TAKHALLI, TAHALLI DAN TAJALLI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KESEHATAN
MENTAL
A. Takhalli,
Tahalli dan Tajalli
Takhalli
berarti
membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran, dan penyakit hati yang
merusak. Langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengetahui dan meyadari,
betapa buruknya sifat-sifat tercela dan kotor tersebut, sehingga meuncul
kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa dilakukan
dengan sukses, maka seseorang akan memperoleh kebahagiaan. Tahap selanjutnya
ialah tahalli yakni menghias diri dengan jalan membiasakan dengan sifat
dan sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak dan
perilakunya selalu berjalan di atas ketentuan agama. Setelah seseorang melalui
dua tahap tersebut maka tahap ketiga yakni tajalli, seseorang hatinya
terbebaskan dari tabir (hijab) yaitu sifat-sifat kemanusian atau
memperoleh nur yang selama ini tersembunyi (Ghaib) atau fana
segala selain Allah ketika nampak (tajalli) wajah-Nya.[1]
Apabila
proses penyucian diri berupa takhalli, tahalli dan tajalli telah
selesai dan berhasil dicapai selama dalam riyadhah, berarti seseorang
telah memperoleh ketrampilan dan keahlian. Seterusnya ia dapat melanjutkan
ketrampilan dan keahliannya itu dengan lebih sempurna dengan mengkaji dan
meneliti berbagai macam ilmu dan pengetahuan, khususnya yang relevan dengan
keberadaan manusia dan segenap misterinya. Hal ini dapat dilakukan baik lewat
kajian-kajian teori, aplikasi maupun empirik, baik alam lahir manusia maupun
alam batinnya. Pemberdayaan terhadap potensi dan keahlian yang
bertingkat-tingkat itu adalah dengan berupaya meningkatkan pemahaman
penghayatan dan pengalaman-pengalaman ibadah seperti pada fase tahalli
pada tingkat yang lebih tinggi.
Semakin
dalam dan kokohnya pemberdayaan itu maka akan kian meningkatkan keahlian dan
ketrampilan dalam melaksanakan tugasnya sebagai konselor (jika ia menjadi
konselor), psikodiagnostikus dan psikoterapis secara proporsional dan
profesional. Akan semakin mudah dalam memahami berbagai macam problematika yang
ada kaitannya dengan manusia, baik dengan menggunakan metode ilmiah, propetk
maupun normatik. Karena proses pemahaman dan penerimaan informasi serta data
melalui kajian teori, aplikasi dan empirik yang bersifat lahiriyah maupun
batiniah adalah selalu dalam bimbingan illahiyah. Konselor, psikodiagnostikus
dan psikoterapis dalam Islam, mereka bukan sekadar manusia biasa dan orang
kebanyakan akan tetapi mereka adalah hamba Allah yang memikul amanat dan
tanggung jawab yang besar yaitu tidak hanya sebagai hamba Allah tetapi mereka
juga sebagai wakil Allah dalam mendidik, mengembangkan, memberdayakan dan
melindungi serta menyembuhkan alam dari kerusakan dan kehancuran; khususnya
adalah manusia sebagai alam kecil dan umumnya alam lingkungan semesta sebagai
alam kabir. Allah zat Wajibul Wujud, yang Maha konselor. Maha psikodiagnostikus
dan Maha Psikoterapis; oleh karena itu seseorang tidak akan dapat memahami,
mengetahui dan mempelajari seluk beluk mansuia secara sempurna jika tidak
belajar dan menimba ilmu pengetahuan itu dari-Nya.
Dalam
sejarah perjalanan manusia ternyata kaum sufi telah mendahului psikolog dalam
memahami neorose-neorose kejiwaan yakni rahasia-rahasia kejiwaan,
sebab-sebab dan konfliknya. Hal itu oleh seorang syehk sufi dipergunakan untuk
menyingkap penyakit kejiwaan yang dimiliki murid-muridnya, lalu dikarangnya
untuk membersihkan segala penyakit yang dideritanya, baik berupa penipuan,
dengki, marah, dendam, serakah dan takabur.[2]
Bukan merupakan suatu yang berlebihan bila kita menyatakan bahwa para sufi
adalah pakar ilmu jiwa dan sekaligus sebagai dokter-dokter jiwa. Seringkali
datang kepada para syehk sufi orang-orang yang menderita penyakit kejiwaan,
lalu mereka mendapatkan di sisinya perasaan santun, keikut sertaan perasaan,
perhatian, rasa aman dan ketenangan.[3]
Dalam hubungan ini Mustafa Zahri menegaskan,
tidak akan berlebih-lebihan manakala dikatakan, bahwa tasawuf adalah
guru besar daripada ilmu jiwa di seluruh dunia. Karena orang sufi itulah yang
terus menerus spesialisasi mendalami segala soal-soal yang berkenaan dengan
ilmu jiwa. Berdasarkan atas pendapatnya itu dalam temuannya Mustafa Zahri
menegaskan bahwa di sementara sebagaian penganut-pengant tarekat di tanah air
kita telah menyeret tasawuf atau tarekat ke jurusasn ilmu jiwa. Karena mereka
ini sangat tekun mendalami ilmu jiwa, sehingga mereka itu mengetahu sifat
kejiwaan seseorang, seolah-oleh mereka itu mengetahui hal-hal ghaib.[4]
Orang-orang
awam dan hampir pada umumnya mansuia-manusia yang hidup di dunia ini, biasanya
menghadapi dua penyakit jiwa yang paling pokok, yaitu takut dari bahaya dan
susah dalam penderitaan. Dari kedua hal tersebut di atas merupakan ancaman dan
kemusnahan terhadap dirinya. Tatkala itu manusia mencari jalan untuk melepaskan
dirinya dari ketakutan dan penderitaan batin. Dari perasaan kekurangan dan
kelemahannya serta tidak berkuasanya itu, dimana keimanannya sangat lemah,
menyebabkan ia harus meminta-minta bantuan perlindungan. Demikianlah mereka itu
mendatangi guru-guru tarekat untuk meminta berkat guna menghindarkan ia dari
bahaya itu.[5]
Itulah sebabnya Abdul Muhaya menandaskan
bahwa tasawuf mampu berfungsi sebagai terapi krisis spiritual sebab, pertama,
tasawuf secara psikologis merupakan hasil dari berbagai pengalaman spiritual
dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai realitas-realitas
ketuhanan yang cenderung menjadi inovator dalam agama. Kedua, kehadiran
Tuhan dalam bentuk pengalam mistis dapat meninmbulkan keyakinan yang sangat
kuat. Ketiga, dalam tasawuf,
hubungan seorang dengan Allah dijamin atas rasa kecintaan.[6]
Dari keterangan di atas, maka tidak heran bila seorang sufi tak ubahnya seperti
seorang dokter sebagaimana diungkapkan at-Tirmidzi, seorang bagai dokter jiwa karena ia adalah
tempat kembalinya seorang yang mencari perasaan santun, ia memiliki banyak ilmu
dari kepemimpinan dan datang kepadanya orang-orang asing dari seluruh penjuru
ufuk untuk mengambil manfaat dari ilmu dan akhlaknya. Ziarah kepada ahli
ibadah, ahli kejujuranu melepaskan kendala-kendala kejiwaannya; lalu seorang
sufi itu akan memberi bantuan kepada mereka dalam upaya meringankan beban
kejiwaan yang dideritanya. Sesungguhnya seorang sufi adalah para penasehat
Allah yang ditaruh olehnya dengan penuh kejujuran.[7]
Dari
uraian di ats jelaslah kiranya bahwa takhalli, tahalli dan tajalli dapat
dijadikan sebagai saran untuk menciptakan ketenangan jiwa, rasa dilindungi oleh
yang kuasa dan termanifestasikannya seluruh potensi hidup manusia kejalan yang
benar menuju ridha illahi.
B. Proses
Pencerahan Hati dan Kesehatan Mental
Keutuhan
kepribadian atau kemantapan kepribadian merupakan kerja fungsi-fungsi yang
harmonis atau aspek-aspek kejiwaan yang meliputi kehidupan jasmaniah,
psikologis dan kehidupan sosial budaya. Keutuhan kepribadian itulah yang
menentukan kebahagiaan seseorang. Pengertian bahagia bersifat relatif,
bergantung dari pengertian konsep manusia dan tujuan hidupnya. Bagi muslim yang
mempunyai tujuan hidup beribadah, kebahagiaan akan tercapai apabila ia mampu
memahami, menghayati dan mengamalkan kenikmatan-kenikmatan yang terdapat dalam
beribadah, baik berupa melaksanakan perintah Tuhan maupun meninggalkan
larngannya. Penghayatan bahwa ia berasal dari Allah, melaksanakan ativitas atas
bantuan Allah semua itu dilakankan untuk dan karena Allah dan kembli bersrah diri
kepada Allah merupakan inti kehidupan muslim yang bersifat dinamis. Derajat
penghayatan tersebut merupakan ukuran bagi tingkatan kebahagiaan.
Masa
sekarang kesehatan mental berusaha membina kesehatan mental dengan memandang
manusia sebagaimana adanya. Artinya, kesehatan mental memandang manusia sebagai
satu kesatuan psikosomatis, kesatuan jiw raga atau kesatuan jasmani rohani
secara utuh. Hilangnya gangguan mental merupakan tujuan psikoterafi. Mental
yang sehat merupakan tujuan kesehatan mental. Psikoterafi menangani orang sakit
untuk disembuhkan dan kesehatan mental menangani
orang yang sehat untuk dibina agar tidak jatuh menjadi sakit mental.
Kedua ilmu itu saling berkaitan. Psikologi dan agama merupakan dasar atau
landasan dan sekaligus sebagai alat, baik untuk menyembuhkan gangguan mental mauun
untuk pembinaan kesehatan mental. Baik agama maupun psikologi dengan
psikoterafi berussaha membentuk, mengolah, membina dan mengembangkan
kepribadian yang utuh, kaya dan mantap.[8]
Pribadi
yang utuh atau kepribadian yang terintegrasi menunjukkan adanya susunan
hirarkis yang teratur dan kerjasama yang harmonis antara fungsi-fungsi kejiwaan
atau aspek-aspek mental. Kalau fungsi kejiwaan bekerja terpisah satu sama lain,
tidak ada keterarutan susunan secara hirakis, tidak ada penjalinan, tetapi tiap
fungsi atau aspek seolah-olah merupakan kesatuan yang berdiri sendiri, maka
kepribadian menunjukkan desintegrasi atau disharmoni. Demikian
pula kalau fungsi kejiwaan itu bekerja secara berlawanan. Kalau padas seseorang
terjadi kekacauan peranan fungsi kejiwaan maka keadaan mentalnya tegang.
Derajat integrasi dan keharmonisan menunjukkan dewrajat keutuhan kepribadian dan derajat kesehatan mental.[9]
Kesehatan
mental adalah ilemu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip,
peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan
rohani. Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang dalam rohani ata dalam
hatinya merasa tenang, aman dan tentram. Beberapa pertemuan dibidang kedokteran
dijumpai sejumlah kasus yang membuktikan adanya hubungan antara jiwa dan badan
dalam ilmu kedokteran dikenal istilah psikosomatik (ke jiwa badanan). Yang
dimaksud dengan istilah tersebut adalah untuk menjelaskan bahwa terdapat
hubungan yang erat antara jiwa dan badan. Jika jiwa berada dalam kondisi yang
kurang normal seperti susah, cemas, gelisah dan sebagainya, maka badan turut
menderita. Orang yang merasa takut, langsung kehilangan nafsu makan dan
buang-buang air. Atau dalam keadaan kesal dan jengkel, perut seseorang terasa
menjadi kembung.
Di
bidang kedokteran dikenal beberapa macam pengobatan antara lain dengan
menggunakan bahan-bahan kimia (tablet,cairan suntuk atau obat minum), electro
thraphia (sorot sinar, getaran arus listrik), chitro practric(pijat
)dan lain nya. Selain itu juga dikenal pengobatan tradisional seperti tusuk
jarum (akupuntur), mandi uap, hingga ke cara pengobatan perdukunan.[10]
Di
luar cara-cara seperti itu, sejak berkembang psikoanalisis yang diperkenalkan
oleh Dr.Breuer dan S.Freud orang mulai mengenal pengobatan dengan hipotheria,
yaitu pengobatan dengan cara hynostis. Dan kemudian di kenal pula adanya
istilah psikoterapi atau autotherapia (penyembuhan diri sendiri) yang
dilakukan tanpa menggunakan bantuan obat-obatan biasa. Sesuai dengan istilah
nya, maka psikoterapi dan autotherapia digunakan untuk menyembuhkan pasien yang
menderita penyakit gangguan rohani atau jiwa. Dalam usaha penyembuhan itu
digunakan cara penyembuhan sendiri. Usaha yang dilakukan untuk mengobati pasien
yang menderita penyakit seperti itu, dalam kasus-kasus tertentu biasanya
dihubungkan dengan aspek keyakinan masing-masing.
Sejumlah
kasus yang menunjukkan adanya hubungan antara faktor keyakinan dengan kesehatan
jiwa atau mental tampaknya sudah disadari para ilmuan beberapa abad yang lalu.
Misalnya pernyataan Carel Gustay jung “di antara pasien saya yang
setengah baya, tidak seorang pun yang peyebab penyakit kejiwaannya tidak
dilatar belakangi oleh aspek agama”.
Kenyataan
serupa itu juga akan dijumpai dalam banyak buku yang mengungkapkan betapa
eratnya hubungan antara agama dan kesehatan mental. Di Indonesia sendiri dua
buku yang diterbutkan dengan judul Peranan Agama dan Kesehatan Mental Jiwa
disusun oleh Aulia, telah membahas
secara luas mengenai sejumlah kasus yang menunjukkan adanya hubungan antara
kesehatan mental jiwa dan agama. Muhammad Mahmud Abd al-Qadir lebih jauh
membahas hubungan antara agama dan kesehatan mental melalui pendekatan teori
biakimia.Menurutnya dialam tubuh manusia terdapat sembilan jenis kelenjar
hormon yang memproduksi persenyawaan-persenyawaan kimia yang Mempunyai pengaruh
biokimia tertentu, disalurkan lewat pembuluh darah dan selanjutnya memberi
pengaruh kepada eksistensi dan berbagai kegiatan tubuh. Persenyawaan itu di
sebut hormon.[11]
Orang
yang tidak merasa tenang, aman serta tentram dalam hatinya adalah orang yang
sakit rohani atau mental nya, tulis H. Cerl Witherington. Para
ahli psikiatri mengakui bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan
dasar tertentu yang diperlukan untuk melangsungkan proses kehidupan secara
lancar. Kebutuhan tersebut dapat berupa kebutuhan jasmani dan dapat berupa kebutuhan rohani maupun
kebutuhan sosial. Bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka manusia akan
berusaha untuk menyesuaikan diri ini akan mengembalikan kekondisi semula,
sehingga proses kehidupan berjalan lancar, seperti apa adanya.
Tetapi
dalam kehidupan sehari-hari tak jarang di jumpai bahwa seseorang tak mampu
menahan keinginan bagi terpenuhinya kebutuhan bagi dirinya. Dalam kondisi
seperti itu akan terjadi pertentangan (konflik) dalam batin. Pertentangan ini
akan menimbulkan ketidak seimbangan dalam kehidupan rohani, yang dalam
kesehatan mental disebut kekusutan rohani. Kekusutan rohani seperti ini disebut
kekusutan fungsional.
Bentuk
kekusutan fungsional ini bertingkat, yaitu psychopat, psyconeurose,
dan psikotis. Psyconeurose ditandai bahwa seseorang tidak
mengikuti tuntutan-tuntutan masyarakat. Pengidap psyconeurose
menunjukkan perilaku menyimpang. Sedangkan penderita psikotis dinilai mengalami
kekusutan mental yang berbahaya sehingga memerlukan perawatan khusus.[12]
Usaha
penanggulangan kekusutan rohani atau mental ini sebenarnya dapat dilakukan
sejak dini oleh yang bersangkutan. Dengan mencari cara yang tepat untuk
menyesuaikan diri dengan memilih norma-norma moral, maka kekusutan mental akan
terselesaikan.
Penyelesaian
dengan memilih penyesuaian diri dengan norma-norma moral yang luhur seperti
bekerja dengan jujur, resignasi, dan kompensasi. Dalam konteks ini terlihat
hubungan agama sebagai terapi kekusutan mental. Sebab nilai-nilai luhur yang
termuat dalam ajaran agama dapat digunakan untuj penyesuaian dan pengendalian
diri, hingga terhindar dari konflik batin.
C. Hubungan Proses
Pencerahan Takhalli, Tahalli dan Tajalli dengan Kesehatan Mental
Orang
sufi memikirkan suatu cara tersendiri sebagai usaha melenyapkan pertentangan
kepentingan yang ada dalam diri manusia itu. Mereka berpendapat bahwa ketiga
pokok penggerak hidup rohani manusia itu sebenarnya berasal yang satu juga, yaitu hawa nafsu atau syahwat.
Hawa nafsu dan syahwat inilah yang seringkali menggiatkan kehidupan manusia,
tetapi yang seringkali juga menumbuhkan
dua sebab kerusuhan dunia, yaitu kekufuran terhadap Tuhan dan cinta diri yang berlebih-lebihan. Oleh karena itu ajaran tasawuf
ingin mengendalikan ajakan nafsu syahwat itu atau menguranginya sampai kepada
minimum kekuatannya, karena mereka berkeyakinan, bahwa syahwat itulah yang sebenarnya menyebabkan keinginan menimbulkan
kekayaan, mencari makan dan minuman yang
sedap, memburu nama, kedudukan, pangkat dan kekuasaan pada manusia
yang akhirnya menyebabkan adanya
perbuatan dan perkelahian di atas muka bumi. Dengan keyakinannya orang sufi
ingin mengajarkan untuk membiasakan tahan lapar, memakai pakaian yang sederhana, mengurangi cinta kepada harta
benda, istri dan anak, melepaskan hasrat memburu nama, kedudukan kemuliaan, pangkat dan sebab-sebab
yang lain, yang membuat manusia itu mencintai dunia terlalu
banyak untuk kepentingan dirinya sendiri. Dengan ajarannya pula orang sufi
ingin mengisi jiwa manusia yang sudah
dibersihkan itu dengan sifat-sifat
yang baik, yang dapat memajukan serta
menyuburkan persaudaraan dan perdamaian di antara manusia. Maka lahirlah
terhadap perbaikan manusia di dunia, yang dalam istilah tasawuf, disebut takhalli,
mengosongkan jiwa manusia dari pada sifat-sifat yang tercela, yang
digerakkan oleh hawa nafsu, dan tahalli, mengisi kembali jiwa
manusia itu dengan sifat-sifat yang
terpuji, yang terutama digerakkan
oleh akal dan ilmunya, sehingga dengan demikian terciptalah manusia baru
yang indah dan sempurna, jamal dan
kamal, untuk masyarakat damai, yang
penuh dengan rasa persaudaraan dan cinta mencintai.[13]
Joko
Tri Haryanto mengungakapkan: tasawwuf sebagai salah satu tradisi Islam
yang secara esensial telah ada pada masa
Nabi Muhammad SAW, yang pada
perkembangan berikutnya memformulasikan ajaran-ajarannya dalam sebuah teori dan
ilmu keislaman, yaitu ilmu yang
membicarakan tentang bagaimana manusia mengadakan hubungan dan
komunikasi dengan Tuhan. Tasawwuf secara epistemologi mempergunakan intuisi (dzauq dan wujdan) dengan qalb
sebagai sarananya, bukan indra dan akal. Dari qalb inilah kebenaran akan dihasilkan yakni dengan syarat
kebersihan dan kesucian qalb tersebut
yang diupayakan melalui riadlah dan mujahadah dalam proses takhalli
dan tahalli untuk mencapai tujuan
tasawwuf yaitu ma’rifatullah (tajalli).[14]
Berangkat
dari keterangan di atas, Amin Syukur memaparkan ketiga konsep di atas (takhalli, tahalli dan tajalli) sebagai
berikut: takhalli berarti
membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran, dan penyakit hati
yang merusak.[15]
Menurut Amin Syukur langkah pertama yang
harus ditempuh adalah mengetahui dan menyadari, betapa buruknya
sifat-sifat tercela dan kotor tersebut, sehingga muncul kesadaran untuk
memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses,
maka seseorang akan memperoleh kebahagiaan. Allah berfirman:
Artinya: Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S:
ar-Rum : 9-10)[16]
Adapun
sifat-sifat tercela yang harus
dihilangkan ialah antara lain al-syirik
(menyekutukan Tuhan), al-hasad
(keinginan yang berlebih lebihan), al-ghadlab (marah), al-riya dan al-sum’ah
(pamer), al-‘ujub (bangga diri), dan
sebagainya. Tahap selanjutnya adalah tahalli, yakni menghias diri dengan
jalan membiasakan dengan sikap dan sifat serta perbuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak dan
perilakunya selalu berjalan di atas ketentuan agama. Langkahnya ialah membina
kepribadian agar memiliki akhlak
al-karimah, dan senantiasa konsisten dengan langkah yang dirintis sebelumnya (dalam bertakhalli).
Melakukan latihan kejiwaan yang tangguh
untuk membiasakan berperilaku baik, yang
pada gilirannya akan menghasilkan manusia yang sempurna (insan kamil). Firman Allah:
Artinya : Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dan memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S an-Nahl
: 90)[17]
Langkah
ini perlu ditingkatkan dengan tahap mengisi dan menyinari hati dengan
sifat-sifat terpuji (mahmudah), dan
sifat-sifat ketuhanan (al-takhaluq bi
akhlaqillah), antara lain al-tauhid
(pengesahan Tuhan secara mutlak), al-taubah
(kembali ke jalan yang baik), al-zuhdu (sikap hati mengambil jarak
dengan dunia materi), al-hub al-llah
(cinta Tuhan), al-wara’ (memelihara
diri dari barang-barang yang haram dan syubhat),
al-shabru (tabah dan tahan dalam
menghadapi segala situasi dan kondisi), al-faqr
(merasa butuh kepada Tuhan), al-syukru
(sikap terima kasih dengan menggunakan nikmat Allah SWT secara fungsional dan
proporsional), al-ridha (rela
terhadap apa yang telah diterimanya), al-tawakkal (pasrah diri kepada Allah
SWT setelah berusaha maksimal), al-qana’ah
(menerima pemberian Allah SWT secara ikhlas), dan sebagainya.[18]
Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut maka tahap ketiga yakni tajalli. Menurut Mustafa Zahri tajalli ialah lenyapnya/hilangnya hijab
dari sifat-sifat kebasyaria’an, jelasnya nur yang selama itu ghaib, fananya/lenyapnya segala
yang lain ketika nampaknya wajah Allah.
Pada halaman lain, Mustafa Zahri merumuskan
tajalli sebagai memperoleh
kenyataan Tuhan.[19] Firman Allah:
Artinya
: Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu
hancur luluh dan Musa pun jatuh. (Q.S 7:143)[20]
Dalam
konteksnya dengan kesehatan mental, Zakiyah Daradjat mengatakan kesehatan
mental adalah terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan
diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan biasa,
adanya keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada konflik) dan dapat merasa bahwa
dirinya berharga, berguna dan bahagia, serta dapat menggunakan potensi
yang ada padanya seoptimal mungkin.[21]
Sejalan dengan rumusan tersebut Kartini Kartono memaparkan ilmu kesehatan
mental erat hubungannya dengan tekanan-tekanan batin, konflik-konflik pribadi,
dan komplek-komplek terdesak yang
terdapat pada diri manusia. Tekanan-tekanan batin dan konflik-konflik
pribadi itu sering sangat mengganggu ketenangan hidup seseorang, dan kerap kali
menjadi pusat pengganggu (storings
centrum) bagi ketenangan hidup. Dengan demikian mental hygiene mempunyai
tema sentral: bagaimana caranya orang memecahkan segenap keruwetan batin
manusia yang ditimbulkan oleh
macam-macam kesulitan hidup, seerta berusaha mendapatkan kebersihan jiwa; dalam
pengertian tidak terganggu oleh macam-macam ketegangan, ketakutan dan konflik terbuka,
serta konflik batin.[22]
Hubungan antara takhalli, tahalli dan tajalli
dengan kesehatan mental, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap
kepada suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang serupa itu diduga
akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif
seperti rasa bahagia, rasa senang, puas, sukses, merasa dicintai atau merasa
aman. Sikap emosi yang demikian merupakan bagian dari kebutuhan asasi manusia
sebagai makhluk yang bertuhan. Maka dalam kondisi yang serupa itu, manusia
berada dalam keadaan tenang dan normal, yang oleh Muhammad Mahmud Abd al-Qadir,
berada dalam keseimbangan persenyawaan kimia dan hormon tubuh, dengan kata
lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai
dengan fitrah kejadiannya, sehat jasmani dan rohani.[23]
Dari
paparan di atas, menurut penulis bahwa seseorang yang melakukan riyadhah
melalui tiga tahapan yaitu takhalli,
tahalli dan tajalli, secara
otomatis akan mengalami ketenangan jiwa yang
berdampak kepada kesehatan mental. Untuk memperkuat pendapat ini penulis
ambil keterangan H. Ramayulis yang mengungkapkan bahwa “dalam literatur yang
berkembang, setidak-tidaknya terdapat tiga pola untuk mengungkap metode
perolehan dalam pemeliharaan kesehatan mental dalam perspektif Islam: (1)
Metode pengembangan potensi jasmani dan rohani, (2) Metode Iman, Islam dan
Ikhsan, (3) Metode takhalli, tahalli
dan tajalli.[24]
Dengan demikian takhalli, tahalli dan tajalli merupakan bagian dari
metode perolehan dalam memelihara kesehatan mental.
Kaum
sufi yakin bahwa seseorang dapat memperoleh nur illahi. Dengan begitu Allah
dengan af’al, amsyar sifat dan zatnya. Mustahil orang dapat menutupi
cahaya, sedangkan cahaya itu terpancang dalam segala yang tertutup, apalagi
Allah itu adalah cahaya langit dan bumi.
Al-Ghazali
menyatakan bahwa tersingkap hal-hal yang ghaib yang menjadi pengetahuan hakiki
seseorang adalah karena nur yang dipancarkan Allah dalam hatinya. Hal itu
tidaklah didapat dengan menyusun dalil dan menata argumentasi, tetapi karena
nur yang dipancarkan Allah ke dalam hati dan nur ini merupakan kunci untuk
sekian banyak pengetahuan. Maka barang siapa yang mengira bahwa tersingkapnya
itu tergantung pada dalil-dalil semata, maka sesungguhnya dia telah menyempitkan
rahmat Allah yang luas.
Ketika
Rasulullah ditanya tentang arti “melapangkan dada” dalam firman Allah yang
menyatakan:
Artinya : Barang
siapa yang hendak diberikan Allah petunjuk maka dilapangkan-Nya dadanya untuk
Islam” (QS al-An’am : 125).
Beliau
mengatakan bahwa itu adalah nur yang dimasukkan Allah ke dalam hati seseorang
sehingga ia memperoleh ketentraman batin. Untuk mendapat nur di atas dan agar
dapat menjadai manusia yang sempurna, mengadakan latihan-latihan (riyadhah),
berusaha mengosongkan dirinya dari sifat-sifat yang tercela, melepaskan segala
sangkut paut dengan dunia, lalu mengisi diri mereka dengan sifat-sifat yang
terpuji, dan segala tindakannya selalu dalam rangka ibadah, memperbanyak
dzikir, menghindarkan diri dari segala yang dapat mengurangi kesucian diri, baik
menyangkut aspek esoteris (batiniah)
maupun eksoteris (lahiriah).
Seluruh
jiwa hanya semata-mata untuk memperoleh tajalli,
untuk menerima pancaran nur illahi. Apabila Tuhan telah menembus hati hambanya
dengan nur-Nya, maka berlimpah ruahlah rahmat dan karunia-Nya. Pada tingkat ini
hamba Allah itu bercahaya terang benderang, dadanya terbuka luas dan lapang,
terangkatlah tabir rahasia dalam malakut
dengan karunia rahmat itu. pada saat itu jelaslah segala hakekat
ketuhanan yang selama ini terdinding oleh kekotoran jiwanya. Dalam psikologi
agama kondisi semacam ini disebut dengan peak eksperience (pengalaman
puncak). Pada saat itulah seseorang akan merasakan ketentraman batin yang tiada
taranya.
[1] HM. Amin
Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf Studi Intelektualisme
Tasawuf al-Ghazali, Pustaka Pelajar, Semarang , 2002, hlm. 45-47.
[2] Amir
an-Nazar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, terj. Hasan Abrari, Pustaka
Azzam, 2000, hlm. 313.
[3] Ibid.
[5] Ibid.
[6] H.Abdul
Muhayya, Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual,
dalam H.M. Amin Syukur dan Abdul Muhaya. M.A, Tasawuf dan Krisis,
Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI) Bekerja Sama dengan IAIN Walisongo, Yogyakarta,
2001, hlm. 24-25.
[7] Amir
an-Nazar, op.cit, hlm. 314.
[8] H. Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama
Kepribadian Muslim Pancasila, Sinar Baru Allgensindo, Bandung , 1995, hlm. 208.
[9] Ibid.
[11]
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi psikologi dengan Islam Menuju Psikologi
Islam, Pustaka Pelajar, Bekerja
sama dengan Yayasan Insan Kamil, Yogyakarta, 1997, hlm. 131-132.
[12]
Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami Solusi Islam
Atas Problem-Problem Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta ,
1995, hlm. 154-155.
[13] Ibid,
hlm. 24-25. Lihat juga Aboebakar Atjeh, Pendidikan Sufi, Sebuah Upaya Mendidik
Akhlak Manusia, Ramdani, Solo, 1991, hlm. 30-68.
[14] Joko
Tri Haryanto (editor), dalam kata pengantar buku, dalam HM. Amin Syukur dan H.
Masyharuddin, Intelektualisme Tasawwuf Studi Intelektualisme Tasawwuf al-Ghazali,
LEMBKOTA Semarang bekerjasama dengan
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. v-vii.
[15] Amin
Syukur dan H. Masyharuddin, Op. cit, hlm. 45. Cf. IAIN Sumatera
Utara, Pengantar Ilmu Tasawwuf, tp, 1982, hlm. 94. Mustafa Zahri, Kunci
Memahami Tasawwuf, PT Bina Ilmu,
Surabaya , 1995,
hlm. 65.
[17] Ibid,
hlm. 415.
[18] Amin
Syukur dan Masyharuddin, op.cit.,
hlm. 47.
[20] DEPAG RI ,
op.cit.,
hlm 243. Para mufasir ada yang mengartikan yang nampak oleh gunung itu ialah kebesaran dan
kekuasaan Allah, dan ada pula yang
menafsirkan bahwa yang nampak itu
hanyalah cahaya Allah. Bagaimanapun juga nampaknya Tuhan itu bukanlah nampak
makhluk, hanyalah nampak yang sesuai
sifat-sifat Tuhan yang tidak dapat
diukur dengan ukuran manusia.
[22] Kartini
Kartono, Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam, Mandar Maju, Bandung , 1989, hlm. 4.
[24] Ibid,
hlm. 129.
0 Response to "TAKHALLI, TAHALLI DAN TAJALLI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KESEHATAN MENTAL"
Post a Comment