PENAFSIRAN SURAT AL-FALAQ OLEH HAMKA
Hamka
memakai metode tahlili tidak jauh berbeda dengan metode yang dipakai
oleh kitab-kitab tafsir pada umumnya dengan menerapkan sistematika tertib
mushafi dan mengambil corak al-adab al-ijtima’i[1]
yang di lihat penafsirannya terhadap surat
al-Falaq.
Artinya:
“1. Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh, 2. Dari
kejahatan makhluk-Nya, 3. Dan dari kejahatan malam apabila Telah gelap gulita, 4.
Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,
5. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki." (QS. Al-Falaq: 1-5).[2]
Ia
menjelaskan pada ayat 1 dari surat
Al-Falaq bahwa Allah SWT adalah tempat berlindung bagi kita. Berlindung disini
juga merupakan perintah yang ditujukan pada Nabi Muhammad SAW dan umatnya.
Sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah menciptakan dan membuat suasana
cuaca subuh. Dalam ayat ini, Al-Falaq yang tertulis di ujung ayat kita artikan
cuaca subuh, yaitu ketika perpisahan antara gelap malam dengan terbitnya fajar
sebagai tanda hari akan beranjak siang. Dengan bijaksana (hikmat) tertinggi
Tuhan mewahyukan kepada Rasul-Nya tentang pentingnya saat pergantian hari,
yakni dari malam pada siang itu. Waktu itu adalah hari yang baru, yang tengah
kita hadapi. Dari permulaan subuh itu Allah memberikan kita waktu sebagai modal
hidup sehari semalam 24 jam lamanya. Kita diperintah untuk melindungi diri,
memohon perlindungan dan pernaungan kepada Tuhan yang menguasai cuaca subuh.
Berlindung pada Tuhan agar terlepas dari segala bahaya yang ada dihadapan kita yang
kita sendiri tidak tahu.[3]
Al
Falaq bisa juga diartikan dengan peralihan-peralihan dari malam menuju siang,
peralihan dari tanah yang telah sangat kering kemarau menuju masa penghujan
yang bisa menumbuhkan tanaman peralihan dari biji kering yang terlempar ke atas
tanah menuju timbulnya umat sebagai awal kehidupannya. Maka berlindunglah
kepada Allah dalam sebutan-Nya sebagai Rabb, yang berarti mengatur,
mendidik dan memelihara agar Allah berkenan melindungi kita dari kemungkinan
adanya bahaya yang ada pada pergantian siang dan malam atau peralian musim.
“Dari
Kejahatan apa-apa yang telah dia jadikan” (Ayat 2) Allah menciptakan semua makhluk, baik langit
maupun matahari, bulan dan bintang gemintangnya, sampai kepada awan-awannya
yang berarak, atau bumi dengan semua isi penghuninya, laut dan daratnya, bukit
kurahnya, semuanya adalah ciptaan Tuhan. Sedangkan kita manusia ini hanyalah
satu makhluk kecil yang terselat di dalamnya. Dan segala yang telah dijadikan
Allah itu bisa saja membahayakan bagi manusia, meskipun sepintas lalu kelihatan
tidak apa-apa. Misalnya hujan yang lebat biasa menyebabkan banjir dan kita
ditimpa celaka kejahatan banjir seperti hanyut dan tenggelam, panas yang terik
bisa menjelma menjadi kebakaran besar dan kita bisa turut hangus terbakar,
gunung yang tinggi yang sepintas lalu menjadi perhiasan alam sekelilingnya dan
penangkis angin ribut bisa runtuh dan longsor, kita pun mati terhempit dalam
timbunan tanah, lautan tempat kita berlayar dengan kapal bisa saja di hantam
badai, tiang patah, atau tersandung gunung salju sehingga kapal tenggelam dan
kitapun mati. Naik pesawat terbang alat penghubung paling cepat jaman modern
ini bisa saja membentur gunung karena awan tebal yang akhirnya hancur bersama
kita yang ada di dalamnya atau badai laut yang keras yang tidak dapat diatasi
bisa menyebabkan kapal tenggelam perut (dasar) lautan. Bermain di bawah pohon
besar tiba-tiba angin puyuh datang berhembus, pohon tumbang kita mati
dihimpitnya. Naik kereta api bisa saja tergelincir relnya sehingga jatuh dan
hancur. Naik mobil sehingga tidak bisa dikendalikan sehingga masuk ke dalam
lurah (jurang). Kita di jalan raya kita bertemu dengan orang sedang mengamuk
yang bisa menikam siapa saja yang ditemuinya, kita pun bisa kena. Kompor
minyak, bisa saja meletus. Perempuan yang tengah masak di kelunyut minyak
tanah, terbakar dan mati. Orang naik sepeda dengan kecepatan tinggi (kencang),
bisa terbentur ke batu besar terlempar badannya kena tonggak kawat, kepalanya
pecah dan mati.[4]
Dari
fenomena tersebut maka semua ciptaan Allah mungkin saja ada bahayanya yang
tidak kita duga, misalnya gunung dilanda meletus dengan tiba-tiba pada tahun
1973, padahal menurut penyelidikan para ahli sudah 7000 tahun gunung itu tidak
berapi (aktif) lagi. Kita manusia ini hanya suatu makhluk kecil yang hidup
diantara makhluk yang lebih besar dan lebih dahsyat bahkan paku kecil yang
terlepas dari terompah (sandal) di jalan raya ketika terinjak oleh seorang
pejalan kaki yang tidak memakai alas, paku tersebut bisa saja berkarat dan
berbisa lalu dari luka kecil yang timbul dari paku itu bisa saja berkarat dan
berbisa lalu dari luka kecil yang timbul dari paku itu bisa menimbulkan infeksi
keracunan darah yang bisa menyebabkan kematian.
Bisa
dikatakan bahwa dimanapun terdapat bahaya yang tidak boleh kita lupakan. Allah
SWT sebagai pencipta seluruh alam Maha Kuasa pula menyelipkan bahaya pada
barang-barang atau sesuatu yang dipandang remeh. Oleh sebab itu di dalam ayat
ini kita diperintah meminta perlindungan diri kepada Allah dalam namanya sebagai
rabb, penjaga, pemelihara, pendidik, dan pengasuh agar diselamatkan dari
segala yang berbahaya yang mungkin ada diseluruh alam sebagai ciptaan-Nya.[5]
“Dan
dari pada kejahatan malam apabila ia telah kelam” (ayat 3). Apabila matahari telah
terbenam dan malam pun datang menggantikan siang semakin lama matahari
terseruluk kesebalik bumi dan malam
bertambah kelam. Malam yang kelam ini merubah suasana. Di rimba-rimba,
semak-semak belukar yang lebat, di padang-padang dan gurun pasir timbullah
suasana sepi dan seram yang mencekam. Maka dalam waktu malam itu berbagai ragam
bahaya dapat terjadi. Bintang-bintang berbisa seperti ular, kala dan lipan
keluar gentayangan di waktu malam. Ketika kita sedang tertidur nyenyak siapa
yang memelihara kita dari bahaya kalau bukan Tuhan?
Seorang
pencuripun keluar pada malam hari di tengah orang yang sedang enak tidur,
kadang-kadang sedemikian nyenyak tidurnya barang-barang berharga yang ada di
rumah diangkat dan diangkut pencuri sedangkan kita tidak tahu sama sekali.
Setelah bangun di pagi hari kita tercengang melihat barang-barang penting milik
kita yang berharga telah hilang (licin tandus) dibawa maling.[6]
Dalam
kehidupan modern kota-kota besar lebih dahsyat lagi bahaya malam. Orang yang
tenggelam dalam lautan hawa nafsu tidak lagi menuntut kesucian hidup, pada
malam hari itu dia keluar rumah menuju tempat-tempat maksiat. Di malam harilah
harta benda dimusnahkan di meja judi atau dalam pelukan perempuan jahat. Di
malam hari suami menghianati istrinya dan gadis-gadis remaja hidup bebas
dirusaklah keprawanannya (virgin), dihancurkan masa depannya sendiri. Oleh
karenanya kita diperintah berlindung kepada Allah sebagai Rabb dari bahaya
kejahatan malam apa bila telah kelam disetiap waktu (zaman).
“Dan
dari pada kejahatan wanita-wanita peniup pada buhul-buhul” (ayat 4). Yang dimaksud disini ialah
bahaya dan kejahatan mantra-mantra sang dukun. Segala macam mantra atau sihir
yang digunakan untuk mencelakakan orang lain.
Dengan
adanya ayat ini nyatalah bahwa al-Qur’an mengakui adanya hal-hal yang demikian.
Jiwa manusia mempunyai kekuatan batin tersendiri di luar kekuatan jasmaninya.
Kekuatan yang demikian bisa saja digunakan untuk tujuan yang buruk, di dalam
Bahasa Minang Kabau kata-kata tuju itu terdapat sebagai bagian dari sihir,
misalnya tuju gelang-gelang yaitu dengan membulatkan ingatan jahat kepada orang
yang di tuju, orang itu bisa saja sakit perut. Gelang-gelang atau cacing yang
ada dalam perut orang itu bisa mengakibatkan penyakit yang membawa sengsara
bahkan membawa maut bagi yang dituju. Gelang-gelang si raja besar, atau
gelang-gelang di Ma-u-wek![8]
Selain
itu ada tuju yang bernama Gayung, Tinggam dan Gasing. Sedangkan dalam Bahasa
Jawa yang dimaksud dengan kata-kata “nuju wong” arti harfiahnya
(etimologi) menuju orang, maksudnya penyihir orang.
Di
dalam surat
al-Falaq ayat 4 ini kita berlindung dari kejahatan wanita-wanita peniup pada
buhul-buhul. Karena di zaman dahulu tukang mantra, memantrakan dan
meniup-niupkan itu kebanyakan perempuan. Bahkan di Eropa tukang-tukang sihir
yang dibenci itu dilambangkan dengan perempuan-perempuan tua yang telah ompong
giginya dan mukanya seram serta menakutkan. Dihadapannya terjarang sebuah
periuk yang selalu dihidupkan api di bawahnya dan isinya macam-macam ramuan
yang antara lain berisi anak kecil hasil perzinahan yang baru lahir. Maka dalam
ayat ini disebutkan bahwa perempuan tukang sihir itu meniup atau
menghembus-hembus barang ramuan yang dibungkusnya dan bungkusan itu mereka ikat
dengan tali yang dibuhulkan isinya barang-barang kotor atau yang mengandung
arti untuk tuju tadi. Misalnya jarum tujuh (7) buah guna menusuk-nusuk perasaan
orang yang dituju, sehingga selalu merasa sakit. Atau juga cabikan kain kafan,
tanah kuburan yang masih baru dan nisan (mejan). Pendeknya (baca:
ringkas) barang-barang ganjil yang mengandung kepercayaan sihir (magic) dengan
tujuan menganiaya.[9]
Pada
dasarnya jiwa manusia bisa saja dibawa pada perbuatan buruk. Jika jiwa orang
yang terkena tuju lemah tidak punya pegangan dan tidak ada perlindungan sejati
terhadap Allah, maka dia bisa tewas karena mantera dukun tukang tiup tersebut.
Jadi ayat ini menjelaskan apabila seseorang telah pokok (baca: mantap)
kepercayaannya kepada Allah, merasa yakin maka tuju jahat tukang sihir atau
dukun jahat itu tidak akan mempan terhadap dirinya. Allah SWT berfirman:
(طه: ٦۹)
Artinya: “Dan
lemparkanlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang
mereka perbuat. "Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya
tukang sihir (belaka). dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja
ia datang". (QS. Thaha: 69).[10]
Di sisi
lain al-Qur’an menerangkan bahwa harut dan marut di negeri Babil mengajarkan
sihir terutama sihir tentang cara menimbulkan rasa kebencian antara suami istri
sehingga berkelahi (baca: bertengkar) atau bercerai. Ayat itu terbayang bahwa
maksud sihir seperti hal demikian bisa saja berhasil.[11]
Tetapi di tengah ayat tersebut ditulis:
...
(البقرة: ۱٠۲)
Artinya: “Dan mereka
itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun,
kecuali dengan izin Allah”. (QS. Al-Baqarah: 102).[12]
Oleh
karena itu, ayat ini menganjurkan kita untuk meminta perlindungan (diri) kepada
Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa yang mentakdirkan dan mewujudkan segala sesuatu
agar kita terpelihara dari hembusan tukang sihir, baik laki-laki maupun
perempuan dengan buhul-buhul ramuan sihir itu. Sebab bila kita berlindung pada
Allah, maka tidak ada satupun dari barang (alam) ini yang merupakan
perbuatan-Nya akan memberi bekas pada diri kita.[13]
“Dan
dari kejahatan orang yang dengki apabila ia melakukan kedengkian”. (Ayat 5).
Pada hakikatnya dengki merupakan satu penyakit yang menimpa jiwa orang yang
dengki tersebut. Dalam bahasa baratnya dikatakan bahwa orang yang dengki itu
kurang beres jiwanya. Hatinya akan sakit melihat nikmat yang dianugrahkan oleh
Allah kepada seseorang padahal dia sendiri tidak dirugikan oleh pemberi
(nikmat) Allah tersebut. Oleh karenanya dengki merupakan penyakit atau
kehilangan akal sehat (waras pikiran), maka orang yang dengki itu bisa saja bertindak
yang tidak-tidak pada orang yang di dengkinya. Misalnya di fitnah mencuri
padahal tidak mencuri, memusuhi pemerintah yang bisa ditangkap dan dimasukkan
ke dalam penjara. Ditahan bertahun-tahun dengan tidak ada pemeriksaan sama
sekali atau tuduhan hianat pada suami bagi perempuan baik-baik atau
dikirimnyanya surat
kaleng.[14]
“Hasad
atau dengki dosa kepada Allah awal mulanya dilakukan oleh langit, dan dengki
juga merupakan dosa yang mulanya dilakukan orang di bumi. Dosa dilangit ialah
dengki iblis pada Adam. Sedangkan dosa di bumi ialah dengki qobil pada habil”.
Hakim (ahli hikmah) menyatakan: “orang yang dengki memusuhi Allah pada 5 hal:
1). Benci pada Allah karena memberi nikmat pada orang lain, 2) Sakit hati
melihat pembahagiaan (baca yang dibagikan Tuhan), “Mengapa di bagi begini?” 3).
Dia menantang Allah karena Allah memberi pada siapa saja yang dikehendaki, 4).
Dia ingin sekali supaya nikmat yang telah diberikan Allah pada seseorang
dicatat kembali, 5). Dia bersekongkol dengan musuh Tuhan dan musuhnya sendiri,
yaitu iblis”. Sedangkan ahli hikmat lain menulis: “Tidak ada yang akan
diperoleh orang dengki itu kecuali sesal dan jengkel di dalam suatu majlis, dan
tidak akan ada yang didapatkannya dari Malaikat kecuali kutukan dan kebencian,
dan tidak pula ada yang akan didapatkannya ketika ia bersunyi seorang diri
selain kecewa dan susah, dan tidak ada yang akan didapatnya di akhirat kelak
selain duka cita dan terbakar, dan tidak ada yang akan didapatinya dari Allah
kecuali dijauhkan dan di benci.[15]
Kemudian
Hamka bertanya: “Benarkan Nabi Muhammad SAW pernah terkena sihir”? Menurut
kutipan Asy-Syihab dari kitab “At-Ta’wilat” karangan Abu Bakar al-Asham
mengatakan bahwa hadis yang menerangkan Nabi Muhammad SAW itu matruk, artinya
hadis tersebut harus ditinggalkan dan tidak boleh dipakai. Karena kalau hadis
seperti itu diterima, berarti kita mengakui apa yang di dakwahkan oleh orang
kafir bahwa Nabi Muhammad SAW telah (mempan) kena sihir. Padahal hal demikian
itu sangat bertentangan dengan nash yang ada dalam al-Qur’an sendiri.
Dengan tegas Tuhan berfirman:
(المائدة: ٦٧)
Artinya: “Hai rasul,
sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu
kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (QS. Al-Maidah: 67).[16]
(طه: ٦۹)
Artinya:
“Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa
yang mereka perbuat. "Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu
daya tukang sihir (belaka). dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana
saja ia datang". (QS. Thaha: 69).[17]
Apabila riwayat hadis itu diterima,
berarti kita menjatuhkan martabat kenabian (nubuwwat). Sedangkan apabila
hadis tersebut dibenarkan berarti sihir bisa saja membekas pada Nabi-Nabi dan
orang-orang shalih, yang berarti mengakui demikian besarnya kekuasaan
tukang-tukang sihir yang jahat itu sehingga dapat mengalahkan Nabi. Hal itu
semua tidak benar! Dan orang-orang kafir pun bisa saja merendahkan martabat
Nabi-Nabi dan orang-orang shalih dengan mencap atau predikat “mereka itu kena
sihir”. Jika ini benar-benar terjadi niscaya benarlah tuduhan (dakwa)
orang-orang kafir dan dengan demikian jelaslah Nabi SAW mempunyai aib,
sedangkan ini merupakan sesuatu yang tidak mungkin”. Selain salinan dari
At-Ta’wilat karya Abu Bakar al-Ashamm tersebut.[18]
Hadis yang menerangkan Nabi terkena
sihir ini termasuk dalam catatan hadis shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim, yang berasal dari hadis ‘Aisyah bahwa beliau SAW pernah disihir
oleh seorang Yahudi dari Bani Zraiq namanya Labid al-‘A’sham. Dikatakan dalam
hadis itu bahwa Nabi merasa seakan-akan beliau berbuat sesuatu padahal ia tidak
pernah melakukannya. Hal ini beliau rasakan beberapa lama sampai pada suatu
waktu Nabi Muhammad berkata pada ‘Aisyah: “Hai ‘Aisyah! Aku diberi perasaan bahwa
Allah SWT memberi fatwa kepadaku pada perkara yang mintakan fatwa, maka dua
Malaikat mendekatiku, salah seorang diantaranya duduk disisi kepalaku dan yang
seorang Malaikat lagi kesisi kakiku. Kemudian Malaikat yang duduk dekat
kepalaku berkata pada yang duduk di ujung kakiku. “Orang ini diobatkan orang!”
(di sihir)”. Kawannya yang disisi kepala menjawab: “Pada kudungan rambut dan
patahan sisir dan penutup kepala laki-laki, dihimpit dengan batu dalam sumur
Dzi Aurat”. Pada hadis itu disebutkan bahwa Nabi pergi ke sumur itu untuk
membongkar ramuan yang dihimpit dengan batu itu dan bertemu.[19]
Dalam riwayat dari Ibnu ‘Abbas, bahwa
Rasulullah SAW menyuruh ‘Ali bin ‘Abi Tholib dan Zubair bin ‘Awwam dan ‘Ammar
bin Yasir memeriksa sumur itu dan mencari ramuan tersebut. Lalu ditimba air
sumur itu dan diselam ke bawah sampai berketemu bungkusan ramuan tersebut yang
dihimpit dengan batu yang bertemu di dalam kain basah bungkusan berisi
guntingan rambut Nabi SAW, patahan sisir beliau dan sebuah potongan kayu yang
diikat dengan 11 buah ikatan dan disebuah ikatan itu ditusuk jarum. Lalu Allah
menurunkan kedua surat
ini yang jumlah ayatnya (Al-Falak dan An-Nas) 11 ayat pula. Tiap-tiap satu ayat
dibaca, di cabut jarum dan dibuka buluhnya dan setiap satu jarum dicabut, satu
bulu diungkai, maka terasa satu keringanan oleh Nabi SAW sehingga sampai
diuraikan buhul dan dicabut jarum yang jumlahnya 11 tersebut dan Nabi SAW
merasa sembuh sama sekali.[20]
Kemudian mereka bertanya pada beliau:
“Apakah orang jahat itu tidak patut dibunuh saja”?. Beliau menjawab: “Allah
telah menyembuhkanku, dan aku tidak suka berbuat jahat kepada orang”.
Dalam riwayat yang dibawakan oleh
Al-Quraisy pun disebutkan bahwa seorang pemuda Yahudi bekerja sebagai khadam
Nabi SAW. Pada suatu hari anak itu dibisiki oleh orang-orang Yahudi supaya
mengambil rambut-rambut Nabi yang jatuh ketika disisir bersama patahan sisir
beliau, lalu diserahkannya pada orang yang menyuruhnya itu. Maka mereka
menyihir beliau dan menjadi kepala dalam konspirasi ini (sihir) ialah Labid bin
Al-A’Shamm, lalu Al-Qussyairy menyalinkan lagi riwayat Ibnu ‘Abbas tadi.
Supaya kita semua maklum meskipun
beberapa tafsiran yang besar dan ternama menyalin berita ini dengan tidak
menyatakan pendapat-seperti Tafsir Al-Qurthuby, Tafsir Al-Khamzin bagi Ibrahim
Al-Baghdady, malah beliau mempertahankan kebenaran riwayat itu berdasarkan
hadis shahih riwayatnya di Bukhari dan Muslim. Namun ada juga yang membantahnya
diantaranya Ibnu Katsir.
Setelah Ibnu Katsir menyalinkan
riwayat ini seluruhnya, ia membuat penutup yang bunyinya: “Demikianlah mereka
riwayatkan dengan tidak lengkap sanatnya, dan didalamnya ada kata-kata yang
gharib, dan pada setengahnya lagi ada kata-kata yang mengandung makarah
syadidah (sangat payah untuk diterima), tetapi bagi setengahnya ada yang
syawahid (kesaksian-kesaksian) dari semua (hadis) yang telah disebutkan itu”.[21]
Almarhum orang tua saya (Hamka) dan
guru saya tercinta, Dr. Abdul Karim Amrullah di dalam tafsirnya “Al-Burhan”
menguatkan riwayat ini juga. Artinya bahwa beliau membenarkan bahwa Nabi SAW,
terkena sihir dengan alasan hadis ini adalah shahih, sebagaimana yang
diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Dengan menulis begitu beliau membantah apa
yang ditulis oleh syaikh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juz ‘Amma-nya. Karena
Syaikh Muhammad Abduh menguatkan juga-sebagai tersebut di atas, bahwa tidak
mungkin seorang Nabi atau Rasul atau orang shahih dapat terkena sihir berdasar
Tuhan yang telah kami sebut di atas. Bahwa tidak mungkin sihir dapat mengenai
seorang kalau Allah tidak mengizinkan, dan Allah memastikan bahwa sihir
terhadap Rasul-Rasul dan Nabi-Nabi akan gagal, walau dengan cara bagaimanapun.[22]
Dengan demikian penafsir yang sezaman
dengan kita yang menolak hadis ini walaupun Shahih Bukhari dan Muslim
meriwayatkannya ialah Syaikh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juz ‘Amma-nya,
Al-Qasimy dalam tafsirnya “Manasin Ut Ta’wil” yang terkenal, dan yang
terakhir Sayid Quthb dalam tafsirnya “Fi Zhilalil Qur’an” yang
mengesahkan bahwa hadis ini adalah hadis Al-Ahad, bukan mutawatir, oleh karena
jelas berlawanan dengan ayat yang sharih dari Al-Qur’an, maka tidak apa-apa
kalau kita tidak percaya bahwa Nabi Muhammad SAW bisa terkena oleh sihir
walaupun rawinya Bukhari dan Muslim. Beberapa ulama besar, diantaranya Imam
Malik bin Anas sendiri banyak menyatakan pendapat yang tegas menolak hadis
Al-Ahad kalau berlawanan dengan ayat yang sharih. Misalnya beliau tidak
menerima hadis bejana dijilat Anjing mesti dibasuh 7 kali, salah satu
diantaranya dibasuh dengan tanah, karena di dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang
jelas bahwa binatang buruan yang digunggung Anjing dengan mulutnya, halal
dimakan sesudah dibasuh seperti biasa tidak perlu 7 kali.
Ulama’ yang banyak mencampurkan
“filsafat” dalam tafsirnya memandang banyak masalah dari segi filsafat dan ilmu
alam, yaitu Syaikh Thantawy Jauhari menulis tentang hadis Nabi terkena sihir
itu demikian: “Segolongan besar ahli menolak hadis-hadis ini dan menetapkannya
sebagai merendahkan martabat nubuwwah. Sedangkan sihir yang menyebabkan Nabi
merasa seakan-akan berbuat sesuatu padahal dia tidak berbuat bertentangan
dengan kebenaran dipandang dari dua sudut: pertama, bagaimana Nabi SAW dapat
terkena sihir. Hal ini menimbulkan keraguan dalam syari’at, kedua, sihir pada
hakikatnya tidak ada.
Kedua alasan tersebut ditolak oleh
orang yang mempertahankan (pendapat). Mereka berkata: “Sihir itu hanya
berhubungan pada hal-hal biasa terjadi saja. Ia hanya penyakit, sedangkan
Nabi-Nabi itu dalam beberapa hal sama saja dengan orang biasa seperti makan,
minum, tidur, bangun, sakit dan senang. Kalau kita mengakui kemungkinannya
tidur, kita mesti mengakui kemungkinan beliau yang lain. Sementara yang jadi
pada Nabi kita ini hanya semacam penyakit yang biasa saja terjadi pada beliau
sebagai manusia yang tidak ada pengaruhnya pada akalnya sama sekali dan wahyu
yang beliau terima.[23]
Orang itu juga mengatakan: “Pengaruh
jiwa dengan jalan mantra (hembus atau tuju) terkadang dengan memang ada juga
meskipun itu hanya sedikit sekali. Maka semua ayat dan hadis ini dapat memberi
dua kesan, pertama: jiwa bias berpengaruh dengan jalan membawa mudharat, kedua:
jiwa bisa berpengaruh membawa yang baik. Maka si Labid bin al-A’sham orang
Yahudi itu telah menyihir Nabi dan membebaskan madharrat. Namun dengan
melindungkan diri pada Allah SWT dengan surat
Al-Falaq dan an-Nas, Mudharrat itu hilang dan beliaupun sembuh sekian Syekh
Thantawy Jauhari.[24]
Tetapi perlu diingat bahwa kedua surat ini tidak turun di
Madinah, tetapi turun di Makkah yang belum terjadi benturan dengan orang
Yahudi. Az-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasyaf terkenal sebagai penyokong
aliran Mu’tazilah tidak begitu percaya terhadap pengaruh sihir atau mantra atau
tuju seperti yang kita katakan tadi.
Dari pendapat ini maka ketika
menafsirkan ayat empat ini beliau menyatakan: “Perempuan-perempuan yang meniup
atau sekumpulan perempuan tukang sihir yang membuhulkan buhulan pada jahitan,
lalu disemburnya dengan menghembus. Menyembur berarti menghembus sambil
menyemburkan ludah. Semua itu sebenarnya tidak ada pengaruh dan bekasnya,
kecuali disitu ada semacam ramuan yang termakan yang memberi mudharrat atau
terminum atau tercium atau yang terkena sihir itu menghadapkan perhatian (concern)
kepadanya dari berbagai wajah. Tetapi Allah ‘Azza Wajalla kadang-kadang
berbuat juga pada sesuatu pada seseorang untuk menguji keteguhan hatinya,
apakah ia orang yang belum mantap pahamnya atau orang awam yang masih bodoh.
Maka orang-orang yang dungu dan yang berpikir tidak teratur mengatakan
kesakitan yang ditimpakan Allah padanya adalah karena perbuatannya orang itu. Sedangkan
orang yang telah tetap pendirinya karena teguh imannya tidak dapat dipengaruhi
oleh hal itu.[25]
Jika ada pertanyaan tentang apa maksud
ayat melindungkan diri pada Allah? Maka saya akan menjawab dengan tiga macam
“keterangan”, Pertama, artinya berlindung pada Allah dari kejahatan
mereka, yaitu membuat ramuan sihir dan berlindung pada Allah dari dosanya, Kedua,
berlindung pada Allah dari kepandaian wanita-wanita itu yang memfitnah
manusia dengan sihirnya dan penipuannya dengan kebatilan, Ketiga, berlindung
pada Allah jangan sampai Allah menimpakan suatu musibah sebab semburannya itu
sekian kita salin.
Di dalam tafsirnya al-Kasyaf ia tidak
menyinggung hadis-hadis yang mengatakan Nabi terkena sihir, karena menurut isi
keterangan di atas meskipun memang ada perempuan mengadakan mantra, menyembur
dan meniup, namun bekasnya tidak ada kecuali yang termakan, terminum, tercium
atau tersentuh barang rawan yang membahayakan, artinya serupa juga dengan
racun. Maka menurut pendapatnya itu, sedangkan pada manusia biasa saja tidak
ada bekas hembus dan sembur itu apalagi pada Nabi SAW.[26]
Abu Muslim memilih pendapat yang lain
lagi, ketika menafsirkan ayat ini berpendapat bahwa ayat tersebut tidak ada
kaitannya dengan sihir atau menurutnya yang dimaksud buhul-buhul pada ujung
ayat 4 ialah suatu maksud atau rencana yang telah disusun oleh seorang
laki-laki, perempuan yang lemah lembut, lenggak-lenggok terhadap laki-laki,
merayu dan membujuk sehingga maksud laki-laki yang tadinya bulat menjadi patah
sehingga rencananya berubah dan maksudnya teratur.[27]
Berapa banyak benteng pertahanan
laki-laki menjadi runtuh berantakan karena ditembak oleh peluru senyuman dan
buju rayu perempuan. Maka dapat kita ambil kesimpulan bahwasannya masalah
tentang hadis diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tentang Nabi SAW terkena
sihir dan membekas bukan merupakan hal yang baru perbincangkan pada zaman
sekarang, tetapi Ibnu Qakbah dalam Ta’wail Mukhtalafi al-hadis telah
memperbincangkannya demikian pula ar-Razy, keduanya sama-sama patut
dipertimbangkan. Adapun pendapat Al-Zamakhsyari yang meniadakan pengaruh sihir
sama sekali dapat kita tinjau kembali setelah majunya penyelidikan orang
tentang kekuatan roh (jiwa) manusia, tentang pengaruh jiwa atas jiwa dari
tempat yang jauh sebagai telepati dan sebagainya.
Kita cenderung pada pendapat
bahwasannya jiwa seorang Rasulullah tidak akan dikenai oleh sihir orang Yahudi
jiwa manusia yang telah dipilih Allah (Musthofa) bukan sembarang jiwa yang
tidak dapat ditaklukkan demikian saja. Oleh karenanya pendapat Syaikh Thantawiy
Jauhari yang menyamakan roh seorang Rasul dengan roh manusia biasa yang bisa
sama makan, tidur, bangun dan sebagainya merupakan pendapat yang meminta
tinjauan lebih mendalam.[28]
[2] Al Qur’an Surat Al-Falaq, Ayat 1-5, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag
RI, Al Alwah, Semarang, 1981, hal. 1120.
[10] Al Qur’an Surat Thaha, Ayat 69, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Al
Alwah, Semarang, 1981, hal. 483.
[11] Al Qur’an Surat Al-Baqarah, Ayat 102, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag
RI, Al Alwah, Semarang, 1981, hal. 28.
[12] Al Qur’an Surat Al-Baqarah, Ayat 102, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag
RI, Al Alwah, Semarang, 1981, hal. 28.
[16] Al Qur’an Surat Al-Maidah, Ayat 67, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag
RI, Al Alwah, Semarang, 1981, hal. 172.
[17] Al Qur’an Surat Thaha, Ayat 69, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Al
Alwah, Semarang, 1981, hal. 483.
[27] Al Qur’an Surat Yusuf Ayat 28, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Penafsir Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Thoha Putra,
Semarang, 1991, hal. 350.
0 Response to " PENAFSIRAN SURAT AL-FALAQ OLEH HAMKA"
Post a Comment