GURU BERMODAL PELUIT
HARIAN
ini memuat berita yang mengejutkan, yakni seorang guru olahraga di Pemalang
mengamuk, merusak kantor desa dan melukai beberapa orang (SM, 20/8/14). Guru
tersebut marah karena mendapat hukuman dari kepala sekolah, tidak diberi jam
mengajar karena pelanggaran yang dilakukan, absen tidak mengajar selama satu
semester.
Hukuman itu
bukan menyadarkan melainkan justru emosi hendak menghajar atasannya tersebut.
Merasa terancam, kepala sekolah itu bersembunyi di balai desa tapi tetap
ketahuan anak buah yang tengah mencarinya. Saya yakin, setelah kejadian itu
guru tersebut menyesal karena sudah melakukan tindak kriminal yang jauh dari
sikap pendidik yang seharusnya menjadi anutan bagi anak didiknya dan juga
masyarakat.
Apalagi
kasus tersebut diberitakan media sehingga menjadikan namanya ’’terkenal’’
sebagai pelaku kekerasan. Siapa pun yang mengedepankan moral, hukuman
masyarakat jauh lebih berat dibanding hukuman badan harus mendekam di tahanan.
Bukan hanya dia, rekan-rekan sejawatnya pasti menyesal karena tindakan tersebut
mencoreng muka para guru, khususnya guru olahraga. Padahal dalam olahraga
terdapat nilai-nilai luhur kemanusiaan seperti kejujuran, disiplin, taat
aturan, menghargai orang lain, kompetisi yang fair dan kerja keras. Nilai-nilai
inilah yang harus ditanamkan kepada para siswa melalui pelajaran olahraga, tapi
sebelum disampaikan kepada para siswa, guru harus menjadi teladan, karena
pendidikan yang baik melalui contoh.
Bagaimana
orang yang oleh Iwan Fals digambarkan sebagai Oemar Bakri bisa
mengajarkan disiplin kepada siswanya kalau dia sendiri kerap terlambat mengajar,
bahkan meninggalkan tugasnya. Kalau pendidikan olahraga dilaksanakan
dengan baik, bisa menjadi bagian penting dari pendidikan karakter yang kini
digalakkan dalam dunia pendidikan. Sayang, olahraga tidak bisa memberikan
kontribusi yang diharapkan, bukan karena kandungan nilai-nilai yang terkandung
dalam olah raga, tapi karena para praktisinya yang mengabaikan nilai
tersebut.
Tidak perlu
disesali karena kondisinya seperti itu, guru olahraga kerap dicibir, bahkan
oleh rekan sendiri. Saya bisa merasakan betapa sakitnya ketika rekan sesama
guru mengatakan, modal guru olahraga hanya peluit, anak didik disuruh lari dan
bermain, sementara guru berteduh di bawah pohon.
Suasana
pelajaran olahraga akan berbeda kalau guru ikut jogging bersama muridnya,
memberi contoh lay up dalam basket, memberi contoh renang gaya dada, contoh
dribbling dalam sepakbola, bagaimana posisi tangan saat smes dalam voli atau
start yang baik dan benar dalam lari sprint. Selain bisa ditiru anak didik,
contoh-contoh tersebut bisa menambah kewibawaan para guru di hadapan anak
didiknya.
Sekaligus
Motivator
Tindak
kekerasan guru tersebut seakan-akan membenarkan anggapan internal tentang sikap
guru olahraga yang seenaknya sendiri, tidak patuh aturan, usai mengajar
langsung pergi. Jam pelajaran olahraga, terutama praktik biasanya berakhir
sekitar pukul 10.00, setelah itu tidak ada kegiatan lagi maka banyak guru
olahraga meninggalkan sekolah. Padahal, waktu tersebut bisa dimanfaatkan untuk
meningkatkan kualitas, misalnya membaca atau menulis.
Dalam
Kurikulum 2013, waktu pelajaran olahraga ditambah menjadi 3 jam dari sebelumnya
hanya 2 jam, ada 1 jam yang bisa digunakan untuk pelajaran di kelas. Kesempatan
inilah yang harus dimanfaatkan untuk menanamkan nilai-nilai olahraga dan
kesehatan kepada anak didik mengingat era sekarang guru bukan hanya pengajar
melainkan juga motivator bagi anak didik. Untuk bisa menjadi pendidik yang baik
sekaligus motivator, bekal yang diperoleh saat kuliah tidaklah cukup, harus
ditambah pengetahuan baru.
Banyak media
yang bisa dimanfaatkan untuk meng-up date pengetahuan, bukan hanya melalui
pengetahuan formal, bisa juga melalui usaha mandiri semisal membaca. Penyakit
para guru dan kebanyakan masyarakat kita adalah malas membaca, seolah-olah
pengetahuan yang diperoleh di bangku sekolah dan kuliah sudah cukup, apalagi
dengan modal ”alakadarnya” itu sudah mendapat pekerjaan.
Bahkan
ketika diberlakukan sertifikasi, tidak banyak memberi perubahan pada perilaku
guru untuk meningkatkan kualitasnya, padahal mereka dituntut untuk membuat
penelitian kemudian menuliskannya dalam sebuah karya ilmiah. Maka tak heran
bila sertifikasi guru tidak berhasil meningkatkan profesionalisme guru karena
hambatan utama mereka adalah membuat karya tulis. Tak heran saat awal
sertifikasi banyak orang menangguk keuntungan dari biro jasa penelitian
tindakan kelas (TPK), karena banyak guru yang minta dibuatkan PTK sebagai
syarat sertifikasi agar mendapat tunjangan profesi.
Aksi
kekerasan guru olah aga di Pemalang tersebut hendaknya menjadi pemicu kesadaran
para pendidik bahwa mereka adalah teladan bagi anak didiknya. Tiap tingkah laku
dan ucapan harus dipertimbangan dengan sungguh-sungguh karena akan berdampak
luas. Cukup lah peristiwa itu menjadi yang terakhir, jangan ada lagi guru
yang mencoreng profesinya. (10)
Sumber http:/suaramerdeka.com
0 Response to "GURU BERMODAL PELUIT"
Post a Comment