HARIMAU MILIK KYAI
Oleh : Prof. DR. Imam Suprayogo
Oleh : Prof. DR. Imam Suprayogo
Perbincangan
berikut ini sebenarnya sangat sederhana, yaitu trekant dengan urusan antar
pribadi, antar kelompok, aliran, atau paham keagamaan yang berbeda. Hanya
karena berbeda pandangan, keyakinan, atau pemahaman, masing-masing saling
menyalahkan, mengolok, menghujat, dan mengklaim bahwa pandangannya sendiri yang
benar. Menyangkut keyakinan atau kepercayaan, sebenarnya adalah urusannya
masing-masing. Orang lain tidak perlu memaksa dan ikut campur.
Namun
rupanya, sekalipun mengetahui bahwa agama saja tidak boleh dipaksakan, ternyata
antar orang yang berkeyakinan berbeda masih terjadi saling menyalahkan,
merendahkan, dan bahkan juga menghujat. Hujatan itu bahkan juga dilakukan
ketika mereka tidak saling sedang bertemu. Terasa aneh, menghujat orang lain,
tetapi mereka yang dihujat belum tentu mendengarnya. Mereka mengira bahwa
dengan menghujat itu adalah bagian dari bentuk pembelaan terhadap keyakinan
atau agamanya sendiri.
Padahal
keyakinan agama sebenarnya tidak perlu dibela dengan cara sebagaimana
disebutkan itu. Agama bukan bahan perdebatan atau bahan perbantahan. Agama
bukan medan untuk mencari kemenangan dan sebaliknya, mengalahkan orang lain.
Agama adalah petunjuk tentang cara menjalani hidup agar seseorang menjadi
bahagia, selamat, dan memperoleh kedamaian.
Orang
yang sedang menghujat orang lain, dan apalagi orang yang dimaksud tidak hadir
dan tidak mendengarkan hujatan itu, maka sebenarnya yang menghujat itulah yang
akan merasakan penderitaan sendiri. Sementara itu, mereka yang dihujat oleh
karena tidak mengetahuinya, maka tidak akan merasakan apa-apa. Sebaliknya,
mereka yang menghujat setidaknya akan capek, dan bahwa yang jelas, hati yang
bersangkutan dengan sendirinya akan merasa sakit.
Antar
keyakinan dan bahkan antar agama yang berbeda tidak perlu diadu atau dicari
siapa yang menang dan siapa pula yang seharusnya menanggung kekalahan. Agama
adalah menyangkut persoalan hati, bukan persoalan akal, dan apalagi sebatas
menyangkut kekuatan fisik. Memang disebutkan bahwa, agama adalah akal, tetapi
maksud kalimat itu bukan agar dengan beragama kemudian melakukan perdebatan
hingga saling menjatuhkan. Agama mengajarkan bahwa manakala di antara sesama
terlibat pedebatan dan perbantahan, dan ternyata tidak menemukan penyelesaian,
maka semua pihak supaya segera kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.
Beragama
sebagai cara untuk mendapatkan keselamatan, kebahagian, dan kedamaian akan
menjadi kontraproduktif manakala adanya perbedaan melahirkan pertikaian,
konflik, saling menjatuhkan, dan apalagi perang. Agama hadir bukan untuk saling
bermusuhan, tetapi adalah agar umat manusia saling mengenal, memahami,
menghargai, saling sayang menyayangi, dan berakhir menjadi saling tolong
menolong.
Pada
kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari, komunitas beragama yang berlainan
keyakinannya, sama-sama saling membuat tembok pemisah. Seolah-olah antar mereka
yang berbeda tidak boleh saling berkomunikasi atau berhubungan. Bahkan
sebaliknya, seolah-olah dengan alasan perbedaan itu, dibolehkan saling
mengolok-olok, menghujat dan menjatuhkan. Padahal bukankah, agama hadir adalah
untuk keselamatan, kedamaian dan kebahagiaan itu.
Mengujat
dan mencaci maki adalah bukan watak agama. Dalam sejarahnya, para utusan Tuhan
yang disebut para Nabi dan Rasul, tidak ada yang menjadi pelopor saling
menghujat itu. Semua nabi dan rasul memiliki sifat terpuji, mengajarkan tentang
kasih sayang, saling menghargai, dan bertolong menolong. Jika dalam suatu
sejarah terdapat nabi terlibat peperangan, maka peperangan itu jika dikaji
secara mendalam, adalah dilakukan dalam maksud untuk membela diri. Oleh karena
diperangi, maka ia menyelamatkan diri dengan cara berperang itu.
Sesuatu
yang perlu dicatat dalam hal berperang adalah bahwa, ternyata perang fisik itu
dipandang kecil, sementara itu yang dinilai besar adalah justru perang melawan
diri sendiri. Sedangkan yang dimaksud perang melawan diri sendiri adalah perang
melawan hawa nafsu. Menghujat, mengolok-olok, merendahkan, menjatuhkan atau mengalahkan
pihak lain, adalah bagian dari nafsu yang selalu timbul dari dirinya sendiri.
Kekuatan itu disebut nafsu yang seharusnya diperangi oleh yang bersangkutan
sendiri. Sebab mengikuti hawa nafsu hanya akan merugikan dan bahkan menyakitkan
dirinya sendiri. Wallahu a’lam
sumber : https://www.facebook.com/notes/imam-suprayogo-satu
0 Response to "HARIMAU MILIK KYAI"
Post a Comment