ANALISIS METODE PENDIDIKAN SHALAT BAGI ANAK DALAM HADITS ABU DAUD No.494

ANALISIS METODE PENDIDIKAN SHALAT 
BAGI ANAK DALAM HADITS ABU DAUD No.494



    A.    Analisis Metode Pendidikan Shalat bagi Anak dalam Hadits Abu daud
Dalam perkembangan anak sering melalui beberapa tahap dan di dalam tahapan itu juga mengalami perkembangan jiwa agama anak. Sebagai orang pertama yang mengasuh anak itu harus memperhatikan benar-benar dalam masa perkembangan anak itu. Seorang anak sejak dilahirkan telah membawa fithrah  keagamaan. Fithrah itu berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan.[1]
Oleh karena itu setiap orang tua akan menjaga anak-anaknya agar mereka tidak tersentuh api neraka, maka keduanya harus memberikan didikan, ajaran dan latihan-latihan yang baik mereka memperoleh budi pekerti yang baik dan akhlak yang luhur.Sebagaimana firman Allah: 
يآاَيُّهَاالَّذِيْنَ امَنُوْاقُوْااَنْفُسَكٌمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا (سورةالتحريم:6)
Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka(Q.S.At-Tahrim:6)
Pada umumnya agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan yang dilaluinya pada masa kecilnya dulu. Seorang yang pada waktu kecilnya tidak pernah mendapatkan pendidikan agama, maka pada masa dewasanya nanti, ia tidak akan merasakan pentingnya agama dalam kehidupannya. Lain halnya dengan orang yang di waktu kecilnya telah mendapatkan  pendidikan agama baik di rumah, sekolah dan masyarakat, maka orang itu dengan sendirinya mempunyai kecenderungan kepada hidup dalam aturan-aturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, takut melangkahi larangan-larangan agama dan dapat merasakan betapa nikmatnya hidup beragama.
Itulah sebabnya mengapa Islam dengan seluk beluk ajarannya memerintahkan pendidikan kepada anak di usia dini untuk melakukan ibadah shalat. Dengan kata lain perintah pendidikan shalat yang ditujukan kepada anak usia 7-10 tahun adalah sangat penting karena pada usia tersebut kejiwaan anak sangat sensitif serta daya ingatnya sangat kuat, sehingga kalau anak dibiasakan untuk melakukan shalat, maka ia akan terbiasa mengemban amanat serta tanggung jawab dan kelak dewasanya akan senantiasa melaksanakan perintah-perintah agama dan meninggalkan apa yang dilarang oleh syari’at agama.
Mengingat bahwa shalat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan dan merupakan amalan yang paling utama dihisab serta berbagai keutamaannya, maka orang tua harus mendidik dengan cara yang kiranya anak benar-benar melaksanakannya. Meskipun dengan cara yang tegas dan keras sekalipun yang bertujuan agar menjadikan anak jera apabila meninggalkannya.
Hal tersebut dapat dilihat dari hakikat pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fithrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangan.
Esensi dari potensi dinamis dalam setiap diri manusia itu terletak pada keimanan atau keyakinan, ilmu pengetahuan, akhlak (moralitas) dan pengamalannya. Sehingga dalam strategi Islam, keempat potensi dinamis yang esensial tersebut menjadi titik pusat dari lingkaran proses pendidikan Islam sampai kepada tercapainya tujuan akhir pendidikan yaitu dewasa yang mukmin atau muslim, muhsin atau mukhlisin muttaqin.[2]
Latihan-latihan keagamaan yang menyangkut ibadah seperti shalat, do’a, membaca Al-Qur’an, shalat berjama’ah harus dibiasakan sejak kecil, sehingga lama kelamaan akan tumbuh rasa senang melakukan ibadah tersebut. Inilah mengapa pendidikan shalat diperintahkan di usia 7 tahun dan 10 tahun kalau tidak melaksanakan ibadah tersebut, maka agama memerintahkan memukul.
Melalui beberapa analisis Hadits tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Hadits yang menjadi menu dan data primer dalam penelitian ini adalah data dari Hadits yang maqbul sehingga dalam dunia pendidikan hal ini dapat dijadikan sebagai referensi valid secara konstektual kandungan Hadits tersebut yang terdapat dalam bab III mempunyai maksud.
Hadits ini dalam pembahasannya penulis manganalisis terkait tentang tema bahwa ada dua metode yang diterapkan untuk memberikan pendidikan shalat kepada anak dengan batasan waktu usia 7 sampai 10 tahun, yaitu  dengan cara memerintahkan dengan tegas kepada anak(metode perintah), dan menghukum dengan pukulan (metode hukuman).
1.      Metode perintah kepada anak di usia 7 tahun untuk melaksanakan shalat.
Dalam dunia pendidikan banyak dikenal macam-macam metode. Penggunaan metode disesuaikan dengan banyak hal yang diantaranya, factor usia, materi pendidikannya yang akan disampaikan. Begitu juga dalam mendidik anak tentang ibadah shalat, banyak metode yang dapat diterapkan orang tua agar anak senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh agama.
Metode Perintah diartikan sebagai anjuran yang sifatnya lebih keras yakni suatu keharusan atau bahkan kewajiban untuk melakukan sesuatu yang baik, berguna dan diwajibkan [3] Bertujuan untuk kesadaran dan pengertian menjalankan kewajiban, sehingga secara berangsur-angsur akan tumbuh rasa senang melakukannya. Kemudian dengan sendirinya anak akan terdorong untuk melakukannya tanpa suruhan dari luar tentang dorongan dari dalam dirinya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Kata مروا yang artinya perintah, ini adalah suatu bentuk amar atau perintah bagi orang tua untuk mendidik anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan untuk melaksanakan shalat (berkaitan dengan syarat –syarat hingga rukun melaksanakan shalat.
Dengan metode  ini anak didik diperintahkan untuk berbuat baik dan saling menasehati agar berlaku benar dan agar meninggalkan yang salah. Pemberian perintah kepada anak untuk melaksanakan shalat adalah sesuatu yang niscaya untuk menumbuhkan kesadaran dan menggugah perasaan serta kemauan untuk mengamalkan apa yang diajarkan agama. Selain itu metode ini dimaksudkan untuk memotivasi anak didik untuk melakukan yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar.
Menurut M. Al-Quthb bahwa anak melampaui masa penanaman dan pertumbuhan diri pada tiga tahun pertama dari usianya. Kemudian ia mengalami masa pendidikan, pengajaran dan pengarahan akhlak yaitu pada usia antara 4 sampai 7 tahun. Pada usia akhir sang anak mulai memasuki masa –masa stabil dan mulai merasakan insting seksnya, baligh dan tanggung jawab, maka dalam usia tersebut sang anak harus mengalami proses penekanan[4].
Perintah shalat disyari’atkan ketika anak berusia 7 tahun. Sebelum anak berusia 7 tahun cukup dengan pemberian contoh pelaksanaan shalat dihadapannya dan mengajaknya, tetapi tanpa menyuruhnya. Di samping itu biasanya anak sebelum mencapai usia 7 tahun secara naluri belum menyukai ikatan dan keharusan. Berbeda dengan anak usia 7 tahun, ia sudah dapat mulai menguasai dirinya, mau mengikuti keharusan dan ikatan sampai pada batas toleransi tertentu. Semakin bertambah usia anak semakin kuat kemantapannya.
Disinilah pendidik atau orang tua harus memusatkan pendidikan dengan cara memberikan rangsangan dan perhatian yaitu melalui metode perintah pada permulaannya.
Metode perintah dalam pelaksanaannya dapat dilakukan dengan cara diantaranya, sebagai contoh pada saat usia lima tahun perintahkan kepadanya untuk mengerjakan shalat maghrib bersama seluruh keluarga, kemudian ketika anak mencapai usia lima setengah tahun perintahkan kepadanya untuk mengerjakan shalat kedua. Orang tua bisa memilih mana saja dari shalat lima waktu itu selain shalat maghrib. Pada ulang tahun keenam shalat yang ketiga mulai ditambahkan. Pada usia enam setengah tahun shalat yang keempat dan pada ulang tahunnya yang ketujuh anak telah mampu melaksanakan seluruh shalat lima waktu yang telah ditentukan waktunya dengan teratur.
Dalam hal memberikan perintah orang tua harus dapat menyelaraskan antara ucapan dan perbuatan. Sebagai contoh ketika ayah memerintahkan anaknya untuk melaksanakan shalat, maka ia sendiri harus mengerjakan shalat. Sehingga perintah itu akan bermanfaat. Sebab manakala ayah sendiri tidak melaksanakan shalat , maka anak tidak menuruti perintah dari ayahnya. Selain itu dalam memberikan perintah shalat orang tua tidak boleh membedakan antara anak laki-laki dan perempuan. Mereka harus mendapat perlakuan yang sama dalam hal pendidikan shalat.
2.   Metode Hukuman pukulan di usia 10 tahun ketika anak meninggalkan shalat.
Metode hukuman merupakan metode terakhir yang digunakan dalam mendidik anak dalam melaksanakan shalat, sesuai yang terdapat dalam hadits tersebut bahwa metode ini adalah langkah terakhir yang digunakan orang tua yaitu dengan memukul anaknya ketika pada usia 10 tahun masih saja tidak mau melaksanakan shalat, karena pada usia 10 tahun anak adalah sudah dewasa dan mau menginjak baligh. Oleh karena itu ketika metode yang sebelumnya tidak mampu menjadi jalan keluar bagi pendidikan anak, maka pendidik maupun orang tua boleh menggunakan metode ini.
Namun orang tua tidak dibenarkan melakukan hukuman tersebut, apabila orang tua tidak membiasakan shalat semenjak usia 7 tahun. Anak tidak akan melakukan shalat secara tetap bila hanya diperintah saja. Anak memerlukan pendidikan, latihan, pembiasaan terhadap suatu hal yang membuatnya menjadi terlatih. Meskipun anak telah berusia 10 tahun, tahapan–tahapan dalam pelatihan dan pembiasaan tetap dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menjaga keajegan anak dalam menjalankan shalat.[5]
Sebelum hukuman fisik diberikan, sebaiknya orang tua memberikan hukuman psikologi. Karena jenis hukuman psikologi ini akan memberikan dampak yang kuat terhadap anak. Banyak anak yang cukup dengan hukuman psikologi saja. Apabila hukuman psikologi tidak cukup menjadikannya jera, maka orang tua dapat memberi hukuman fisik dengan tanpa membahayakan anak, yaitu mulai dari pukulan ringan dengan memperhatikan frekuensi pukulan mulai dari 3 kali hingga 10 kali. Dan yang perlu diperhatikan adalah tidak memukul dibagian-bagian vital.
Hukuman Psikologi dapat berupa pengurangan perhatian, jangan mengajaknya berbicara dan bergaul, jangan diajak bergurau dan jauhkanlah anak itu dengan segala sesuatu yang disukainya.
Hukuman diberikan kepada anak ketika dilihat secara sekilas pandangan masyarakat social adalah terlalu kejam dan secara normative pun hal ini tidak etis, tetapi tidak menjadi masalah  bahkan menjadi anjuran bagi seorang pendidik untuk menggunakan metode pendidikan seperti ini disaat waktu- waktu tertentu asalkan masih dalam koredor edukatif.
Kaitannya hukuman dalam pendidikan Islam, maka tujuan hukuman mengandung arti positif, karena ia ditujukan untuk memperoleh perbaikan dan pengarahan, bukan semata-mata untuk membalas dendam. Oleh karena itu, orang tua sangat ingin mengetahui tabiat dan perangai anak-anak sebelum menghakimi mereka. Sebagaimana orang tua juga ingin sekali mendorong anak-anak untuk aktif dalam memperbaiki kesalahannya sendiri.[6]
Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan bahwa seorang pendidik tidak boleh langsung memberi sanksi yang lebih keras selama sanksi yang ringan dapat menyadarkannya, sebagaimana dimaklumi bahwa sanksi pukulan merupakan salah satu bentuk hukuman keras.
Prosedur yang ditawarkan oleh Nashih Ulwan adalah mengandung unsur edukatif, terdapat berbagai tahapan dalam melaksanakan hukuman mulai dari peringatan sampai peringatan keras, juga sampai hukuman mulai hukuman yang ringan sampai hukuman yang keras.
 Metode pendidikan shalat dengan hukuman memukul ini ketika diperhatikan dan dijalankan oleh orang tua atau pendidik lainnya, maka hal itu sangat wajar dan dapat diterima anak didik dengan tanpa ada pemberontakan yang berarti, karena pada usia ini anak sudah mampu berfikir tentang konsekuensi logis dari perbuatan yang dilakukannya.
Sisi lain dari anjuran untuk memukul secara edukatif adalah bahwa pukulan itu tidak ada unsure marah, emosi tidak terkontrol, memukul dengan keras sehingga menjadikan anak sakit dan lain sebagainya, tetapi pukulan yang diberikan kepada anak adalah pukulan yang ringan jangan sampai dengan pukulan yang menyakiti anak dan memukul pada bagian tubuh yang sensitive sehingga mengakibatkan cidera anak maupun cacat fisik anak seperti memukul dibagian muka, perut, kepala, tangan dan lain sebagainya.
 Dari beberapa keterangan dan pendapat para tokoh pendidikan dan para tokoh Hadits mengarah dan mengindikasikan  pada hukuman fisik yaitu dengan adanya hukuman dengan pukulan dan beberapa prosedurnya.
Sanksi pukulan ini memerlukan syarat dengan tertib sebagai berikut:
a.      Pendidik tidak boleh memukul sebelum dilakukan berbagai upaya nasehat dan syarat serta peringatan keras. Pendidik hendaknya tidak memukul dalam keadaan marah karena dikhawatirkan akan mencedarai anak.
b.      Tidak memukul bagian-bagian yang peka, seperti kepala, wajah, dada dan perut. Sebab memukul wajah seringkali melukai sebagian indra bagian syarat, karena itu dilarang. Begitu juga memukul dada atau perut dilarang, karena sangat menyakitkan akibatnya, bahkan seringkali mengakibatkan kematian.
c.       Hendaknya sanksi pukulan itu untuk pertama kali tidak terlalu keras dan tidak menyakitkan. Bagi anak yang belum baligh pukulan cukup sampai tiga kali. Dan bagi orang dewasa tiga dan kalau perlu sampai sepuluh kali hingga jera.
d.     Sebelum sampai usia sepuluh tahun, sebaiknya anak jangan dipukul.
e.      Jika baru pertama kali anak berbuat kesalahan, hendaknya dima’afkan dan perbuatannya ditoleris. Diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri sehingga dia tidak mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya.
f.        Pendidik harus memukul anaknya sendiri jika memang dia bersalah sama seperti temannya yang lain yang melakukan kesalahan.
g.      Jika anak sudah baligh dan dengan sepuluh kali pukulan belum jera boleh ditambah lagi jumlah pukulannya hingga dia sadar dan berjalan dijalan yang lurus[7]
Menurut Dr. Lely Setyawati,
Psikiater di rumah sakit Sanglah, Denpasar,  Menurutnya hukuman itu harus diterima meskipun sedih dan kecewa, karena tidak mungkin orang tua memberi hukuman tanpa alasan. Sebenarnya yang namanya hukuman adalah bentuk lain dari kasih saying dan perhatian orang tua. Hukuman itu lebih diartikan membuat efek jera pada anak. Jadi misalnya anak didik tidak boleh main atau mengurangi jam mainnya itupun sudah merupakan hukuman bagi anak. Hukuman yang diberikan berlebihan bisa membuat anak menjadi dendam dan makin membangkang.[8]

Jadi kedua metode ini sangat tepat diterapkan oleh pendidik atau orang tua dalam pendidikan shalat. Mengingat shalat merupakan ibadah yang sangat menarik bagi anak, karena mengandung gerak dan tidak asing bagi anak. Di samping itu juga sangat bermanfaat bagi anak, terutama dalam pembentukan pribadi, akhlak dan agama pada umumnya, dan akan memasukkan unsur-unsur positif dalam pribadi anak yang sedang tumbuh.[9]
Itulah mengapa shalat suatu yang ditekankan Rasulullah Saw adalah shalat. Bukankah Allah telah menegaskan bahwa betapa pentingnya menyuruh dan mengajarkan shalat pada anak? Dalam firman-Nya diterangkan dalam surat At-Thaha ayat 132
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لاَ نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى (طه :      )
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersebarlah kamu dalam mengerjakannya, kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa “.(Q.S Thaha:132)[10]

Al Qurtubi berkata : perintah pada ayat tersebut adalah perintah kepada Nabi. Dan keluarga pada ayat tersebut adalah semua umatnya. Namun lafal ahlu biasanya diartikan para kerabat.[11]
Mengingat Hadits diatas pula, maka agama pada anak seharusnya menjadi perhatian kita sejak mereka masih kecil. Sebab bila mereka tidak dibiasakan mempraktekkan mengamalkan ajaran agamanya, bagaimana mereka akan bisa rajin setelah besar?
Memang hal ini merupakan tanggung jawab orang tua. Anak yang malas shalat atau bahkan tidak mengamalkan shalat sama sekali adalah termasuk tanggung jawab orang tua . Budaya tanggung jawab perlu digalakkan, karena termasuk kewajiban yang dipikulkan Allah kepada setiap muslim yang  dikaruniai anak.[12]
Maka hukuman sangat penting dalam pendidikan ibadah. Orang tua harus mengajarkan ibadah pada diri anak sedini mungkin, sehingga anak akan termotivasi untuk melakukan perbuatan yang baik dan tertanam kedisiplinan yang kuat. Sebaliknya bila anak tidak ditanamkan ibadah shalat sejak dini, artinya anak jauh dari pendidikan ibadah shalat dan lepas dari ajaran religius, maka tidak diragukan lagi setelah tumbuh dewasa anak tidak akan mau melaksanakan shalat.
Secara umum kandungan Hadits diatas menunjukkan tentang adanya ketidakseimbangan antara Reward and Punishment, dalam Hadits hanya ada kandungan hukuman bagi anak yang melanggar dan tidak mau melaksanakan aturan dan anjuran dari orang tuanya, sehingga dalam hal ini jika dilihat dari sisi psikis ada diskriminasi metode pendidikan anak, karena dengan adanya ketidakseimbangan antara reward dan punishment maka hal ini akan berimplikasi pada diri anak, adanya tekanan dan pemberontakan pada diri anak.
Pendidikan hendaknya berlangsung dalam nuansa yang memiliki sedikit hukuman, namun kaya akan dorongan untuk bersikap jujur dan benar (ganjaran), serta kaya akan keteladanan. Hukuman juga tidak boleh diberikan semuanya sendiri pada setiap saat. Sebab yang demikian ini adalah cerminan perbuatan yang semena-mena dan sewenang-wenang. Karena itu pendidikan harus mencerminkan susila yang mampu mengatur dengan baik semua perilaku pendidik maupun anak didik.[13]
B.     Nilai-nilai Pendidikan dalam Hadits Abu Daud
Dalam rangka pembentukan jiwa agama, diperlukan pengalaman-pengalaman yang didapat sejak lahir, dari orang –orang yang terdekat dalam hidupnya, Ibu, bapak, saudara dan keluarganya. Di samping pendidikan agama atau pembinaan agama yang diberikan secara sengaja oleh guru agama. Pengalaman-pengalaman yang dilalui sejak kecil itu, bahkan sejak dalam kandungan merupakan unsure-unsur yang akan menjadi bagian dari pribadinya dikemudian hari.
Jadi jika  sejak kecil anak dididik dengan akidah ketuhanan, dibentuk di atas iman kepada Allah SWT, meminta pertolongan kepada-Nya dan bersandar hanya kepada-Nya dalam setiap kehidupannya, maka dipastikan dia akan tumbuh baik secara mental, emosional dan psikis serta akan berakhlak lurus. Inilah makna atau nilai-nilai edukatif dari ajaran agama yang memerintahkan untuk memerintahkan (mendidik) shalat kepada anak di usia 7 tahun dan di usia 10 tahun ketika mereka meninggalkannya maka disuruh untuk memukulnya. Metode ini ternyata meninggalkan bekas yang mendalam dan dampak positif dalam proses pendidikan. Karena para pendidik mengakui bahwa hukuman penting karena berguna untuk meluruskan dan mengarahkan perilaku.
Oleh sebab itu pendidikan shalat yang lebih diutamakan. Shalat mengandung manfaat yang besar dalam pembinaan akhlak dan pembinaan diri. manfaat besar yang dirasakan dalam diri seorang muslim adalah rasa ketaatan terhadap Tuhannya untuk melaksanakan perintahnya.
Mengingat shalat adalah salah satu dari pilar agama. Sehingga ketika anak pada usia 7 tahun sudah dibiasakan untuk melaksanakan shalat, maka pada usia 10 tahun (masa baligh) ia akan terbiasa menjalankan perintah agama tersebut, sehingga ia akan bertanggung jawab terhadap segala perintah agama. Maka untuk membiasakannya diperlukan metode yang tepat dan diperlukan ketegasan dari orang tua, yaitu perintah dan hukuman.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa manfaat dan fungsi diperintahkan anak untuk shalat di usia 7 tahun dan menghukum dengan pukulan di usia 10 tahun jika meninggalkan shalat adalah sebagai berikut:
1.      Untuk menanamkan akidah atau keyakinan bahwa apa yang dilakukan berkaitan dengan ibadah, terutama shalat adalah hanya Allah, sehingga sejak kecil keyakinannya terhadap Tuhan pencipta alam semesta akan terpatri dalam hati sanubarinya.
2.      Untuk mendidik kedisiplinan anak sejak dini tentang shalat, sehingga sudah terbiasa dengan menjalankan perintah agama dan menjauhi larangan agama. Hal tersebut dapat dimengerti karena dengan melaksanakan shalat tepat pada waktunya, maka anak akan terbiasa menghargai waktu dan dari situlah jiwa dan sikap disiplin akan terbentuk
3.      Untuk melatih tanggung jawab dan kehati-hatian, karena shalat adalah perintah agama, sehingga harus dilaksanakan dan dijaga betul-betul. Sedangkan dengan shalat maka dalam melangkah akan selalu hati-hati, karena merasa selalu diawasi oleh Allah, baik dalam kondisi di depan umum maupun sembunyi.



[1]Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm.58
[2]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara,1993), hlm.32
[3]Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara,1991), hlm.83
[4]M. al-Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1993), hlm.90.
[5]Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-laki, terj. Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press,1996), hlm.75
[6] Asma Hasan Fahmi, Sejarah Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1979),hlm.140
[7]Abdillah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam (Kaidah-kaidah Dasar), terj. Khalilullah Ahmad Masykur Halim, (Bandung: Remaja Rosda Karya Offset,1992),hlm.168-169.
[8]Dikutip dari Kompas edisi Minggu,13 Nopember 2005, hlm.36
[9]Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang), hlm.64
[10]Soenardjo, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag RI (Semarang: Toha Putra, 1998), hlm.492
[11] Thaha Abdullah Al Afify, Cara Bersuci dan Shalat Rasulullah, (Bandung : Trigenda Karya, 1994), hlm.114
[12]Umar Hasyim, Cara Mendidik Anak dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu,1982), hlm.108
[13] Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis, (Bandung : Mandar Maju,1992),hlm.265

0 Response to "ANALISIS METODE PENDIDIKAN SHALAT BAGI ANAK DALAM HADITS ABU DAUD No.494"

Post a Comment