KONSEPSI DR. M. QURAISH SHIHAB TENTANG HAKIKAT
MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Konsepsi
Dr. M. Quraish Shihab tentang hakikat manusia dalam pendidikan Islam, penulis
kaji dalam buku yang berjudul “Membumikan Al Quran”, “Wawasan Al Quran “ Tafsir
Maudlu’i atas pelbagai persoalan Umat, “Tafsir Al Quranul Karim” Tafsir atas
Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, dan “Lentera Hati”.
Keempat buku tersebut merupakan karya Dr. M. Quraish Shihab.
1.
Konsepsi Dr.
M. Quraish Shihab Tentang Hakikat Manusia.
Dr. M. Quraish Shihab sebagai penafsir Indonesia
terkemuka menjelaskan tentang manusia. Penjelasan tersebut beliau angkat
langsung dari Al Quranul Karim yang menjadi sumber utama agama Islam. Menurut
beliau Al Quran banyak memberi informasi tentang potensi manusia, asal kejadian
manusia, dan manusia sebagai khalifah.
1.1. Potensi Manusia Menurut Al Quran.
Al Quran banyak berbicara tentang manusia, bahkan
manusia adalah mahkluk pertama yang telah disebut dua kali dalam rangkaian
wahyu pertama. Dalam Al Quran Surat Al ‘Alaq ayat 1-5, Allah SWT menegaskan
sebagaimana terdapat pada bab II halaman 16. Kata “Insan” dalam Surat Al-Alaq
di atas mencakup seluruh jenis manusia, kecuali Adam a.s. yang proses
kejadiannya diceritakan secara tersendiri[1].
Kata “Insan” dalam Al Quran ditafsirkan sebanyak 65 kali yang pada umumnya
menjelaskan berbagai sifat dan potensinya., baik positif maupun negatif[2].
Manusia atau insan yang banyak dibicarakan atau disebut dalam Al Quran yaitu
tentang sifat-sifat dan potensinya, yang dapat berbeda antara seseorang dengan
orang lain.
Banyak ayat-ayat Al Quran yang memberikan pujian kepada
manusia. Di antara ayat-ayat Al Quran yang memuji dan memuliakan manusia
terdapat dalam QS. At Tiin ayat 4 (bab II halaman 12). Allah SWT juga menegaskan
hal tersebut dalam QS. Al Isra' : 70 :
Artinya :
“Dan Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, kami angkat mereka di
daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki yang baik-baik. Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan”(QS. Al Isra’ : 70)[3].
Bentuk manusia yang baik tersebut ditafsirkan bahwa :
“bentuk yang sebaik-baiknya itu mencakup segi-segi fisik dan psikis”[4].
Manusia sejak dijadikannya memiliki bentuk dan keadaan yang baik dan sempurna,
baik jasmani maupun rohani. Manusia dibandingkan makhluk-makhkuk lain adalah
makhluk yang paling dimuliakan oleh Allah SWT.
Namun di lain segi, manusia juga mendapat cercaan dari
Allah SWT. Dalam QS. Ibrahim ayat 24 dan QS. Al Hajj ayat 67 Allah SWT
berfirman :
Artinya
: “Sesungguhnya manusia sangat zalim dan sangat ingkar akan (nikmat Allah)”.
(QS. Ibrahim : 34).
“Bagi
tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan, maka
janganlah mereka sekali-kali membantah kamu dalam urusan (syariat) ini dan
serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan
yang lurus”. (QS. Al Hajj : 67)[5]
Manusia adalah makhluk yang amat
aniaya dan mengingkari nikmat Allah, serta sangat banyak membantah.
Ayat-ayat Al Quran sebagaimana tersebut di atas bukan
berarti bertentangan satu sama lain, akan tetapi ayat-ayat tersebut menunjukkan
sifat dan potensi manusiawi untuk menempati tempat terpuji atau meluncur ke
tempat yang rendah sehingga tercela. Buku yang berjudul “Tafsir Al Quranul
Karim” menyebutkan bahwa : “manusia secara potensial sebagai makhluk bersifat
ganda, “baik dan buruk”, namun ia tidak mendapat pujian atau celaan kecuali
bila potensi tersebut lahir dalam bentuk aktual”[6].
Dengan demikian menurut Al Quran, manusia adalah makhluk yang memiliki potensi
ganda, baik dan buruk. Al Quran mengajak manusia mengaktualisasikan
potensi-potensi positifnya dalam pentas kehidupan.
1.2. Asal Kejadian Manusia.
Manusia dijadikan atau diciptakan dari tanah dan setelah
sempurna kejadiannya dihembuskanlah kepadanya Ruh Ilahi. Dalam QS. Shaad ayat
71-71 Allah SWT berfirman :
Artinya :
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat” “Sesungguhnya Aku akan
menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya
dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan) Ku, maka hendaklah kamu tertunduk sujud
kepadanya.”[7]
Manusia adalah kesatuan dari kedua
unsur tersebut (tanah dan ruh) yang tidak dapat dipisahkan. Bila terpisah, maka
ia bukan lagi manusia, sebagaimana halnya air, yang merupakan perpaduan antara
oksigen dan hidrogen, dalam kadar-kadar tertentu bila salah satu diantaranya
terpisah, maka ia bukan air lagi”[8].
Dengan demikian manusia terdiri dari dua unsur pokok yaitu gumpalan tanah dan
hembusan ruh Ilahi. Manusia dengan bersatunya badan dan ruh, maka kehidupan
manusia bergantung pada wujudnya ruh yang ada di dalam badannya.
Manusia sesuai dengan unsur kejadiannya, yaitu tanah
dan ruh, maka manusia memenuhi kebutuhan hidupnya bersumber dari kedua unsur
tersebut (tanah dan ruh). Buku yang berjudul “Membumikan Al Quran” menyebutkan
bahwa : “dengan “tanah” manusia dipengaruhi oleh kekuatan alam seperti
makhluk-makhluk lain, sehingga ia butuh
makan, minum, hubungan seks, dan sebagainya, dan dengan “Ruh” ia di antar ke
arah tujuan non materi yang tak berbobot dan tak bersubstansi dan yang tak
dapat diukur di laboratorium atau bahkan dikenal oleh alam materi”[9].
Manusia memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersumber dari gumpalan tanah tersebut
memenuhinya ala manusia, bukan ala binatang. Demikian pula dalam memenuhi
kebutuhan rohaniahpun ala manusia bukan ala malaikat. Kebutuhan hidup manusia
yang tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, maka manusia akan menjadi
binatang dan malaikat, yang keduanya akan membawa manusia jauh dari hakikat
kemanusiaannya.
Unsur rohaniah merupakan dimensi spiritual manusia.
Manusia dengan dimensi spiritualnya akan melahirkan kecenderungan kepada
keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pemujaan, dan sebagainya. Dimensi spiritual
mengantar manusia kepada suatu realitas yang maha Sempurna, tanpa cacat, tanpa
batas dan tanpa akhir ditegaskan dalam QS. An Najm ayat 42 dan QS. Al Insyiqaaq
ayat 6:
Artinya :
“Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)”. (QS. An Najm “
67)
“Hai
manusia, Sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu,
maka kamu pasti akan memenuhinya”. (QS. Al Instiqaaq : 6)”[10].
Manusia dengan dimensi spiritualnya,
maka manusia akan berada dalam alam yang hidup, bermakna, serta tak terbatas,
yang dimensinya melebar keluar melampaui dimensi tanah (dimensi material).
1.3. Manusia Sebagai Khalifah
Manusia tidaklah makhluk yang tercipta secara
kebetulan, atau tercipta dari atom, akan tetapi manusia diciptakan oleh Allah
SWT sesuai dengan rencana sebelum penciptaannya, yaitu agar manusia menjadi
khalifah (kuasa atau wakil) Allah di bumi. Dalam QS. Al Baqarah ayat 30 Allah
SWT berfirman :
Artinya :
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan khalifah di muka bumi”. (QS. Al Baqarah : 20)[11].
Ayat di atas menjelaskan bahwa
sebelum kejadian Adam a.s., Allah telah merencanakan agar manusia memikul
tanggung jawab kekhalifahan di bumi. Dengan demikian hakikat wujud manusia
dalam kehidupan adalah melaksanakan tugas kekhalifahan.
Manusia sebagai khalifah Allah di bumi bertugas
membangun dan mengolah dunia ini sesuai dengan kehendak Ilahi. Oleh karena itu
tujuan hidup manusia tidak lain, kecuali mengabdi kepada Allah SWT. Dalam QS.
Adz-Dzariyat ayat 56. Allah SWT berfirman :
Artinya :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku”. (QS. Adz Dzariyat : 56)[12].
Manusia sebagai khalifah bertugas
melaksanakan fungsi kekhalifahan sesuai dengan konsep yang diamanatkan oleh
Allah SWT serta mengabdi kepada-Nya.
Berkenaan dengan tugas manusia selaku khalifah Allah di
bumi, manusia dibekali Allah dengan potensi-potensi untuk menyukseskan
tugas-tugas tersebut. Potensi-potensi manusia untuk menyukseskan tugas selaku
khalifah Allah di bumi antara lain : (1) Kemampuan untuk mengetahui
sifat-sifat, Fungsi, dan kegunaan segala macam benda. (2) Ditundukkannya bumi,
langit dan segala isinya: bintang-bintang, planet-planet dan sebagainya. (3)
Kemampuan akal pikiran serta panca indera. (4) Kemampuan dan kekuatan positif
untuk mengubah corak kehidupan dunia ini.[13].
Manusia dengan potensi-potensi tersebut akan dapat berperan dalam mengemban
misi sebagai khalifah di bumi.
Walaupun demikian, banyak masalah-masalah yang tidak
dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia dalam melaksanakan tugas sebagai
khalifah, khususnya menyangkut diri, masa depan, serta hakikat manusia sendiri,
seperti : masalah ruh, kematian dan lain sebagainya. Hal tersebut menunjukkan
kelemahan dari potensi manusia. Oleh karena itu manusia diberi petunjuk oleh
Allah sesuai dengan fungsinya selaku
khalifah. Dalam QS. Al Baqarah ayat 38 Allah SWT berfirman :
Artinya :
“Kami berfirman : Turunlah kamu semuanya dari surga itu ! Kemudian jika datang
petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya
tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
(QS. Al Baqarah : 38)[14].
Manusia
selaku khalifah di bumi dilengkapi petunjuk-pertunjuk oleh Allah SWT sebagai
penyempurnaan nikmat-Nya kepada hamba-Nya. Petunjuk tersebut untuk menjadi
pelita dalam perjalanan hidup manusia.
2.
Konsepsi Dr.
M. Quraish Shihab Tentang Pendidikan Islam.
Dr. M. Quraish Shihab sebagai pakar dalam bidang ilmu
Al Quran memberi penjelasan tentang Pendidikan Islam. Sebagian besar
konsepsinya tentang Pendidikan banyak diambil dari Al Quran, yaitu meliputi:
Pendidikan Menurut Al Quran, Tujuan Pendidikan Islam dan Pendidikan Islam
Sebagai Pendidikan Sepanjang Hayat.
2.1. Pendidikan
Menurut Al Quran
Al Quran mengintroduksikan dirinya sebagai pemberi
petunjuk kepada jalan yang lurus. Dalam QS. Al Isra’ ayat 19 ditegaskan :
Artinya :
“Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu
dengan sungguh-sungguh, sedang ia mukmin, maka ia itu orang-orang yang usahanya
dibatasi dengan baik”. (QS. Al Isra’ : 19)[15]
Petunjuk-petunjuk tersebut bertujuan
memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun
kelompok.
Rasulullah sebagai penerima Al Quran bertugas
menyampaikan petunjuk-petunjuk tersebut, mensucikan dan mengajarkan kepada
manusia. Dalam hal penegasan tersebut ditegaskan oleh Allah dalam QS. Al
Baqarah ayat 151 :
Artinya
: “Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan
ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al
Kitab dan hikmah (As Sunnah), serta mengajar kepada kamu apa yang belum kamu
ketahui”. (QS. Al Baqarah : 151)[16]
Berdasarkan ayat di atas, menyucikan
diidentitaskan dengan mendidik, sedangkan mengajar adalah mengisi benak anak
didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika.
Al Quran menekankan bahwa pendidikan berkaitan erat
dengan tujuan penciptaan manusia yaitu sebagai ‘abid dan khalifatallah fil
ardli. Manusia agar dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan, maka manusia perlu
dibekali dengan pendidikan.
2.2. Tujuan
Pendidikan Islam
Manusia setelah terbina potensinya secara sempurna
melalui pembacaan, penyucian dan pengajaran, manusia diharapkan dapat
melaksanakan peran dan fungsinya sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi. Atas
dasar ini, maka tujuan pendidikan Islam (Al Quran) adalah membina manusia
secara pribadi maupun kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai
hamba dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang
ditetapkan Allah. Atau dengan kata lain yang lebih singkat untuk bertaqwa
kepada-Nya”[17].
Tujuan pendidikan Islam tidak lain kecuali untuk membina manusia agar bertaqwa
kepada Allah SWT.
Berkenaan dengan tugas kekhalifahan di atas, disebutkan
pula bahwa : “kekhalifahan mengharuskan empat sisi yang saling berkaitan: (1)
Pemberi tugas, dalam hal ini Allah SWT; (2) Penerima tugas, dalam hal ini
manusia, perorangan maupun kelompok; (3) tempat atau lingkungan, di mana
manusia berada; dan (4) materi-materi penugasan yang harus mereka laksanakan”[18].
Keempat sisi tersebut merupakan komponen pelaksanaan tugas kekhalifahan yang
tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain.
Tugas kekhalifahan tidak akan dinilai berhasil apabila
materi penugasan tidak dilaksanakan atau apabila kaitan antara penerima tugas
dan lingkungannya tidak diperhatikan. Khusus menyangkut kaitan antara penerima
tugas dan lingkungannya, harus digarisbawahi bahwa corak hubungan tersebut
berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Karena itu penjabaran
tugas kekhalifahan harus sejalan dan diangkat dari dalam masyarakat. Buku
“Membumikan Al Quran” menyebutkan bahwa : “Sistem serta tujuan pendidikan bagi
suatu masyarakat atau negara tidak dapat diimpor atau diekspor dari atau
kesuatu negara atau masyarakat. Ia harus timbul dari masyarakat itu sendiri. Ia
adalah pakaian yang harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan
pemakainya., berdasarkan identitas, pandangan hidup, serta nilai-nilai yang
terdapat dalam masyarakat atau negara tersebut”[19].
Dengan demikian tujuan pendidikan harus disesuaikan dengan kultur budaya
masyarakat atau negara di mana pendidikan itu diterapkan.
Tujuan yang ingin dicapai melalui pendidikan Islam
adalah membina manusia agar mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan
khalifahnya. Manusia yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur material
(jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu,
pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika, sedang pembinaan jasmaninya
menghasilkan ketrampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut terciptalah
makhluk dwi dimensi dalam satu keseimbangan, dunia akhirat, ilmu dan iman. Itu
sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah adab al-din dan adab al-dunya.
2.3. Pendidikan
Islam Sebagai Pendidikan Sepanjang Hayat.
Pendidikan pada hakikatnya mempunyai jangkauan makna
yang lebih luas, serta dalam mencapainya memerlukan waktu dan tenaga yang tidak
kecil. Dalam khazanah keagamaan hal tersebut dikenal dengan ungkapan “minal
mahdi ilal lahdi” (dari buaian hingga ke liang lahad).
Sifat pendidikan Islam adalah “rabbaniy”, berdasarkan
ayat pertama dalam wahyu pertama. Orang yang melaksanakannya disebut “rabbaniy”
yang memiliki ciri-ciri antara lain : mengajarkan kitab Allah, baik yang
tertulis (Al Quran) maupun yang tidak tertulis (alam raya), serta
mempelajarinya secara terus menerus. Dalam QS. Ali Imran ayat 79 disebutkan :
Artinya :
“Tidak wajar bagi manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan
kenabian, lalu ia berkata kepada manusia : “Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata) :
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al
Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”. (Q.S. Ali Imran : 79)[20]
Pendidikan Islam diharapkan mampu
mengantarkan seseorang memiliki sifat rabbaniy seperti yang ditunjukkan dalam
ayat Al Quran di atas.
Jangkauan yang harus dipelajari, yang demikian luas
tersebut tidak dapat diraih secara sempurna oleh seseorang. Namun manusia harus
berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan apa yang mampu diraihnya. karena
itu manusia dituntut untuk terus menerus belajar. Nabi Muhammad SAW sekalipun
telah sampai puncak segala puncak, masih tetap diperintah untuk selalu berdo’a
(memohon) sambil berusaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam QS. Thaa
Haa ayat 114 disebutkan :
Artinya :
“Dan katakanlah : “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (QS.
Thaa Haa : 114)[21].
Oleh karena itu manusia, laki-laki
maupun perempuan diwajibkan untuk belajar dan berdo’a dalam upaya memperoleh
ilmu pengetahuan.
Sejalan dengan tuntutan untuk mencari ilmu pengetahuan
atau belajar, dalam khasanah Islam terdapat ungkapan yang berbunyi : “tuntutlah
ilmu dari buaian hingga ke liang lahad” Disebutkan bahwa : “ide yang terdapat
dalam khasanah pemikiran Islam tersebut telah mendahului konsep “life long
Education” yang dipopulerkan oleh Paul Lengrand dalam bukunya “An Introduction
to Life Long Education”[22]
Islam lebih awal dalam menentukan konsep pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan sepanjang hayat tidak hanya terlaksana
melalui jalur-jalur formal, tetapi juga jalur informal dan non formal. Dengan
kata lain pendidikan yang berlangsung seumur hidup menjadi tanggung jawab
bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Buku yang berjudul “Lentera
Hati” menyebutkan bahwa : “sebagian diantara kita merasa bahwa sekolah sebagai
satu-satunya sarana pendidikan. Padahal, sekolah walaupun mampu melaksanakan
tugas dengan baik tidak akan mampu mendewasakan manusia, lebih-lebih untuk
mencapai tujuan pendidikan. Semua ini akan semakin jauh dari tujuan jika upaya
yang dilakukannya hanya terbatas pada pengajaran dan latihan “[1].
Oleh karena itu semua pendukung atau pelaksana dan tenaga pendidikan harus
dapat berfungsi dengan baik.
Pendukung dan pelaksana serta tenaga pendidikan yang
dimaksud diantaranya juga disebutkan bahwa : “pendukung dan pelaksana
pendidikan bukan hanya tenaga, dana dan sarana yang disediakan oleh pemerintah,
tetapi semua yang tersedia dan disediakan oleh keluarga, masyarakat dan peserta
didik, baik sendiri-sendiri maupun kelompok. Seorang yang dimaksud tenaga
kependidikan adalah kita semua seharusnya berfungsi sebagai pendidik.”[1]
Lingkungan keluarga sebagai unit utama dan pertama anak mengenal pendidikan
sangat penting dalam rangka pendidikan sepanjang hayat. Pembentukan kepribadian
anak bermula di sini dan sejak anak masih dalam buaian. Dr. AlexiCarel sebagai
mana dikutip Dr. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa: “Ketika itu
pikiran-pikiran pendidik, perasaan dan jiwanya dapat diserap oleh anak bagaikan
pasir yang menyerap tetesan-tetesan air”.[25]
Upaya untuk merealisasikan pendidikan sepanjang hayat merupakan tanggung jawab
bersama. Semua wajib membantu terwujudnya iklim pendidikan yang sehat, baik
dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat luas.
[1] Dr. M. Quraish Shihab b), Tafsir
Al Quran Karim, Pustaka Hidayah, Bandung, 1997, halaman 88.
[2] Ibid., halaman 87.
[3] Dr. M. Quraish Shihab c), Wawasan
Al Quran, Mizan, Bandung, 1998, halaman 282.
[4] Dr. M. Quraish Shihab b), Op.Cit., halaman 88.
[6] Dr. M. Quraish Shihab b), Op.Cit., halaman 88.
[7] Dr. M. Quraish Shihab c), Op.Cit., halaman 282.
[8] Ibid.
[9] Dr. M. Quraish Shihab a), Op.Cit., halaman 69.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid., halaman 233
[13] Ibid., halaman 234.
[14] Ibid., halaman 69.
[15] Ibid., halaman 71
[16] Ibid.
[17] Ibid., 173
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[21] Ibid., halaman 178.
[22] Ibid., halaman 178.
[23] Dr. M. Quraish Shihab c), Lentera
Hati, Mizan, Bandung, 1994, halaman 272-273
[24] Ibid.
[25] Ibid.
0 Response to "KONSEPSI DR. M. QURAISH SHIHAB TENTANG HAKIKAT MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM"
Post a Comment