A. Persamaan
Kitab Suci dalam Islam dan Kristen merupakan sumber hukum yang pertama dan utama. Karena kedua kitab suci itu menjadi pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam Islam maupun Kristen kitab suci dianggap sebagai petunjuk untuk beribadah kepada Tuhan (hubungan vertikal) maupun dalam hubungan antara sesama manusia (hablumminannas). Dalam Islam membaca kitab suci merupakan perbuatan ibadah, demikian pula dalam Kristen membaca kitab suci merupakan ibadah yang harus dilakukan setiap waktu tanpa batas. Barangsiapa yang melupakan atau menjauhkan diri dari kitab suci akan mengalami kesesatan.[1]
Dalam perspektif kedua agama itu, kitab suci memiliki kebenaran yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Meskipun demikian manusia diperkenankan untuk menafsirkan sepanjang tafsirannya itu sesuai dengan kaidah-kaidah dan syarat-syarat yang ditentukan oleh masing-masing agama. Kedua agama itu tidak memperkenankan manusia menafsirkan kitab suci tanpa memiliki pengetahuan dan ilmu bantu yang berhubungan dengan kitab suci itu. Mencoba menafsirkan kitab suci tanpa ilmu adalah suatu dosa karena akan menyesatkan bukan hanya pada dirinya sendiri bahkan pula umat manusia.[2]
Bagi kedua agama itu kitab suci tidak dapat dibandingkan dengan seluruh referensi yang ada di dunia karena referensi bersifat relatif, sedangkan kitab suci merupakan kebenaran yang absolut yang tidak boleh diragukan kebenarannya. Siapa orang yang meragukan kebenaran kitab suci dianggap telah melakukan tindakan berdosa dan dosa itu tidak akan diampuni kecuali ia segera bertaubat. Persamaan lainnya bahwa kedua agama itu mengharuskan umatnya untuk menjadikan kitab suci itu sebagai pelita penerang dalam kehidupan. Oleh karena itu umat masing-masing kedua agama banyak yang hafal kitab sucinya. Karena itu tidak heran kalau kitab suci itu dianggap dan ditetapkan sebagai kitab yang mampu mewarnai prilaku hidup manusia. Perilaku hidup manusia tidak akan sesuai dengan kehendak Tuhan jika tidak didasarkan kepada kitab suci.[3]
B. Perbedaan
1. Membaca
Nabi Isa a.s. diberi Tuhan sebuah kitab bernama Injil, untuk disampaikan kepada kaum Bani Israil. Kedatangan Isa Almasih tidaklah membatalkan atau menasikhkan hukum Taurat. Bahkan Nabi Isa sendiri berkata bahwa aku datang tidaklah akan merubah hukum Taurat bahkan setitik ataupun sebaris sampai dunia ini kiamat, hukum Taurat itu akan ditegakkan. Aku datang kata beliau bukan untuk merombak, hanya untuk menggenapkan. (Matius 5: 17).
Adapun tentang hal Taurat sudah biasanya dibicarakan di dalam bahagian kitab Taurat, pada pelajaran agama Yahudi, bahwa orang-orang Nasrani baik Nasrani yang mula-mula ataupun Nasrani yang sekarang percaya pada Taurat yang mereka sebut dengan nama “Perjanjian Lama." Injil artinya khabar suka atau berita gembira; jika ditilik dari segi bahasa, kata-kata Injil berasal dari Bahasa Yunani: Evangely.
Orang-orang Kristen sekarang menamai Injil dengan “Perjanjian Baru” atau “Wasiat Baru.” Injil yang asli yang berupa firman Allah kepada Nabi Isa, yang diucapkan oleh Isa Almasih dalam bahasa aslinya bahasa Ibrani, tidak ada lagi.[4]
Ada dua pandangan mengapa Injil Masehi asli itu dewasa ini tidak terdapat:
1. Kemungkinan Nabi Isa tidak sempat menulisnya karena beliau menyiarkan agamanya dalam saat yang sangat pendek kurang lebih tiga tahun lamanya.
2. Tidak mungkin tidak ada asliriya pada permulaan, karena Isa Almasih sendiri tahu tulis baca. Hanya kitab yang asli itu berkemungkinan sangat telah ikut dimusnahkan ketika penganut-penganut Nasrani asli dimusnahkan oleh kekuasaan Romawi dan orang-orang yang benci kepada ajaran Tauhid Nasrani asli.
Adapun yang dimaksud dengan Injil (wasiat Baru) oleh ummat Christus sekarang ialah kumpulan dari 4 buah Injil yang dikarang oleh 4 orang penulis Injil yang terkenal itu serta lampiran-lampirannya yang ditulis oleh penyiar-penyiar agama Nasrani yang mula-mula seperti: Paulus, Petrus, Yohanna, Yakub dan kisah mimpi Yohanna.
Adapun yang dimaksud dengan 4 buah Injil itu ialah:
1. Injil Matius yang dikarang oleh Matius pada tahun 65 M.
2. Injil Markus yang dikarang oleh Markus pada tahun 61 M.
3. Injil Lukas yang dikarang oleh Lukas pada tahun 95 M.
4. Injil Yahya yang dikarang oleh Yahya pada tahun 100 M.
Isi keempat Injil itu bukanlah merupakan Firman Tuhan kepada Nabi Isa Almasih, hanyalah karangan manusia biasa mengisahkan kelahiran Nabi Isa, kehidupanriya, pengajarannya dan penderitaannya.
Selain dari keempat Injil yang tersebut di atas, masih ada beberapa Injil yang lain, yang isinya membentangkan sejarah kehidupan dan pengajaran Almasih.
Tetapi Injil-injil yang lain itu telah dibatalkan pemakaiannya semenjak abad kedua (180 M) oleh Gereja-gereja Kristen. Hanya empat Injil yang di atas itu sajalah yang diakui, sampai sekarang.[5]
Larangan pemakaian Injil yang lain-lain itu, karena isinya yang lebih menjelaskan pengajaran Almasih yang asli (Tauhid), sedang yang empat itu lebih cocok dengan faham-faham mereka yang menganut trinitas.
Adapun Injil-injil yang dibatalkan di antaranya ialah:
1. Injil Petrus.
2. Injil Kopty (Evangely Aegiptisch).
3. Ibrani (Hebrew).
4. Barnaba yang dikarang oleh Barnaba.
5. dan surat-surat kiriman Barnaba.
Injil-injil Matius, Markus dan Lukas disebut orang “Injil Sinoptis" artinya yang sepandangan. walaupun di sana-sini ada juga perbedaan-perbedaannya di dalam meriwayatkan kelahiran dan keadaan Isa a.s. Seperti Injil Matius dan Lukas dalam menceriterakan silsilah kelahiran Almasih, mempunyai perbedaan yang amat jauh, Injil Yahya lebih banyak menonjolkan pengakuannya tentang ketuhanan Yesus.
Semua Injil itu ditulis bukan di zaman Nabi Isa tetapi jauh sesudah Isa Almasih tidak ada lagi. Umpamanya Injil Matius yang paling dekat ditulis tigapuluh tahun lebih sesudah Almasih pergi (65 M). Injil Markus ditulis tahun 61 M. Menurut berita: Matius sendiri memang murid Almasih termasuk Hawari. Demikian juga Markus, beliau juga murid Yesus tapi tidak termasuk Hawari yang duabelas. la keponakan dari Barnaba, yang masyhur keras dengan tauhidnya. la lama bergaul dengan Barnaba dan Paulus. Ahli-ahli sejarah menceriterakan bahwa kedua orang itu menganut Nasrani asli Tauhid; Injilnya pun tidak pernah memuat keterangan yang mengatakan Isa anak Tuhan, tetapi hanyalah karena Injil ini sudah mengalami perubahan-perubahan oleh penguasa-penguasa gereja di belakang, sehingga dasar ajaran Isa yang asli sudah kabur di dalamnya.[6]
Yahya penulis Injil yang ke-IV tidak pernah bertemu dengan Almasih. Dia menulis Injilnya itupun sudah di ujung abad pertama (awal abad ke-II). Yang ditulisnya hanyalah berita-berita yang didengarnya tentang diri dan pengajaran Almasih. Lukas dan Yahya keduanya bukanlah murid Almasih, tetapi kedua orang ini adalah murid Paulus; maka Injil mereka lebih condong kepada ajaran Paulus. Kalau dinilai keempat Injil itu, karena isinya hanya meriwayatkan Isa Almasih, tidaklah lebih daripada naskah-naskah biografi kehidupan seseorang. Untuk meletakkannya sebagai kitab suci yang setaraf dengan Al-Quran tidaklah dapat, karena di dalamnya tiadalah memuat firman Allah Satupun juga. Mungkin sekali firman Allah hanya terdapat dalam Injil Masihi asli. Yaitu Injil yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Isa Almasih, tetapi sekarang tidak ada lagi.
Kitab suci dalam suatu agama, adalah bumi tempat berpijak, sandaran yang kuat, sumber hukum syariat Agama, pedoman yang menentukan Amar dan Nahyi, halal dan haram daripada Allah, yang disampaikannya dengan perantaraan Rasul-rasulnya. Kebenaran sebuah kitab suci dapat ditentukan oleh 5 syarat:
1. Bahwa Rasul yang membawa kitab suci itu dikenal betul kehormatannya, kejujurannya, amanatnya, lurusnya dalam perkataan dan perbuatan, dari sebelum ia menjadi Rasul, sebelum ia menyampaikan kitab itu sampai kemudiannya mutawatir kabar kejujuran bagi semua orang yang ada disekitarnya.
2. Bahwa ayat-ayat, isi-isi dari kitab suci itu tidak bertentangan yang satu dengan yang lain; bahkan ayat yang satu menyempurnakan kepada ayat yang lain; jika ia betul firman Allah, sudah tentu tidak ada firman Allah yang berlawanan yang satu dengan yang lain.
3. Bahwa Rasul yang membawakan kitab suci itu daripada Tuhan, menegaskan dengan bukti yang jelas bahwa kitab yang dibawanya memang daripada Tuhan, bukti kebenarannya itu dapat ditunjukkannya dengan mu'jizat sebagai biasa pada para Rasul-rasul Allah yang benar.[7]
4. Bahwa untuk membangsakan sebuan kitab kepada seorang Nabi, hendaklah dengan sanad riwayat yang jelas, orang yang mengumpulkan berita di belakang semestinya ia dapat menunjukkan jalan berita yang diterimanya, bahwa berita ini, diterimanya dari si A, si A menerima dari si B, si B menerima dari si C dan sampai kepada Nabi yang menerima pengajaran daripada Tuhan.
5. Bahwa kitab yang dibangsakan kepada Rasul itu, hendaklah ada buktinya diimani oleh ummat daripada Rasul itu sendiri dipusakakan mereka kepada generasi ummatnya yang pertama, dengan terang pula generasi kedua menerima dari generasi pertama, generasi ketiga mempusakai dari generasi kedua dengan tiada putus-putusnya. Dapatkah syarat ini, dipasangkan kepada kitab suci agama Nasrani ?
Mengenai syarat yang pertama, bila dipasangkan kepada Rasul-rasul penulis Perjanjian Baru Kristen, sudah tentu tidak dapat, umpamanya; Paulus yang mempunyai 14 risalat itu yang risalatnya itu digolongkan ke dalam kitab suci utama, bahkan aturan yang disebutkannya berkedudukan lebih tinggi daripada Taurat. Siapakah Paulus ini? Adakah ia seorang yang jujur, seorang yang baik? bahkan dia sebelum menyiarkan pengajarannya, menjadi penentang Nabi yang suci Isa Almasih. Membunuh dan menyiksa orang-orang yang beriman kepada Almasih.
Jika diingat pula syarat yang kedua ini, jelas bertentangan sekali dengan keadaan Injil dan risalat agama Nasrani itu. Dalam kitab Injil yang empat serta lampirannya yang 23 risalat itu kita temui ayat-ayat yang banyak bertentangan yang satu dengan yang lain, dalam membicarakan satu macam persoalan. Umpamanya kita ambil contoh, pertentangan Injil-injil dalam meriwayatkan kelahiran Almasih.[8]
Contoh pertentangan ayat-ayat injil:
Suatu riwayat yang sepenting-pentingnya di dalam Injil, ialah riwayat kelahiran Yesus (Isa Almasih), bahkan isi keempat Injil itu sebenamya ialah biografi hidup Almasih. Sudah semestinya uraian yang dikemukakan oleh semua penulis Injil tentang Almasih itu tidak akan berbeda, apalagi hal yang diceriterakan itu sama searah, satu tujuan dan satu kejadian; yaitu silsilah turunan Almasih. Dalam meriwayatkan keturunan dan kelahiran Almasih ini, antara Injil Matius dan Injil Lukas terdapat perbedaan (pertentangan) yang amat jauh sekali.
Bentuk perbedaan itu adalah seperti berikut:
1. Kedua Injil itu meriwayatkan bahwa Isa Almasih secara manusianya, adalah turunan Dawud. Matius mengatakan bahwa jarak antara Dawud dan Isa Almasih ada duapuluh enam laki-laki (tingkat); tetapi Lukas menceriterakan bahwa jarak antara Nabi Dawud dan Yesus Almasih ada 41 tingkat laki-laki baru sampai pada Isa Almasih.
2. Di dalam keterangan Matius bahwa Isa Almasih lahir dari turunan Dawud, yaitu dari anak cucu Sulaiman putra Dawud (dengan melalui putra beliau Sulaiman). Tetapi Lukas berceritera bahwa Isa Almasih turunan Dawud melalui putra Dawud yang bemama Natan.
3. Dari keterangan Matius dapat dibaca, bahwa semua nenek moyang Almasih itu mulai dari Dawud sampai ke zaman jatuhnya Palestina ke tangan orang Babilon, semuanya adalah raja-raja yang ternama. Tetapi dari keterangan Lukas bahwa nenek moyang Almasih tidak ada raja-raja dan tidak ada yang termasyhur/terkemukaselain Dawud dan Natan.
Cukup sekian kita tunjukkan contoh; jika diperiksa semua Injil itu, kita bandingkan yang satu dengan yang lain, kita akan menemui perbedaan-perbedaan yang banyak, antara yang satu dengan yang lain, pertentangannya dalam hal-hal yang prinsipil.[9] Contoh apa yang kita sebutkan di atas itu, pertentangan hjil Matius dengan Injil Lukas, telah pemah dikemukakan oleh Mujahid besar Syekh Rahmatullah Alhindi kepada pendeta Frank dan pendeta Vander, dalam suatu perdebatan besar di Akbar Abad India dalam tahun 1855. Syekh Rahmatullah Alhindi meminta ketegasan kepada mereka: Tunjukkanlah kepada kami, manakah di antara kedua berita yang bertentangan ini yang dapat dibenarkan? Kalau satu di antaranya dapat dibenarkan, yang satu lagi tentu dianggap salah? Padahal saudara-saudara orang Nasrani memastikan bahwa semua Injil itu dibenarkan? Kalau dibenarkan semuanya tentu tidak dapat, sebab orang-orang yang kurang waras sajalah yang dapat memasukkan dalam katagori keyakinannya dua yang bertentangan.
Akhirnya kedua pendeta ini bungkem, meminta supaya perdebatan yang sudah berjalan sebulan lamanya dihentikan saja, walaupun fasal-fasal yang akan dibicarakan masih banyak, mereka tidak dapat menunjukkan kebenaran ayat Injil itu.
Sedangkan jika dikaji tentang Al-Qur’an. bahwa sebagai deketahui, Al-Qur'an telah selesai ditulis sewaktu Nabi Muhammad SAW. masih hidup dan kemudian penulisan itu dilanjutkan lagi dalam bentuk dan dengan cara yang lebih sempurna pada masa Khalifah Abu Bakar dan Usman bin Affan. Nama-nama penulisannya, baik yang melakukan penulisan pada masa Nabi, pada masa Abu Bakar atau pada masa Usman, jelas pula. Mereka tidak saja pandai menulis, tapi juga hafal seluruh al-Qur'an di luar kepala. Mereka bekerja di bawah pengawasan langsung dari Nabi SAW. dan pada masa Abu Bakar dan Usman di bawah pengawasan kedua khalifah Islam tersebut.
Perlu diketahui pula, pada masa Nabi SAW. orang dilarang menulis sabda-sabda Nabi sendiri (Hadis), dan diperintahkan untuk menghapus bila telah terlanjur. Maksudnya ialah agar penulisan ayat-ayat al-Qur'an itu tidak bercampur-baur dengan Hadis-Hadis Nabi. Beliau bersabda:
عن أبي هريرة رضىالله عنه قال: قال رسول الله ص.م. لاتكتبوا عنّى غير القران ومن كتب عنّى غير القران فليمحه (رواه ابن ماجه) [10]
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Nabi SAW berkata: Janganlah kamu tulis apa yang kamu dengar dari padaku selain Al-Qur'an. Barang siapa telah menulis sesuatu yang selain Al-Qur'an, hendaklah dihapuskan. (HR. Ibni Majah)
Penulisan al-Qur'an yang terjadi pada masa Nabi, pada masa Abu Bakar dan Usman mempunyai tujuan masing-masing yang berbeda. Perbedaan-perbedaan itu ialah:
1. Pada masa Nabi, penulisan dimaksudkan untuk mencatat semua ayat Al-Qur'an, tanpa ada satu ayatpun yang ketinggalan dan untuk mengatur tertib susunan ayat-ayat dalam masing-masing suratnya, sesuai dengan tuntunan Nabi tentang hal itu.
2. Pada masa Abu Bakar, penulisan Al-Qur'an dimaksudkan untuk menghimpun lembaran-lembaran Al-Qur'an dengan menggunakan bahan-bahan yang sama dan seragam, sehingga dapat disusun dan diikat menjadi satu naskah atau mushhaf.
3. Pembukuan Al-Qur'an pada masa Usman dimaksudkan untuk menciptakan keseragaman ejaan tulisan, keseragaman qiro'ah (bacaan) dan keseragaman tertib susunan surat-surat.
Dalam pada itu Al-Qur'an tidak hanya ditulis, tetapl juga dihafalkan oleh umat Islam seperti yang diperintahkan oleh Nabi SAW sejak semula. Hafalan mereka dikoreksi oleh Nabi dan hafalan Nabi diawasi oleh Tuhan melalui Jibril. Orang-orang yang dapat hafal Al-Qur'an di luar kepala terdapat dimana-mana pada setiap generasi Umat Islam. Terutama bagi orang-orang Arab di masa Nabi, menghafalkan Al-Qur'an tidaklah dirasakan sebagai pekerjaan yang sulit, oleh karena:
1. Al-Qur'an tldak turun sekaligus, tetapi turun sedikit demi sedikit selama 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari.
2. la turun dengan bahasa mereka sendiri.
3. Di samping menghafalkan, mereka juga mengamalkan isi Al- Qur'an.
4. Ingatan mereka sangat terlatih, karena mereka kebanyakan buta huruf.
Dengan usaha-usaha yang telah dilakukan sejak Nabi Muhammad SAW ini, baik yang berupa penulisan atau penghafalan maka keaslian dan kemurnian Al-Qur'an dapat dipertahankan sampai sekarang, bahkan insyaallah sampai kapanpun. Apalagi Tuhan sendiri sudah berjanji untuk menjaga Al-Qur'an seperti yang terdapat dalam Al-Qur'an Surat Al-Hijr ayat 9 :
انّا نحن نزّلنا الذّ كر وانّا له لحفظون (الحجر : 9)
Artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya Kami (pula) yang memeliharanya". (al-Hijr:9)
Ini semua adalah fakta-fakta tentang terjaganya keaslian Al-Qur'an khusus dari segi sejarah. Dalam pada itu dari fakta-fakta segi lain, Jelasnya yaitu fakta dari segi bahasa, tidak kalah penting pula dalam memberikan jaminan terhadap keaslian Al-Qur'an sepanjang masa.
Dalam hubungan ini, perlu diketahui lebih dulu bahwa setiap Tuhan mengutus seorang Rasul, dimanapun dan kapanpun, pastilah Rasul itu diutus dengan menggunakan bahasa kaumnya, supaya ia dapat berkomunikasi dengan kaumnya itu, dan dengan begitu ia tidak mengalami kesulitan dalam menyampaikan wahyu Tuhan kepada mereka. Tuhan berfirman;
وما ارسلنا من رسول إلاّ بلسان قومه ليبيّن لهم (إبرهيم : 4)
Artinya: “Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka ...."(Al-Qur'an S. Ibrahim ayat 4).
Kaum Nabi Muhammad SAW. ialah Bangsa Arab dari suku Qureisy, oleh karena itu beliau juga berbicara dengan bahasa Arab suku Qureisy dan demikian pula Al-Qur'an yang dibawanya juga menggunakan bahasa Arab Quraisy. Al-Qur'an dalam bahasanya yang asli ini, dapat dipertahankan sampai sekarang, bahkan Al-Qur'an yang mengandung sastra Arab yang amat tinggi mutunya itu menjadi standard bagi bahasa Arab. Dengan adanya bahasa asli ini, setiap terjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa lain, dapat dikontrol sewaktu-waktu, sehingga setiap kesalahan teijemahan dapat diketahui dengan cepat dan mudah. Apalagi seperti sistim yang beralaku sampai sekarang, setiap terjemahan Al-Qur'an selalu didampingi dengan Al-Qur'an dalam bahasa aslinya.
Perlu diketahui, bahwa keadaan yang sangat menguntungkan seperti yang dimiliki Al-Qur'an ini, tidak ada pada Taurat, Zabur dan Injil yang ada sekarang ini.
2. Mengamalkan
Umat Islam wajib percaya kepada Kitab Suci Allah yang 4, yaitu Taurot, Zabur, Injil dan Al-Qur'an. Tetapi hendaklah diketahui, bahwa kepercayaan umat Islam kepada Kitab-Kitab Suci yang selain Al-Qur'an, tidaklah sama dengan kepercayaan Umat Islam kepada Al-Qur'an. Kita wajib percaya kepada Al-Qur'an, yaitu bahwa ia adalah betul-betul wahyu dari Allah yang disampaikan kepada Nabi dan Rasul terakhir Muhammad SAW untuk menjadi pedoman hidup manusia di dunia dan akhirat. la bukan hasil karya Muhammad sendiri, atau hasil karya manusia atau makhluk yang manapun. Ia diturunkan Tuhan bukan untuk main-main atau untuk sekedar menjadi bahan bacaan, tetapi untuk menjadi petunjuk bagi seluruh manusia. Jadi kepercayaan kita kepada Al-Qur'an sekaligus membawa kita kepada kewajiban untuk mengamalkan isi Al-Qur'an.
Kepercayaan kita kepada Taurat, Zabur dan Injil tidaklah demikian halnya. Kita kepada ketiga Kitab Suci tersebut hanyalah wajib percaya sekedar percaya dengan tidak usah berkewajiban untuk mengamalkan isi-isinya. Kita hanyalah diperintahkan untuk percaya, dalam arti bahwa kita percaya, memang Tuhan pada waktu-waktu yang lalu pernah menurunkan wahyu-wahyu Nya yang bernama Taurat, Zabur dan Injil, masing-masing kepada Nabi Musa, Nabi Daud dan Nabi Isa bin Maryam. Kita tidak berkewajiban mengamalkan ketiga Kitab Suci tersebut disebabkan karena :
(1). Masa berlaku Kitab-kitab Suci tersebut sudah habis dengan datangnya Al-Qur'an yaag merupakan Kitab Allah yang terakhir. Kitab-Kitab Taurot, Zabur dan Injil memang bukan untuk ummat Muhammad, tetapi untuk umat pada masanya masig-masing.
Demikian juga Nabi-Nabi yang mempunyai Kitab-Kitab Suci tersebut, masing-masing; Musa, Daud, dan Isa bin Maryam, mereka tidak diutus untuk ummat Muhammad tetapi diutus untuk umat pada masa mereka masing-masing. Rasulullah SAW bersabda :
عن جابر رضىالله قال : قال رسول الله ص.م. لو نزل موسى فاتّبعتموه وتركتمونى لضللتم انا حظّكم من النّبيّن وانتم حظّى من الأمم (رواه النسائى) [11]
Artinya: Dari Jabir ra. Berkata: Rasulullah bersabda: "Sekiranya Nabi Musa turun, lalu kamu sekalian mengikuti dia dan meninggalkan aku, tentu sesatlah kamu. Aku bagian kamu sekalian daripada Nabi-Nabi, dan kamu sekalian bagianku daripada umat-umat".(HR. an-Nasa’i).
Hathib bin Balta'ah, ketika mengajak Muqauqis raja Mesir untuk menganut Islam, antara lain berkata :
وكلّ نبيّ ادرك قوما فهم امّته فالحقّ عليهم ان يطيعون
Artinya: "Setiap Nabi telah sampai kepada suatu kaum, maka kaum itu adalah umatnya. Maka wajib atas mereka mentaati Nabi tersebut.[12]
(2) Prinsip-prinsip ajaran tiga Kitab Suci tersebut sudah terkandung dalam Al-Qar'an, bahkan dibawakan dalam bentuk yang lebih sempurna.
Demikian kepercayaan ummat Islam kepada Taurat, Zabur dan Injil yang masing-masing betul-betul asli kepunyaan Nabi Musa, Nabi Daud dan Nabi Isa Al-Masih.
Sementara itu kepada Taurat, Zabur dan Injil yang ada sekarang, yaitu yang kini terhimpun dalam kitab Bibel, maka kepercayaan kita (walaupun hanya sekedar percaya), haruslah disertai denga sikap kritis. Hal ini karena, kebenaran dan keaslian Kitab-Kitab itu sekarang sudah sangat meragukan. Oleh karenanya Al-Qur'ain sebagai Kitab Allah yang terakhir tidak lupa pula melakukan koreksi-koreksi terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terdapat dalam Kitab-Kitab tersebut. Misalnya dalam Al-Qur'an S. Ali Imran ayat 71 disebutkan :
يا اهل الكتاب لم تلبسون الحقّ بالباطل وتكتمون الحقّ وانتم تعلمون
(ال عمران:71)
Artinya: "Hai ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang batil dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahui?"
Kemudian dalam S. Al-Baqoroh ayat 79 disebutkan pula :
فويل للّذ ين يكتبون الكتب بايد يهم ثمّ يقولون هذا من عند الله ليشتروابه ثمنا قليلا ... (البقره:79)
Artinya: "Maka celaka besarlah, bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya : Ini dari Allah, [dengan maksud] untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatannya itu .."
Selain itu Nabi Muhammad SAW juga teklah mengajarkan kepada kita, bagaimana kita mesti bersikap terhadap Kitab-Kitab selain Al-Qur'an yang ada sekarang. Beliau bersabda :
Artinya: "Jangan kamu benarkan begitu saja, dan jangan segera kamu dustakan". (HR. at-Turmudzi)
Maksudnya ialah, bahwa terhadap Kitab-Kitab Taurat, Zabur dan Injil yang ada sekarang, kita harus korektip dan waspada. Kita boleh percaya yang benar, tetapi harus menolak yang salah. Arti kepercayaan kita kepada Kitab-Kitab Allah tersebut, dapat dibuat ringkasannya, sebagai berikut: Kepada Kitab Suci Al-Qur'an :
1). Percaya bahwa Al-Qur'an itu betul wahyu Allah, yang diturunkan kepada ummat manusia, melalui Nabi Muhammad SAW.
2). Kepercayaan tersebut membawa konsekwensi untuk mengamalkan isi Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari.
Kepada Taurot, Zabur dan Injil
1. Kepada Taurot, Zabur dan Injil yang asli yang masing-masing kepunyaan Nabi Musa, Daud dan Isa :
a. Percaya bahwa Kitab-Kitab tersebut betul wahyu Allah.
b. Kepercayaan tersebut, tidak membawa konsekwensi untuk mengamalkan isi-isi nya, karena masa berlaku Kitab-Kitab tersebut kini telah lewat dan karena ajaran-ajarannya yang pokok-pokok dan penting-penting telah terkandung dalam Al-Qur'an.
2. Kepada Taurat, Zabur dan Injil yarag ada sekarang, yaitu yang terhimpun dalam Bibel :
a. Percaya terhadap kewahyuan Kitab-Kitab tersebut dengan sikap kritis. Boleh percaya bila memang benar, dan dilarang peroaya bila ternyata tidak benar atau sudah berbeda dengan wahyu aslinya.
b. Juga (lebih-lebih lagi) kepercayaan ini tidak membawa konsekwensi untuk mengamalkan isi-isinya.
3. Keberadaannya
Mengenai Al-Qur’an seperti telah diketahui bahwa apa yang terhimpun dalam kitab yang namanya Al-Qur'an dewasa ini ialah wahyu Allah yang diterima Nabi Muhammad melalui Jibril dan tidak dicampuri di dalamnya perkataan Nabi Muhammad sendiri atau perkataan sahabat-sahabat Nabi.
Orang bukan Islam boleh jadi menganggap bahwa wahyu itu hanya "hasil pikiran" Nabi Muhammad. Tetapi bagaimana juga "hasil pikiran" ini begitu ajaib sehingga Nabi Muhammad sendiri dalam perkataan sehari-hari tidak sanggup menyusun sajak Arab yang begitu mempesonakan kepadatan isinya dan irama bahasanya sepeni "hasil pikiran" itu. Dalam Al-Qur'an itu ada satu ayat yang berisi tantangan bahwa setiap orang yang tidak mau percaya bahwa Qur'an ini adalah wahyu daripada Allah dipersilahkan mencoba menyusun satu surah saja yang menyerupai surah Al-Qur'an itu baik mengenai irama bahasanya ataupun mengenai kepadatan isi etikanya. Hingga hari ini nyata tidak ada seorang pun yang sanggup mengadakannya.
Adapun ajaran Nabi Muhammad sehari-hari yang bukan "Wahyu Allah” dinamakan orang sekarang Hadis-hadis Nabi. Apakah perbedaan antara Qur'an dengan Hadis? Perbedaannya ialah Al-Qur'an itu tidak bisa ditiru atau dipalsu sebab bahasanya sangat indah dan menggetarkan, sedang Hadis-hadis Nabi bisa ditiru atau dipalsu sebab bahasanya bahasa Nabi Muhammad sendiri sebagai orang Arab sama dengan bahasa orang-orang Arab lainnya juga. Setelah Nabi Muhammad wafat, timbullah Hadis-hadis palsu ribuan jumlahnya. Kebanyakan Hadis-hadis itu sifatnya memuji-muji Nabi Muhammad, keluarga Ali, keluarga Quraisy dan amal-amal ibadat sunnah secara berlebih-lebihan, sehingga isinya banyak yang terang-terangan tidak masuk akal dan berlawanan dengan ayat-ayat Al-Qur'an atau sangat memberatkan peribadatan umat Islam. Pada akhir abad pertama Hijrah timbullah reaksi di kalangan ulama-ulama Islam (terutama Mu'tazilah) yang menentang pengaruh Hadis-hadis palsu. Mereka berpendirian segenap hadis- hadis yang bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur'an tertolak dan segenap hadis yang tidak bertentangan harus diperiksa benar-benar, apakah hadis- hadis itu sungguh berasal dari Nabi atau tidak.
Reaksi Mu'tazillah ini menggoncangkan kalangan Ahli Sunnah yang juga segera mengadakan koreksi ke dalam. Lalu timbullah Ilmu Hadis yang amat luas terbagi dalam Rijalul Hadist dan Musthalahul Hadist dan penyelidikan sanad hadis. Segenap penyampai hadis diselidiki pribadinya dapat dipercaya atau tidak. Ribuan nama yang tercatat dalam rantaian penyampai Hadis-hadis semua diselidiki. Kemudian tata tertib sanad (sambung-menyambungnya) hadis diselidiki berapa penyambungnya, seorang atau tiga orang sejak Nabi hingga zaman para Selektor itu. Ulama-ulama hadis itu mondar-mandir dari satu tempat ke tempat yang lain, menyelidiki keaslian suatu hadis, atas biaya sendiri atau biaya Khalifah Negara.
Pada abad kedua dan ketiga Hijrah segaia hadis-hadis sahih yang tidak ada cacatnya mulai dibukukan orang, misalnya Al-Muwattha karangan Imam Malik, kemudian kitab-kitab Shahih Imam Bukhari dan Muslim. Buku-buku ilmu hadis sendiri sangat luas dipelajari orang setiap pelajar, menengah sudah dapat mengadakan suatu penilaian terhadap hadis yang dibuat-buat orang setiap waktu. Dengan itu berarti umat Islam terlepas dari ancaman infiltrasi kesesatan beragama yang telah pernah melanda agama-agama lain sebelumnya. Dalam konteksnya dengan kitab Perjanjian Baru inklusif keempat Injil itu dilihat dari penilaian ilmu hadis adalah merupakan suatu Kitab Hadis dan bukan kitab suci seperti Al-Qur'an.
Kemudian kalau dilihat dari segi ilmu (musthalah) hadis maka "Kitab Hadis Perjanjian Baru" itu memuat campuran antara hadis-hadis Qawi, hadis-hadis Qudsi, hadis-hadis Masyhur, hadis-hadis Mauquf, hadis-hadis Mursal, hadis-hadis Munqathi, hadis-hadis Mu'dhal, hadis-hadis Dhaif, dan hadis-hadis Maudhu.
Kembali pada masalah Al-Qur’an, bahwa salah satu wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad berbunyi: sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an ini dan Kamilah yang menjaganya (al-Hijr:9)
Ayat ini menjanjikan jaminan dari Tuhan bahwa kitab Qur’an pasti akan terjaga dari kejahatan manusia yang akan menambah-nambah atau mengurangi atau menukar ayat-ayatnya seperti yang pernah dilakukan oleh Bani Israel pada kitab Taurat dan oleh ulama-ulama Nasrani terhadap kitab Injil.
Menurut kenyataan sejarah maka janji Tuhan ini sungguh-sungguh terlaksana. Dalam pencatatannya yang pertama Nabi Muhammad sendiri yang menyuruh pencatatan ayat-ayat Al-Qur'an itu. Nabi sendiri yang mengatur susunannya menjadi surah-surah. Nama-nama para Sekretaris Nabi untuk pencatatan Al-Qur'an sepanjang 23 tahun itu adalah terang dan jelas, tidak ada ayat-ayat yang tersembunyi pencatatannya. Di antaranya yang termasyhur ialah para sahabat Nabi sendiri misalnya; Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib (keempat-empatnya kemudian menjadi khalifah). Sekretaris resmi dari Nabi dalam pencatatan wahyu-wahyu ialah Zaid bin Tsabit yang di zaman pemerintahan Abu Bakar nanti mengetuai suatu Panitia penyusunan kembali catatan-catatan surah itu, menjadi suatu kitab yang tersusun tata tertibnya seperti yang telah diberi contohnya oleh Nabi. Yaitu dari surah-surah yang terpanjang lebih dahulu lalu kepada surah-surah pendek yang terakhir.
Segala pencatatan dan penyusunan itu berjalan teratur dan terjadi di bawah lingkungan pemerintahan Islam yang berkuasa. Sehingga tidak mungkin terganggu atau terjadi pemalsuan di dalamnya, apalagi sebagian besar orang-orang yang hafal ayat-ayat Al-Qur'an dan penulis-penulis catatan itu di kala Panitia Zaid bin Tsabit bekerja masih hidup dan dapat mengoreksi kesalahan itu andaikata Panitia itu salah dalam pekerjaannya. Kalau kita kaji sebab-sebab pokok maka Al-Qur'an itu pasti terjamin dari kesalahan dan kejahatan tangan manusia ialah; bahwa pencatatan semua ayat-ayat itu terjadi langsung di bawah pengawasan Nabi Muhammad sendiri. Seluruh wahyu yang diterima Nabi (jadi seluruh ayat-ayat Al-Qur'an) dihafalkan di luar kepala oleh umat Islam di samping pencatatan-pencatatan ayat itu oleh para sekretaris Nabi.
Nabi melarang mencatat perkataan beliau sendiri yang bukan ayat-ayat Al-Qur'an, agar Al-Qur'an jangan tercampur dengan hadis-hadis Nabi. (Hadis-hadis Nabi pencatatannya dimulai setelah Al-Qur'an tersusun). Penertiban susunan ayat-ayat dan surah-surah Al-Qur'an juga terjadi di bawah pengawasan Nabi. Penyalinan kembali catatan-catatan itu dan mengumpulkan-nya sehingga berupa suatu kitab yang konkret berlaku di bawah pemerintah Islam sendiri dan dilakukan menurut contoh penerbitan dari Nabi sendiri.
Ayat-ayat Al-Qur'an itu tersusun dari bahasa Arab yang indah sastera- nya sehingga tidak mungkin ditambah-tambah orang dengan ayat-ayat buatan manusia sendiri. Di tiap masa dan di setiap negeri yang banyak penduduk Islamnya, terdapat orang-orang Islam yang hafal ayat-ayat Al-Qur'an seluruhnya di luar kepala. Sehingga setiap kesalahan cetak dari Al-Qur'an akan segera diketahui oleh mereka. Baik kesalahan itu pada kata-kata atau kalimatnya ataupun pada tertib susunan dari ayat-ayat itu.
Bahwa Al-Qur'an pada prinsipnya membenarkan, kitab-kitab Injil (dan Taurat) yang asli memang sungguh-sungguh berasal daripada Tuhan dan diturunkan kepada Nabi Isa (dan Nabi Musa). Tetapi Al-Qur'an menyatakan juga bahwa kitab-kitab Injil (dan Taurat) yang sekarang ialah kitab Injil (dan Taurat) yang telah diubah isinya oleh orang-orang Nasrani (dan Yahudi) sehingga isinya tidak sesuai lagi dengan prinsip agama Tauhid. Karena itu bagi siapa saja dari umat Islam yang ingin membaca Injil (dan Taurat) hendaknya berpedoman kepada ayat-ayat Al-Qur'an agar dapat membedakan mana dari ayat-ayat Injil (dan Taurat) itu yang sungguh-sungguh Wahyu Allah dan mana pula yang hanya buatan tangan manusia belaka.
Dalam konteks tersebut tugas Al-Qur'an ialah membenarkan (tashdiq) Injil (dan taurat) dari kesalahannya. Jadi Al-Qur'an bertugas dua macam dalam tashdiq-nya yaitu membenarkan dengan arti menyungguhkan bahwa Injil dan Taurat itu memang sungguh kitab Allah. Membenarkan dengan arti meralatnya (correctief) daripada kesalahan-kesalahan yang dilakukan tangan manusia terhadapnya.
Dengan demikian kita tidak boleh menganggap Injil (dan Taurat) itu sebagai kitab yang isinya benar semua dan juga tidak boleh menganggap Injil (dan Taurat) itu sebagai kitab yang salah semua. Al-Qur'an sendiri karena merupakan kumpulan wahyu Allah yang terjaga tidak terdapat di dalamnya perselisihan antara ayat-ayatnya satu sama lain seperti halnya dalam Perjanjian Baru. Dalam An-Nisa:. 82 dikatakan: Jika Qur'an itu bukan daripada Allah niscayalah akan terdapat bermacam-macam kesalahan di dalamnya.
4. Kisahnya
Injil (Injil) adalah kitab suci umat Kristen (Nasrani). Kata injil itu pada mulanya berawal dari kata Yunani euangelion, yang berarti berita gembira. Setelah masuk ke dalam bahasa Etiopia, kata Yunani itu berubah bentuk menjadi wangel; selanjutnya masuk ke dalam bahasa Arab menjadi injil jamaknya anajil.
Kata injil kemudian masuk ke dalam bahasa Indonesia tanpa perubahan. Tentang Injil, sebagai kitab suci umat Kristen, terdapat perbedaan pandangan antara umat Kristen dengan umat Islam. Menurut umat Kristen, Injil, sebagai kitab suci, bukannya firman atau wahyu Tuhan yang diterima oleh Nabi Isa al-Masih (Yesus Kristus), yang kemudian ia sampai kan kepada, dan dibukukan para pengikutnya; akan tetapi Injil adalah kisah atau laporan yang disusun oleh para pengikut Isa al-Masih, tentang kehidupan Isa al-Masih, termasuk. tentang perbuatan dan perigaJarannya selama bertugas mengajak bani Israil atau umat Yahudi, agar mereka beragama secara benar.[14]
Para penulis itu dipandang mendapat bimbingan dari Roh Kudus, salah satu dari tiga oknum (pribadi) Tuhan Yang Maha Esa. Pada abad-abad pertama Masehi beredarlah belasan macam Injil dengan versi masing-masing, dan sejak abad ke-4 Masehi bapak-bapak Gereja menetapkan hanya empat versi saja yang sah (kanonik), yaitu: Injil karangan Matius, Injil karangan Markus, Injil karangan Lukas, dan Injil karangan Yahya. Karena cukup sulit untuk menunjukkan kriteria yang konsisten bagi penetapan itu, maka para teolog Kristen pada umumnya mengatakan bahwa Roh Kudus telah membimbing bapak-bapak Gereja pada suatu konsili di abad ke-4 untuk membuat ketetapan seperti itu.
Dengan demikian, Injil-injil yang lain, seperti: Injil Jemaat Yerusalem, Injil Barnabas, Injil Thomas, dan lain-lain dipandang tidak sah. Keempat Injil yang dipandang sah itu, karena disusun oleh penulis-penulis yang dipandang mendapat bimbingan atau kontrol dari Roh Kudus, dinyatakan sebagai kitab suci yang dikarang oleh manusia dan sekaligus dikarang oleh Tuhan. Keempat Injil tersebut dipandang sebagai firman-firman Tuhan yang tertulis.
Berbeda dengan pandangan umat Kristen, pandangan umat Islam dibangun atas dasar keterangan-keterangan kitab suci al-Qur’an tentang Injil. Al-Qur’an antara lain menyebutkan: "Allah — tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri - telah menurunkan al-kitdb (Al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya, dan la telah menurunkan Taurat dan Injil, sebagai petunjuk bagi manusia . . ." (3:2-4). "Dan kami utus Isa ibnu Maryam mengikuti jejak mereka (para nabi bani Israil), demi membenarkan kitab yang sebelum nya, yakni: Taurat. Dan kami telah memberikan kepadanya kitab Injil, yang mengandung petunjuk dan cahaya, dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat, dan sebagai petunjuk serta pengajaran bagi orang-orang bertakwa (5:46)."[15]
Berdasarkan keterangan Al-Qur’an itu dan dengan menganalogikan Injil dengan Al-Qur’an, maka umat Islam memandang bahwa Injil yang seharusnya menjadi pegangan umat Kristen haruslah satu versi, seperti Al-Qur’an; ia haruslah merupakan himpunan murni firman-firman Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi Isa al-Masih dan kemudian ia sampaikan kepada para pehgikutnya. Injil itu seharusnya berbahasa Aramea, karena Nabi Isa al-Masih dan kaumnya berbahasa Aramea. Penelitian secara historis tidak mampu menjelaskan apakah Isa al-Masih pernah menyuruh para pengikutnya untuk menghafal atau mencatat teks wahyu yang diterimanya dan kemudian disampaikannya kepada mereka; juga tidak mampu menjelaskan apakah mereka berupaya menghafal serta mencatat teks wahyu itu, dan kemudian membukukannya menjadi sebuah kitab suci.
Jika mereka berhasil membukukan teks wahyu yang disampaikan oleh Isa al-Masih, maka itu berarti bahwa kitab Injil murni berbahasa Aramea itu telah hilang, dan dapat diduga bahwa kitab itu lenyap pada abad-abad pertama Masehi, tatkala terjadi pertentangan sengit di kalangan umat Kristen tentang apakah Isa al-Masih itu oknum Tuhan atau hanya manusia, dan tentang apakah Roh Kudus itu juga oknum Tuhan atau bukan.
Al-Qur’an membenarkan Injil, bukanlah dengan pengertian bahwa Injil Matius, Injil Markus Injil Lukas, dan Injil Yahya itu benar wahyu Tuhan yang diberikan kepada Isa al-Masih. Al-Qur’an membenarkan Injil, hanya dengan pengertian bahwa benar Allah telah mewahyukan atau menurunkan kitab Injil kepada Nabi Isa al-Masih ibnu Maryam. Sayang Injil yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an itu tidak pernah dijumpai di antara ribuan manuskrip tua warisan keagamaan umat Kristen.
Kendati umat Kristen yang dikenal oleh umat Islam (sejak dari masa hidup Nabi Muhammad sampai sekarang) tidak berpegang kepada kitab suci Injil yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Isa al-Masih, tapi kepada empat versi Injil, yang masing-masing disusun oleh Matius, Markus, Lukas, dan Yahya, mereka tetaplah disebut Ahlul Kitab. Itu berarti suatu pengakuan dari Al-Qur’an bahwa mereka adalah umat yang pernah diberi kitab yang diwahyukan melalui rasul Tuhan. Pengakuan itu tidaklah mengandung jaminan bahwa kitab yang diwahyukan itu masih ada atau masih terpelihara dengan baik.
Al-Qur’an, adalah kitab suci umat Islam. Umat ini meyakininya sebagai firman Allah yang diwahyukan dalam Bahasa Arab kepada nabi terakhir, Nabi Muhammad. la dinamakan Al-Qur’an (secara harfi berarti bacaan atau himpunan), karena ia merupakan kitab yang wajib dibaca, dan dipelajari dan merupakan himpunan dari ajaran-ajaran wahyu yang terbaik. Selain dinamakan Al-Qur’an, juga dinamakan al-Kitab (berarti ketetapan atau tulisan), az-Zikir (berarti peringatan), al-Furqan (berarti pembeda antara yang benar dengan yang salah), dan lain-lain. Ayat-ayat Al-Qur’an diterima oleh Nabi Muhammad secara berangsur-angsur selama lebih kurang 23 tahun, yakni sejak ia berusia 40 tahun sampai ia wafat pada usia 63 tahun.
Yang pertama turun adalah lima ay at pertama surat al-Alaq (surat ke 96), yang ia terima di Gua Hira (terletak di Jabal Nur, beberapa kilometer di utara Mekah) pada malam Qadar, 17 Ramadan 610 (13 SH), sedangkan, ayat yang terakhir ayat ketiga surat al-Ma'idah (surat ke 5), yang ia terima di padang Arafah pada 632 (9 Zulhijjah 10 H). Al-Qur’an terdiri dari 114 surat dan 6238 ayat. Surat-surat tersebut berbeda-beda panjangnya; yang terpanjang adalah surat kedua, al-Baqarah, yang mengandung 286 ayat, dan yang terpendek adalah surat ke 108, al-Kautsar, yang terdiri dari tiga ayat, Seperti halnya perjuangan Nabi Muhammad yang terbagi dalam dua periode: periode Mekah dan periode Madinah, maka surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an juga terbagi dua: surat dan ayat Makiyah (ayat dan surat yang turun sebelum Nabi hijrah ke Madinah), dan surat dan ayat Madaniyah (yang turun sesudah hijrahnya Nabi).
Secara umum dapat dikatakan bahwa ayat-ayat Makiyah pendek-pendek, bersajak, panggilannya tertuju kepada manusia umumnya, dan kandungannya berkisar pada hal-hal: tauhid, iman, takwa, surga-neraka, dan kisah-kisah umat terdahulu. Sebaliknya ayat-ayat Madaniyah lebih panjang-panjang, bergaya prosa, panggilannya. pada umumnya tertuju pada mereka yang sudah beriman, dan kandungannya berkisar pada masalah-masalah hukum atau peraturan untuk hidup bermasyarakat. Al-Qur’an adalah wahyu dari tingkatan tertinggi (terbaik), yakni wahyu yang dibacakan (al-wahy al-matluw) oleh malaikat Jibril (Run al-Amin dan Ruh al-Quds).
Ia bukanlah jenis wahyu yang redaksinya digubah sendiri oleh Nabi Muhammad. Dalam Al-Qur’an dikatakan: "Akan Kami bacakan kepadamu, maka kamu tidak akan lupa" (87:6); "Maka apabila Kami bacakan ia, hendaklah engkau ikuti bacaannya" (75:18). Jenis wahyu yang redaksinya digubah sendiri oleh Nabi Muhammad, hanya disebut Hadis Nabi, bukan Al-Qur’an. Keadaan Al-Qur’an yang istimewa (tidak dapat ditiru oleh manusia, gaya bahasanya yang tidak dapat ditandingi oleh gaya bahasa Nabi Muhammad sendiri, ramalan-ramalannya yang terbukti benar, pernyataan-pernyataannya — dalam daerah ilmiah yang belasan abad kemudian baru dapat dipahami dan dikuatkan oleh kemajuan ilmu, dan lain sebagainya) menunjukkan dirinya sebagai mukjizat yang ampuh, yang dapat melemahkan atau mengalahkan argumentasi pihak yang menolak kewahyuannya dari Tuhan.
Berbeda dengan nasib kitab-kitab suci terdahulu (yang keaslian atau keorsinilannya tidak terjaga), Al-Qur’an diakui oleh banyak sarjana sebagai kitab yang keasliannya terjaga dengan sempurna. Bakat menghafal yang luar biasa pada bangsa Arab, kesungguhan generasi sahabat Nabi dan generasi-generasi berikutnya menghafal Al-Qur’an di luar kepala, adanya pencatatan dan pendokumentasian ayat-ayat Al-Qur’an, setiap kali ia turun, segeranya (setengah tahun setelah wafat Nabi) Khalifah Abu Bakar memerintahkan panitia yang dipimpin oleh Zaid bin Sabit untuk menghimpun dan membukukan Al-Qur’an, dan kemudian diperbanyak naskahnya pada masa Khalifah Usman, semuanya itu telah membuahkan prestasi yang unik dalam sejarah: terpeliharanya dengan sempurna keaslian Al-Qur’an.
Kendati telah terjadi perpecahan dan peperangan sesama umat Islam, Al-Qur’an mereka satu, tidak berbeda, dari dulu sampai sekarang, dan insya Allah sampai akhir zaman. Dengan terpeliharanya keaslian Al-Qur’an itu sepanjang masa, kedudukannya sebagai pedoman hidup yang berasal dari Tuhan dengan sendirinya terp.elihara kukuh dalam keyakinan segenap kaum muslimin.
Ia dipandang sebagai sumber ajaran paling utama, yang seharusnya dipedomani oleh segenap umat manusia, jika mereka memang menginginkan kehidupan yang damai dan bahagia di dunia ini dan juga di akhirat. Sebagai wahyu terakhir yang diturunkan kepada nabi terakhir, ia merupakan ajaran terbaik yang diberikan Tuhan untuk kehidupan umat manusia. la menghendaki keharmonisan dan keseimbangan hidup manusia: dekat dengan Tuhan dan dekat sesama manusia, kebahagiaan individu dan kebahagiaan masyarakat, tajamnya perasaan dan tajamnya pikiran, tegaknya keutamaan, kasih-sayang, dan keadilan.
Al-Qur’an bagi umat Islam merupakan tolok-ukur tertinggi dalam menetapkan benar-salah atau buruk-baiknya sesuatu (pendirian, pandangan, akidah, sikap, perbuatan, emosi, peraturan hukum, kebijaksanaan, tradisi, dan sebagainya). Mereka boleh menerima dan mengembangkannya sedemikian rupa, sehingga sesuai atau sejalan dengan ajaran Al-Qur’an, atau minimal tidak bertentangan secara nyata dengan ajaran Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an pada umumnya mengandung petunjuk-petunjuk bagi kehidupan manusia secara garis besar, maka ia sebenarnya cukup memberikan dorongan yang kuat dan kesempatan yang luas kepada akal-budi manusia untuk mengembangkan berbagai bentuk kehidupan yang benar dan baik, sesuai dengan petunjuknya, atau tidak bertentangan dengannya.[16]
[1] Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hlm. 86
[2] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, PT.Citra aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 85
[3] M. Arifin, Belajar Memahami Ajaran-Ajaran Besar, CV. Sera Jaya, Jakarta, 1981, hlm. 117
[4] Agus Hakim, Perbandingan Agama, CV. Diponegoro, Bandung, 1993, hlm. 97
[5] Nico Syukur Dister, op. cit, hlm. 87
[6] Hilman Hadikusuma, op. cit, hlm. 88
[7] M. Arifin, op. cit, hlm. 97
[8] Josoef Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia, PT. Al-Husna Zikra, Jakarta, 1996, hlm. 340
[9] Nico Syukur Dister, op. cit., hlm. 120
[10] Al-Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Tijariyah Kubra, Kairo, tth, hlm. 410
[11] Al-Imam Abu Abdir Rahman Ahmad Ibn Syu’aib Ibn Ali Ibn Sinan Ibn Bahr An-Nasa’i, Sunan An-Nasa’i, Tijariyah Kubra, Mesir, tth, hlm. 320
[12] M. Natsir, Fiqhud Dakwah II, Yayasan Dakwah Islamiyah / Yayasan Kesejahteraan Pemuda Islam, Surakarta, tth, hlm. 31
[13] Al-Imam Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn ad-Dahak as-Salmi at-Turmuzi, Sunan at-Turmudzi, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1931, hlm. 184
[14] Tim IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, Jambatan, Jakarta, 426-794
[15] Ibid
[16] Ibid, hlm. 794
0 Response to "ANALISIS IMPLEMENTASI DAN IMPLIKASINYA KITAB SUCI DALAM ISLAM DAN KRISTEN"
Post a Comment