KEDEWASAAN BERAGAMA DAN MASALAH-MASALAH KEMANUSIAN
MASA KINI
Assalamu'alaikum
warahmatullahi wa barakatuh,
Hadirin dan hadirat yang saya hormati,
Sejak dulu bangsa Indonesia bertahan hidup
dengan dua hal: budaya dan agama. Kebutuhan primer, sekunder, dan tersier
masyarakat dipenuhi melalui produk budaya dan agama. Budaya dan agama seperti
gula dan kopi yang saling melengkapi dalam secangkir kopi tubruk. Kopi saja
tanpa gula, rasanya terlalu serius sehingga hanya orang-orang tertentu saja
yang bisa menikmatinya. Sementara gula saja tanpa kopi, manisnya terlalu legit.
Agama, atau tepatnya spiritualitas, terkadang
dan bahkan seringkali menjadi parameter kecukupan dan kenikmatan hidup. Orang
dihormati jika sudah memanfaatkan hartanya untuk agama, misalnya berhaji atau
membangun rumah ibadah. Di sisi lain, orang bisa merasa amat bersyukur meski
hidupnya nampak jauh dari makmur. Tak sedikit orang yang berdoa, mengadu kepada
Yang Maha Kuasa, ketika ditimpa masalah. Bahkan, demi menggaet seorang gadis
pun terkadang menggunakan wirid alias ajian pengasihan. Atau, mengejar materi
dengan merapal mantra pesugihan.
Saking kentalnya agama dalam kehidupan
masyarakat, landasan dasar negara ini pun tak luput dari pengaruh agama. Dalam
Pembukaan UUD 1945 dinyatakan jelas, Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa,
dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Sila
pertama Pancasila berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian terdapat
sedikitnya delapan ketentuan yang secara eksplisit mempertegas bahwa
nilai-nilai ketuhanan atau nilai agama merupakan roh dari konstitusi. Ketentuan
itu terwakili dalam sejumlah pasal pada UUD 1945. Terdapat pula regulasi yang
mengatur kehidupan beragama, seperti UU Perkawinan, UU Haji, UU Zakat, hingga
UU Jaminan Produk Halal. Sebagian aturan lain juga memuat poin tentang agama.
Sebut saja misal UU Pilkada No. 10/ 2016 Pasal 69 yang mengatur kampanye dengan
isu agama.
Masuknya unsur agama dalam hukum di negeri ini
adalah bentuk refleksi masyarakat kita yang agamis. Selain mengikat diri dalam
sistem sosial berkerangka agama, masyarakat kita juga gemar membudayakan
perayaan agama. Berbagai momentum dibicarakan dengan sentuhan agama dan budaya.
Entah berapa banyak kegiatan sosial seperti gerak jalan kerukunan, kemah
kerukunan, dialog pemuda antar-agama, dan sebagainya. Mungkin hanya di negeri
ini ada doa bersama antar-agama. Kalaupun di negara lain ada kegiatan serupa,
hampir bisa dipastikan penggeraknya adalah orang Indonesia. Kita bahkan punya
momen Mudik Lebaran yang tak hanya berasal dari budaya tapi juga merupakan
refleksi pengamalan agama. Urusan Mudik Lebaran melibatkan banyak instansi
karena hari raya itu sudah jadi milik bersama rakyat Indonesia.
Alhasil, bila ada anggapan bahwa agama dan
budaya sukar diakurkan, maka Indonesia menepisnya. Bagi bangsa ini, agama dan
budaya adalah sejoli yang saling melengkapi. Jika hilang satu, tamatlah
keharmonisan Indonesia. Karena itu, dalam konteks menjaga pasangan 'agama dan
budaya', kita perlu belajar dari cuitan salah seorang selebritas di Twitter,
Janganlah bercerai. Saya sudah pernah. Repot ngurusnya", begitu
kicauannya.
Para agamawan, budayawan, dan semua yang hadir
di sini,
Kompleksitas budaya yang meliputi unsur sosial,
politik hingga ekonomi sangat mempengaruhi cara masyarakat mengekspresikan
keyakinan agamanya. Itu sebabnya, wajah keberagamaan bisa berbeda-beda di
setiap tempat sesuai kondisinya. Di Indonesia terdapat sedikitnya empat cara
masyarakat dalam beragama:
Pertama, tradisional atau beragama berdasarkan
tradisi. Orang beragama dengan mengikuti tradisi dan pakem ritual yang turun
temurun. Kedua, formal atau beragama berdasarkan formalitas atau meniru cara
beragamanya penguasa atau tokoh berpengaruh. Ada ungkapan agama rakyat adalah
agama raja.
Ketiga, rasional atau beragama dengan
mendahulukan rasio. Agama dipahami, dihayati dan diamalkan jika dapat dinalar
dengan akal, bisa dihitung secara matematis, atau terbukti secara empiris.
Keempat, kontekstual atau beragama dengan menggunakan pikiran sekaligus
perasaan. Meskipun menggunakan rasio, cara beragama ini mensyaratkan terjaganya
kesinambungan ajaran dari sumber yang otoritatif.
Semua cara beragama itu tumbuh karena pada
dasarnya masyarakat kita bersifat terbuka. Agama mudah diterima karena dianggap
bisa merekatkan solidaritas, menjadi pengontrol moral, sekaligus memotivasi
perubahan. Norma-norma yang baik memiliki daya dorong yang kuat ketika
termaktub dalam kitab suci. Pada budaya Jawa misalnya, ada ajaran Molimo yang
berintikan larangan terhadap 5 hal: Main, Minum, Madat, Madon, dan Maling.
Ajaran ini sesuai dengan anjuran kitab-kitab suci.
Dalam konsep yang sederhana, hubungan agama dan
budaya ibarat botol bertemu tutup yang klop. Ketika agama membutuhkan
perangkat, budaya menyediakannya. Kewajiban menutup aurat bagi umat Islam,
misalnya, memerlukan produk budaya berupa pakaian. Dan, produk budaya yang
digunakan sebagai atribut biasanya dibikin dengan kualitas terbaik. Sebut
contoh, candi dibangun semegah dan seindah mungkin sebagai tempat bersemedi
bagi pemeluk Hindu dan Budha. Siapa yang menyangsikan kemegahan Borobudur dan
Prambanan?
Berpadunya budaya dan agama di Indonesia
meninggalkan produk-produk fisik seperti arsitektur candi yang
merepresentasikan tingginya peradaban. Namun menariknya, ketika Islam datang,
produk semacam itu tetap berdiri dan muncul akulturasi pada bangunan baru seperti
Masjid Kudus yang memadukan Hundu-Budha-Islam dan Jawa-India-Arab. Produk non
fisik seperti peringatan kematian tetap dilestarikan, tapi diubah substansinya
dengan pembacaan ayat-ayat suci dan zikir atau yang kemudian dikenal dengan
istilah Tahlilan.
Itu artinya, masyarakat kita sudah terbiasa
berbaur antarpemeluk agama dan antarpemilik kebudayaan. Bukan hal aneh ketika
di beberapa daerah masjid berdiri di sebelah gereja dengan masing-masing
menonjolkan ciri khas bangunannya. Fenomena ini menunjukkan bahwa agama tak
perlu menjadi pemisah sesama warga. Juga menegaskan bahwa kerukunan adalah ruh
bangsa ini. Kerukunan melengkapi budaya lain yang luhur seperti gotong royong
dan sopan santun. Jika dicermati, konflik-konflik agama di Indonesia terjadi
bukan karena pertentangan antar-ajaran agama, melainkan bermula dari hal di
luar agama itu sendiri. Mulai dari soal politik, ekonomi, sosial, hingga hal
yang bersifat personal seperti asmara. Agama dalam model dan pola konflik
seperti itu sesungguhnya hanya dibawa-bawa sebagai alat justifikasi dan
pembenar atas tindakan para pihak yang berkonflik.
Saudara-saudari sekalian yang berbahagia,
Masyarakat Nusantara yang berperadaban, konon
tinggal cerita. Pada abad ke-18 dan 19, cerita dari daerah ke daerah berisi
perbudakan dan penjajahan. Kondisi ini memantik gagasan akan lahirnya bangsa
Indonesia yang baru. Bangsa yang tak jumud dan siap menyongsong kemajuan.
Pada 1930-an, Sutan Takdir Alisyahbana
memimpikan bangsa Indonesia baru yang lepas dari bayang-bayang masa lalu. Sebuah
bangsa yang bukan kelanjutan Mataram, Banjarmasin, atau Sunda. Ia membayangkan
bangsa Indonesia seperti orang Barat yang aktif dan dinamis. Menurutnya, Barat
bergerak maju karena mengedepankan rasionalisme, individualisme, dan
positivisme.
Sanusi Pane, menyatakan pendapat berbeda.
Menurut dia, Indonesia harus dibawa ke arah yang sempurna, yaitu menyatukan
Faust dan Arjuna, memesrakan materialisme, intelektualisme, dan individualisme
dengan spiritualisme, perasaan, dan kolektivisme. Ia berharap kebudayaan
Indonesia meluas, bukan mengubah dasarnya.
Pemikir lain, Purbatjaraka, menawarkan jalan
tengah dengan mengingatkan, janganlah mabuk kebudayaan kuno dan mabuk kebaratan
pula, pilihlah yang terbaik dari keduanya. Pergulatan tentang Indonesia ini
makin mengemuka ketika pemikir-pemikir lain seperti Sutomo, Adinegoro, dan Ki
Hajar Dewantoro turut berpendapat. Achdiat Kerta Miharja kemudian mengumpulkan
pergulatan ide para pemikir itu dalam buku berjudul Polemik Kebudayaan.
Beragam gagasan yang terangkum dalam Polemik
Kebudayaan itu pada akhirnya mewarnai cita-cita Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dalam rumusan Pancasila dan UUD 1945. Pada masa Reformasi,
gagasan-gagasan tersebut ditakar ulang untuk menjawab pertanyaan: ke mana
Indonesia?
Hasil penakaran itu mewujud pada amandemen
konstitusi. Dialektika pada masa Reformasi mempertegas adanya sinergitas dan
simbiosis mutualisma antara agama dan nasionalisme. Hal ini dapat dilihat pada
spirit dan filosofi UUD yang selaras dengan nilai-nilai agama. Konsep dasar
seperti keadilan sosial, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, permusyawaratan,
dan lain-lain merupakan konsep yang tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai
ketuhanan yang bersumber dari agama yang ada di Indonesia.
Dalam konstitusi hasil amendemen, agama
menempati posisi strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Aspirasi
rakyat agar agama menjadi panduan moral negara diakomodasi dengan baik dalam
konstitusi. Pengelolaan negara dan pemerintahan harus berdasar Ketuhanan Yang
Maha Esa. Penyelenggara negara tak hanya bertanggung jawab kepada rakyat,
tetapi juga kepada Tuhan sesuai dengan sumpahnya saat awal menjabat. Lingkup
peradilan kita juga mengenal dan mempraktekkan peradilan agama. Nilai-nilai
agama, bersama moral, keamanan, dan ketertiban umum, bisa membatasi pelaksanaan
hak dan kebebasan seseorang sejauh ditetapkan dengan undang-undang. Sistem
pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia. Sementara ilmu pengetahuan dan teknologi dimajukan dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama. Itulah norma-norma dasar yang ditetapkan dalam
konstitusi kita.
Saudara-saudari se-Tanah Air,
Hari ini kita dihadapkan pada pertanyaan serupa
pada zaman pra kemerdekaan maupun masa reformasi: di mana, ke mana Indonesia?
Pertanyaan ini kembali mengemuka karena kita
berada di persimpangan yang menantang. Indonesia yang strategis dari sisi
geografis dan demografis menjadi sasaran perebutan hegemoni Barat, Timur, dan
Timur Tengah. Tarik menarik kepentingan akhirnya menyeret anak bangsa pada
polarisasi yang saling menegasikan. Pada saat nasionalisme meluntur, anak
negeri terpencar ke dalam kelompok konservatif, kelompok liberal, komunis,
hingga kalangan permisif. Di sinilah mulai terjadi perubahan karakter. Anak
bangsa yang toleran mendadak bertindak intoleran. Kesantunan tertutupi aksi
kekerasan. Keramahan berganti rupa jadi keserakahan. Tak pelak, konflik merebak
di segala tingkatan.
Pesatnya teknologi komunikasi informasi
menggerus interaksi sosial yang selama ini jadi ruang kompromi untuk meredam
benturan kebudayaan. Forum musyawarah tergantikan oleh chatting dan
telekonferensi yang seringkali gagal fokus, lalu gagal paham. Kerja bakti
tergantikan kesibukan kerja individual di kantor virtual. Persahabatan luntur
karena tangan tak lagi saling menjabat, berganti jemari yang menari di atas
laptop. Dan, ketrampilan menulis jadi tumpul karena kertas surat sudah
dipangkas pesan pendek dari ponsel.
Menjamurnya media membawa virus hiperealitas
dengan gejala pengaburan realitas sehingga seringkali citra lebih dipercaya
ketimbang fakta. Orang terbuai iklan dan sinetron sehingga mengejar harapan
palsu melalui cara instan, ingin meraih sesuatu semudah makanan cepat saji.
Dalam kepalsuan itu, sulit dibedakan antara kebaikan dan keburukun atau halal
dan haram.
Memasuki era digital, hiperealitas berangsur
memicu hipermoralitas atau hilangnya daya nalar dan batas moral. Penyebabnya
adalah fatalitas komunikasi tiada henti: informasi-informasi tak penting dan
serba tak jelas berkembang biak cepat menyebar ke arah ekstrim, langsung
menjejali otak. Akibatnya, orang mudah mengumpat, menghujat, bersumpah serapah,
bahkan membunuh dengan kata-kata. Untungnya, sekali lagi untungnya ini kata
yang khas Indonesia banget masih ada Mukidi, guyonan-guyonan segar yang
menurunkan tensi.
Saat ini, apa pun agama dan kepercayaan kita,
pada akhirnya kita semua berada dalam posisi yang sama: menjadi umat digital.
Ekspresi beragama telah berevolusi. Kaum muslim kini bertasbih gawai, mendaras
ayat Quran digital, fikihnya adalah Kanjeng Google, rajin mengikuti majlis
Al-Fesbukiyah, berceramah lewat Twitter, bermuhasabah di Instagram, dan berguru
pada Youtube.
Media massa dan media sosial, yang masih amat
longgar regulasinya, seolah arena pertarungan bebas sekaligus panggung drama
yang gratis. Pembunuhan karakter, perampokan karya cipta, perundungan,
bercampur aduk dengan penipuan dan pertunjukan. Tuntunan jadi tontonan, dan
tontonan jadi tuntunan. Terjadilah distorsi informasi, glorifikasi pesan, dan
kesemrawutan konten. Akibatnya, orang tak sempat mengunyah kabar yang matang.
Informasi agama ditelan mentah-mentah dari internet sehingga rentan tersesat,
jadi penghujat, dan gagal memaknai jihad.
Di mana Indonesia? Pertanyaan ini begitu
menghunjam ketika sesama netizen saling mengancam. Jawabannya, kita kurang
cepat beranjak ketika zaman telah jauh bergerak. Bangsa ini telat
mengantisipasi perkembangan zaman. Laju teknologi dan banjir informasi tak
terbendung regulasi dan edukasi. Padahal dua hal itulah sumber ketahanan budaya
selama ini. Kita terlalu lama miskin literasi sehingga terkaget-kaget dengan
air bah informasi. Kita juga terlalu abai mengelola kekayaan negeri sehingga
hanya bisa marah ketika semua komoditas telah berpindah. Kita tak maju-maju
karena tak kunjung mengejar standar mutu. Kita alpa meningkatkan kualitas
religi untuk membentuk generasi yang berbudi. Dan, kita lupa mengajarkan
keanekaragaman sehingga gegar budaya ketika berhadapan dengan kelompok berbeda.
Saudara-saudari sekalian yang saya kasihi,
Di tengah segala ketelanjuran, kita masih punya
kesempatan untuk berbenah. Hari-hari ini kita mendapatkan ujian tentang
kebangsaan. Apa yang terjadi belakangan ini terkait isu-isu SARA, anggaplah
sebagai batu loncatan menuju kemajuan. Inilah saatnya kita diingatkan tentang
pentingnya arti persatuan dan kesatuan, serta dalamnya makna kebhinekaan. Kita
harus menjawab tantangan tentang hakikat implementasi persaudaraan, ketika
pemikiran tentang masa depan Indonesia terus dipergulatkan. Kita memerlukan
lebih banyak dialog yang mencerahkan untuk menyamakan persepsi menuju Indonesia
yang lebih berperadaban.
Hal pertama yang harus didialogkan adalah ihwal
jatidiri bangsa. Kita tak perlu mencari rumusan baru, cukuplah memperkuat
kesepakatan para pendahulu bahwa NKRI adalah harga mati dan Bhinneka Tunggal
Ika harus menjadi denyut nadi. Tahun 1956, Menteri Agama saat itu, KH Muhammad
Ilyas, memetakan pemeluk agama Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia ke
dalam tiga kelompok besar. Yaitu, Islam Amaliah atau kaum saleh yang rajin
beribadah. Lalu, Islam Ilmiah yang berarti kelompok intelektual muslim.
Kemudian, Islam Seumangat atau umat Islam yang cepat mendidih darahnya ketika
agama atau kitab sucinya dilecehkan. Di antara tiga kelompok itu, nomor tiga
atau Islam Seumangat paling banyak jumlahnya.
Sekarang tahun 2016. Pemetaan itu relatif belum
jauh berubah. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa kepekaan terhadap isu-isu
agama masih amatlah penting bagi keutuhan bangsa. Keharmonisan harus dibangun
dari kesadaran dan kepedulian. Toleransi harus dijaga para pihak dengan sepenuh
hati. Janganlah usil memainkan isu agama karena dampaknya bisa fatal. Marilah
mengejawantahkan kembali kata-kata yang cukup lama hilang dari ingatan bangsa
ini, yaitu tenggang rasa dan tepo seliro.
Di tengah persaingan global yang kian ketat,
bangsa Indonesia tak boleh diam di tempat. Satu-satunya cara untuk naik kelas
adalah meningkatkan kapasitas. Religiusitas harus diimbangi dengan kemampuan
teknis untuk menggerakkan ekonomi, memanfaatkan teknologi, hingga mengolah
informasi. Energi spiritual yang memuat nilai ketuhanan harus terjiwai dalam
diri penggerak pembangunan maupun penegak keadilan. Tegasnya, setiap anak
bangsa harus mengamalkan lima nilai budaya: integritas, profesionalitas,
inovasi, tanggung jawab, dan keteladanan.
Dengan demikian, manusia Indonesia yang ideal
adalah sosok yang memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional,
kecerdasan spiritual, sekaligus kecerdasan kultural. Bila sebagian besar anak
negeri bercirikan seperti ini, maka kita mencapai transformasi nasional yang
berkeadaban tanpa politik transaksional dan gaya beragama yang sensasional.
Itu artinya, model keberagamaan harus lebih
dewasa, dari sekadar Amaliah menjadi Ilmiah. Kesalehan individu harus mewujud
dalam kesalehan sosial, dari sekadar rajin berdoa menjadi ramah tamah dan
ikhlas bersedekah. Pemuka agama jangan lagi melulu mempromosikan puritanisme
dan konservatisme, tapi juga perlu mewacanakan dan mengamalkan pengembangan
ekonomi umat dan wawasan kebangsaan. Jika anak-anak muda yang agamis plus
nasionalis sibuk berkarya, niscaya tak sempat lagi mereka mengkafirkan orang
lain. Pada titik ini, agama ditampilkan secara promotif dan bukan konfrontatif,
karena agama hakikatnya adalah mempromosikan kebajikan dengan cara-cara yang
indah nan menggugah.
Saat ini ada kecenderungan dunia sedang memanas
seiring naiknya suhu politik di beberapa negara berpengaruh. Ekstremisme agama
berlomba dengan rasialisme budaya. Kondisi ini tentu negatif bagi tugas manusia
sebagai makhluk Tuhan yang diberi amanat memperbaiki peradaban dunia. Tuhan
menciptakan manusia dengan berbagai keragaman justru karena berbagai
keterbatasan yang ada pada diri manusia itu sendiri. Dengan adanya
keanekaragaman tersebut manusia yang serba terbatas itu lalu diharapkan
bersegera dan berlomba saling mengisi dan melengkapi satu sama lain dalam
kebajikan, bukan saling memungkiri, bukan saling memusuhi. Agama mestinya
membiasakan kita menjalani amalan: dengan cinta saling mendidik, bukan dengan
murka saling menghardik, dengan hati saling mengasihi, bukan dengan benci
saling menegasi dan mencaci maki.
Kalau kita menyikapi perbedaan dengan penuh
kearifan, maka semuanya akan mendapatkan pencerahan. Itu sangat dimungkinkan
jika, sekali lagi, kita menaikkan level keagamaan dan kebudayaan dari sekadar
Amaliah menjadi Ilmiah. Contohnya sebetulnya tak kurang. Berapa banyak pasien
rumah sakit yang diselamatkan jiwanya oleh tim dokter yang bekerja atas
kesamaan ilmu kesehatan dan bukan perbedaan keyakinan agama. Alat laboratorium
dapat digunakan untuk memastikan kehalalan suatu produk bagi umat Islam,
meskipun teknologinya diciptakan non Muslim. Jemaah haji, peziarah Yerussalem,
pengunjung Sungai Gangga, semua menggunakan pesawat yang sama yang entah apa
agama yang dianut pembuatnya.
Marilah kita sadari bahwa Bumi yang kita pijak
adalah tempat kita semua bersama-sama hidup dan mencari penghidupan. Janganlah
serakah supaya tak hilang berkah. Di sebagian kalangan pengusaha, tren cara
bisnis telah bergeser dari kompetisi menjadi sinergi, bahkan belakangan muncul
istilah ekonomi berbagi. Seyogianya tren seperti ini juga menular di ranah
lebih luas. Jika politisi dan agamawan bergandeng tangan menciptakan ketenangan
dengan jiwa kebangsaan, dan lebih jauh lagi dengan jiwa kemanusiaan, maka
rakyat dan umat akan berangkulan dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Dan itulah
sejatinya cita-cita negara ini sebagaimana termaktub dalam konstitusi,
sekaligus cita-cita agama itu sendiri.
Sebuah gagasan terkadang tak mudah dilakukan.
Tapi bukan berarti mustahil. Marilah kita memulai dari diri sendiri dengan
sebuah langkah kecil. Detik ini juga mari kita manfaatkan media sosial untuk
hal-hal positif saja. Selanjutnya, marilah kita kawal media agar kembali kepada
fungsinya bagi negeri, yaitu turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan
begitu, rakyat Indonesia akan menjadi bangsa yang produktif sehingga bisa
mewarnai peradaban dunia secara positif dan konstruktif.
Demikian, semoga Tuhan membimbing kita ke jalan
yang benar dan menjaga keutuhan NKRI. Jayalah Indonesia!
Wassalamu alaikum warahmatullahi wa barakatuh
0 Response to "PIDATO TENTANG KEDEWASAAN BERAGAMA"
Post a Comment