KONSEP PENDIDIKAN ANAK DALAM
KELUARGA MENURUT ISLAM
A. KONSEP
PENDIDIKAN ANAK
1. Pengertian Pendidikan Anak
Pengertian pendidikan anak dalam Islam erat hubungannya
dengan pendidikan Islam, sebab anak adalah obyek dalam proses pendidikan.
Sebelum melanjutkan pengertian pendidikan anak maka terlebih dahulu penulis
ketengahkan tentang pengertian pendidikan.
Petama,
dalam bahasa Arab
ada tiga istilah yang biasa digunakan untuk menyebut pendidikan. Yaitu: Tarbiyah,
Ta’lim dan Ta’dib, namun yang paling populer digunakan adalah istilah Tarbiyah.
Dari kata tarbiyaah ini, Imam Al-Baidlowi dalam tafsirnya Anwar At-Tanzil Wa
Asrar At-Ta’wil, mengemukakan pengertian tarbiyah sebagai menyampaikan
sesuatu hingga mencapai kesempurnaan.[1]
Selanjutnya
menurut An-Nahlawi, kata tarbiyah berasal dari tiga kata, yaitu raba-yarbu yang
artinya bertambah dan berkembang, rabiya-yarba dengan wazan (bentuk)
khafiya-yakhfa yang berarti tunbuh dan berkembang, rabba-yarbbu dengan
wazan (bentuk) madda yamuddu yang berarti memperbaiki, mengurusi
kepentingan, mengatur, menjaga dan memperhatikan.[2] Pendidikan menurut Ahmadi,
pendidikan adalah proses kegiatan yang dilakukan secara bertahap dan
berkesinambungan seirama dengan perkembangan peserta didik.[3]
Kata
pendidikan (education), dalam pandangan barat adalah suatu kata akar
kata yang menunjukkan aktifitas pembentukan individu melalui pembentukan
jiwanya, agar dalam hidupnya tertanam kebahagiaan, baik kepada dirinya maupun
orang lain dalam sebuah acuan karakteristik yang sempurna.[4]
Sementara menurut Mahmud Ali sendiri bahwa pendidikan adalah sebuah system
sosial yang menetapkan pengaruh adanya efektif dari keluarga dan sekolah dalam
membentuk generasi muda dari aspek jasmani, akal dan akhlak. Sehingga tercipta
generasi yang baik yang dapat hidup diligkungannya. Senada dengan pendapat ini
jalaluddin berpendapat bahwa pendidikan adalah usaha untuk membimbing dan
mengembangkan makhluk sosial secara bertahap sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangannya, jenis kelamin, bakat, tingkat kecerdasan, serta potensi
spiritual yang dimiliki masing-masing secara makimal.
Dalam
Hadis Nabi saw. Menjelaskan tentang pendidikan anak yang harus diberikan oleh
kedua orang tuanya sebagai bekal untuk masa depan. Yakni pendidikan adalah
mengajarkan anak agar dapat menulis dan membaca, berenang, memanah dan
mengajari sesuatu yang baik. Hadis tersebut adalah:
حَدَّ ثَنَا آَبُوْ القَا
سِمِ عَبْدُ الرَّ حْمَنِ بْنِ مُحَمَّدِّ بْنِ السِرَاجِ امِلَآءٌ اَنْبِآ اَبُوْ
لحَسَنِ اَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ بْنِ عَبْدُوْسٍ الطَّرَ ائِفِى اَنْبَآ
عُثْمَانُ بْنُ سَعِيْدٍ ثَنَا يَزِيْدُ بْنُ عَبْدِرَبِّهِ ثَنَا بَقِيَةٌ عَنْ عِيْسَ
بْنِ إِبْرَاهِيْمَ عَنِ الزُّهْرِى عَنْ اَبِىْ سُلَيْمَانِ مَوْلَى آَبِى
رَافِعِ قَالَ قُلْتُ يَارَسُوْلَ الله آَلِلْوَلَدِ عَلَيْنَا حَقٌّ كَحِّقِنَا
عَلَيْهِمْ قَالَ نَعَمْ حَقَّ اْلوَلَدِعَلَى اْلوَالَدِ اَنْ يُعَلِّمَهُ
اْلكِتَابَةَ وَالسِّبَاحَةَ وَالرُّمَىَ وَاَنْ يُوْرِثُهُ طَيِبًا
“Telah
menceritakan kepada kita Abu Qasim Abdurrahman bin Muhammad bin Siraj
memberikan kabar dengan mendekte Abu Hasan Ahmad bin Muhammad bin
Abdusiththara’ifi memberi kabar kepada Usman bin Said telah menceritakan kepada
kita Yazid bin Abdirrobbin telah menceritakan kepada kita Baqiyyah dari Isa bin
Ibrahim dari Zuhri dari Abi Sulaiman Maula Abi Rofi’ berkata : Katakan kepada
saya ya rasulullah: Apakah anak mempunyai hak seperti hak kita (orang tua)
kepada mereka. Nabi Menjawab: Ya, hak anak atas bapaknya adalah mengajarkan
tulis, renang, memanah dan mewarisinya dengan hal yang baik”
(HR.
Al Baihaqi).
Istilah
berenang dan memanah adalah sesuatu aktifitas yang berhubungan dengan
lingkungan alam, agar anak dapat memiliki perkembangan potensi dalam menghadapi
sebuah kehidupan. Sedangkan sesuatu yang baik adalah berkaitan dengan sifat dan
sikap dalam memahami dan mengambil sesuatu yang bermanfaat untuk hidup.
Ahmad
D Marimba, juga tidak jauh berbeda. Ia mengemukakan bahwa pendidikan adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohni siterdidik menuju kepribadian yang utama.[6]
Kepribadian utama yang dimaksud oleh marimba ini adalah sebuah kepribadian yang
mengarah pada terbentuknya kerpibadian muslim yakni sebuah pribadi yang mampu
melaksanakan fitrah manusia sebagai hamba Allah dan khalifatullah. Jadi dari
beberapa pendapat tersebut dapat kami simpulkan bahwa arti pendidikan adalah
sebuah proses untuk pendewasaan yang melibatkan berbagai media, materi, alat,
serta tujuan.
Sementara
kata “anak”, sering diartikan sebagai masa dalam perkembangan dari berakhirnya
masa bayi menjelang pubertas.[7]
Dari uraian tersebut tentu dapat dipahami bahwa pndidikan anak adalah
bimbiungan atau suatu proses yang diberikan oleh orang yang lebih dewasa (orang
tua atau guru), demi terbentuknya kedewasaan, baik emosi, mental, cara
berpikir, maupun kedewasaan fisik bagi generasi penerus, mulai dari anak keluar
dari fase bayi hingga menjelang pubertas.
2.
Dasar Dan Tujuan Pendidikan Anak
a. Dasar
Pendidikan Anak
Dalam pelaksanaan pendidikan anak di Indonesia
mempunyai dasar yang dapat ditinjau dari segi aspek berikut:
-
Dasar
yuridis atau hukum
Dasar
dari sisi ini berasal dari peraturan-peraturan perundang-undangan yang secara
langsung dapat dijadikan pedoman atau dasar dalam pelaksanaan dan pembinaan
anak, yang dapat dilihat pada undang-undang sistem pendidikan nasional (UUSPN)
No. 20 Tahun 2003 pada bab II pasal 3 yaitu, pendidikan nasional bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratif serta bertanggung
jawab.[8]
-
Dasar
religius atau agama
Adalah
dasar yang bersumber dari ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan al-Hadist. Dalam
al-Qur’an bahwa anak adalah sama dengan amanah dari Allah, yang disebutkan
dalam surat At-Tahrim ayat 6.
“wahai orang-orang yang beriman jagalah
dirimui dan keluargamu dari siksa api neraka……
Menurut tafsir
ayat-ayat pendidikan (tafsir
al-ayat Al- Tarbawih), Dr. H. Abuddin Nata. Memberikan penjelasan, bahwa “quuanfusakum” berarti membuat
penghalang datangnya siksaan api neraka, dengan cara menjauhkan perbuatan
maksiat, memperkuat diri agar tidak mengikuti hawa nafsu, dan senantiasa taat
menjalankan perintah Allah SWT. Sedangkan “wa ahlikum” adalah keluarga yang terdiri dari istri, anak, pembantu,
dan budak, diperintahkan untuk menjaganya dengan cara memberikan bimbingan,
nasehat dan pendidikan kepada mereka.10
Ayat ini
memberikan anjuran untuk memberikan pendidikan dan pengetahuan mengenai
kebaikan terhadap diri dan keluarga. Dalam tafsir HAMKA menjelaskan, bahwa
beriman saja tidaklah cukup, iman mestilah dipelihara baik untuk keselamatan
diri dan rumah tangga. Sebab dari rumah tangga itulah dimulai menanamkan iman
dan memupuk Islam. Karena dari rumah tangga itulah akan terbentuk umat. Dan
dalam umat itulah akan tegak masyarakat Islam. Masyarakat Islam adalah suatu
masyarakat yang bersamaan pandangan hidup, bersamaan penilaian terhadap alam.11
M. Quraish Shihab
juga menjelaskan berkaitan dengan surat Ah Tahrim ayat 6 tersebut. Yaitu
memberikan makna pada “memelihara keluarga” yang meliputi, istri, anak-anak dan
seluruh yang ada di bawah tanggung jawab suami, dengan membimbing dan mendidik
mereka agar semuanya terhindar dari api neraka.12
dan lagi Ahmad Mushthafa Al Maraghi juga memberikan penafsirannya berupa,
mengajarkan kepada keluarga akan perbuatan yang dapat menjaga diri melalui
nasehat dan pengajaran. Yang dimaksud al-ahl (keluarga),
disini mencakup istri, anak-anak, budak baik laki/perempuan.13
Dalam hadits nabi
disebutkan:
حَدَّ
ثَنَا عَبْدَانُ آخْبَرَنَا عَبْدُالله آَخْبَرَنَا يُوْنُسْ عَنِ الزُّهْرِيْ
قَالَ: آَخْبَرَنِي آَبُوْ سَلَمَةُ بْنُ عَبْدُالرَّحْمَنْ آَنَّ آبَا هُرَيْرَةَ
رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ,
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ, فَآَبَوَاهُ فَآَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ آَوْ يُنَصِّرَانِهِ آَوْ يُمَجِّسَانِه. (رواه البخارى) 14
“Telah menceritakan kepada kita
Abdan telah mengabarkan kepada kita Abdullah telah mengabarkan kepada kita
Yunus dari Zuhri sesungguhnya Aba Hurairah ra. Berkata : Rasulullah saw
berkata: Tiada seoarang anakpun yang lahir kecuali ia dilahirkan dalam keadaan
fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani
atau Majusi” (HR.Bukhari).
b. Tujuan
pendidikan anak
Islam
sebagai agama kesejatian bagi manusia, menempatkan masalah pendidikan yang
bertujuan memelihara dan mengembangkan potensi kesejatian manusia pada tempat
pertama dalam ajarannya, sebagaimana yang diisyaratkan dalam ajarannya yang
pertama untuk mencerdaskan manusia lewat proses baca-tulis yang akan
mengembangkan ilmunya untuk mencapai tujuan spiritual, materi, sosial, individu
dan tujuan lainnya.15
Dalam
membahas tujuan pendidikan anak, tentu tidak dapat lepas dari tujuan pendidikan
islam yaitu untuk mencapai tujuan hidup muslim. Sebagaimana ungkapan Chabib
Thoha bahwa tujuan pendidikan, secara umum adalah untuk mencapai tujuan hidup
muslim, yakni menumbuhkan kesadaran
manusia sebagai makhlik Allah SWT. Agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi
manusia yang berakhlak mulia dan beribadah kepada-Nya.16
Pendapat
senada juga dikatakan oleh Heri Noer Aly dan Munzier tentantg tujuan pendidikan
Islam dan mengkategorikannya menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum
tujuan pendidikan Islam adalah berusaha mendidik individu mukmin agar tunduk,
bertakwa, dan beribadah dengan baik kepada Allah, sehingga memperoleh
kebahagiaan di dunia dan akherat.17 Dari
tujuan umum tersebut, kemudian mereka membagi menjadi tiga tujuan khusus, yaitu:
(1) Mendidik individu yang saleh dengan memperhatikan dimensi perkembangan,
meliputi ruhaniah, emosional, sosial, intelektual dan fisik. (2) Mendidik
anggota kelompok sosial yang saleh, baik dalam keluarga, maupun masyarakat
muslim. (3) Mendidik manusia yang saleh bagi masyarakat.18
Sehingga,
dari tujuan-tujuan tersebut, diharapkan proses pendidikan dapat menciptakan
manusia yang bertakwa kepada Allah. Karena ketakwaan merupakan sumber
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan pendidikan Islam, kedamaian hidup di
dunia (bermasyarakat dan bernegara) dapat terjalin dengan baik, sehingga
membawa kebahagiaan akhirat.
3.
Pendidikan Anak Dalam Perspektif
Islam dan Psikologi.
a.
Pendidikan Anak Dalam Perspektif
Islam
Islam
tidak memandang anak dengan teropong yang sempit, Islam melihat anak secara
lebih riil dan lebih proporsional artinya, kehidupan anak tidak dipenggal,
dilepaskan dari dunianya serta dimensi dan prospeknya.19 Pertama keanakan dilihat sebagai
tahapan awal dalam perkembangan manusia, kehidupan dan perkembangan anak
dilihat dalam rintangan historisnya, maka mengenali (dan mendidik anak)
haruslah memperhatikan tahapan-tahapan perkembangan lainnya baik fisik maupun
psikis.
Kedua,
anak adalah amanah dari Allah yang dititipkan kepada orang tuanya. Istilah amanat
mengimplikasikan keharusan mengahdapi dan memperlakukannya dengan sungguh
hati-hati, teliti dan cermat. Sebagai amanat, anak harus dijaga, diraksa,
dibimbing dan diarahkan selaras dengan apa yang diamanatkan. Ketiga, anak
membawa potensi fitrah. Anak dilahirkan dalam keadaan lengkap dan tidak pula
dalam keadaan kosong. Ia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Memang ia dialahirkan
dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Akan tetapi ia telah dibekali denga
pendengaran, penglihatan dan kata hati (Af-Idah), sebagai modal yang harus
dikembangkan dan diarahkan kepada martabat manusia yang mulia, yaitu mengisi
dan menjadikan kehidupannya sebagai takwa kepada Allah. Sebagaimana dijelaskan
dalam Qur’an Surat Al-Hujarat ayat 13.
ان
اكرمكم عندالله اتقكم ان الله عليم خبير { الحجرات 13}
“Sesungguhnya orang yang paling mulia
disisi Allah, ialah orang yang paling takwa diantara kaliyan.” (Al-Hujarat ayat 13)
Bila
kedua orang tua berhasil merealisasikan tanggung jawabnya sebagai orang tua,
sebagai pendidik pertama, maka anak akan tampil dalam wajahnya yang ketiga,
yaitu anak sebagai hiasan kehidupan di dunia. 20
Salah
satu tugas utama orang tua adalah mendidik keturunannya. Dengan kata lain
relasi antara anak dan orang tua itu secara kodrati tercakup unsur pendidikan
untuk membangun kepribadian anak dan mendewasakannya. Ditambah dengan adanya
menjadi agen pertama dan terutama yang mampu dan berhak menolong keturunannya
serta wajib mendidik anak-anaknya.21
Masa
pengasuhan anak dalam Islam terhitung sejak anak dalam kandungan, orang tua
harus sudah memikirkan perkembangan anak dengan menciptakan lingkungan fisik
dan suasana batin dalam rumah tangga.22
Jadi, pendidikan anak dalam Islam adalah merupakan tanggung jawab mutlak kedua
orang tuanya sebagai amanah dari Allah agar menjadi mahluk yang beriman dan
bertakwa kepada Allah SWT.
b.
Pendidikan Anak Dalam Perspektif
Psikologi
Dalam
usaha mendidik anak tentu disesuaikan dengan usia perkembangan serta kemampuan
dari anak., sehingga banyak perbedaan pandangan tentang fase perkembangan anak.
Menurut Husaini, anak adalah masa periode perkembangan dari berakhirnya masa
bayi (0,0 – 3,0 Th), hingga menjelang pubertas.23
Sedangkan menurut Hanna Djumhana Bustaman yang dimaksud dengan anak adalah masa
antara 3,0 th sampai dengan sekitar 11,0 th yang mencakup tahapan, masa
pra-Sekolah (3,0 – 5,0 th), masa Peralihan (5,0 – 6,0 th), masa Sekolah (6,0 –
12,0 th), yang masing-masing menunjukkan tanda-tanda kekhususan sendiri.24
Subino
subroto membagi perkembangan anak menurut usia antara lain, periode pertama,
umur 0-3 th. Pada masa ini yang terjadi adalah perkembangan fisik penuh. Periode
kedua, umur 3-6 th, pada masa ini yang domonan bagi anak adalah
perkembangan bahasanya. Oleh karena itu, ia akan bertanya segala macam. Dalam
periode ini merupakan masa yang baik untuk mengajari anak dengan bahasa yang
baik dan benar. Periode ketiga, umur 6-9 th, yaitu masa social
imitation atau masa mencontoh. Pada usia ini sangat baik untyuk menanamkan
contoh-contoh teladan yang baik. Periode keempat, umur 9-12 th, periode
ini disebut second star of individualization. Tahap ini adalah tahap
individualisasi anak usia ini sering mengeluarkan back ide, tetapi sebaliknya
juga sudah timbul pemberontakan dalam arti menentang apa yuang tadinya
dipercayai sebagi nilai atau norma. Dan masa ini disebut masa kritis yang sudah
saatnya mendapatkan konfirmasi. Periode kelima, umur 12-15 th, yang
disebut social adjusment, yaitu penyesuaian diri secara sosial. Disini
sudah mulai terjadi pematangan, sudah menyadari adanya lawan jenis. Pada umur
ini juga tumbuh sikap-sikap humanistic, oleh karena itu maka pengokohan hidup
secara Islami sudah waktunya untuk diperkuat. Periode keenam, umur 15-18
th, masa penentuan hidup, mau apa dia nantinya.25
Pendidikan
anak secara umum didalam keluarga terjadi secara alamiah, tanpa disadari oleh
orang tua, namun pengaruh buruk yang kadang dilakukan oleh orang tua, akan
berakibat sangat besar, terutama tahun-tahun pertama dari kehidupan anak atau
pada masa balita (dibawah lima tahun). Pada umur tersebut pertumbuhan
kecerdasan anak masih terkait dengan panca inderanya dan belum bertumbuh
pemikiran logis atau maknawi abstrak atau dapat dikatakan bahwa anak masih
berpikir inderawi.26
Terkadang
peran orang tua dalam usahanya untuk mendidik anak sudah semaksimal mungkin dan
masih juga gagal, itu tidak jadi apa, dan orang tua tidak bisa disalahkan
begitu saja. Bukankah Tuhan sendiri telah memberi tahu keadaan kita tentang
belum pastinya pendidikan ini apalagi dengan cara yang semaunya, tanpa dengan
cara-cara yang baik, dengan cara yang baik saja terkadang masih gagal, apalagi
yang tidak memakai cara sama sekali. Meskipun berhasil hanya ada seribu satu,
dan itu adalah karena Allah SWT semata.27
Penjagaan, kasih sayang, serta kebaikan orang tua pada anak adalah bagian
penting dari entitas pendidikan guna mewujudkan kekayaan personal anak serta
menghilangkan berbagai kekcauan mental yang merupakan penyakit paling serius.28
B. PENDIDIKAN ANAK
DALAM KELUARGA MENURUT ISLAM
1.
Pendidikan Anak dalam Keluarga
Pendidikan
anak dalam keluarga menurut Islam, dalam bahasa Arab, istilah pendidikan
(education) secara leksikal berarti “Tarbiyah” dengan pengertian
mengembangkan, memelihara, mangasuh atau membesarkan.29 Sedangkan dari kutipan Andrias Harefa
dari gagasan Nurcholis Madjid dalam tulisannya tentang “Hubungan Orang Tua dan
Anak” dari pengertian tarbiyah ini mengandung pra -anggapan bahwa dalam
diri manusia terdapat bibit-bibit kebaikan. Bibit itu dapat dikembangkan (atau
dilakukan tarbiyah kepadanya), tapi dapat juga terlambat, tersumbat dan mungkin
juga mati jika tidak dikembangkan. Dalam idiom keagamaan bibit naluri kebaikan
itu disebut fitrah.30 Dari
kata fitrah inilah pendidikan diwujudkan dalam sebuah keluarga kepada anak-anak
yang lahir dari sebuah rumah tangga yang telah menikah yang terdiri dari ayah,
ibu dan anak-anaknya.
a. Pengertian
Keluarga
Keluarga
adalah salah satu elemen pokok pembangunan entitas-entitas pendidikan,
menciptakan proses-proses naturalisasi soaial, membentuk kepribadian, serta
memberi berbagai kebiasaan baik pada anak-anak yang akan terus menerus bertahan
selamanya. Dengan kata lain keluarga merupakan benih awal penyususnan
kematangan individu dan struktur kepribadian.31
Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam kehidupan manusia sebagai makhluk
sosial dan merupakan unit pertama dalam masyarakat. Dalam keluarga pulalah
proses sosialisasi dan perkembangan individu mulai terbentuk.32
Menurut
A.M. Rose, keluarga adalah kelompok sosial yang terdiri atas dua orang atau
lebih yang mempunyai ikatan darah, perkawinan atau adopsi. Sedangkan menurut
Emory S. Bogardus, dengan kata lain keluarga adalah suatu kelompok sosial
terkecil yang biasanya terdiri dari ayah, ibu, satu anak atau lebih, dimana
cinta/kasih sayang dan tanggung jawab dibagi secara adil agar anak mampu
mengendalikan diri dan menjadi orang yang berjiwa sosial. 33
b. Unsur – Unsur
Keluarga
Dalam
kamus besar Bahasa Indonesia, dikatakan bahwa keluarga adalah orang seisi rumah
yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Maksud dari uraian tersebut berarti
bahwa unsur keluarga meliputi : Ayah, Ibu dan Anak.34 Keluarga bagi para Sosiolog, adalah
sebuah ikatan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak mereka, juga
termasuk kakek-nenek serta cucu-cucu dan beberapa kerabat asalkan mereka
tinggal dirumah yang sama. Sosiologi lainnya beranggapan bahwa suatu perbikahan
tanpa adanya anak keturunan tidak dapat dianggap sebagai keluarga.35
Dalam
keluarga ayah sebagai pemimpin keluarga (rumah tangga) dan pemberi nafkah,
sedangkan ibu mengurus rumah tangga, memelihara dan mendidik anak.36
Ayah dan ibu (orang tua) memiliki kedudukan yang istimewa di mata
anak-anaknya. Orang tua memiliki tanggung jawab yang besar untuk mempersiapkan
dan mewujudkan kecerahan hidup masa depan anak, maka mereka dituntut untuk
berperan aktif.37
c. Fungsi dan
Peran Keluarga bagi Pendidikan Anak
Secara
rinci fungsi sebuah keluarga dalam pendidikan anak adalah untuk dapat
menciptakan keturunan yang baik dan membesarkan anak. Dapat memberikan kasih
sayang, dukungan dan keakraban. Untuk mengembangkan kepribadian, mengatur
pembagian tugas, menanamkan kewajiban, hak dan tanggung jawab. Dan untuk
meneruskan atau mengajarkan adat istiadat, kebudayaan, agama, sistem moral
kepada anak selaku generasi penerus dari sebuah keluarga.38
Peran
keluarga dalam pendidikan anak, merupakan kemampuan penting dalam satuan
pendidikan kehidupan keluarga (family life education). Disini peran
keluarga adalah sebagai pendidik bagi anak-anaknya yang telah lahir dari rahim
ibu yang sebelumnya dilalui dari proses perkawinan atau pernikahan yang syah.
Peran keluarga juga sebagai Dai. Maksudnya dengan metode dakwah bagi proses
pendidikan anak, dengan tanggung jawab yang kokoh dan ada keserasian hubungan
yang Islami yang sesuai dengan aturan nilai-nilai yang religius.
Istilah
pendidikan anak dalam keluarga, secara etimologi para pakar menaruh perhatian
besar untuk menerangkan. Pendidikan anak adalah badan atau organisasi termasuk
organisasi yang paling kecil sekalipun yaitu organisasi rumah tangga yang
bertujuan melakukan usaha pendidikan bagi anak-anak.39 Dalam hal ini pendidikan anak langsung
ditangani oleh pihak keluarga yang bersangkutan dan pendidik yang paling
berkompeten adalah orang tua si anak jika tidak ada udzur.40 Udzur dalam hal ini adalah bisa berupa
sakit yang parah ataupun karena meninggal dunia sehingga hak pengasuhan
berpindah pada kerabat terdekat. Namun tidak diperkenankan pada non-muslim
dalam pengasuhannya atau lembaga pendidikan anak pada sekolah agama selain
Islam, karena dapat membuka pintu kekafiran bagi anak.
Keluarga
merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang
tua bagi anak-anaknya. Orang tua sebagai pendidik kodrati, karena secara kodrat
ibu dan bapak diberikan oleh Tuhan berupa naluri sebagai orang tua.41 Pendidikan keluarga merupakan
pendidikan alamiah yang melekat pada setiap rumah tangga. Institusi keluarga
merupakan lingkungan pertama yang dijumpai anak dan yang mula-mula memberikan
pengaruh yang mendalam serta memegang peranan utama dalam proses perkembangan
anak.
Jadi
pendidikan keluarga dapat diartikan sebagai usaha dan upaya orang tua dalam
memberikan bimbingan, pengarahan, pembinaan dan pembentukan kepribadian anak
serta memberikan bekal pengetahuan terhadap anak agar dapat lebih mandiri dalam
menyesuaikan diri pada setiap realitas pendidikan yang dihadapinya kelak.
Memang dalam hal ini tidak mudah, tapi dengan kesabaran dan perhatian khusus
tentu hal ini akan tercipta dengan mudah dan menjadi kebiasaan tersendiri pada
sebuah keluarga yang mandiri dan memperhatikan perkembangan anak.
2.
Fungsi Pendidikan Anak Dalam
Keluarga
Fungsi
dari pada pendidikan anak dalam keluarga adalah akan lebih memperkuat tali
cinta dan kasih diantara kedua orang tua dengan anak. Berlangsungnya peranan
pendidikan anak dalam sebuah keluarga, akan membuat anak dapat belajar
bagaimana sesuatu itu dilihat, diraba, didengar, dicium dan dirasa. Pengalaman
ini merupakan pilar-pilar terpenting bagi pembinaan mental emosional dan mental
intelektual anak. Anak dengan pengalaman-pengalaman dalam kehidupan sehari-hari
bersama kedua orang tuanya merupakan unsur pertama dimana anak membina dan
menciptakan sebuah realitas baru bagi diri dan masa depan anak.42 Hal inilah yang akan menjadi pondasi
pertama bagi tumbuhnya kecerdasan anak dan sekaligus menjadi awal berdirinya
kemampuan berpikir bagi anak.
Dengan
memberikan pendidikan fisik pada anak yang dalam bahasa Arab disebut sebagai tarbiyah
jismiyah, orang tua akan membantu mengembangkan jasmaninya dengan kekuatan
yang diridhoi Allah. Sehingga anak kelak mampu menghadapi tantangan
kesulitan-kesulitan dalam mengisi kesempatan dan peluang pembangunan menuju
kesempurnaan hidupnya.43
Pendidikan fisik adalah awal dari pendidikan yang lain-lainnya, sebab
pendidikan lain tidak akan dapat terwujud sebelum pendidikan fisik diberikan
kepada sang anak.
Demikian
halnya dengan pemberian fasilitas pendidikan intelektual atau tarbiyah
aqliyah, maka peran orang tua akan menyiapkan anak dalam mewujudkan dan
mengembangkan kecerdasannya serta menajamkan pisau analisanya sehingga mampu
menalar sekian banyak fenomena dan realitas kehidupan untuk menghasilkan
konklusi (kesempatan) yang bermanfaat bagi dirinya dan juga masyarakat serta
negara dan agamanya.44 Daya
tangkap intelektual anak dalam menerima dan memahami sebuah realitas kehidupan
mungkin saja dapat terbangun dan terwujud setelah adanya fiasilitas-fasilitas
yang mendukung, semisal bacaan ringan, dongeng, gambar-gambar sesuatu yang
dapat merangsang pemikiran anak dan lain sebagainya yang dapat membentuk
inteletual anak.
Adapun
hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah pemberian pendidikan emosi dan
sikap sosial atau tarbiyah ruhaniyah dan tarbiyah adabiyah, dimana
orang tua membuka kesempatan pada anak untuk mengembangkan sikap perilaku yang
benar melalui teori dan praktek, agar mengahsilkan anak yang memiliki
pengetahuan agama yang fungsional dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah
di bumi.45 Dalam hal ini anak
dirangsang dengan sebuah tindakan nyata dari orang tua yang berkaitan dengan
emosi anak dan kemampuan sikap sosial anak terhadap sebuah realitas.
3.
Materi Pendidikan Anak Dalam
Keluarga
a. Pendidikan
Aqidah
Aqidah
merupakan materi pertama yang harus diberikan kepada anak dalam rangka
merealisasikan pendidikan dalam sebuah keluarga yang agamis. Materi ini
mencapai enam aspek, yaitu : Iman kepada Allah, kepada Malaikat Allah, kepada
Kitab Allah, kepada Rasul Allah, kepada hari akhir dan kepada ketentuan yang
telah dikehendaki Allah. Iman lebih awal harus sudah ditanamkan pada diri anak
sejak masa pertumbuhannya. Hal ini penting agar pertumbuhan dan perkembangannya
selalu berada di bawah kendali iman yang telah dimilikinya.46 Dengan terbentuknya aqidah pada anak
diusia dini, akan lebih mempermudah masuknya ingatan-ingatan yang agamis yang
dilakukan secara nyata oleh kedua orang tuanya.
Dalam
upaya menanamkan nilai keimanan pada diri anak memerlukan kesabaran dan
ketekunan. Iman merupakan hal yang ghaib sehingga sukar ditangkap dalam panca
indera. Sedangkan anak, menurut teori perkembangan, baru dapat berpikir secara
abstrak setelah mencapai usia kira-kira 11 tahun. Oleh karena itu penanaman
nilai-nilai keimanan pada diri anak memerlukan kesabaran dan ketekunan dari
orang tua maupun para pendidik.47
Memahami perkembangan anak dan spiritualnya dalam mewujudkan keimanan, adalah
sebuah landasan utama bagi berjalannya nilai-nilai keimanan yang telah ada dan
diketahui sesuai dengan daya tangkap anak terhadap realitas wujud keimanan
secara nyata.
Pendidikan
aqidah menjadi pendidikan dasar dan prioritas yang diberikan sejak usia
anak-anak, ketika pribadi mereka masih mudah dibentuk dan mereka masih lekat
dengan kultur kehidupan keluarga Bapak dan Ibu menjadi pilar utama dan pendidik
bagi anak-anaknya.
b. Pendidikan Ibadah
Ibadah
merupakan materi kedua yang harus diberikan kepada anak. Pendidikan ibadah
merupakan tindak lanjut dari pendidikan aqidah. Hubungan antara aqidah dan
ibadah merupakan suatu yang saling tergantung. Bentuk ibadah yang dilakukan
oleh anak merupakan cermin dari aqidah yang dimilikinya.
Masa
kecil bukanlah masa pembebanan atau pemberian kewajiban, tetapi merupakan masa
pembelajaran dan persiapan latihan dan pembiasaan, sehingga pada saat anak
memasuki usia dewasa, mereka dapat melakukan dengan penuh kesadaran dan
keikhlasan sebab sebelumnya mereka telah terbiasa melakukan ibadah tersebut.48
Pendidikan
dalam beribadah bagi anak ini terbagi dalam lima dasar pembinaan yang meliputi
pembinaan shalat, puasa, ibadah haji, zakat, dan lain-lain.
c. Pendidikan Akhlak
Akhlak
merupakan materi ketiga yang harus diberikan kepada anak sejak usia dini.
Akhlak merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari akidah dan ibadah,
karena akhlak adalah buah dari iman dan ibadah seseorang, orang yang beriman
akan memiliki akhlak yang baik. Oleh karena itu iman seseorang dianggap tidak
sempurna apabila akhlaknya buruk atau tercela.
Akhlak
berasal dari bahasa Arab “Khuluk” yang dapat diartikan dengan kebiasaan,
perangai dan tabiat. Al-Ghazali menyatakan bahwa akhlak adalah sifat yang sudah
ada dalam jiwa yang mendorong lahirnya suatu perbuatan tanpa melaui
pertimbangan fikiran terlebih dahulu.49
Akhlak
sangat berbeda dengan perangai atau tabiat yang emang sudah ada pada
masing-masing orang yang biasa disebut dengan watak, yang memang sudah ada dan
tak dapat diubah. Sedangkan akhlak adalah perangai atau sikap yang dapat dibina
dan diciptakan dalam diri masing-masing pribadi, sehingga dapat dirubah melalui
proses pendidikan.50 Oleh
karena itu pendidikan akhlak sangat perlu bagi anak, agar anak mempunyai akhlak
yang baik.
d. Pendidikan
Jasmani
Pada
saat dilahirkan, fisik anak dalam keadaan sangat lemah. Akan tetapi seiring
dengan bertambahnya usia anak, maka fisiknya secara berangsur-angsur tumbuh
besar dan kuat. Agar supaya pertumbuhan tersebut dapat berjalan dengan baik dan
terarah, maka jasmani anak perlu dilatih dengan hal-hal yang mendukung
pertumbuhannya tersebut.
Pendidikan
jasmani disini tidak hanya dimaksudkan untuk membentuk tubuh semata, tetapi
menyangkut juga potensi yang dimiliki oleh jasmani yang dapat dimanifestasikan
dalam perilaku sehari-hari. Kebutuhan jasmani yang bersifat material memang
harus diperhatikan dan diusahakan agar dapat dipenuhi semaksimal mungkin. Akan
tetapi potensi yang ada dalam tubuh anak juga harus dapat perhatian dengan
sungguh-sungguh pula dengan demikian materi pendidikan jasmani yang diberikan
kepada anak harus dapat mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan
psikis anak secara terpadu.51
Selain
itu anak harus dibiasakan dengan menjaga kesehatan tubuhnya, hal ini perlu
dibiasakan kepada anak sejak kecil. Pembiasaan ini sangat perlu agar anak
terbiasa hidup bersih dan sehat. Kebersihan diri dan lingkungan akan dapat
mempengaruhi kesehatan anak. Sedangkan kesehatan anak akan sangat mempengaruhi
pertumbuhan dalam fisiknya.
e. Pendidikan Akal
Akal
merupakan posisi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Akal bukanlah
barang jadi yang dibawa oleh anak sejak lahir. Akal masih merupakan potensi
yang akan berkembang secara bertahap, mengikuti perkembangan anak. Oleh karena
itu akal perlu dididik dengan sebaik-baiknya. Pendidikan akal harus diarahkan
untuk mengembangkan kemampuan akal (berpikir) anak seluas-luasnya. Arah ini
penting agar anak mengerti dan memahami kekuasaan Allah SWT. Melalui penelitian
terhadap fakta alam yang ada di sekitarnya. Untuk itu materi pendidikan akal
yang diberikan kepada anak harus disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan
dan kemampuan akal anak.
Bermain
sebagai salah satu aktivitas fisik merupakan suatu naluri yang dimiliki oleh
setiap anak. Naluri tersebut akan berkembang secara alami mengikuti
perkembangan usia dan tubuh anak. Oleh karenanya anak harus diberi kesempatan
untuk bermain-main dengan kawan-kawan sebayanya. Akan tetapi anak juga jangan
dibiarkan dihabiskan waktu hanya untuk bermain-main dan melupakan tugas
lainnya.52
Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Bruner “ bermain adalah aktivitas yang serius”
selanjutnya ia menjelaskan bahwa bermain memberikan kesempatan bagi banyak
bentuk belajar, dua diantaranya adalah pemecahan masalah dan kreatifitas, serta
masuknya informasi bagi bayi mengenai lingkungannya, orang-orang dan
benda-benda di sekitarnya. Seperti ditunjukkan oleh Eckorman dan Rhingold “Anak
belajar mengenai dunia manusia dan benda melalui penjelajahan (eksplorasi), dan
salah satu sumbangan yang terpenting adalah mendapatkan kegembiraan dalam
bermain.53
4.
Metode Pendidikan Anak Dalam
Keluarga
Dalam mempengaruhi proses
sosialisasi menuju perkembangan kepribadian anak yang mendapatkan pendidikan,
ada beberapa metode yang dapat dipergunakan oleh orang tua dalam mendidik
anak-anaknya. Diantara metode yang harus diterapkan dalam mendidik anak dalam
keluarga adalah :
a.
Pendidikan dengan Keteladanan
Metode ini adalah cara memberikan
pendidikan dan pengajaran dengan cara memberikan contoh teladan yang baik
kepada anak agar ditiru dan dilaksanakan.54
Keteladanan dalam pendidikan adalah metode influentif yang paling meyakinkan
keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk anak di dalam membentuk
pribadi yang bermoral, sosial, dan spiritual. Dengan contoh yang terbaik dalam
pandangan anak, yang akan ditiru dalam tindak dan tanduknya, dan tata
santunnya, disadari ataupun tidak, bahkan tercetak dalam jiwa dan perasaan anak
suatu gambaran pendidik tersebut, baik dalam ucapan ataupun perbuatan.55
Pendidikan dengan teladan berarti
pendidikan dengan memberi contoh, baik berupa tingkah laku, sifat cara
berpikir, dan sebagaiannya.56 Dalam
hal belajar, anak didik umumnya lebih mudah menangkap yang kongkrit bila
dibanding dengan yang abstrak. Keteladanan dalam pendidikan merupakan bagian
dari sejumlah metode paling tepat dan efektif dalam mempersiapkan dan membentuk
anak didik secara moral, spiritual dan sosial. Sebab, seorang pendidik
merupakan contoh ideal dalam pandangan anak, yang tingtkah laku dan sopan
santunnya akan ditiru. Disadari atau tidak, bahkan semua keteladanan itu akan
melekat pada diri dan perasaannya, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, hal
yang bersifat material, inderawi maupun sepiritual.
Metode keteladanan memerlukan sosok
pribadi yang secara visual dapat dilihat, diamati, dan dirasakan sendiri oleh
anak, sehingga anak ingin menirunya. Disinilah timbul proses yang dinamakan
identifikasi, yaitu anak secara aktif berusaha menjadi seperti orang tuanya di
dalam nilai kehidupan dan kepribadiannya.57
Maka dalam hal ini orang tua sebagai orang pertama yang dilihat oleh anak,
orang tua dituntut untuk menerapkan segala perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya,
baik akhlak ataupun perbuatannya. Sebab anak selalu mengawasi dan memperhatikan
apa yang dilakukan oleh orang tuanya sepanjang waktu.
Dalam praktek pendidikan dan
pengajaran, metode ini dilaksnakan dalam dua cara, yaitu cara langsung (direct)
dan cara tidak langsung (indirect). Secara langsung adalah orang tua sebagai pendidik
harus benar-benar menjadikan dirinya sebagai contoh teladan yang baik terhadap
anak. Sedangkan secara tidak langsung adalah melalui cerita dan riwayat para
nabi, kisah-kisah orang besar dan pahlawan. Melalui kisah ini diharapkan anak
akan menjadi tokoh-tokoh yang dininginkan dan sebagai uswatun hasanah.58
b.
Pendidikan dengan Pembiasaan
Dalam syariat Islam, bahwa anak
diciptakan dengan fitrah tauhid yang murni. Agama yang lurus dan iman kepada
Allah, tetapi hal tersebut tidak akan muncul tanpa melalui pendidikan yang baik
dan tepat. Dari sini peranan pembiasaan, pengajaran dan pendidikan dalam
perkembangan anak akan menemukan tauhid yang murni serta keutamaan budi pekerti
yang baik.59 Membiasakan artinya
membuat anak menjadi terbiasa akan sikap atau perbuatan tertentu. Pembiasaan
dapat menanamkan sikap dan perbuatan yang kita kehendaki, hal demikian
dikarenakan adanya pengulangan-pengulangan sikap atau perbuatan, sehingga sikap
dan perbuatan tersebut akan tertanam mendarah daging sehingga seakan-akan merupakan
pembawaan.60
Segala perbuatan atau tingkah laku
anak adalah berawal dari kebiasaan yang tertanam dalam keluarga misalnya saja
kebiasaan cara makan, minum, berpakaian dan bagaimana pula cara mereka
burhubungan dengan sesama manusia. Semua itu terbentuk pada tahap perkembangan
awal anak yang berada dalam keluarga. Maka perlunya tokoh identifikasi, yang
secara tidak sadar anak akan mengambil over sikap, norma, nilai, tingkah laku
dan sebagainya dari tokoh identifikasi tersebut.
Kita ketahui anak kecil belum kuat
ingatannya, ia cepat melupakan apa yang sudah baru saja terjadi. Perhatikan
anak akan mudah beralih kepada hal-hal yang baru, yang lain yang disukainya.
Oleh karena itu, menurut Ngalim Purwanto ada beberapa syarat pembiasaan itu
dapat lekas tercapai dan baik hasilnya, yaitu: Pertama, Mulailah
pembiasaan itu sebelum terlambat selagi dapat. Kedua, Pembiasaan itu
hendaklah terus menerus dijalankan secara teratur sehingga akhirnya menjadi
kebiasaan yang otomatis. Ketiga, Pendidikan hendaklah konsekuen,
bersikap tegas dan tetap teguh terhadap pendirian yang telah diambilnya. Keempat,
Pembiasaan yang semula mekanistis itu harus menjadi pembiasaan yang
disertai kata hati anak itu sendiri.61
c.
Pendidikan dengan Nasehat
Penanaman nilai-nilai keimanan, moral
atau akhlak serta pembentukan sikap dan perilaku anak merupakan proses yang
sering menghadapi berbagai hambatan atau tantangan. Terkadang anak-anak merasa
jenuh, malas dan tidak tertarik terhadap apa yang diajarkan, bahkan mungkin
menentang dan membangkang. Sebagai orang tua sebaiknya memberikan perhatian,
melakukan dialog dan berusaha memahami persoalan-persoalan anak dengan
memberikan nasehat dan pelajaran yang dilakukan pada waktu yang tepat agar anak
dapat menerima dengan baik dan dengan senang hati. Dengan demikian proses
pendidikan akan berjalan sesuai dengan harapan. Ada tiga waktu tepat untuk
dapat memberikan nasehat pada anak-anak yang telah diajarkan oleh Nabi SAW
kepada umatnya dalam mendidik anak, yakni waktu dalam perjalanan, waktu makan
dan waktu anak sedang sakit.
Dalam memberikan nasehat sebagai
orang tua harus dengan bijak dan jangan sampai “lalai”. Lalai yang dimaksud
adalah tidak bisa memberikan nasehat secara bijak, adil dan proporsional. Jika
anak sudah diberi pengertian dan nasehat secara baik dan bijak oleh orang tua,
akan tetapi tetap bersikeras hati dan tetap pada pendiriannya dan merugikan
orang lain, maka orang tua terpaksa melakukan teguran keras dan bahkan
memberikan hukuman, namun hukuman yang mendidik.62
d.
Pendidikan dengan Latihan dan Praktikum
Latihan dan praktikum merupakan
metode yang sangat penting dalam pendidikan Islam di lingkungan keluarga,
dengan adanya latihan dan praktikum ini anak akan dapat melakukan amal
keagamaan yang sesuai dengan tuntunan yang telah ditetapkan agama. Tehnik yang
bersifat praktek dan amaliah ini merupakan hal yang pokok dalam Al-Qur’an dan
syariat Islam pada umumnya, semisal Sholat, puasa, zakat, haji, shodaqoh, jihat
dan sebagainya.
e.
Pendidikan dengan perintah dan larangan
Perintah dan larangan dapat pula
dilakukan asal dalam batas kewajaran terutama dalam melaksanakan ibadah dan
akhlak yang terpuji. Hal ini dapat dilakukan dengan menunjukkan mana itu
perintah yang harus dilakukan dan mana larangan yang harus ditinggalkan kepada
anak.
f.
Pendidikan dengan Perhatian
Pendidikan dengan perhatian adalah
sebuah cara dengan mencurahkan, memperhatikan dan senantiasa mengikuti
perkembangan anak dalam pembinaan akidah dan moral, spiritual dan sosial, di
samping selalu bertanya tentang situasi pendidikan jasmani dan daya hasil
ilmiyahnya.63
Pendidikan dengan perhatian dan
pengawasan sangat diperlukan setiap anak. Namun anak perlu diberi kebebasan
apabila anak tumbuh semakin besar, maka pengawasan terhadapnya berangsur-angsur
dikurangi, sebab tujuan pendidikan adalah ingin membentuk anak yang pada
akhirnya dapat mandiri dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
g.
Pendidikan melalui pemberian penghargaan dan hukuman
Menanamkan nilai-nilai moral
keagamaan, sikap dan perilaku juga memerlukan pendekatan atau metode yaitu
dengan memberikan penghargaan dan hukuman. Penghargaan perlu diberikan kepada
anak yang memang harus diberi penghargaan, begitupun sebaliknya. Penghargaan
sering disebut dengan hadiah ataupun ganjaran. Metode ini secara tidak langsung
menanamkan etika perlunya menghargai orang lain, misalnya dengan berucap terima
kasih.
Dalam sebuah pujian terdapat satu
kekuatan yang dapat mendorong anak untuk melakukan kebaikan. Karena dengan
pujian, anak merasakan bahwa perbuatan baik yang telah ia lakukan, membuatnya
semakin dihormati dan disayang orang lain terutama oleh orang tuanya sendiri.64
Namun apabila pemberian penghargaan tersebut tidak sesuai dengan keadaan
maka akan merusak kepribadian anak tersebut.
Selain menggunakan hadiah atau
ganjaran dalam mendidik anak juga menggunakan hukuman. Hukuman merupakan cara
terakhir oleh pendidik manakala anak menyimpang dari jalan yang semestinya atau
melanggar batasan kebebasannya. Sebagian pakar pendidikan berpendapat bahwa
hukuman tidak diperlukan dalam pendidikan, tetapi mayoritas mereka tetap
menyuruh memberikan hukuman sebagai sarana sosial masyarakat dan menjamin
terciptanya kehidupan yang baik baginya pada masa mendatang. Anak yang
meremehkan batasan kebebasan dan kewajibannya serta mengabaikan pemberian
hukuman kepadanya justru menyeretnya pada kerusakan. Tetapi tekanan yang
terlalu kaku terhadap anak juga bisa membuatnya memberontak, membangkang dan
anarkis.65
Oleh karena itu, menurut Fauzil
Adhim di dalam memberikan hukuman harus diperhatikan beberapa hal yang diantaranya,
Usia Mencukupi, Memperhatikan jenis kesalahan, Hindari sedapat mungkin
kesalahan, Hindari Perkara yang merugikan, Pukulan tidak menyakitkan, Tidak
menyertai dengan ucapan buruk dan Jangan menampar muka. 67 Bila hal ini dapat dilakukan maka proses
pendidikan akan berjalan sesuai harapan.
[1]
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,
(Jakarta: Gema Insani, 1995), hlm. 21
[2] Ibid.,
hlm. 20
[3]
Ahmadi, Islam Sebagai Paradikma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta, Aditya
Medi, 1992), Cet. I, hlm. 16
[4]
Mahmud Ali Daud, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1995), hlm. 10.
[5] Al
Baihaqi, Al Sunan Al Kubro, Juz. X., (Beirut: Darul al-Fikr, t.th), hlm.
15.
[6]
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), hlm. 49.
[7] M
Husaini, M Noor. HS. Himpunan Istialah Psikologi,(Jakarta: Mutiara,
1978), hlm. 11
[8]
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 Tahun 2003, hlm. 11
[9]
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Jakarta: 1989), hlm. 951.
10 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat
Pendidikan (Tafsir al ayat Al-Tarbawiy), (Jakarata: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), ed.I, cet.I, hlm. 198.
11 HAMKA, Tafsir Al-Azhar,(Singapura:
Pustaka Nasional, Pte.Ltd, 1999), cet. III, hlm. 7507.
12 Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,
Pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), cet.
II, hlm. 326.
13 Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Terjemah.
TafsirAl-Maraghi, (28), (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), cet. I, hlm.
261-262.
14
Al Bukhari, Shahih Bukhari, Juz. I., (Beirut-Libanon: Darul Kutub
Ilmiyah, t.th.), hlm. 413.
15 Baqir Sharif al Qurashi, Seni
Mendidik Islam,Penerjemah: Mustofa Budi Santoso, (Jakarta: Pustaka
Zahra, 2003), Cet. I., hlm. 31.
16 Chabib Thoha, Kapita Selekta
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 100.
17 Heri Noer Aly dan Munzier, Watak
Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), hlm. 142.
18 Ibid., hlm.143-144.
19 Muhammad Ali Quthb, Sang Anak Dalam
Naungan Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Diponegoro), hlm. 10.
20 Ibid, hlm.11-13
21 Kartini Kartono, Tinjauan Holistik
Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Pradya Pramitra, 1997), Cet.
I, hlm. 59.
22 Fuaduddin TM, Pengasuhan Anak Dalam
Keluarga Islam, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Jender, 1999), hlm. 27.
23 Husaini, M Noor HS, Himpunan
Istilah Psikologi, (Jakarta: Mutiara , 1978), hlm. 11
24 Hanna Djumhana Bustaman, Integrasi
Psikologi Dengan Islam, (Yogyakarta: Pestaka Pelajar, 1995), hlm. 185.
25 Subino hadi Subroto, “Perkembnagan
Keagamaan Anak ditinjau dari Sudut Psikologi Agama dan Psikologi Perkembangan”,
dalam Subino Hadi Subroto (eds), Keluarga
Muslim dalam Masyarakat Modern,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm.
72-73.
26 Zakiyah Darajat, Pendidikan Islam
dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), Cet. II, hlm. 74.
27 Husein Mazhahiri, Pintar Mendidik
Anak, (Jakarta: Lentera, 1999), Cet. I, hlm. 3.
28 Baqir Sharif al qarasi, Seni
Mendidik Islami, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), Cet. I, hlm. 57.
29 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia,
(Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hlm. 164.
30 Andrias Harefa, Sekolah Saja Tak
Pernah Cukup, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2002), hlm. 78.
31 Baqir Sharif al Qarashi, op.cit., hlm. 46.
32 Ramayulis Tuanku Khatib, Pendidikan
Islam dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hlm.1.
33 St. Vembriarto, Sosiologi
Pendidikan, (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 33.
34 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm. 471.
35 Baqir Sharif al Qarashi, (footnote,
(Sosiology, hlm. 92). Dan (Family and Siciety, hlm. 15-16).
), op.cit. hlm. 46.
36 Mujiyo, Jatidiri Wanita, (Bandung:
al-Bayan, 1994), hlm 138.
37 Baqir Yusuf Barnawi, Pembinaan
Kehidupan Beragama Islam pada Anak, (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 16.
38 Singgih D. Gunarsa dan Yulia D.
Gunarsa, Psikologi Praktis Anak, Remaja, dan Keluarga, (Jakarta: PT.
Gunung Mulia, 1995), hlm. 30.
39 M. Nipon Abdullah Halim, Anak Saleh
Dambaan Keluarga, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), hlm. 87.
40 M. Thalib, 20 Perilaku Durhaka
Orang Tua Terhadap Anak, (Bandung: Irsyad Baitussalam, 1996), hlm. 118.
41 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2001), Cet. V, hlm. 218.
42 Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu
Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta : Dana Bhakti Prima, 1996),
hlm. 202.
43 Aziz Mushoffa, Untaian Mutiara Buat
Keluarga, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2001), hlm. 88.
44 Hasan Langulung, Manusia dan
Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: Al Husna
Zikra, 1995), hlm. 367.
45 Aziz Mushoffa, op. cit.,. hlm. 89.
46 Abdul Hafizd, op. cit., hlm.
109.
47 Ibid., hlm. 110.
48 M. Nur Abdullah Hafid, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, (Bandung:
Al Bayan, 1998), hlm. 151.
49 Imam Abu Ahmad Al Ghazali, Ihya’
Ulumuddin, Jilid. III., (Beirut-Libanon : Darul Ma’rifah, 505 H), hlm. 68.
50 M. Nur Abdullah Hafid, op. cit., hlm. 178.
51 Muhlisin, Pendidikan Bernasis
Keluarga (Studi Tentang Pendidikan Luqman Hakim), (Semarang: Pasca Sarjana
IAIN Walisongo, 2002), hlm. 17.
52 M. Nur Abdullah Hafid, op. cit., hlm. 226.
53 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi
Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 1999), hlm. 89.
54 Asnelly Ilyas, Mendambakan Anak
Saleh (Prinsip-Prinsip Pendidikan Anak dalam Keluarga), (Bandung: al Bayan,
1998), Cet. VI, hlm. 38.
55 Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman
Pendidikan Anak dalam Islam, (Bandung: as Syifa’, 1990), hlm. 1.
56 Hery Noer
Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm.178.
57 Siti Meichati, Kepribadian Mulai
Berkembang di dalam Keluarga, (Semarang: tp, 1976), hlm. 23.
58 Asnelly Ilyas, op. cit., hlm.
40.
59 Abdullah Nashih Ulwan, op.
cit., hlm. 42.
60 R.I. Suhartin C, Cara Mendidik Anak
dalam Keluarga Masa Kini, (Jakarta: PT. Bhratara Karya Aksara, 1999), 1999,
hlm.104.
61 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan
Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 177.
62 M. Arif Hakim, Mendidik Anak Secara
Bijak (Panduan Keluarga Muslim Modern), (Bandung: Marja’, 2002), hlm. 25.
63 Abdullah Nashih Ulwan, op. cit., hlm. 123.
64 M. Nur Abdul Hafizh, op. cit.,
hlm. 312.
65 Haya Binti Mubarok Al Barik, Ensiklopedi
Wanita Muslimah, (Jakarta: Darul Falah, 1422), hlm. 264.
67 M. Fauzil Adhim, Bersikap Terhadap
Anak (Pengaruh Perilaku Orang Tua Terhadap Kenakalan Anak), (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1997), Cet. II, hlm. 102.
0 Response to "KONSEP PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA MENURUT ISLAM"
Post a Comment