hubungan antara aqidah dan ibadah merupakan suatu yang saling tergantung. Bentuk ibadah yang dilakukan oleh anak merupakan cermin dari aqidah yang dimilikinya.
Masa kecil bukanlah masa pembebanan atau pemberian kewajiban, tetapi merupakan masa pembelajaran dan persiapan latihan dan pembiasaan, sehingga pada saat anak memasuki usia dewasa, mereka dapat melakukan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan sebab sebelumnya mereka telah terbiasa melakukan ibadah tersebut.48
Pendidikan dalam beribadah bagi anak ini terbagi dalam lima dasar pembinaan yang meliputi pembinaan shalat, puasa, ibadah haji, zakat, dan lain-lain.
c.       Pendidikan Akhlak
Akhlak merupakan materi ketiga yang harus diberikan kepada anak sejak usia dini. Akhlak merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari akidah dan ibadah, karena akhlak adalah buah dari iman dan ibadah seseorang, orang yang beriman akan memiliki akhlak yang baik. Oleh karena itu iman seseorang dianggap tidak sempurna apabila akhlaknya buruk atau tercela.
Akhlak berasal dari bahasa Arab “Khuluk” yang dapat diartikan dengan kebiasaan, perangai dan tabiat. Al-Ghazali menyatakan bahwa akhlak adalah sifat yang sudah ada dalam jiwa yang mendorong lahirnya suatu perbuatan tanpa melaui pertimbangan fikiran terlebih dahulu.49
Akhlak sangat berbeda dengan perangai atau tabiat yang emang sudah ada pada masing-masing orang yang biasa disebut dengan watak, yang memang sudah ada dan tak dapat diubah. Sedangkan akhlak adalah perangai atau sikap yang dapat dibina dan diciptakan dalam diri masing-masing pribadi, sehingga dapat dirubah melalui proses pendidikan.50 Oleh karena itu pendidikan akhlak sangat perlu bagi anak, agar anak mempunyai akhlak yang baik.
d.     Pendidikan Jasmani
Pada saat dilahirkan, fisik anak dalam keadaan sangat lemah. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya usia anak, maka fisiknya secara berangsur-angsur tumbuh besar dan kuat. Agar supaya pertumbuhan tersebut dapat berjalan dengan baik dan terarah, maka jasmani anak perlu dilatih dengan hal-hal yang mendukung pertumbuhannya tersebut.
Pendidikan jasmani disini tidak hanya dimaksudkan untuk membentuk tubuh semata, tetapi menyangkut juga potensi yang dimiliki oleh jasmani yang dapat dimanifestasikan dalam perilaku sehari-hari. Kebutuhan jasmani yang bersifat material memang harus diperhatikan dan diusahakan agar dapat dipenuhi semaksimal mungkin. Akan tetapi potensi yang ada dalam tubuh anak juga harus dapat perhatian dengan sungguh-sungguh pula dengan demikian materi pendidikan jasmani yang diberikan kepada anak harus dapat mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikis anak secara terpadu.51
Selain itu anak harus dibiasakan dengan menjaga kesehatan tubuhnya, hal ini perlu dibiasakan kepada anak sejak kecil. Pembiasaan ini sangat perlu agar anak terbiasa hidup bersih dan sehat. Kebersihan diri dan lingkungan akan dapat mempengaruhi kesehatan anak. Sedangkan kesehatan anak akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dalam fisiknya.
e.      Pendidikan Akal
Akal merupakan posisi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Akal bukanlah barang jadi yang dibawa oleh anak sejak lahir. Akal masih merupakan potensi yang akan berkembang secara bertahap, mengikuti perkembangan anak. Oleh karena itu akal perlu dididik dengan sebaik-baiknya. Pendidikan akal harus diarahkan untuk mengembangkan kemampuan akal (berpikir) anak seluas-luasnya. Arah ini penting agar anak mengerti dan memahami kekuasaan Allah SWT. Melalui penelitian terhadap fakta alam yang ada di sekitarnya. Untuk itu materi pendidikan akal yang diberikan kepada anak harus disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan dan kemampuan akal anak.
Bermain sebagai salah satu aktivitas fisik merupakan suatu naluri yang dimiliki oleh setiap anak. Naluri tersebut akan berkembang secara alami mengikuti perkembangan usia dan tubuh anak. Oleh karenanya anak harus diberi kesempatan untuk bermain-main dengan kawan-kawan sebayanya. Akan tetapi anak juga jangan dibiarkan dihabiskan waktu hanya untuk bermain-main dan melupakan tugas lainnya.52
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bruner “ bermain adalah aktivitas yang serius” selanjutnya ia menjelaskan bahwa bermain memberikan kesempatan bagi banyak bentuk belajar, dua diantaranya adalah pemecahan masalah dan kreatifitas, serta masuknya informasi bagi bayi mengenai lingkungannya, orang-orang dan benda-benda di sekitarnya. Seperti ditunjukkan oleh Eckorman dan Rhingold “Anak belajar mengenai dunia manusia dan benda melalui penjelajahan (eksplorasi), dan salah satu sumbangan yang terpenting adalah mendapatkan kegembiraan dalam bermain.53

4.      Metode Pendidikan Anak Dalam Keluarga
Dalam mempengaruhi proses sosialisasi menuju perkembangan kepribadian anak yang mendapatkan pendidikan, ada beberapa metode yang dapat dipergunakan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Diantara metode yang harus diterapkan dalam mendidik anak dalam keluarga adalah :
a.      Pendidikan dengan Keteladanan
Metode ini adalah cara memberikan pendidikan dan pengajaran dengan cara memberikan contoh teladan yang baik kepada anak agar ditiru dan dilaksanakan.54 Keteladanan dalam pendidikan adalah metode influentif yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk anak di dalam membentuk pribadi yang bermoral, sosial, dan spiritual. Dengan contoh yang terbaik dalam pandangan anak, yang akan ditiru dalam tindak dan tanduknya, dan tata santunnya, disadari ataupun tidak, bahkan tercetak dalam jiwa dan perasaan anak suatu gambaran pendidik tersebut, baik dalam ucapan ataupun perbuatan.55
Pendidikan dengan teladan berarti pendidikan dengan memberi contoh, baik berupa tingkah laku, sifat cara berpikir, dan sebagaiannya.56 Dalam hal belajar, anak didik umumnya lebih mudah menangkap yang kongkrit bila dibanding dengan yang abstrak. Keteladanan dalam pendidikan merupakan bagian dari sejumlah metode paling tepat dan efektif dalam mempersiapkan dan membentuk anak didik secara moral, spiritual dan sosial. Sebab, seorang pendidik merupakan contoh ideal dalam pandangan anak, yang tingtkah laku dan sopan santunnya akan ditiru. Disadari atau tidak, bahkan semua keteladanan itu akan melekat pada diri dan perasaannya, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, hal yang bersifat material, inderawi maupun sepiritual.
Metode keteladanan memerlukan sosok pribadi yang secara visual dapat dilihat, diamati, dan dirasakan sendiri oleh anak, sehingga anak ingin menirunya. Disinilah timbul proses yang dinamakan identifikasi, yaitu anak secara aktif berusaha menjadi seperti orang tuanya di dalam nilai kehidupan dan kepribadiannya.57 Maka dalam hal ini orang tua sebagai orang pertama yang dilihat oleh anak, orang tua dituntut untuk menerapkan segala perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya, baik akhlak ataupun perbuatannya. Sebab anak selalu mengawasi dan memperhatikan apa yang dilakukan oleh orang tuanya sepanjang waktu.
Dalam praktek pendidikan dan pengajaran, metode ini dilaksnakan dalam dua cara, yaitu cara langsung (direct) dan cara tidak langsung (indirect). Secara langsung adalah orang tua sebagai pendidik harus benar-benar menjadikan dirinya sebagai contoh teladan yang baik terhadap anak. Sedangkan secara tidak langsung adalah melalui cerita dan riwayat para nabi, kisah-kisah orang besar dan pahlawan. Melalui kisah ini diharapkan anak akan menjadi tokoh-tokoh yang dininginkan dan sebagai uswatun hasanah.58


b.      Pendidikan dengan Pembiasaan
Dalam syariat Islam, bahwa anak diciptakan dengan fitrah tauhid yang murni. Agama yang lurus dan iman kepada Allah, tetapi hal tersebut tidak akan muncul tanpa melalui pendidikan yang baik dan tepat. Dari sini peranan pembiasaan, pengajaran dan pendidikan dalam perkembangan anak akan menemukan tauhid yang murni serta keutamaan budi pekerti yang baik.59 Membiasakan artinya membuat anak menjadi terbiasa akan sikap atau perbuatan tertentu. Pembiasaan dapat menanamkan sikap dan perbuatan yang kita kehendaki, hal demikian dikarenakan adanya pengulangan-pengulangan sikap atau perbuatan, sehingga sikap dan perbuatan tersebut akan tertanam mendarah daging sehingga seakan-akan merupakan pembawaan.60
Segala perbuatan atau tingkah laku anak adalah berawal dari kebiasaan yang tertanam dalam keluarga misalnya saja kebiasaan cara makan, minum, berpakaian dan bagaimana pula cara mereka burhubungan dengan sesama manusia. Semua itu terbentuk pada tahap perkembangan awal anak yang berada dalam keluarga. Maka perlunya tokoh identifikasi, yang secara tidak sadar anak akan mengambil over sikap, norma, nilai, tingkah laku dan sebagainya dari tokoh identifikasi tersebut.
Kita ketahui anak kecil belum kuat ingatannya, ia cepat melupakan apa yang sudah baru saja terjadi. Perhatikan anak akan mudah beralih kepada hal-hal yang baru, yang lain yang disukainya. Oleh karena itu, menurut Ngalim Purwanto ada beberapa syarat pembiasaan itu dapat lekas tercapai dan baik hasilnya, yaitu: Pertama, Mulailah pembiasaan itu sebelum terlambat selagi dapat. Kedua, Pembiasaan itu hendaklah terus menerus dijalankan secara teratur sehingga akhirnya menjadi kebiasaan yang otomatis. Ketiga, Pendidikan hendaklah konsekuen, bersikap tegas dan tetap teguh terhadap pendirian yang telah diambilnya. Keempat, Pembiasaan yang semula mekanistis itu harus menjadi pembiasaan yang disertai kata hati anak itu sendiri.61
c.       Pendidikan dengan Nasehat
Penanaman nilai-nilai keimanan, moral atau akhlak serta pembentukan sikap dan perilaku anak merupakan proses yang sering menghadapi berbagai hambatan atau tantangan. Terkadang anak-anak merasa jenuh, malas dan tidak tertarik terhadap apa yang diajarkan, bahkan mungkin menentang dan membangkang. Sebagai orang tua sebaiknya memberikan perhatian, melakukan dialog dan berusaha memahami persoalan-persoalan anak dengan memberikan nasehat dan pelajaran yang dilakukan pada waktu yang tepat agar anak dapat menerima dengan baik dan dengan senang hati. Dengan demikian proses pendidikan akan berjalan sesuai dengan harapan. Ada tiga waktu tepat untuk dapat memberikan nasehat pada anak-anak yang telah diajarkan oleh Nabi SAW kepada umatnya dalam mendidik anak, yakni waktu dalam perjalanan, waktu makan dan waktu anak sedang sakit.
Dalam memberikan nasehat sebagai orang tua harus dengan bijak dan jangan sampai “lalai”. Lalai yang dimaksud adalah tidak bisa memberikan nasehat secara bijak, adil dan proporsional. Jika anak sudah diberi pengertian dan nasehat secara baik dan bijak oleh orang tua, akan tetapi tetap bersikeras hati dan tetap pada pendiriannya dan merugikan orang lain, maka orang tua terpaksa melakukan teguran keras dan bahkan memberikan hukuman, namun hukuman yang mendidik.62
d.     Pendidikan dengan Latihan dan Praktikum
Latihan dan praktikum merupakan metode yang sangat penting dalam pendidikan Islam di lingkungan keluarga, dengan adanya latihan dan praktikum ini anak akan dapat melakukan amal keagamaan yang sesuai dengan tuntunan yang telah ditetapkan agama. Tehnik yang bersifat praktek dan amaliah ini merupakan hal yang pokok dalam Al-Qur’an dan syariat Islam pada umumnya, semisal Sholat, puasa, zakat, haji, shodaqoh, jihat dan sebagainya.
e.      Pendidikan dengan perintah dan larangan
Perintah dan larangan dapat pula dilakukan asal dalam batas kewajaran terutama dalam melaksanakan ibadah dan akhlak yang terpuji. Hal ini dapat dilakukan dengan menunjukkan mana itu perintah yang harus dilakukan dan mana larangan yang harus ditinggalkan kepada anak.
f.        Pendidikan dengan Perhatian
Pendidikan dengan perhatian adalah sebuah cara dengan mencurahkan, memperhatikan dan senantiasa mengikuti perkembangan anak dalam pembinaan akidah dan moral, spiritual dan sosial, di samping selalu bertanya tentang situasi pendidikan jasmani dan daya hasil ilmiyahnya.63
Pendidikan dengan perhatian dan pengawasan sangat diperlukan setiap anak. Namun anak perlu diberi kebebasan apabila anak tumbuh semakin besar, maka pengawasan terhadapnya berangsur-angsur dikurangi, sebab tujuan pendidikan adalah ingin membentuk anak yang pada akhirnya dapat mandiri dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
g.      Pendidikan melalui pemberian penghargaan dan hukuman
Menanamkan nilai-nilai moral keagamaan, sikap dan perilaku juga memerlukan pendekatan atau metode yaitu dengan memberikan penghargaan dan hukuman. Penghargaan perlu diberikan kepada anak yang memang harus diberi penghargaan, begitupun sebaliknya. Penghargaan sering disebut dengan hadiah ataupun ganjaran. Metode ini secara tidak langsung menanamkan etika perlunya menghargai orang lain, misalnya dengan berucap terima kasih.
Dalam sebuah pujian terdapat satu kekuatan yang dapat mendorong anak untuk melakukan kebaikan. Karena dengan pujian, anak merasakan bahwa perbuatan baik yang telah ia lakukan, membuatnya semakin dihormati dan disayang orang lain terutama oleh orang tuanya sendiri.64  Namun apabila pemberian penghargaan tersebut tidak sesuai dengan keadaan maka akan merusak kepribadian anak tersebut.
Selain menggunakan hadiah atau ganjaran dalam mendidik anak juga menggunakan hukuman. Hukuman merupakan cara terakhir oleh pendidik manakala anak menyimpang dari jalan yang semestinya atau melanggar batasan kebebasannya. Sebagian pakar pendidikan berpendapat bahwa hukuman tidak diperlukan dalam pendidikan, tetapi mayoritas mereka tetap menyuruh memberikan hukuman sebagai sarana sosial masyarakat dan menjamin terciptanya kehidupan yang baik baginya pada masa mendatang. Anak yang meremehkan batasan kebebasan dan kewajibannya serta mengabaikan pemberian hukuman kepadanya justru menyeretnya pada kerusakan. Tetapi tekanan yang terlalu kaku terhadap anak juga bisa membuatnya memberontak, membangkang dan anarkis.65
Oleh karena itu, menurut Fauzil Adhim di dalam memberikan hukuman harus diperhatikan beberapa hal yang diantaranya, Usia Mencukupi, Memperhatikan jenis kesalahan, Hindari sedapat mungkin kesalahan, Hindari Perkara yang merugikan, Pukulan tidak menyakitkan, Tidak menyertai dengan ucapan buruk dan Jangan menampar muka. 67 Bila hal ini dapat dilakukan maka proses pendidikan akan berjalan sesuai harapan.




[1] Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hlm. 21

[2] Ibid., hlm. 20

[3] Ahmadi, Islam Sebagai Paradikma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta, Aditya Medi, 1992), Cet. I, hlm. 16
[4] Mahmud Ali Daud, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 10.

[5] Al Baihaqi, Al Sunan Al Kubro, Juz. X., (Beirut: Darul al-Fikr, t.th), hlm. 15.
[6] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 49.
 
[7] M Husaini, M Noor. HS. Himpunan Istialah Psikologi,(Jakarta: Mutiara, 1978), hlm. 11
[8] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 Tahun 2003, hlm. 11

[9] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Jakarta: 1989), hlm. 951.

10 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir al ayat Al-Tarbawiy), (Jakarata: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), ed.I, cet.I, hlm. 198.

11 HAMKA, Tafsir Al-Azhar,(Singapura: Pustaka Nasional, Pte.Ltd, 1999), cet. III, hlm. 7507.

12 Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), cet. II, hlm. 326.
13 Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Terjemah. TafsirAl-Maraghi, (28), (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), cet. I, hlm. 261-262.

14  Al Bukhari, Shahih Bukhari, Juz. I., (Beirut-Libanon: Darul Kutub Ilmiyah, t.th.), hlm. 413.
 
15 Baqir Sharif al Qurashi, Seni Mendidik Islam,Penerjemah: Mustofa Budi Santoso, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), Cet. I., hlm. 31.

16 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 100.
17 Heri Noer Aly dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), hlm. 142.
    
18 Ibid., hlm.143-144.

19 Muhammad Ali Quthb, Sang Anak Dalam Naungan Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Diponegoro), hlm. 10.

20 Ibid, hlm.11-13
21 Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Pradya Pramitra, 1997), Cet. I, hlm. 59.

22 Fuaduddin TM, Pengasuhan Anak Dalam Keluarga Islam, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Jender, 1999), hlm. 27.

23 Husaini, M Noor HS, Himpunan Istilah Psikologi, (Jakarta: Mutiara , 1978), hlm. 11

24 Hanna Djumhana Bustaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam, (Yogyakarta: Pestaka Pelajar, 1995), hlm. 185.
25 Subino hadi Subroto, “Perkembnagan Keagamaan Anak ditinjau dari Sudut Psikologi Agama dan Psikologi Perkembangan”, dalam Subino Hadi Subroto (eds),  Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 72-73.

26 Zakiyah Darajat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), Cet. II, hlm. 74.
27 Husein Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak, (Jakarta: Lentera, 1999), Cet. I, hlm. 3.

28 Baqir Sharif al qarasi, Seni Mendidik Islami, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), Cet. I, hlm. 57.

29 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hlm. 164.

30 Andrias Harefa, Sekolah Saja Tak Pernah Cukup, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2002), hlm. 78.
31 Baqir Sharif al Qarashi, op.cit.,  hlm. 46.

32 Ramayulis Tuanku Khatib, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001),  hlm.1.

33 St. Vembriarto, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 33.

34 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm. 471.

35 Baqir Sharif al Qarashi, (footnote, (Sosiology, hlm. 92). Dan (Family and Siciety, hlm. 15-16). ), op.cit. hlm. 46.

36 Mujiyo, Jatidiri Wanita, (Bandung: al-Bayan, 1994), hlm 138.

37 Baqir Yusuf Barnawi, Pembinaan Kehidupan Beragama Islam pada Anak, (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 16.

38 Singgih D. Gunarsa dan Yulia D. Gunarsa, Psikologi Praktis Anak, Remaja, dan Keluarga, (Jakarta: PT. Gunung Mulia, 1995), hlm. 30.

39 M. Nipon Abdullah Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), hlm. 87.

40 M. Thalib, 20 Perilaku Durhaka Orang Tua Terhadap Anak, (Bandung: Irsyad Baitussalam, 1996), hlm. 118.

41 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), Cet. V, hlm. 218.
42 Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta : Dana Bhakti Prima, 1996), hlm. 202.

43 Aziz Mushoffa, Untaian Mutiara Buat Keluarga, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2001), hlm. 88.

44 Hasan Langulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: Al Husna Zikra, 1995), hlm. 367.

45 Aziz Mushoffa, op. cit.,.  hlm. 89.

46 Abdul Hafizd, op. cit., hlm. 109.

47 Ibid.,  hlm. 110.

48 M. Nur Abdullah Hafid,  Mendidik Anak Bersama Rasulullah, (Bandung: Al Bayan, 1998), hlm. 151.

49 Imam Abu Ahmad Al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Jilid. III., (Beirut-Libanon : Darul Ma’rifah, 505 H), hlm. 68.

50 M. Nur Abdullah Hafid,  op. cit., hlm. 178.

51 Muhlisin, Pendidikan Bernasis Keluarga (Studi Tentang Pendidikan Luqman Hakim), (Semarang: Pasca Sarjana IAIN Walisongo, 2002), hlm. 17.
52 M. Nur Abdullah Hafid,  op. cit., hlm. 226.

53 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 1999), hlm. 89.

54 Asnelly Ilyas, Mendambakan Anak Saleh (Prinsip-Prinsip Pendidikan Anak dalam Keluarga), (Bandung: al Bayan, 1998), Cet. VI, hlm. 38.

55 Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Bandung: as Syifa’, 1990), hlm. 1.

56 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm.178.

57 Siti Meichati, Kepribadian Mulai Berkembang di dalam Keluarga, (Semarang: tp, 1976), hlm. 23.

58 Asnelly Ilyas, op. cit., hlm. 40.

59 Abdullah Nashih Ulwan, op. cit., hlm. 42.

60 R.I. Suhartin C, Cara Mendidik Anak dalam Keluarga Masa Kini, (Jakarta: PT. Bhratara Karya Aksara, 1999), 1999, hlm.104.

61 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 177.

62 M. Arif Hakim, Mendidik Anak Secara Bijak (Panduan Keluarga Muslim Modern), (Bandung: Marja’, 2002), hlm. 25.

63 Abdullah Nashih Ulwan,  op. cit., hlm. 123.
64 M. Nur Abdul Hafizh, op. cit., hlm. 312.

65 Haya Binti Mubarok Al Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, (Jakarta: Darul Falah, 1422), hlm. 264.

67 M. Fauzil Adhim, Bersikap Terhadap Anak (Pengaruh Perilaku Orang Tua Terhadap Kenakalan Anak), (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), Cet. II, hlm. 102.

0 Response to "KONSEP PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA MENURUT ISLAM"

Post a Comment