ANALISIS
METODE PENDIDIKAN SHALAT
BAGI ANAK DALAM
HADITS ABU DAUD No.494
A. Analisis
Metode Pendidikan Shalat bagi Anak dalam Hadits Abu daud
Dalam
perkembangan anak sering melalui beberapa tahap dan di dalam tahapan itu juga
mengalami perkembangan jiwa agama anak. Sebagai orang pertama yang mengasuh
anak itu harus memperhatikan benar-benar dalam masa perkembangan anak itu.
Seorang anak sejak dilahirkan telah membawa fithrah keagamaan. Fithrah itu berfungsi dikemudian
hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan.[1]
Oleh karena
itu setiap orang tua akan menjaga anak-anaknya agar mereka tidak tersentuh api
neraka, maka keduanya harus memberikan didikan, ajaran dan latihan-latihan yang
baik mereka memperoleh budi pekerti yang baik dan akhlak yang luhur.Sebagaimana
firman Allah:
يآاَيُّهَاالَّذِيْنَ
امَنُوْاقُوْااَنْفُسَكٌمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا (سورةالتحريم:6)
Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan
keluargamu dari siksa api neraka(Q.S.At-Tahrim:6)
Pada
umumnya agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan
yang dilaluinya pada masa kecilnya dulu. Seorang yang pada waktu kecilnya tidak
pernah mendapatkan pendidikan agama, maka pada masa dewasanya nanti, ia tidak
akan merasakan pentingnya agama dalam kehidupannya. Lain halnya dengan orang
yang di waktu kecilnya telah mendapatkan
pendidikan agama baik di rumah, sekolah dan masyarakat, maka orang itu
dengan sendirinya mempunyai kecenderungan kepada hidup dalam aturan-aturan
agama, terbiasa menjalankan ibadah, takut melangkahi larangan-larangan agama
dan dapat merasakan betapa nikmatnya hidup beragama.
Itulah
sebabnya mengapa Islam dengan seluk beluk ajarannya memerintahkan pendidikan
kepada anak di usia dini untuk melakukan ibadah shalat. Dengan kata lain
perintah pendidikan shalat yang ditujukan kepada anak usia 7-10 tahun adalah
sangat penting karena pada usia tersebut kejiwaan anak sangat sensitif serta
daya ingatnya sangat kuat, sehingga kalau anak dibiasakan untuk melakukan
shalat, maka ia akan terbiasa mengemban amanat serta tanggung jawab dan kelak
dewasanya akan senantiasa melaksanakan perintah-perintah agama dan meninggalkan
apa yang dilarang oleh syari’at agama.
Mengingat
bahwa shalat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan dan merupakan amalan yang
paling utama dihisab serta berbagai keutamaannya, maka orang tua harus mendidik
dengan cara yang kiranya anak benar-benar melaksanakannya. Meskipun dengan cara
yang tegas dan keras sekalipun yang bertujuan agar menjadikan anak jera apabila
meninggalkannya.
Hal tersebut
dapat dilihat dari hakikat pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim
yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta
perkembangan fithrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah
titik maksimal pertumbuhan dan perkembangan.
Esensi dari
potensi dinamis dalam setiap diri manusia itu terletak pada keimanan atau
keyakinan, ilmu pengetahuan, akhlak (moralitas) dan pengamalannya. Sehingga
dalam strategi Islam, keempat potensi dinamis yang esensial tersebut menjadi
titik pusat dari lingkaran proses pendidikan Islam sampai kepada tercapainya
tujuan akhir pendidikan yaitu dewasa yang mukmin atau muslim, muhsin atau
mukhlisin muttaqin.[2]
Latihan-latihan
keagamaan yang menyangkut ibadah seperti shalat, do’a, membaca Al-Qur’an,
shalat berjama’ah harus dibiasakan sejak kecil, sehingga lama kelamaan akan
tumbuh rasa senang melakukan ibadah tersebut. Inilah mengapa pendidikan shalat
diperintahkan di usia 7 tahun dan 10 tahun kalau tidak melaksanakan ibadah
tersebut, maka agama memerintahkan memukul.
Melalui
beberapa analisis Hadits tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
Hadits yang menjadi menu dan data primer dalam penelitian ini adalah data dari
Hadits yang maqbul sehingga dalam dunia pendidikan hal ini dapat
dijadikan sebagai referensi valid secara konstektual kandungan Hadits tersebut
yang terdapat dalam bab III mempunyai maksud.
Hadits ini
dalam pembahasannya penulis manganalisis terkait tentang tema bahwa ada dua
metode yang diterapkan untuk memberikan pendidikan shalat kepada anak dengan batasan
waktu usia 7 sampai 10 tahun, yaitu
dengan cara memerintahkan dengan tegas kepada anak(metode perintah), dan
menghukum dengan pukulan (metode hukuman).
1. Metode perintah
kepada anak di usia 7 tahun untuk melaksanakan shalat.
Dalam
dunia pendidikan banyak dikenal macam-macam metode. Penggunaan metode
disesuaikan dengan banyak hal yang diantaranya, factor usia, materi
pendidikannya yang akan disampaikan. Begitu juga dalam mendidik anak tentang
ibadah shalat, banyak metode yang dapat diterapkan orang tua agar anak
senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh agama.
Metode
Perintah diartikan sebagai anjuran yang sifatnya lebih keras yakni suatu
keharusan atau bahkan kewajiban untuk melakukan sesuatu yang baik, berguna dan
diwajibkan [3]
Bertujuan untuk kesadaran dan pengertian menjalankan kewajiban, sehingga secara
berangsur-angsur akan tumbuh rasa senang melakukannya. Kemudian dengan
sendirinya anak akan terdorong untuk melakukannya tanpa suruhan dari luar
tentang dorongan dari dalam dirinya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Kata
مروا yang artinya perintah, ini adalah suatu bentuk amar atau
perintah bagi orang tua untuk mendidik anak-anaknya, baik laki-laki maupun
perempuan untuk melaksanakan shalat (berkaitan dengan syarat –syarat hingga rukun
melaksanakan shalat.
Dengan
metode ini anak didik diperintahkan
untuk berbuat baik dan saling menasehati agar berlaku benar dan agar
meninggalkan yang salah. Pemberian perintah kepada anak untuk melaksanakan
shalat adalah sesuatu yang niscaya untuk menumbuhkan kesadaran dan menggugah
perasaan serta kemauan untuk mengamalkan apa yang diajarkan agama. Selain itu
metode ini dimaksudkan untuk memotivasi anak didik untuk melakukan yang ma’ruf
dan menjauhi yang munkar.
Menurut
M. Al-Quthb bahwa anak melampaui masa penanaman dan pertumbuhan diri pada tiga
tahun pertama dari usianya. Kemudian ia mengalami masa pendidikan, pengajaran
dan pengarahan akhlak yaitu pada usia antara 4 sampai 7 tahun. Pada usia akhir
sang anak mulai memasuki masa –masa stabil dan mulai merasakan insting seksnya,
baligh dan tanggung jawab, maka dalam usia tersebut sang anak harus mengalami
proses penekanan[4].
Perintah
shalat disyari’atkan ketika anak berusia 7 tahun. Sebelum anak berusia 7 tahun
cukup dengan pemberian contoh pelaksanaan shalat dihadapannya dan mengajaknya,
tetapi tanpa menyuruhnya. Di
samping itu biasanya anak sebelum mencapai usia 7 tahun secara naluri belum
menyukai ikatan dan keharusan. Berbeda
dengan anak usia 7 tahun, ia sudah dapat mulai menguasai dirinya, mau mengikuti
keharusan dan ikatan sampai pada batas toleransi tertentu.
Semakin bertambah usia
anak semakin kuat kemantapannya.
Disinilah
pendidik atau orang tua harus memusatkan pendidikan dengan cara memberikan
rangsangan dan perhatian yaitu melalui metode perintah pada permulaannya.
Metode
perintah dalam pelaksanaannya dapat dilakukan dengan cara diantaranya, sebagai
contoh pada saat usia lima tahun perintahkan kepadanya untuk mengerjakan shalat
maghrib bersama seluruh keluarga, kemudian ketika anak mencapai usia lima
setengah tahun perintahkan kepadanya untuk mengerjakan shalat kedua. Orang tua
bisa memilih mana saja dari shalat lima waktu itu selain shalat maghrib. Pada
ulang tahun keenam shalat yang ketiga mulai ditambahkan. Pada usia enam
setengah tahun shalat yang keempat dan pada ulang tahunnya yang ketujuh anak
telah mampu melaksanakan seluruh shalat lima waktu yang telah ditentukan
waktunya dengan teratur.
Dalam
hal memberikan perintah orang tua harus dapat menyelaraskan antara ucapan dan
perbuatan. Sebagai contoh ketika ayah memerintahkan anaknya untuk melaksanakan
shalat, maka ia sendiri harus mengerjakan shalat. Sehingga perintah itu akan
bermanfaat. Sebab manakala ayah sendiri tidak melaksanakan shalat , maka anak
tidak menuruti perintah dari ayahnya. Selain itu dalam memberikan perintah
shalat orang tua tidak boleh membedakan antara anak laki-laki dan perempuan.
Mereka harus mendapat perlakuan yang sama dalam hal pendidikan shalat.
2. Metode Hukuman pukulan di usia 10 tahun
ketika anak meninggalkan shalat.
Metode
hukuman merupakan metode terakhir yang digunakan dalam mendidik anak dalam
melaksanakan shalat, sesuai yang terdapat dalam hadits tersebut bahwa metode
ini adalah langkah terakhir yang digunakan orang tua yaitu dengan memukul
anaknya ketika pada usia 10 tahun masih saja tidak mau melaksanakan shalat,
karena pada usia 10 tahun anak adalah sudah dewasa dan mau menginjak baligh.
Oleh karena itu ketika metode yang sebelumnya tidak mampu menjadi jalan keluar
bagi pendidikan anak, maka pendidik maupun orang tua boleh menggunakan metode
ini.
Namun
orang tua tidak dibenarkan melakukan hukuman tersebut,
apabila orang tua tidak
membiasakan shalat semenjak usia 7 tahun.
Anak tidak akan
melakukan shalat secara tetap bila hanya diperintah saja.
Anak memerlukan
pendidikan, latihan, pembiasaan terhadap suatu hal yang membuatnya menjadi
terlatih. Meskipun
anak telah berusia 10 tahun, tahapan–tahapan dalam pelatihan dan pembiasaan
tetap dilakukan. Hal
ini dilakukan untuk menjaga keajegan anak dalam menjalankan shalat.[5]
Sebelum
hukuman fisik diberikan, sebaiknya orang tua memberikan hukuman psikologi.
Karena jenis hukuman psikologi ini akan memberikan dampak yang kuat terhadap
anak. Banyak anak yang cukup dengan hukuman psikologi saja. Apabila hukuman
psikologi tidak cukup menjadikannya jera, maka orang tua dapat memberi hukuman
fisik dengan tanpa membahayakan anak, yaitu mulai dari pukulan ringan dengan
memperhatikan frekuensi pukulan mulai dari 3 kali hingga 10 kali. Dan yang
perlu diperhatikan adalah tidak memukul dibagian-bagian vital.
Hukuman
Psikologi dapat berupa pengurangan perhatian, jangan mengajaknya berbicara dan
bergaul, jangan diajak bergurau dan jauhkanlah anak itu dengan segala sesuatu
yang disukainya.
Hukuman
diberikan kepada anak ketika dilihat secara sekilas pandangan masyarakat social
adalah terlalu kejam dan secara normative pun hal ini tidak etis, tetapi tidak
menjadi masalah bahkan menjadi anjuran
bagi seorang pendidik untuk menggunakan metode pendidikan seperti ini disaat
waktu- waktu tertentu asalkan masih dalam koredor edukatif.
Kaitannya
hukuman dalam pendidikan Islam, maka tujuan hukuman mengandung arti positif,
karena ia ditujukan untuk memperoleh perbaikan dan pengarahan, bukan
semata-mata untuk membalas dendam. Oleh karena itu, orang tua sangat ingin
mengetahui tabiat dan perangai anak-anak sebelum menghakimi mereka. Sebagaimana
orang tua juga ingin sekali mendorong anak-anak untuk aktif dalam memperbaiki
kesalahannya sendiri.[6]
Abdullah
Nashih Ulwan menjelaskan bahwa seorang pendidik tidak boleh langsung memberi
sanksi yang lebih keras selama sanksi yang ringan dapat menyadarkannya,
sebagaimana dimaklumi bahwa sanksi pukulan merupakan salah satu bentuk hukuman
keras.
Prosedur
yang ditawarkan oleh Nashih Ulwan adalah mengandung unsur edukatif, terdapat
berbagai tahapan dalam melaksanakan hukuman mulai dari peringatan sampai
peringatan keras, juga sampai hukuman mulai hukuman yang ringan sampai hukuman
yang keras.
Metode pendidikan shalat dengan hukuman
memukul ini ketika diperhatikan dan dijalankan oleh orang tua atau pendidik
lainnya, maka hal itu sangat wajar dan dapat diterima anak didik dengan tanpa
ada pemberontakan yang berarti, karena pada usia ini anak sudah mampu berfikir
tentang konsekuensi logis dari perbuatan yang dilakukannya.
Sisi
lain dari anjuran untuk memukul secara edukatif adalah bahwa pukulan itu tidak
ada unsure marah, emosi tidak terkontrol, memukul dengan keras sehingga
menjadikan anak sakit dan lain sebagainya, tetapi pukulan yang diberikan kepada
anak adalah pukulan yang ringan jangan sampai dengan pukulan yang menyakiti
anak dan memukul pada bagian tubuh yang sensitive sehingga mengakibatkan cidera
anak maupun cacat fisik anak seperti memukul dibagian muka, perut, kepala,
tangan dan lain sebagainya.
Dari beberapa keterangan dan pendapat para
tokoh pendidikan dan para tokoh Hadits mengarah dan mengindikasikan pada hukuman fisik yaitu dengan adanya
hukuman dengan pukulan dan beberapa prosedurnya.
Sanksi
pukulan ini memerlukan syarat dengan tertib sebagai berikut:
a. Pendidik tidak
boleh memukul sebelum dilakukan berbagai upaya nasehat dan syarat serta
peringatan keras. Pendidik hendaknya tidak memukul dalam keadaan marah karena
dikhawatirkan akan mencedarai anak.
b. Tidak memukul
bagian-bagian yang peka, seperti kepala, wajah, dada dan perut. Sebab memukul
wajah seringkali melukai sebagian indra bagian syarat, karena itu dilarang.
Begitu juga memukul dada atau perut dilarang, karena sangat menyakitkan
akibatnya, bahkan seringkali mengakibatkan kematian.
c. Hendaknya
sanksi pukulan itu untuk pertama kali tidak terlalu keras dan tidak
menyakitkan. Bagi anak yang belum baligh pukulan cukup sampai tiga kali. Dan
bagi orang dewasa tiga dan kalau perlu sampai sepuluh kali hingga jera.
d. Sebelum sampai
usia sepuluh tahun, sebaiknya anak jangan dipukul.
e. Jika baru
pertama kali anak berbuat kesalahan, hendaknya dima’afkan dan perbuatannya
ditoleris. Diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri sehingga dia tidak
mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya.
f.
Pendidik harus memukul anaknya sendiri jika memang dia
bersalah sama seperti temannya yang lain yang melakukan kesalahan.
g. Jika anak sudah
baligh dan dengan sepuluh kali pukulan belum jera boleh ditambah lagi jumlah
pukulannya hingga dia sadar dan berjalan dijalan yang lurus[7]
Menurut Dr. Lely Setyawati,
Psikiater di rumah sakit
Sanglah, Denpasar, Menurutnya hukuman itu harus diterima
meskipun sedih dan kecewa, karena tidak mungkin orang tua memberi hukuman tanpa
alasan. Sebenarnya yang namanya hukuman adalah bentuk lain dari kasih saying
dan perhatian orang tua. Hukuman itu lebih diartikan membuat efek jera pada
anak. Jadi misalnya anak didik tidak boleh main atau mengurangi jam mainnya
itupun sudah merupakan hukuman bagi anak. Hukuman yang diberikan berlebihan
bisa membuat anak menjadi dendam dan makin membangkang.[8]
Jadi
kedua metode ini sangat tepat diterapkan oleh pendidik atau orang tua dalam
pendidikan shalat. Mengingat shalat merupakan ibadah yang sangat menarik bagi
anak, karena mengandung gerak dan tidak asing bagi anak. Di samping itu juga
sangat bermanfaat bagi anak, terutama dalam pembentukan pribadi, akhlak dan
agama pada umumnya, dan akan memasukkan unsur-unsur positif dalam pribadi anak
yang sedang tumbuh.[9]
Itulah
mengapa shalat suatu yang ditekankan Rasulullah Saw adalah shalat. Bukankah
Allah telah menegaskan bahwa betapa pentingnya menyuruh dan mengajarkan shalat
pada anak? Dalam firman-Nya diterangkan dalam surat At-Thaha ayat 132
وَأْمُرْ
أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لاَ نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ
نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى (طه : )
“Dan perintahkanlah kepada
keluargamu mendirikan shalat dan bersebarlah kamu dalam mengerjakannya, kami
tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat
(yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa
“.(Q.S Thaha:132)[10]
Al
Qurtubi berkata : perintah pada ayat tersebut adalah perintah kepada
Nabi. Dan keluarga pada ayat tersebut adalah semua umatnya. Namun lafal ahlu
biasanya diartikan para kerabat.[11]
Mengingat
Hadits diatas pula, maka agama pada anak seharusnya menjadi perhatian kita
sejak mereka masih kecil. Sebab bila mereka tidak dibiasakan mempraktekkan
mengamalkan ajaran agamanya, bagaimana mereka akan bisa rajin setelah besar?
Memang
hal ini merupakan tanggung jawab orang tua. Anak yang malas shalat atau bahkan
tidak mengamalkan shalat sama sekali adalah termasuk tanggung jawab orang tua .
Budaya tanggung jawab perlu digalakkan, karena termasuk kewajiban yang
dipikulkan Allah kepada setiap muslim yang
dikaruniai anak.[12]
Maka
hukuman sangat penting dalam pendidikan ibadah. Orang tua harus mengajarkan
ibadah pada diri anak sedini mungkin, sehingga anak akan termotivasi untuk
melakukan perbuatan yang baik dan tertanam kedisiplinan yang kuat. Sebaliknya
bila anak tidak ditanamkan ibadah shalat sejak dini, artinya anak jauh dari
pendidikan ibadah shalat dan lepas dari ajaran religius, maka tidak diragukan
lagi setelah tumbuh dewasa anak tidak akan mau melaksanakan shalat.
Secara
umum kandungan Hadits diatas menunjukkan tentang adanya ketidakseimbangan
antara Reward and Punishment, dalam Hadits hanya ada kandungan hukuman bagi
anak yang melanggar dan tidak mau melaksanakan aturan dan anjuran dari orang
tuanya, sehingga dalam hal ini jika dilihat dari sisi psikis ada diskriminasi
metode pendidikan anak, karena dengan adanya ketidakseimbangan antara reward
dan punishment maka hal ini akan berimplikasi pada diri anak, adanya tekanan
dan pemberontakan pada diri anak.
Pendidikan
hendaknya berlangsung dalam nuansa yang memiliki sedikit hukuman, namun kaya akan
dorongan untuk bersikap jujur dan benar (ganjaran), serta kaya akan
keteladanan. Hukuman juga tidak boleh diberikan semuanya sendiri pada setiap
saat. Sebab yang demikian ini adalah cerminan perbuatan yang semena-mena dan
sewenang-wenang. Karena itu pendidikan harus mencerminkan susila yang mampu
mengatur dengan baik semua perilaku pendidik maupun anak didik.[13]
B. Nilai-nilai
Pendidikan dalam Hadits Abu Daud
Dalam rangka
pembentukan jiwa agama, diperlukan pengalaman-pengalaman yang didapat sejak
lahir, dari orang –orang yang terdekat dalam hidupnya, Ibu, bapak, saudara dan
keluarganya. Di samping pendidikan agama atau pembinaan agama yang diberikan
secara sengaja oleh guru agama. Pengalaman-pengalaman yang dilalui sejak kecil
itu, bahkan sejak dalam kandungan merupakan unsure-unsur yang akan menjadi
bagian dari pribadinya dikemudian hari.
Jadi
jika sejak kecil anak dididik dengan
akidah ketuhanan, dibentuk di atas iman kepada Allah SWT, meminta pertolongan
kepada-Nya dan bersandar hanya kepada-Nya dalam setiap kehidupannya, maka
dipastikan dia akan tumbuh baik secara mental, emosional dan psikis serta akan
berakhlak lurus. Inilah makna atau nilai-nilai edukatif dari ajaran agama yang
memerintahkan untuk memerintahkan (mendidik) shalat kepada anak di usia 7 tahun
dan di usia 10 tahun ketika mereka meninggalkannya maka disuruh untuk
memukulnya. Metode ini ternyata meninggalkan bekas yang mendalam dan dampak
positif dalam proses pendidikan. Karena para pendidik mengakui bahwa hukuman
penting karena berguna untuk meluruskan dan mengarahkan perilaku.
Oleh sebab
itu pendidikan shalat yang lebih diutamakan. Shalat mengandung manfaat yang
besar dalam pembinaan akhlak dan pembinaan diri. manfaat besar yang dirasakan
dalam diri seorang muslim adalah rasa ketaatan terhadap Tuhannya untuk
melaksanakan perintahnya.
Mengingat
shalat adalah salah satu dari pilar agama. Sehingga ketika anak pada usia 7
tahun sudah dibiasakan untuk melaksanakan shalat, maka pada usia 10 tahun (masa
baligh) ia akan terbiasa menjalankan perintah agama tersebut, sehingga ia akan
bertanggung jawab terhadap segala perintah agama. Maka untuk membiasakannya
diperlukan metode yang tepat dan diperlukan ketegasan dari orang tua, yaitu
perintah dan hukuman.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa manfaat dan fungsi diperintahkan anak untuk
shalat di usia 7 tahun dan menghukum dengan pukulan di usia 10 tahun jika
meninggalkan shalat adalah sebagai berikut:
1. Untuk
menanamkan akidah atau keyakinan bahwa apa yang dilakukan berkaitan dengan
ibadah, terutama shalat adalah hanya Allah, sehingga sejak kecil keyakinannya
terhadap Tuhan pencipta alam semesta akan terpatri dalam hati sanubarinya.
2. Untuk mendidik
kedisiplinan anak sejak dini tentang shalat, sehingga sudah terbiasa dengan
menjalankan perintah agama dan menjauhi larangan agama. Hal tersebut dapat
dimengerti karena dengan melaksanakan shalat tepat pada waktunya, maka anak
akan terbiasa menghargai waktu dan dari situlah jiwa dan sikap disiplin akan
terbentuk
3. Untuk melatih
tanggung jawab dan kehati-hatian, karena shalat adalah perintah agama, sehingga
harus dilaksanakan dan dijaga betul-betul. Sedangkan dengan shalat maka dalam
melangkah akan selalu hati-hati, karena merasa selalu diawasi oleh Allah, baik
dalam kondisi di depan umum maupun sembunyi.
[1]Zakiah
Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm.58
[2]M.
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara,1993),
hlm.32
[3]Zainuddin,
dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi
Aksara,1991), hlm.83
[4]M. al-Quthb, Sang Anak dalam Naungan
Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1993), hlm.90.
[5]Adnan
Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-laki,
terj. Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press,1996), hlm.75
[6]
Asma Hasan Fahmi, Sejarah Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Bulan
Bintang, 1979),hlm.140
[7]Abdillah
Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam (Kaidah-kaidah Dasar), terj.
Khalilullah Ahmad Masykur Halim, (Bandung: Remaja Rosda Karya
Offset,1992),hlm.168-169.
[8]Dikutip
dari Kompas edisi Minggu,13 Nopember 2005, hlm.36
[9]Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta:
Bulan Bintang), hlm.64
[10]Soenardjo, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag RI
(Semarang: Toha Putra, 1998), hlm.492
[11] Thaha
Abdullah Al Afify, Cara Bersuci dan Shalat Rasulullah, (Bandung : Trigenda
Karya, 1994), hlm.114
[13] Kartini
Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis, (Bandung : Mandar
Maju,1992),hlm.265
0 Response to "ANALISIS METODE PENDIDIKAN SHALAT BAGI ANAK DALAM HADITS ABU DAUD No.494"
Post a Comment