MENGENAL PERBEDAAN, MERAWAT
KEBERSAMAAN: POTRET BUDAYA TANPA RASA
Kajian psiko-sosio-kultural
Secara psikologis, manusia cenderung lebih bisa menerima dan
mengakui segala sesuatu yang mempunyai kesamaan dengan dirinya. Apa yang sama dengan
dirinya menunjukkan dirinya sendiri. Manusia juga mempunyai kecenderungan untuk
mencintai dirinya sendiri sehingga dia mampu menerima dan mengakui segala
sesuatu yang sama dengan dirinya yang nampaknya sama sekalipun.
Jangankan konflik yang berkaitan dengan nama agama, kegiatan
sehari-hari dalam lingkup kehidupan bermasyarakat tak luput dari kecenderungan
sikap manusia yang demikian tersebut. Misalnya: adanya budaya tasyakkuran di
masyarakat baik syukuran pernikahan, keberangkatan haji, khitan dsb. Ada
semacam tuntutan dalam masyarakat bahwa tasyakkuran harus diselenggarakan
dengan adat begini atau begitu. Harus mengundang seluruh warga rt, harus
mengundang hiburan (orkes dangdut dsb), harus menyebar tonjokkan (sebelum
resepsi diselenggarakan), harus ada tratak dsb.
Masyarakat dengan sendirinya merasa tertuntut untuk melaksanakan
tasyakkuran dalam budaya yang mereka bentuk, terlepas bagaimana kondisi social
ekonomi mereka. Untuk keluarga yang secara financial dalam kategori menengah ke
bawah, menyelenggarakan acara tersebut dengan adat yang sama namun dengan ala
kadarnya misalnya tempatnya minimalis, rasa masakan yang hambar dsb. Mereka
memilih jalan tersebut sebab ada kekhawatiran jika tasyakkuran tidak dilakukan
dalam adat demikian akan menimbulkan perasaan ewuh atau adanya pembicaraan yang
tidak mengenakkan di antara masyarakat yang lain (baca: takut digunjingkan).
Hanya karena mereka tidak melakanakan tasyakkuran seperti adat mereka, mereka
mendapat penilaian buruk atau cemoohan. Padahal dengan cara tersebut juga
sebenarnya tidak luput dari pergunjingan.
Menjadi bagian dari masyarakat, fenomena member komentar,
menilai sesuatu adalah suatu hal yang sangat biasa dalam kehidupan
bermasyarakat. Jika komentar itu buruk, maka seseorang akan segan untuk mengatakannya
di depan yang bersangkutan. Betapa masyarakat sebenarnya sudah mempunyai bekal
kecerdasan emosional yang baik karena dalam hal ini, mereka mampu mengendalikan
diri untuk tetap menghargai dan menghormati orang lain, berusaha untuk tidak
member penilaian buruk atau bahkan menghina orang lain. Tetapi ternyata
kecerdasan emosional saja tidak cukup jika dalam konteks realita, sikap memberi
penilaian yang buruk berganti dalam ruang yang lain, tidak di depan yang
bersangkutan akan tetapi menjadi pembicaraan di antara masyarakat yang lain.
Salah satu kelemahan kecerdasan emosional adalah kecerdasan itu
hanya digunakan untuk mengelola di permukaan, hanya mengatur apa yang tampak
lahirnya saja. Sehingga, aspek batiniah tidak begitu dipedulikan. Hanya karena
seseorang mampu memberi bantuan kepada orang yang sangat membutuhkan, seseorang
sudah bisa disebut mempunyai kecerdasan emosional sekalipun dalam hati ada
maksud tidak mulia yang tersembunyi.
Perlu sikap yang bijak untuk mengurai budaya maido (baca: memberi
penilaian yang buruk) atau mencemooh yang terjadi di lingkungan masyarakat. Ada
potensi positif sebenarnya yang terkandung di dalamnya yang perlu disikapi
secara lebih baik yakni adanya perhatian dan kepekaan. Tidak mungkin seseorang
bisa mencemooh atau berkomentar (baik/buruk) jika seseorang tersebut tidak
menaruh perhatian kepada yang bersangkutan.
Oleh sebab itu, budaya maido perlu diarahkan kepada budaya tegur
menegur atau saling menasehati agar bisa memberi dampak yang positif di
lingkungan masyarakat. Adanya ketentraman, ketenangan, kedamaian, solidaritas,
kepercayaan, rukun yang lahir maupun batin. Kebutuhan masyarakat akan hal
tersebut perlu dipenuhi untuk mencegah terjadinya konflik atau masalah.
Al-Qur`an surat al ‘ashr 1-3 :
Menasehati atau menegur memerlukan kehadiran orang yang
bersangkutan sehingga menasehati sangat berbeda dengan menggunjing atau bahkan
mencemooh. Nasehat hanya akan terjadi jika seseorang yang akan menasehati
memang benar-benar menghendaki ada pelajaran baik yang perlu dipetik dan
menghendaki kebaikan bahkan untuk orang yang bersangkutan. Dalam konteks
inilah, menasehati menjadi peluang terbukanya dialog yang berguna untuk upaya
menggali lebih dalam permasalahan, mengenal lebih dalam perbedaan, memahami
hakikat perbedaan dan hakikat persamaan, sehingga seseorang dapat memahami
bahwa kesamaan hakikat manusia-hakikat kebutuhan manusia, dapat menumbuhkan
kasih sayang dan cinta antar sesama serta terhindar dari sikap seolah-olah
menggurui.
Dengan demikian, pepatah sederhana yang mengatakan “tak kenal
maka tak sayang” tidak hanya sekedar slogan. Sikap tersebut di atas perlu
dibudayakan. Itu artinya perlu dilakukan oleh masyarakat dan dilakukan secara
intens agar menjadi budaya. Sebab “witing tresno jalaran soko kulino”.
Pola Pengajaran
Membawa konflik ke ranah dialog juga berarti merubah pola
pengajaran dari pola pendoktrinan yang sarat nuansa mengklaim kebenaran,
menjadi ranah pemahaman. Doktrin sering digunakan untuk memperoleh kebenaran
tetapi dengan cara yang instan sehingga mengesampingkan pemahaman. Sementara
pemahaman melibatkan unsur penggalian informasi yang berbasis akal sehinga jika
akal digunakan sebagaimana mestinya, kebenarannya tidak pernah mengingkari
fitrah fikir manusia itu sendiri.
Dengan membudayakan pola pengajaran tersebut, masyarakat
Indonesia yang mayoritas beragama Islam, tidak terjebak pada keislaman
yang symbolic oriented/iconic symbolic karena justru konflik rentan muncul
akibat perbedaan symbol/budaya/icon atau bahkan fiqih yang digunakan tersebut
dan bukan pada hakikat atau ruhnya. Oleh karena itu yang juga perlu direnungkan
adalah kita ini memang berbeda, atau hanya merasa berbeda ? Bukankah, para nabi
diutus dan cara nabi menyampaikan risalahnya sesuai dengan usia penalaran
ummatnya ? Sementara perkembangan nalar manusia sudah dapat dimulai dari anak
diwajibkan untuk sholat (7 tahun). Perlahan namun pasti, pola pengajaran sangat
perlu diubah dari yang bernuansa hafalan [doktrin] menuju ke penggunaan nalar
aktif yang dapat menciptakan kreatifitas dan inovatif sehingga mampu membaca
persoalan secara kontekstual.
Sampai di sini kiranya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
sumber dari segala macam bentuk konflik adalah krisis kasih sayang, krisis
kepekaan, krisis perhatian, krisis cinta. Termasuk juga dalam hal ini adalah
krisis kepedulian terhadap sesama dalam hal kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat mewarisi budaya, melaksanakannya tetapi mereka tidak
mengetahui itu untuk apa dan mengapa harus demikian, misal tidak bisa demikian
apakah ada cara lain supaya tujuan tetap dapat terpenuhi.
Kita terjebak pada budaya kita sendiri tanpa memahami hakikat
yang terkandung di dalamnya. Informasi tersebut tergerus oleh model pengajaran
yang doctrinal dan bukan dialog. (ada banyak factor yang menyebabkan system
doctrinal ini membudaya).
Bukan budaya, bukan symbol, bukan icon, bukan fiqih yang
mempersatukan masyarakat, akan tetapi ruh atau fitrah yang terkandung dalam
budaya yang majemuk itu.
Sebab budaya, icon, fiqih, symbol adalah ciptaan manusia, yang
kebenarannya sangat relative. Tetapi ruh atau fitrah yang merupakan ciptaan
Allah, merupakan kebenaran yang absolute. Pemahaman lebih mendalam akan nilai,
hakikat, ruh, fitrah itulah yang menjadi PR bersama sehingga masyarakat tidak
lagi merasa berbeda karena mengenal perbedaan itu hanya ranah permukaan,
menemukan kesamaan, dapat merawat kebersamaan dan berbudaya dengan rasa.
0 Response to "MENGENAL PERBEDAAN, MERAWAT KEBERSAMAAN: POTRET BUDAYA TANPA RASA"
Post a Comment