TERPINGGIRKAN ATAU MINGGIR SENDIRI
Oleh : Prof. DR. Imam Suprayogo
Suatu saat, saya mendapatkan tilpun dari seorang teman. Melalui
tilpun itu, Ia mengaku gelisah ketika memikirkan keadaan umat Islam. Disebutkan
bahwa umat Islam di mana-mana terpinggirkan, baik secara politik, sosial,
ekonomi, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Melihat kenyataan itu, Ia menyatakan
keprihatinannya dan menurutnya harus ada langkah-langkah strategis agar umat
Islam segera keluar dari persoalan dimaksud.
Pembicaraan melalui tilpun yang waktunya sangat singkat
menjadikan pembicaraan itu tidak jelas, siapa sesungguhnya yang dimaksudkan
dengan umat Islam itu. Penyebutan umat Islam seolah-olah hanya sebagian kecil
dari bangsa ini. Padahal sebenarnya, adalah justru bagian yang terbanyak. Sebab
mayoritas bangsa ini adalah pemeluk Islam. Oleh karena itu memilkirkan umat
Islam sama artinya memikirkan bangsa Indonesia itu sendiri.
Dalam pembicaraan itu, selain menanyakan siapa sebenarnya yang
dimaksud umat Islam, saya juga berbalik bertanya, apakah umat Islam itu
benar-benar terpinggirkan atau minggir dengan sendirinya. Tentu sebutan
terpinggirkan akan berbeda dari istilah minggir dengan sendirinya. Istilah
terpinggirkan menunjukkan ada kekuatan yang dengan sengaja membuat umat Islam
tertinggal, sementara itu minggir adalah oleh karena keadaan yang dibuatnya
sendiri.
Ketika berbicara tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan
sebutan umat Islam, saya memberikan masukan, bahwa istilah itu tidak mudah
dimengerti. Sebab, umpama yang disebut sebagai umat Islam hanya sebatas
simpatisan partai politik yang menyatakan diri sebagai berazas Islam, memang
jumlahnya tidak terlalu banyak. Dengan demikian, sebutan itu benar. Sebab, para
pemilih partai politik yang bukan beridentitas Islam, misalnya Golkar, Nasdem,
Demokrat, PDIP dan lain-lain dalam jumlah besar adalah beragama Islam. Bahkan
para tokohnya sekalipun adalah juga beragama Islam.
Selain itu, jika disebut bahwa secara politik umat Islam terpinggirkan,
maka bukankah para pejabat pemerintah mulai dari presiden, wakil presiden,
anggota kabinet, juga mereka yang berada di kalangan legislatif, eksekutif,
yudikatif, dan lain-lain adalah kebanyakan beragama Islam. Oleh karena itu,
sebenarnya umat Islam di negeri ini tidak terlalu tepat disebut sebagai
terpinggirkan. Sebab, posisi-posisi penting di dalam politik masih dipegang
oleh para pemeluk Islam.
Mungkin saja kegelisahan itu muncul dari ketika melihat bahwa
para penggerak ekonomi dalam berbagai sektornya kebanyakan bukan muslim. Umat
Islam di sektor ini memang kalah. Hampir tidak ada tokoh Islam yang berprestasi
di dalam mengembangkan ekonomi. Orang-orang kaya di Indonesia di dominasi oleh
non muslim dan bahkan juga bisa disebut bukan asli Indonesia. Sementara itu,
rakyat biasa yang kebanyakan adalah muslim, dalam kehidupan ekonomi, tertinggal
dan atau disebut terpinggirkan itu.
Namun persoalannya adalah, ketertinggalan itu apakah oleh karena
memang dengan sengaja dipinggirkan atau terpinggir dengan sendirinya. Kegiatan
ekonomi selalu sama artinya dengan perilaku orang bermain. Dalam setiap
permainan maka siapa saja yang kuat, merekalah yang menang. Dalam permainan
apapun, tidak terkecuali permainan ekonomi, membutuhkan kekuatan. Jika mengabaikan
kekuatan maka pasti kalah. Dan itulah yang dialami oleh umat Islam, terasa
tidak siap berada pada alam kompetisi yang semakin keras itu.
Tatkala berbicara ekonomi, diakui atau tidak, umat Islam masih
kalah beberapa langkah dibanding umat lainnya. Ekonomi modern yang selalu
membutuhkan kekuatan modal, manajemen, jaringan kerjasama, teknologi, dan
lain-lain, pada kenyataannya masih selalu tertinggal. Menghadapi persaingan
yang keras, maka persatuan sedemikian penting, tetapi sementara umat Islam juga
masih belum menyadari. Jika diamati secara lebih mendalam, jangankan di dalam
usaha ekonomi, terkait ritual saja, umat Islam belum mampu bersatu. Mereka
masih saling berebut menang dan benarnya sendiri. Itulah sebabnya, dalam
pembicaraan lewat tilpun tersebut, saya menyebut bahwa sekalipun tidak
dipinggirkan, umat Islam sudah minggir sendiri. Mereka lebih suka berdebat
tentang pernik-pernik agama yang tidak pernah mengenal selesai. Wallahu a’lam
0 Response to "TERPINGGIRKAN ATAU MINGGIR SENDIRI"
Post a Comment