PENAFSIRAN SURAT AL-FALAQ M. QURAISH SHIHAB DALAM TAFSIR AL-MISBAH

PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB DALAM TAFSIR AL-MISBAH
TERHADAP SURAT AL-FALAQ

A.    Penafsiran Quraish Shihab Terhadap Surat Al-Falaq
M. Quraish Shihab mengawali penafsirannya dengan menjelaskan setting histories (asbab an-nuzul) dari surat Al-Falaq ini. Mayoritas ulama berpendapat bahwa surat ini Makkiyah berdasarkan sabab nuzul yang menyatakan bahwa kaum musyrikin Mekah berusaha mencederai Nabi dengan apa yang dinamai ‘ain (mata) yakni pandangan mata yang merusak. Ada kepercayaan di kalangan masyarakat tertentu bahwa mata melalui pandangannya dapat membinasakan, dan ada orang-orang tertentu yang mata melalui pandangannya dapat membinasakan, dan ada orang-orang tertentu yang matanya demikian. Surah ini dan surah an-Nas menurut riwayat itu turun mengajar Nabi penangkalnya. Sedang yang mengatakan madaniyah mengemukakan sabab nuzul yang lain, yakni merupakan pengajaran pada Nabi SAW. Untuk menangkal sihir yang dilakukan oleh Labib Ibnu Al-’Shomm seorang Yahudi yang tinggal di Madinah. Namun riwayat ini ditolak kesahihannya oleh sebagian ulama.[1]
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa surat ini (al-Falaq) mempunyai dua nama, yakni Qul a’udzu bi rab al-Falaq-Nabi SAW. Dan ada yang menyebutkan al-Falaq, al-Mu’awwizatain terambil dari kata kedua surah tersebut yang menggunakan kata A’udzu, berarti dua surah yang menuntun pembacanya pada tempat perlindungan atau memasukkannya pada arena yang dilindungi.
Dari nama tersebut ada yang menamai surah ini (al-Falaq) dengan surah al-Mu’awidzatain keduanya juga dinamai al-Muqasyqisyatain menurut al-Qurtuby berarti yang membebaskan manusia dari kemunafikan. Sedangkan tema utama tema ini adalah pengajaran untuk menyadarkan diri dan memohon perlindungan hanya pada Allah dalam menghadapi aneka kejahatan. Sayyidatina ‘Aisyah ra. Berkata: “Rasulullah meiupkan untuk dirinya Al-Mu’awidzatain saat menderita sakit menjelang wafatnya, dan ketika keadaan beliau sudah amat para aku membaca untuknya dan mengusapkan dengan tangan beliau kiranya memperoleh berkah surat ini” (HR. Bukhori dan Muslim).[2]
Surat ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai surah ke-20/21 dari segi tertib turunnya dengan jumlah ayat sebanyak 5 ayat.
 
Artinya: “Katakanlah: Aku berlindung dengan Tuhan segala yang terbelah”. (QS. Al-Falaq: 1).[3]

Allah SWT memulai kitab-Nya dengan menyebut hidayah-Nya dan mengajarkan untuk memohonkannya pada surat al-Fatihah ihdina ashirat al-mustaqim dan firman-Nya pada awal surat al-Baqarah Huda(n) lil muttaqin. Ini adalah awal peringkat perjalanan menuju Allah SWT, lalu di akhirinya dengan menegaskan persoalan tauhid dalam bentuk yang sangat sempurna sebagaimana dikesankan pada awal surah al-Ikhlash dengan kata qul ini adalah puncak maqamat di kalangan orang-orang arif, dan dengan demikian sempurnalah agama dan berahirlah perjalanan para pejalan menuju Allah dan ditutuplah surat al-Ikhlas itu dengan menetapkan bahwa tiada yang serupa dengan Allah dan ini mengantar seseorang untuk mengarah kepada-Nya serta berkonsentrasi penuh pada-Nya. Dari sini Allah memerintahkan untuk memohon kepadanya dari segala macam kejahatan dan dari keburukan lahir maupun batin sebagai mana di awal surah ini: “Katakanlah wahai Nabi Muhammad SAW kepada siapapun yang dapat menangkap ucapan, katakanlah sebagai pengajaran dan perintah bahwa aku berlindung dengan Tuhan Pencipta dan Pemelihara segala sesuatu yang berbelah dengan mewujudkannya dari gelapnya ketiadaan. Demikian kurang lebihnya al-Biqo’i menghubungkan ayat di atas dengan surah sebelumnya.[4]
Kata (أعوذ) a’udzu terambil dari kata (عوذ) a’udz yakni menuju pada sesuatu untuk menghindar dari sesuatu yang ditakuti, baik makhluk hidup seperti manusia atau jin, atau tidak bernyawa seperti benteng atau gunung, maupun pada al-Khaliq Allah SWT.
Seseorang boleh meminta bantuan pihak selain Allah, tetapi pada waktu yang sama ia harus menyadari bahwa pada hakekatnya pihak yang dimintai bantuan atau perlindungannya hanya sebagai sebab (sarana) yang diciptakan Allah untuk membantu dan melindunginya.
Dalam konteks ini ‘Abbas menceritakan bahwa: “Suatu ketika aku berjalan di belakang Nabi SAW, lalu beliau berkata padaku: “Hai anak, aku ajarkan padamu beberapa kalimat, peliharalah (perhatikanlah) tuntunan Allah SWT, niscaya ia memelihara atau memperhatikan, peliharalah tuntunan Allah, niscaya engkau akan mendapatkan-Nya selalu dihadapanmu. Apabila engkau memohon, memohonlah pada Allah, apabila engkau meminta bantuan, maka mintalah pada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya umat (makhluk) berkumpul untuk memberimu suatu manfaat, mereka tidak akan mampu memberimu kecuali apa yang ditetapkan Allah bagimu. Dan seandainya mereka berkumpul untuk menimpakan mudharrat bagimu, mereka tidak akan mampu kecuali apa yang telah ditetapkan Allah, pena telah di angkat dan lembaran telah kering”. (HR. at-Tirmidzi).
Al-Qur’an menyerupakan orang-orang yang meminta perlindungan pada selain Allah dengan firman-Nya:

مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا ۖ وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ ۖ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
. (العنكبوت: ٤١)
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka Mengetahui. (QS. Al-‘Ankabut: 41).[5]

Sarang laba-laba merupakan tempat perlindungan yang paling rapuh. Betapa tidak sedang setiap serangga yang masuk ke dalamnya terjerat dan dibinasakan oleh laba-laba pembuat sarang itu, jangankan serangga, jantan laba-laba begitu selesai melakukan hubungan sex dengan betinanya, sang betina berusaha membinasakannya dan telur laba-laba setelah menetas saling tindih-menindih sehingga tidak sedikit yang binasa, demikian Allah memberi perumpamaannya.[6]
Kata الفلق berasal dari kata فلق yang berarti yang berarti membelah. Kata dapat berarti subjek sehingga berarti pembelah dan dapat berarti obyek yakni yang di belah.
Ulama, berbeda pendapat tentang maksud kata tersebut dalam surah ini. Ada yang memahaminya dalam arti sempit dan mengartikannya dengan pagi, malam dengan kegelapan diibaratkan sesuatu yang tertutup rapat. Kehadiran cahaya pagi dari celah-celah kegelapan malam, menjadikannya menjadi terbelah. Keadaan demikian, menjadikan pagi dinamakan falaq atau sesuatu yang membelah atau terbelah. Rabb al-Falaq adalah Allah SWT, karena dia yang menetapkan dan mengatur sebab-sebab (hukum alam) yang menjadikan pagi yang membawa, terang itu muncul di tengah kegelapan. Sementara ulama yang mendukung pendapat ini menjelaskan lebih jauh bahwa surah ini mensifati Allah dengan rabb al-Falaq atau Tuhan pembelah (gelap dengan cahaya benderang) karena kejahatan atau kesulitan biasanya muncul di malam hari jadi rencanakan dalam keadaan gelap, baik kejahatan itu dari manusia, binatang dan sebagainya maupun kelam malam itu sendiri. Dengan menyakini bahwa Allah kuasa membelah kegelapan malam dengan terangnya pagi, seseorang akan yakin pula bahwa Allah SWT. Juga kuasa menyingkirkan kejahatan dan kesulitan kapan dan dimanapun dengan memunculkan pertolongan dan menyingkirkan kesulitan. Bukankah kejahatan muncul dari kegelapan sampai-sampai ada yang percaya bahwa malam (kegelapan) adalah Tuhan kejahatan?
Ulama yang memahami kata al-Falaq dalam pengertian luas mengartikan dengan segala sesuatu yang terbelah dan masih banyak yang lain. Allah mensifati diri-Nya faliqu al-habb wa an-nawa (فالق الحب والنوى) pembelah butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan.[7] Serta فالق الاصباح pembelah kegelapan malam dengan cahaya pagi.[8] Dengan merujuk pada keduanya, maka agaknya tidak menyimpan jika rabb al-Falaq dipahami bukan hanya dalam pengertian sempit, tetapi dalam pengertian luas, yakni mencakup segala sesuatu yang dapat dicakup oleh kata al-Falaq.[9]
 (الفلق: ٢)
Artinya: “Dari kejahatan yang di ciptakannya” (QS. Al-Falaq: 2).[10]
Setelah ayat yang lalu mengajarkan agar memohon perlindungan pada Allah pembelah (pencipta segala sesuatu termasuk pagi yang kuasa membelah kegelapan malam), ayat di atas menjelaskan tujuan permohonan perlindungan itu yakni dari kejahatan semua makhluk yang di ciptakan-Nya.
Kata شر asal mulanya berarti buruk atau mudharrat, lawan dari خير yang berarti baik. Ibnu Al-Qayyim dalam tafsirnya mengemukakan bahwa asy-syarr mencakup dua hal, yaitu sakit (pedih) dan yang mengatur sakit (pedih). Sedang kekufuran, maksiat dan sebagainya mengantar pada sakit atau kepindahan siksa Ilahi. Nah, kedua hal itulah yang dinamai syarr. Ulama tersebut kemudian mengemukakan bahwa syarr yang dimohon pada Allah yang dihindarkan ada dua macam juga, yaitu yang telah wujud secara aktual sehingga benar-benar telah dialami oleh si pemohon.
Ayat di atas mengandung permohonan untuk mendapat perlindungan dari keburukan makhluk ciptaan Allah, baik datang dari si pemohon sendiri maupun dari makhluk lain. Keburukan atau mudharrat memang dapat terjadi akibat ulah manusia sendiri juga ulah pihak lain. Salah satu pihak dari Nabi SAW, menyatakan: “Ya Allah kami memohon perlindungan-Mu dari keburukan diri kami dan kejelekan perbuatan kami”. Do’a ini menggabungkan dua macam keburukan. Pertama, keburukan diri karena manusia berpotensi untuk melakukan keburukan. Dan kedua, keburukan perbuatan, yakni pemohon untuk tidak mendapat siksa akibat perbuatan itu melalui pengampunan Ilahi. Ini berkaitan dari diri si pemohon akibat perbuatan makhluk lain.
Dengan pemahaman seperti ini tidak terdapat tempat lagi bagi pendapat-pendapat yang membatasi makna ما خلق dengan makhluk tertentu, seperti iblis atau setan atau binatang tertentu. Yang di mohonkan adalah segala sesuatu yang mengakibatkan syarr atau berpotensi untuk mengakibatkannya.[11]
Kata ما berarti apa, sedangkan خلق merupakan kata bentuk kata kerja masa lampau (madhi) dalam arti yang telah dicitakan. Jika demikian ما خلق berarti makhluk ciptaan-Nya.
Di sini perlu digaris bawahi pengamatan sementara ulama tafsir yang menguraikan bahwa syarr (keburukan kemudharratan) tidak dinisbahkan pada Allah Sang Pencipta, tetapi pada makhluk. Al-Qur’an memang selalu menisbatkan pada Allah sifat dan perbuatan baik dan sempurna tidak pernah menyandarkan keburukan atau kekurangan pada-Nya.[12]
Titik tolak akhlak terhadap Allah SWT adalah pengakuan dan kesadaran bahwa dia memiliki sifat-sifat terpuji. Jika seseorang yakin akan kesempurnaan Allah dan segala yang dilakukan-Nya adalah baik-baik terpuji, maka pastilah ia percaya bahwa tidak sedikit keburukan atau kejahatan yang bersumber dari pada-Nya. Perhatikan ucapan Nabi Ibrahim AS, yang diabadikan al-Qur’an:
#sŒÎ)ur àMôÊ̍tB uqßgsù ÉúüÏÿô±o (الشعراء: ٨٠)
Artinya: “Dan apabila Aku sakit, dialah yang menyembuhkan aku”. (QS. Asy-Syu’ara: 80).[13]

Karena penyakit adalah sesuatu yang buruk, maka Nabi Ibrahim AS, sebagaimana di rekam ayat di atas tidak menyatakan “apabila aku diberi penyakit oleh Tuhan” namun karena kesembuhan disandarkannya pada Allah SWT ini merupakan sesuatu yang terpuji.[14]
Demikian prinsip dasar akhlak al-Qur’an terhadap Allah SWT, dan hal ini yang dapat dipahami dari pemilihan kata. Dari sisi lain anda dapat bertanya “Mengapa ada kejahatan, penyakit dan kemiskinan bahkan mengapa Tuhan menganugerahkan si A aneka ragam kenikmatan dan menjadikan si B tenggelam dalam bencana?
Yang mudah memahami apalagi menjelaskan persoalan ini jika dikaitkan dengan keadilan Ilahi. Hal ini merupakan salah satu yang sangat musykil, khususnya besok ingin memuaskan semua nalar. Itu sebabnya yang merasakan kemaha besaran dan kemaha bijaksanaan Tuhan biasanya hanya berkata: “Ada hikmah di balik setiap peristiwa, baik dinilai sebagai kejahatan atau keburukan maupun sebaliknya”. Tetapi jawaban semacam ini jelas tidak memuaskan nalar.
Terdapat keyakinan tentang adanya dua Tuhan, Tuhan cahaya (kebaikan) dan Tuhan kegelapan. Keyakinan ini sekaligus merupakan jawaban, namun di tolak oleh penganut monoteisme. Al-Qur’an secara tegas menolak dualisme, baik dalam penciptaan, kekuasaan, maupun pengaturan alam raya.
ßôJptø:$# ¬! Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Ÿ@yèy_ur ÏM»uHä>à9$# uqZ9$#ur ( ... (الانعام:١)
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang”. (QS. Al-An’am: 1).[15]

Sementara pakar penyelesaian persoalan ini, dengan menyatakan bahwa apa yang dinamai kejahatan (keburukan) sebenarnya tidak ada, atau paling tidak hanya pada pandangan nalar manusia yang memandang secara parsial.[16] Allah telah menegaskan bahwa:
üÏ%©!$# z`|¡ômr& ¨@ä. >äóÓx« ¼çms)n=yz ( (السجدة: ٧)
Artinya: “Dialah yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya”. (QS. As-Sajdah: 7).[17]

Jika demikian, maka segalanya diciptakan Allah SWT, dan segalanya baik. Keburukan adalah akibat dari keterbatasan pandangan, ia sebenarnya tidak buruk, tetapi nalar manusia mengiranya demikian.
Ayat-ayat berbunyi:

 (الفلق: ٣)
Artinya: “Dan dari kejahatan malam apabila Telah gelap gulita”. (QS. Al-Falaq: 3).[18]

Setelah pada ayat lalu dimohonkan perlindungan Allah SWT. Dari segala macam kejahatan yang sedang dan bisa lahir dari ulah sendiri dan makhluk-Nya, kini ayat di atas dan sesudahnya mengajarkan untuk memohon perlindungan menyangkut tiga hal khusus. Pertama: dari kejahatan dan keburukan yang terjadi pada kegelapan malam pada saat gulita.
Kata غاسق biasa diartikan malam, terambil dari kata غسق yang pada mulanya berarti penuh. Malam dinamai ghasiq karena kegelapannya memenuhi angkasa. Begitu pula air yang sangat panas dan dingin yang keras menyengat seluruh badan. Nanah juga dinamai ghasiq karena ia memenuhi lokasi luka.
Ulama banyak memahami kata tersebut disini dalam arti malam. Memang bisa saja yang dimaksud karena kegelapannya memenuhi angkasa atau karena dinginnya malam dapat menyengat dan merasuk masuk keseluruh tubuh. Pendapat lain tentang arti ghasiq, bersumber dari satu hadis yang menyatakan bahwa Rasul SAW. Menunjukkan bulan seraya bersabda pada ‘Aisyah ra: “Wahai Aisyah, mohonlah perlindungan Allah SWT dari keburukan ini (sambil menunjukkan bulan). Inilah ghasiq idza waqa’ (HR. At-Tirmidzi). Hemat penulis, pendapat dan hadis ini tidak harus dipertentangkan, karena bulan tentunya nampak di malam hari dan bulan bisa merupakan sesuatu yang menimbulkan kejahatan atau keburukan, yakni pada saat pesonanya mengantar pada kedurhakaan.
Kata وقب berasal dari kata الوقب berarti lubang yang terdapat pada batu, sehingga air masuk ke dalam lubang itu. Dari sini kata itu diartikan “masuk” jika anda berkata waqabat asy-syams, maka itu bermakna matahari telah masuk ke dalam kegelapan. Memang biasanya menakutkan, karena seringkali kejahatan dirancang dan terjadi di celah kegelapannya, baik dari para pencuri, perampok atau pembunuh maupun dari binatang buas berbisa atau serangga. Anda dapat memperluas makna malam, sehingga dapat mencakup kerahasiaan.
Di sisi lain karena malam tidak selalu tidak melahirkan kejahatan, bahwa ia dapat dipuji sebagai saat yang terbaik untuk mendekatkan diri pada Allah.[19]
Maka ayat di atas tidak mengajarkan memohon perlindungan dari malam, tetapi dari kejahatan (keburukan) yang terjadi ketika itu, bukan malam keseluruhan.

 (الفلق: ٤)
Artinya: “Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul”. (QS. Al-Falaq: 4).[20]

Ayat yang lalu merupakan permohonan perlindungan dari kejahatan (keburukan) yang terjadi pada waktu tertentu, dan kini melalui ayat di atas yang dimohonkan adalah perlindungan dari ulah sementara orang dapat menjerumuskan pada kesulitan, mudharrat dan penyakit, yakni dari kejahatan dan keburukan peniup-peniup pada buhul-buhul.
Kata النفاثات merupakan bentuk jamak dari kata النفاثة yang berasal dari akar kata نفث yang pada mulanya berarti meniup sambil menggerakkan lidah namun tidak mengeluarkan ludah. Ulama berbeda pendapat tentang fungsi (ة) ta marbuthah pada kata ini. Sebagai besar memahaminya sebagai ta’ta’nis dalam arti menunjuk pada pelaku perempuan sehingga النفاثات berarti perempuan-perempuan yang meniup-meniup. Syekh Muhammad Abduh menjadikan fungsi ta’ menunjukkan pada mubalaghah sehingga kita memahami kata tersebut dalam arti orang-orang (baik laki-laki maupun perempuan) yang memiliki kemampuan tinggi dan atau seringkali meniup-meniup.[21]
Sementara ulama berpendapat bahwa bentuk ma’rifat (definitive) atau dengan kata lain huruf alim dan lam pada kata (النفاثات) dimaksud untuk mengisyaratkan bahwa kejahatan tersebut bukannya lahir dari tiupan itu, tetapi lahir dari pelaku-pelakunya, dan bahwa النفاثات adalah profesi orang-orang yang dikenal oleh mitra bicara pada masa turunnya ayat ini.[22]
Kata العقد merupakan jamak dari kata عقد yang terambil dari kata yang berarti mengikat. Kata ini dapat dipahami dalam arti harfiah yang berarti tali yang mengikat dan juga dapat dipahami alam arti majazi, yakni kesungguhan dan terkadang untuk mempertahankan isi kesepakatan.
Dalam Al-Qur’an dalam bentuk jama’ dari kata ‘uqdah, yakni ‘uqad hanya ditemukan sekali, yaitu pada ayat 4 al-Falaq ini, sedangkan bentuk tunggalnya ditemukan pada dua ayat dari redaksi عقدة النكاح dan pada QS. Thaha ayat 27 yaitu:

(طه: ٢٥-٢٧)
Artinya: “Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku. Dan mudahkanlah untukku urusanku. Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku”. (Qs. Thaha: 25-27).[23]

Sepanjang pengamatan penulis, al-Qur’an tidak menggunakan kata tersebut dalam arti hakiki, tetapi banyak ulama tafsir memahami kata ‘uqud pada ayat ini dalam arti hakiki, sehingga mereka berpendapat bahwa adalah perempuan-perempuan tukang sihir yang meniup-meniup pada buhul-buhul dalam rangka menyihir.
Ayat ini dijadikan dasar oleh mereka disamping ayat-ayat lain untuk membuktikan bahwa al-Qur’an mengakui adanya sihir. Mayoritas ulama memahami demikian, berdasarkan riwayat sebab nuzulnya, yaitu bahwa Nabi SAW pernah disihir dan merasa terganggu dengan sihir tersebut, sehingga Allah SWT mengajarkan beliau untuk menampilkannya dengan surah ini dan an-Nas.
Syekh Muhammad Abduh memahami kata العقد dalam arti majazi, pendapat ini dapat memperhatikan penggunaan al-Qur’an terhadap kata tersebut sebagai penulis kemukakan di atas. Menurut Abduh, النفاثات adalah mereka yang seringkali membawa berita bohong untuk memutuskan hubungan persahabatan dan kasih sayang antara sesama. Redaksi ini menurutnya dipilih al-Qur’an karena Allah SWT bermaksud mempersamakan mereka dengan penyihir yang apabila ingin memutuskan ikatan kasih sayang antara suami istri, mereka mengelabuhi masyarakat awam dengan jalan mengikat satu ikatan kemudian meniup-meniup lalu melepaskan ikatan itu, sebagai tanda terlepasnya ikatan kasih sayang yang terjalin antara suami istri. Memang tulis Muhammad Abduh lebih lanjut membawa berita bohong untuk memutuskan hubungan baik, mirip dengan sihir karena yang demikian itu menjadikan kasih sayang yang tadinya terjalin berubah menjadi permusuhan, melalui cara licik dan tersembunyi, ‘Abduh dengan tegas menolak pendapat ulama yang mengaitkan sabab nuzul surah ini dengan disihirnya Nabi SAW: Bagaimana mungkin dinyatakannya demikian, sedang surah ini turun di Makkah dan apa yang mereka katakan tentang di sihirnya Nabi terjadi di Madinah?
Pendapat ‘Abduh di atas benar jika dipahami pengertian sabab nuzul dalam arti  peristiwa yang terjadi menjelang turunnya suatu ayat. Tetapi ulama-ulama al-Qur’an memperkenalkan makna kedua dari sabab nuzul, yaitu peristiwa yang dapat dicakup hukum atau kandungan oleh ayat Al-Qur’an, baik peristiwa tersebut terjadi maupun sudah turunnya ayat.[24]
Walaupun ‘Abduh menolak hadis tentang sihirnya Nabi SAW. Namun dengan hati-hati ulama ini menekankan bahwa yang menolak riwayat itu tidak otomatis dikatakan menolak pengaruh sihir terhadap orang lain, walaupun tulisannya lebih lanjut: “Orang yang tidak mempercayai adanya sihir tidak dapat dinilai keluar dari agama, karena Allah SWT telah menyebutkan dalam sekian banyak hal-hal yang harus dipercayai oleh orang-orang mukmin dan tidak ada ayat yang menyebutkan sihir sebagai sesuatu yang harus dipercaya sebagaimana kepercayaan penyembah berhala.
Sementara ulama’ yang memahami al-‘uqad dalam pengertian majazi berpendapat bahwa النفاثات adalah istri-istri atau perempuan-perempuan yang berusaha mempengaruhi pendapat-pendapat lelaki atau suami mereka yang telah kukuh dan benar. Pendapat  ini tidak mempunyai dasar kebahasaan apalagi argument keagamaan, walaupun harus diakui bahwa memang ada saja istri atau orang perempuan yang melakukan hal demikian.
(الفلق: ٥)
Artinya: “Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki”. (QS. Al- Falaq: 5)
Salah satu sebab utama dari lahir kejahatan dan upaya memisahkan antara dengan teman atau pasangannya adalah iri hati, karena itu permohonan ayat yang lalu di lanjutkan oleh ayat di atas dengan menyatakan: dan di samping itu aku juga bermohon perlindungan Allah dari kejahatan pengiri dan pendengki jika ia iri hati dan mendengki.
Kata حسد adalah iri hati atas nikmat yang di miliki orang lain di sertai dengan harapan kiranya nikmat itu hilang darinya, baik di peroleh oleh yang iri maupun tidak iri hati dapat juga pada orang yang sebenarnya tidak memiliki nikmat namun diduga memilki oleh orang iri. Bahkan sementara ulama’ memperluas arti hasad atau iri hati sehingga tidak hanya mencakup kedengkian terhadap pihak lain yang memiliki atau di duga memiliki nlkmat, namun kedengkian kepadanya mengantar yang dengki untuk menginginkan agar yang bersangkutan terus menerus berada dalam kekurangan dan kepedihannya. Kata hasad digunakan juga dalam arti keinginan memperoleh nikmat serupa dengan yang di miliki orang lain, tanpa mengharap hilangya nikmat yang di peroleh orang lain itu, ini juga dinamai ghibthah. Dalam konteks ini Nabi SAW. Bersabda:tidak di benarkan hasud (menginginkan perolehan apa yang di peroleh orang lain) kecuali dalam dua hal,yakni anugrah harta yang di nafkahkan dengan hak dan anigrah hikmah(ilmu) kemudian di amalkan dan di ajarkan (HR. Bukhari Muslim melalui Ibn Mas’ud). Sementara pakar menyatakan penyebab dengki ataau iri hati antara lain, 1) keangkuhan, sehingga merasa bahwa apa yang di miliki seseorang tidak wajar untuk yang bersangkutan tetapi wajar untuk dirinya sendiri, 2) Persaingan – khususnya hal materi – akibat tidak mampu menyamai atau melebihi orang lain yang di saingi tersebut akan muncul iri hati, 3) rasa takut, 4) cinta kekuasaan, 5) watak buruk yang tekah menjadi sifat seseorang bisa mengantarkannya iri hati terhadap orang lain tanpa suatu sebab – merupakan iri hati terburuk.[25]
Bila di analisis lebih jauh dapat di simpulkan bahwa sumber utama dari iri hati bahkan semua sifat-sifat tercela adalah perasaan rendah diri yang tersembunyi di dalam jiwa seseorang. Rasa tersebut lahir karena tidak memiliki percaya diri karena kurang iman.
Seseorang yang beriman akan merasa optimis dan sikap penuh harap pada Allah. Ia tidak perlu iri hati karena harapannya pada Allah menjadikannya merasa dapat memperoleh nikmat seperti yang di miliki orang lain.
Permohonan perlindungan terhadap kejahatan orang-orang yang iri hati (dengki), menurut ayat yang di atas di kaitkan dengan اذا حسد apabila iri hati. Ini karena apa yang terdapat dalam hati, boleh jadi di cetuskan dalam bentuk ecapan atau perbuatan. Begitu keinginan agar hilangnya nikmat yang di peroleh satu pihak berada pada diri seseorang maka saat itu pula ia telah dinamai orang yang hasid (orang yang iri hati). Namun apabila baru sampai pada tingkat ini, maka kejahatannya belum menimpa orang lain. Mudharrat baru dapat menimpa orang lain apabila apa yang terdapat dalam hatinya itu di cetuskan dalam bentuk ucapan perbuatan. Nah, inilah yang di gambarkan oleh penggalan ayat di atas:” dari kejahatan pengiri, jika ia iri hatidalam arti ketika apa yang tersirat di dalam hatinya tercetus keluar dalam bentuk ucapan atau perbuatan.[26]
Sebelum tercetus isi hati itu keluar, yang bersangkutan pada hakekatnya memprotes kebijaksanaan Allah dalam memberi anugrahdan pada saat tercetus, maka di samping protes itu dia telah melakukan kejahatan terhadap orang yang di dengkinya.
Sementara ulama’ menegaskan bahwa iri hati dan kedengkian baru sampai pada tingkat isi hati dan belum tercetus, maka sebagian diantaranya dapat di toleransi dan sebagian lainnya tidak. Yang di toleransi adalah apabila iri hati tersebut telah di usahakan untuk mengikisnya, namun masih selalu muncul juga. Di sini ia di toleransi karena amat sulit bagi seseorang untuk dapat menguasai bisikan hatinya. Dalam konteks ini, Nabi SAW bersabda:”seseorang tudak dapat menghindar dari tiga hal. Ath-Thiyarah (pesimisme karena melihat kesulitan). Karena itu jika engkau pesimis jangan di perturutkan, jika bersangka buruk jangan mencari tahu dan jika iri hati jangan menganiaya (yakni jangan cetuskan isi hatimu dalam bentuk ucapan atau perbuatan) (HR.Abu Razaq Melalui Ismail ibnu Umayyah).
Tidak dapat di sangkal dampak negatif iri hati terhadap pelakunya, bukan saja di hari kemudian nanti yang di gambarkan Nabi SAW: ”Membakar (Membinasakan) kenaikan sebagaimana api membakar kayu”. Tetapi juga berpengaruh negatif terhadap jiwanya, sehingga potensi yang di milikinya tidak terarah pada hal-hal positif dan waktunya terbuang untuk memikirkan cara yang menjerumus siapa yang di dengkinya. Bahkan sementara pakar kejiwaan menegeskan bahwa iri hati mempunyai dampak negatif terhadap fisik pelakunya.dalam hal ini Amar an-najjar dalam bukunya at-Thasawwuf an-Nafsyy mengutip pendapat sekian banyak pakar antara lain bersumber dari hasil sebuah statistik yang menjelaskan kaitan antara penyakit fisik orang tua terhadap sikap kejiwaan anaknya. (keturunan) ditemukan bahwa setiap 100 orang yang ditimpa penyakit iri hati, terdapat 57 orang yang berasal dari keturunan orang tua yang punya penyakit gila, 6 orang dari keturunan berpenyakit syaraf, 8 orang dari keturunan pecandu alkohol. Tentunya tulisan An-Najjar yang diwariskan bukan emosi tetapi tidak keseimbangan jiwa, yang melahirkan penyakit- penyakit kejiwaan seperti dengki dan iri hati.[27]
Di sisi lain dikemukakan oleh para pakar bahwa seorang yang iri hati (dengki) kepada seseorang dapat memberi dampak negative terhadap orang yang didengkinya, seperti halnya binatang melalui pandangan matanya dapat melumpuhkan mangsa dan terpaku di tempat dengan pandangan matanya.
Sayyid Qutb dalam tafsirnya mengemukakan bahwa iri hati atau dengki merupakan emosi yang dapat melahirkan dampak negatif terhadap pihak yang tertuju pada iri hati (kedengkian) itu. Menurutnya: “Kita tidak sepenuhnya mengetahui rahasia-rahasia wujud ini serta rahasia jiwa manusia dan “Alat-alat” yang dimilikinya. Terdapat sekian banyak peristiwa yang bersumber dari telepati dimana dapat terjadi komunikasi jaraknya jauh antara pribadi-pribadi. Komunikasi yang tidak ada alasan untuk meragukan kejadiannya setelah disampaikan oleh orang banyak yang menurut adat atau kebiasaan sehari-hari mustahil mereka berbohong dan terbukti pula kebenarannya melalui sekian banyak percobaan, namun yang kita miliki belum dapat memberikan penafsiran yang memuaskan. Selain telepati dan hipnotisme masih banyak lagi rahasia-rahasia manusia dan “alat-alat” yang dimilikinya tetapi belum terungkap hingga dewasa ini.[28]
Dari keterangan di atas tidak wajar menolak pendapat yang menyatakan bahwa bisa saja terdapat mudharrat yang ditimbulkan oleh orang yang iri hati, baik ketika ia mencetuskan kedengkiannya dalam bentuk ucapan atau perbuatan maupun dalam bentuk pandangan matanya. Ada bayangan yang mungkin muncul dari ulah mereka, sehingga wajar memohon perlindungan Allah SWT, karena itu pula Rasulullah SAW. Apabila hendak membuka kedua telapak tangan beliau membaca surah-surah (al-Falaq dan an-Nas) lalu meniup kemudian mengusap seluruh badan beliau dimulai dari kepala dan wajah beliau. Itu beliau lakukan tiga kali, sebagaimana diriwayatkan oleh sekian banyak ulama hadis, antara lain at-Tirmidzi dan an-Nasa’i.[29]
Mutawalli Asy-Sya’rawi mengingatkan orang-orang yang menolak sekian banyak informasi Al-Qur’an tentang hal-hal yang berada di luar alam fisika, bahwa hendaknya kita tidak menuntut agar segala persoalan masuk dalam wilayah kenyataan fisik, karena jika demikian tidak ada lagi tempatnya agama atau kepercayaan. Tuhan menciptakan sekian banyak makhluk yang tidak kita ketahui. Akal kita pun dapat menerima hal ini, bukanlah dahulu sekian banyak persoalan-persoalan yang tidak termasuk dalam wilayah fisik atau percobaan, namun kini telah dapat ketahui. Dan memasukkannya dalam wilayah tersebut? Ambillah contoh bakteri dan virus, kalau sekian abad yang lalu ada yang berkata bakteri atau virus bentuk dan kerjanya seperti ini dan itu, maka ketika itu tidak ada yang akan percaya, tetapi sekarang siapa yang tidak mempercayainya. Karena itu-tulisnya-kita harus bersikap logis dengan diri dan akal kita dan tidak serta merta kita menolak yang tidak terdapat pada dunia nyata kita (empiris) dewasa ini.
Sebenarnya ketiga hal khusus tersebut oleh ayat 3-5 sudah dicakup oleh kandungan permohonan ayat 2, namun ketiganya disebutkan secara khusus, karena sering terjadi dan bahayanya cukup serius.
Di amati dengan redaksi ayat-ayat yang menggambarkan hal-hal di atas, terulangnya kata syarr pada masing-masing ayat, agaknya antara lain karena kandungan-kandungan ayat ini merupakan do’a, sedang do’a biasanya dikemukakan dengan rinci, di mana rincian merupakan gambaran dari harapan pendo’a sekaligus kepuasan batin baginya. Bukanlah semakin besar harapan dan kesungguhan anda meminta, semakin banyak lahir rincian dan pengulangan permintaan?
Boleh jadi kata syarr (keburukan) itu dikemukakan untuk mengisyaratkan bahwa ketiga hal yang disebutkan di atas tidak selalu melahirkan keburukan. Bukanlah malam, peniup-peniup pada buhul, serta iri hati tidak selalu melahirkan keburukan? Di sisi lain, sebenarnya seseorang tidak memandang sesuatu hanya pada sisi buruknya, karena tidak mustahil dari yang buruk sisi baiknya.[30]
Allah SWT, dalam surat ini demikian juga surat an-Nas mengajarkan Nabi Muhammad SAW. Dan juga kita untuk memohon perlindungan kepada-Nya dari sekian banyak hal. Permohonan kepada-Nya melahirkan pesan bagi mutawalli asy-Sya’rowi bahwa persoalan yang dimohonkan perlindungan-Nya itu merupakan sesuatu yang sangat rahasia dan tersembunyi serta berada di luar kemampuan manusia. Karena itu dia memerintahkan kita untuk memohon perlindungan-Nya. Perintah ini mengisyaratkan bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan seseorang darinya kecuali Allah semata. Seandainya hal-hal tersebut berada dalam wilayah kemampuan manusia untuk menangkalnya maka Allah SWT. Tidak akan memerintahkan kita memohon perlindungan-Nya. Demikian Asy-Sya’rawi, ini agaknya karena seseorang Muslim mestinya tidak mengenal sihir, iri hati dan dengki dan karena itu pula dia tidak tahu bagaimana menangkalnya, demikianlah Wa Allah A’lam.[31]




[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan-Pesan dan Keserasian Al-Qur’an Juz Amma, Lentera Hati, Jakarta, Volume 15, 2002, hal. 619.
[2] Ibid, hal. 620.
[3]Al Qur’an Surat Al Falaq Ayat 1, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Al Alwah, Semarang, 1981, hal. 1120.
[4] M. Quraisy Shihab, Op. Cit., hal. 621.
[5] Al Qur’an Surat Al Ankabut Ayat 41, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Al Alwah, Semarang, 1981, hal. 616.
[6] M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, Op. Cit., hal. 622.
[7] Al Qur’an Surat Al An’am Ayat 95, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Thoha Putra, Semarang, 1991, hal. 202.
[8] Al Qur’an Surat Al An’am Ayat 96, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Thoha Putra, Semarang, 1991, hal. 202.
[9] Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, Op. Cit, hal. 623.
[10] Al Qur’an Surat Al Falaq Ayat 2, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Thoha Putra, Semarang, 1991, hal. 1120.
[11] M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, Op. Cit, hal. 624.
[12] Ibid, hal. 625.
[13] Al Qur’an Surat As-Syu’ara Ayat 80, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Al Alwah, Semarang, 1981, hal. 579.
[14] Al Qur’an Surat Al Kahfi Ayat 79-82, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Thoha Putra, Semarang, 1991, hal. 456.
[15] Al Qur’an Surat Al-An’am, Ayat 1, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Al Alwah, Semarang, 1981, hal. 1120.
[16] M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Op. Cit, hal. 626.
[17] Al Qur’an Surat As-Sajdah, Ayat 7, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Al Alwah, Semarang, 1981, hal. 561.
[18] Al Qur’an Surat Al-Falaq, Ayat 3, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Al Alwah, Semarang, 1981, hal. 1120.
[19] Al Qur’an Surat al-Muzammil, Ayat 6, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Al Alwah, Semarang, 1981, hal. 988.
[20] Al Qur’an Surat Al-Falaq, Ayat 4, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Al Alwah, Semarang, 1981, hal. 1120.
[21] M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Op. Cit, hal. 628.
[22] Loc. Cit.
[23] Al Qur’an Surat Thaha, Ayat 27, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Al Alwah, Semarang, 1981, hal. 478.
[24] M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, Op. Cit, hal. 629.
[25]  M. Quraisy Shihab, Tafsir al Misbah, Op.Cit., hal. 630-631.
[26]  Loc.Cit.,
[27] Ibid, hal. 633.
[28] Ibid, hal. 633.
[29] Loc. Cit.
[30] Ibid, hal. 634.
[31] Loc. Cit.

0 Response to "PENAFSIRAN SURAT AL-FALAQ M. QURAISH SHIHAB DALAM TAFSIR AL-MISBAH"

Post a Comment