PERANAN LEMBAGA PENITIPAN ANAK DALAM PEMBENTUKKAN KEPRIBADIAN ANAK

PERANAN LEMBAGA PENITIPAN  ANAK DALAM  PEMBENTUKKAN  KEPRIBADIAN ANAK

1. Pengertian Lembaga Penitipan Anak
Lembaga penitipan anak adalah salah satu tempat yang dibentuk untuk menampung anak-anak dari orang tua yang terbatas waktunya dalam membimbing dan mengasuh anaknya. Hal ini dilakukan karena para pengelola lembaga pendidikan anak melihat semakin banyak para orang tua yang bekerja sehingga kehabisan waktu untuk mengasuh anaknya. Oleh karena itu dibentuklah lembaga pendidikan anak dengan berlandaskan pendidikan agama bernama  tarbiayat  al-aulad dalam bahasa Arab berarti menguasai urusan, tempat mendidik, menuntun, memperbaiki, menjaga,  dan memelihara.
Lukman Ali (1995:232) menjelaskan pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang yang diusahakan untuk mendewasakan melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan pendidikan sebagai proses kegiatan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan seirama dengan perkembangan anak didik yang meliputi berbagai aspek baik kognitif, afektif maupun psikomotorik dengan melakukan latihan-latihan, pengajaran maupun pengalaman-pengalaman.
Kegiatan lembaga pendidikan anak berdasarkan pendidikan keagamaan dimaksudkan sebagai fondasi atau dasar dalam pemberian dan penanaman ahlak bagi anak, oleh karena itu selayaknya diberikan pada waktu anak  masih kecil.
Bigot (dalam Andi Mappiare, 1982:23) menjelaskan rentangan masa kehidupan, adalah : (a) masa bayi usia 0-1 tahun; (b) masa kanak pada masa vital usia 1-2 tahun dan masa kanak pada masa estetis usia 2-7 tahun; (c) masa sekolah/intelektual usia 7-13 tahun; dan (d) masa sosial usia 13-21 tahun.
Zakiyah Daradjat (1990:109) membagi kelompok umur menjadi : masa kanak-kanak (0-12 tahun); masa remaja (13-21 tahun); dan masa dewasa (21 tahun keatas). Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa masa kanak-kanak dimulai dari 0-12 tahun. Jadi yang dimaksud dengan pendidikan agama pada masa kanak-kanak di sini ialah usaha atau bimbingan yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak dalam rangka membantu, membina, memelihara dan mengembangkan fitrah anak baik jasmani maupun rohani sejak awal pertumbuhannya dan perkembangannya sehingga terbentuk kepribadian yang utama yang sesuai dengan ajaran Islam.

2.   Tujuan Pendirian Lembaga Penitipan Anak
Tujuan dari pembentukan penitipan anak seperti yang tercantum dalam program kerja TPA Halimatus  Sya’diyah  Aisiyah  Kudus didorong oleh adanya para ibu pekerja/karir yang mempunyai problem keterbatasan waktu untuk merawat anak-anaknya pada usia pra sekolah dan memberi peluang kerja bagi para remaja yang belum tertampung kerja.
Terbentuknya lembaga penitipan anak diharapkan juga dapat membuat anak mempunyai kepribadian muslim, seperti yang dijelaskan dalam wawancara oleh Kasmini (2002) sebagai Ketua TPA menjelaskan sebagai berikut : (a) membentuk manusia muslim yang dapat melaksanakan ibadah mahdhah; (b) membentuk manusia muslim yang disamping dapat melaksanakan ibadah mahdhah dapat juga melaksanakan ibadah mu’amalah dalam kedudukannya sebagai orang perorang atau sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan tertentu; (c) membentuk warga negara yang bertanggung jawab kepada Allah Penciptanya; (d) membentuk dan mengembangkan tenaga profesional yang siap dan terampil atau tenaga setengah terampil untuk memungkinkan mamasuki teknostruktur masyarakatnya; dan (e) mengembangkan tenaga ahli di bidang ilmu (agama dan ilmu-ilmu Islam lainnya).
Berdasarkan penjelasan tentang tujuan lembaga penitipan anak Halimatus  Sya’diyah  Aisiyah  Kudus di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
a. Membekali anak agar menjadi hamba Allah yang bertaqwa kepada-Nya dan beribadat hanya semata-mata karena-Nya
b. Menyiapkan anak agar mampu menyiagakan dirinya dan membangkitkan nilai-nilai kebajikan yang mulia dalam hidupnya (memberi salam)
c. Mengembangkan potensi sehingga anak dapat merealisasikan dirinya sebagai pribadi muslim yang seutuhnya
d. Memperluas pandangan hidup bagi anak sebagai makhluk individu, sosial dan religius sehingga kelak menjadi manusia yang berguna bagi agama, masyarakat dan bangsa.
Arifiana Isti Noor (2002) seksi pendidikan dalam wawancaranya menjelaskan landasan pendidikan yang dimaksud adalah pandangan yang melandasi atau mendasari sebuah aktifitas pendidikan baik dalam rangka penyusunan teori, perencanaan maupun pelaksanaan pendidikan. Karena pendidikan merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan dan secara kodrati manusia sebagai makhluk paedagogis. Maka dari itu dasar yang dimaksud adalah nilai-nilai tertinggi yang dijadikan pandangan hidup masyarakat atau bangsa dimana pendidikan itu berlaku. Kaitannya dengan landasan pendidikan itu diibaratkan suatu bangunan, maka isi Al-Qur’an dan hadits yang menjadi fundamennya. Dengan demikian yang menjadi pandangan hidup manusia bagi umat Islam adalah Al-Qur’an dan Sunah Rasul.

3. Materi yang Diajarkan dalam Lembaga Pendidikan Anak
Mendidik anak berarti mengorganisasikan bidang ilmu pengetahuan yang membentuk basis aktifitas lembaga pendidikan, bidang-bidang ilmu ini satu dengan yang lain dipisah-pisah, namun merupakan kesatuan yang utuh. Adapun materi yang diberikan kepada anak adalah ilmu, sebab dengan ilmu itulah yang menjadi bekal kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Arifiana Isti Noor (2002) dalam wawancara menjelaskan kaitan dengan lembaga pendidikan anak pembekalan ilmu dibagi menjadi tiga yaitu : Ilmu yang berhubungan dengan akhirat saja, ilmu yang berhubungan dengan dunia saja dan ilmu yang berhubungan dengan dunia dan akhirat.
Kasmini (2002) dalam wawancara menjelaskan materi pendidikan anak dalam Islam merupakan pokok ajaran aqidah Islam dan ajaran Islam yang mudah dipahami dan dilaksanakan. Pendidikan keagamaan pada dasarnya adalah tanggung jawab orang tua dan semua kalangan pendidik. Maka materi pendidikan keagamaan tersebut mencakup pendidikan fisik (olah raga), pendidikan keimanan, pendidikan ibadah, dan pendidikan ahlak.
Pendidikan fisik merupakan tanggung jawab para orang tua dan pendidik yang sangat mendasar. Aspek fisik akan memberikan pengaruh pada jiwa dan demikian pula sebaliknya. Pendidikan ini akan menjamin anak tumbuh dewasa dengan kondisi fisik yang kuat dan selamat, sehat, bergairah dan bersemangat. Muntiah (2002) dalam wawancara menjelaskan pendidikan fisik akan berorientasi pada aturan yang sehat dalam hal makan, minum dan tidur sangatlah penting. Oleh karena itu kebutuhan jasmani dimaksudkan untuk mencetak pribadi yang kuat, sebagaimana cita-cita pendidikan Islam yaitu kepribadian yang mengatasi semua permasalahan-permasalahan dengan kepribadiannya melawan masalah-masalah baik yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Jiwa manusia berkaitan dengan pendidikan fisik (olah raga), maka anak perlu mendapat bimbingan dan pengarahan tentang pemeliharaan kebersihan khususnya hal-hal yang berkaitan dengan najis, supaya anak mampu mengetahui makna hidup bersih dan terhindar dari kotoran. Dengan jiwa yang bersih, maka akan tumbuh suatu amal perbuatan yang baik.
Pendidkan keimanan kepada anak adalah landasan pokok bagi kehidupannya yang merupakan fitrah, bagi manusia yang mempunyai sifat dan kecenderungan untuk mengalami dan mempercayai adanya Tuhan. Oleh sebab itu dalam wawancara menjelaskan Arifiana Isti Noor (2002) penanaman keimanan kepada jiwa anak adalah merupakan hal yang tidak boleh dilupakan bagi orang tua atau pendidiknya.
Kasmini (2002) dalam wawancara menjelaskan setiap anak dilahirkan itu telah membawa fitrah beragama (pasrah, percaya kepada Allah). Memperhatikan tersebut dapat diambil suatu pengertian bahwa anak dilahirkan bahwa (fitrah) sebagai perkembangan keagamaan selanjutnya tergantung kepada pendidiknya. Pendidikan keimanan tersebut harus diberikan kepada anak-anak yang disesuaikan dengan umur dan tingkat kemampuan pikir anak, oleh karena itu memperkenalkan anak dengan Tuhannya harus sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwanya.
Zakiyah Daradjat (1992:35) menjelaskan bahwa :
Anak-anak mulai mengenal Tuhannya melalui bahasa dari kata-kata orang yang berada disekelilingnya yang permulaan diterimanya dengan cara acuh tak acuh. Akan tetapi setelah ia melihat orang dewasa menunjukkan rasa takut dan kagum kepada Tuhan, maka mulailah ia sedikit demi sedikit gelisah dan ragu tentang suatu yang ghaib yang tidak dapat dilihatnya itu. Lambat laun tanpa disadarinya akan masuklah pemikiran tentang Tuhan dalam pembinaan kepribadiannya dan menjadi obyek pengalaman agamis.

Memperhatikan pendapat di atas, menunjukkan bahwa seorang anak itu perlu model dalam melakukan suatu kegiatan. Salah satu kegiatan yang positif yaitu ibadah yang merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan Islam, karena bertujuan membawa manusia supaya selalu ingat kepada Tuhannya. Pendidikan ibadah hendaknya diberikan kepada anak, karena ibadah sangat penting dan dengan pendidikan ibadah ini anak akan tahu tugas dan kewajibannya sebagai makhluk Allah yaitu untuk mengabdi dan menyembah-Nya. Dengan demikian segala tingkah laku anak akan terarah pada hal-hal yang baik dan terhindar dari perbuatan yang jahat.
Pelaksanaan ibadah pada lembaga penitipan anak, misalnya anak diperintah untuk melakukan perbuatan yang teratur yaitu shalat berjama’ah yang orang tuanya (ayahnya) bertindak sebagai imam serta istri dan anak-anaknya menjadi makmumnya, kemudian dilatih untuk berdzikir kepada Allah, kemudian berdo’a bersama. Selain hal tersebut, apabila saatnya bulan Ramadlan datang, anak juga dilatih untuk berpuasa dengan melatih fisiknya dan selalu menjaga kedisiplinan dan menjaga hawa nafsunya serta dikenalkan dengan ibadah-ibadah lainnya. Dengan latihan-latihan yang dipandu oleh orang tua seperti itu, maka pada akhirnya anak akan  dengan sendirinya lambat laun akan mengukur dalam dirinya sesuai dengan apa yang dijarkan oleh pendidiknya.
Pendidikan akhlak dalam pengajaran di lembaga penitipan anak sangat penting dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Akhlak merupakan mutiara hidup yang membedakan makhluk manusia dengan hewan. Jika manusia tanpa akhlak maka akan hilanglah derajat kemanusiaannya sebagai makhluk Allah yang paling mulia diantara makhluk yang lain. Kasmini (2002) dalam wawancara menjelaskan akhlak merupakan fondasi (dasar) yang utama dalam pembentukan pribadi manusia yang seutuhnya, maka pendidikan yang mengarah terbentuknya pribadi berakhlak, merupakan hal yang pertama yang harus dilakukan.
Memperhatikan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa  orang yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaknya. Maka dengan akhlak yang baik ini, ia akan terkontrol dalam segala tingkah lakunya. Dan ia akan menyadari keberadaannya dimuka bumi ini adalah dalam kekuasaan Tuhan sehingga ia akan tidak bersikap sombong dan takabur yang mana sifat ini dilarang oleh Allah. Oleh karena itu lembaga penitipan anak Halimatus  Sya’diyah  Aisiyah  Kudus menganggap pendidikan agama penting sebagai fondasi bagi anak yang masih kecil dan butuh bimbingan.
4. Metode Pendidikan  Keagamaan
Pendidikan anak agar tercapai maka diperlukan metode dalam kegiatan belajar mengajar. Metode yang digunakan dalam Halimatus  Sya’diyah  Aisiyah  Kudus banyak ragamnya. Adapun metode pendidikan yang digunakan dalam mendidik anak menurut Abdullah Nasih Ulwan (1992:76) yaitu metode keteladanan, pembiasaan (adat kebiasaan) nasehat, pengawasan dan hukuman (sangsi).
Program kerja harian lembaga penitipan anak Halimatus  Sya’diyah  Aisiyah  Kudus dalam wawancara Ketua TPA Kasmini (2002) menjelaskan sebagai berikut :
a. Mengajarkan anak dapat mengucapkan salam pada waktu datang dan pergi (pamit)
b. Mengajak anak bersosialisasi dengan teman sebaya dan lingkungannya
c. Melatih bermain dengan APE (alat permainan edukatif)
d. Berlatih senam ringan
e. Melatih menjaga kebersihan diri dan lingkungannya (seperti mencuci tangan, muka, kaki, menggosok giri, dan membuang sampah pada tempatnya)
f. Melatih anak berdoa pada waktu sebelum dan sesudah tidur,  berdoa pada waktu sebelum dan sesudah makan atau minum.
Memperhatikan program kerja harian tersebut di atas, maka keteladanan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam mendidik anak. Seorang anak akan menirukan apa saja yang dilakukan oleh orang lain terutama pendidiknya. Muslim Nurdin (1993:35)  menjelaskan suri tauladan adalah teknik pendidikan yang paling baik. Oleh karena itu perlu disadari dan diperhatikan oleh pendidik agar memberikan keteladan yang baik kepada anak.
Abdullah Nasih Ulwan (1992:81) menjelaskan metode keteladanan merupakan salah satu faktor penentu baik dan buruknya anak didik. Jika seorang pendidik jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia maka kemungkinan besar anak akan tumbuh dengan sifat-sifat mulia ini. Sebaliknya apabila pendidik seorang pendusta, tidak dapat dipercaya, maka kemungkinan besar anak akan tumbuh dengan sifat-sifat tercela itu. Dengan demikian seorang anak bila pendidiknya memberi teladan yang baik, maka anak akan tumbuh dengan akhlak baik pula.
Metode pembiasaan merupakan cara perlakuan orang tua dalam lingkungan anak merupakan faktor penting dalam pembentukan kepribadian, pembinaan sikap, kecerdasan dan pandangannya terhadap hidup. Abdullah Nasih Ulwan (1992:32) menjelaskan orang tua merupakan tiang utama dalam lingkungan. Oleh karena itu orang tua penciptaan suasana yang baik bagi anak sejak lahirnya dan menggunakan cara yang baik yang dapat membantunya pindah dari masa kanak-kanak pertama sampai masa dewasa.
Peran orang tua menjadi penting dalam menciptakan suasana kondusif, karena pembentukan akhlak dan budi pekerti serta pembinaan hubungan sosial seseorang tidaklah cukup hanya dengan memberi nasehat, akan tetapi memerlukan praktek-praktek nyata. Kasmini (2002) dalam wawancara menjelaskan manusia diciptakan dengan potensi mampu berbuat baik dan berbuat jahat, begitu pula kebiasaan itu ada yang cenderung ke arah baik dan adakalanya cenderung ke arah buruk. Ini memberikan wawasan kepada para pendidik, akan diarahkan ke mana kebiasaan-kebiasaan anak kita kearah yang baik ataukah yang buruk. Dan masing-masing pengambilan keputusan diantara dua pilihan itu pasti ada konsekuensinya dan ada balasannya.
Kasmini (2002) dalam wawancara menjelaskan tentunya pendidik yang saleh akan mengarahkan anak-anaknya pada jalan yang baik. Membentuk kebiasaan baik adalah sulit. Maka dari itu dibutuhkan waktu yang lama, bertahap dan berproses. Karena dalam kebiasaan itu terdapat akhlak, yaitu hal ihwal yang melekat, dari padanya timbul perbuatan yang mudah tanpa dipikir dan diteliti. Sejak usia dini anak sudah dibiasakan pada hal yang baik yang berkaitan dengan kewajiban agama, seperti salat, wudlu, puasa dan lain-lain.
Kasmini (2002) dalam wawancara menjelaskan meniru merupakan faktor penting dalam periode pertama dalam pembentukan kebiasaan. Terbukti anak-anak suka meniru apa yang dilihatnya dalam masyarakat sekitarnya baik atau buruk, ia meniru segala sesuatu mengenai orang yang ada di lingkungannya. Seorang anak umpamanya, melihat sesuatu yang terjadi di hadapan matanya, maka ia akan meniru dan kemudian akan mengulangi perbuatan tersebut hingga menjadi kebiasaan pula baginya.
Suatu fakta bahwa anak-anak suka meniru ibu bapaknya, saudara-saudaranya yang kecil maupun yang besar, akan tetapi ia mencontoh dari perbuatan-perbuatan anak kecil (teman bermain) lebih banyak dari mencontoh perbuatan orang-orang besar. Abdurrahman An-Nahlawi (1989:41) menjelaskan jika seorang anak didik dengan pendidikan yang baik dari orang tua dan pendiidik yang soleh, maka kemungkinan besar ia akan bermoral baik dan akan berkebiasaan mulia.
Abdullah Nasih Ulwan (1992:79) menjelaskan metode nasehat merupakan cara mendidik yang efektif di dalam upaya membentuk keimanan anak, mempersiapkan secara moral, psikis dan sosial adalah diantaranya mendidik dengan memberi nasehat. Nasehat sangat berperan dalam menjelaskan kepada anak tentang segala hakekat, menghiasinya dengan moral mulia dan mengajarkannya tentang prinsip-prinsip Islam. Maka dari itu nasehat juga merupakan suatu pilar dalam pendidikan Islam.
Abdurrahman An-Nahlawi (1989:80) mengatakan nasehat adalah sajian bahasan tentang kebenaran dan kebajikan dengan maksud untuk mengajak yang dinasehati untuk menjauhkan diri dari bahaya dan membimbingnya ke jalan yang bahagia dan berfaedah baginya. Kebenaran dan kemaslahatan, dengan maksud mengajak orang yang dinasehati terhindar dari kerusakan-kerusakan dan akibat buruknya, mengarah kepada kebahagiaan dan manfaat orang yang dinasehati.
Seseorang kadang-kadang lebih senang mendengarkan atau memperhatikan nasehat orang-orang yang ia cintai dan ia jadikan tempat mengadu segala permasalahannya. Dalam situasi demikian pelajaran atau nasehat akan benar-benar mempunyia pengaruh yang mendalam pada dirinya, lebih-lebih kalau nasehat itu disampaikan Bapak/Ibu tercinta, kakak, sahabat, guru, atau orang lain yang ia hormati dan segani kadang-kadang dan bahkan tidak jarang dapat mengubah jalan hidupnya. Abdurrahman An-Nahlawi (1989:92) menjelaskan pelajaran atau nasehat yang disampaikan bukan dari hati ke hati, maka pengaruhnya akan sedikit sekali atau barang kali tida ada.
Abdullah Nasih Ulwan (1992:93) menjelaskan suatu pertanda nasehat yang baik ialah bahwa yang dinasehati tidak sekedar mementingkan kemaslahatan bagi dirinya sendiri yang bersifat duniawi belaka. Oleh karena itu, para guru yang memberikan nasehat itu hendaknya bersih dari segala perbuatan riya dan yang mengundang orang lain beranggapan bahwa perbuatan itu mempunyai maksud tertentu. Bersih itu perlu untuk menjaga keikhlasan dan keutuhan kepribadiannya, sehingga ia tetap berwibawa dan dipatuhi anak didiknya.
Pemberian nasehat oleh pendidik dituntut dapat menerapkan cara yang variatif yang sesuai dengan keadaan yang tepat, sehingga akan berhasil mencapai sasaran yang dicita-citakan. Oleh karena itu dalam pendidikan, nasehat saja tidak cukup bila tidak dibarengi dengan teladan dan perantara yang memungkinkan nasehat itu diikuti dan diteladani. Abdullah Nasih Ulwan (1992:93) menjelaskan bagi pendidik yang menghendaki pengaruh positif dan membekas di jiwa, keikhlasan dan amanah (dalam menyampaikan kebenaran) merupakan syarat utama dalam memberikan nasehat.
Abdurrahman An-Nahlawi (1989:49) menjelaskan pendidikan yang disertai pengawasan maksudnya adalah mendampingi anak dalam upaya membentuk akidah dan moral serta mengawasinya dalam mempersiapkannya secara psikhis dan sosial dan menanyakan secara terus menerus keadaannya, baik dalam hal pendidikan jasmani maupun dalam hal pelajarannya. Metode pengawasan dan perhatian ini berangkat dari asumsi yang menyatakan bahwa pendidikan itu berlangsung selama hayat manusia (life long education). Konsekuensinya ialah bahwa pendidikan itu tidak hanya berlangsung dilingkungan formal saja, melainkan juga harus dilangsungkan di lingkungan non formal, informal dan dalam lembaga keagamaan. Ini berarti seorang pendidik sangat dibutuhkan keterlibatannya setiap saat.
Pendidik mempunyai tanggung jawab untuk senantiasa mengawasi anak dalam setiap perkembangan baru yang terjadi pada anak. Dalam keadaan demikian, maka orang tua turut terlibat dalam pengawasan anak selanjutnya. Orang tua mempunyai kewajiban untuk mencurahkan perhatian pada anak-anaknya dengan mengamati perkembangan serta melimpahinya dengan kasih sayang. Anak yang merasa senantiasa diperhatikan oleh orang tuanya, ia akan merasa aman, hidup penuh rasa cinta, optimis dan memandang posiitif pada lingkungannya. Sebaliknya, jika ia kurang mendapat atau bahkan terlantar, anak akan tumbuh dalam rasa terabaikan. Anakpun akan memandang negatif dan acuh tak acuh pada lingkungannya. Afif Zamzawi (1999:15) menjelaskan jika pada tahap awal anak telah kehilangan tali kasih dengan orang tuanya, maka tahap selanjutnya anak akan sulit menyayangi orang lain.
Abdurrahman An-Nahlawi (1989:22) menjelaskan ajaran agama mendorong para orang tua selalu mengawasi atau mengontrol anak-anaknya dalam setiap aspek kehidupan secara menyeluruh. Pengawasan ini tidak terbatas pada satu atau dua aspek pembentukan jiwa, tetapi ia juga mencakup berbagai segi, sehingga pendidikan ini akan memberi hasil positif dan menjadikan manusia yang seimbang dalam menunaikan tugas dan kewajibannya dalam hidup.
Abdullah Nashih Ulwan (1992:94) menjelaskan metode hukuman dalam pendidikan yang halus, lembut dan menyentuh perasaan seringkali berhasil dalam mendidik anak-anak jujur. Tetapi terkadang pendidikan terlalu halus, terlalu lembut dan terlalu menyentuh perasaan akan sangat berpengaruh jelek, karena membuat jiwa tidak stabil. Jiwa dalam hal ini sama seperti tubuh, bila terlalu dimanjakan, maka jiwa itu akan mampu menahan sesuatu yang tidak disenanginya. Akibatnya cair, tidak normal dan selalu goyah. Dari sini haruslah ada sedikit kekerasan atau tindakan tegas dalam mendidik anak. Hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak diperlukan, ada orang-orang baginya teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak perlu lagi hukuman dalam hidupnya. Tetapi manusia itu tidak sama seluruhnya. Di antara mereka ada yang perlu dikerasi sekali-kali.
Guru sebagai pendidik dalam memberikan hukuman pada anak harus menyadari bahwa maksud hukuman dalam pendidikan ialah sebagai tuntunan dan perbaikan, bukan sebagai balas dendam atau untuk melampiaskan kemarahan. Oleh karena itu para pendidik perlu mempelajari dulu tabiat anak dan sifatnya sebelum diberi hukuman. Afif Zamzawi (1999:19) menjelaskan pentingnya para pendidik mempelajari psikologi anak sebagai bekal dalam menjalankan tugasnya mendidik anak.
Abdullah Nashih Ulwan (1992:43) menjelaskan beberapa prinsip dalam melaksanakan hukuman sebagai berikut :
a.   Memperlakukan anak dengan lemah lembut dan kasih sayang
b.   Menjaga tabiat anak yang salah dalam menggunakan hukuman. Pendidik harus bijaksana dalam memberikan hukuman kepada anak, tidak boleh bertentangan dengan tingkat kecerdasan dan pembawaan anak. Hukuman ini diartikan setelah berbagai cara lain tidak dapat merubah perilaku anak
c.   Hukuman diberikan secara bertahap, dari yang paling ringan hingga yang paling keras.

Oleh karena itu seorang guru sebagai pendidik dalam memberikan hukuman harus menggunakan kebijaksanaan dalam memilih dan memakai metode yang paling sesuai untuk menyelesaikan kemaslahatan anak. Abdullah Nashih Ulwan (1992:45) menjelaskan metode dalam pemberian hukuman itu harus bertingkat sesuai dengan tingkatan anak dalam kecerdasan, kultur, kepekaan dan pembawaannya. Memberikan hukuman kepada mereka ada yang cukup dengan isyarat dari kejauhan, yang menggetarkan hatinya. Dan ada pula anak yang tidak jera, kecuali dengan pandangan cemberut dan marah yang terus terang. Sebagian lagi ada yang hanya dapat dirubah dengan mengayunkan tongkat di depannya. Maka mereka harus merasakan hukuman yang mengenai badannya agar menjadi baik.
Abdullah Nashih Ulwan (1992:46) menjelaskan suatu hukuman fisik belum tentu menjadi obat yang mujarab untuk meluruskan kesalahan anak, tetapi sebaliknya mungkin menyebabkan semakin berlanjutnya kesalahan. Hukuman moral dapat meninggalkan bekas yang besar pada jiwa anak-anak, jauh lebih efektif dari pada hukuman fisik. Dalam memperbaiki anak, maka ketika itu hendaknya secara bertahap beralih kepada yang lebih keras. Misalnya dengan pukulan. Memang tidak ada keberatan untuk menggunakan pukulan dalam pendidikan sebagai salah satu media hukuman dengan  tujuan untuk meluruskan perilaku anak, tetapi perlu diberikan batasan dan persyaratan, sehingga pukulan tidak keluar dari maksud pendidikan.
Abdullah Nashih Ulwan (1992:168) menjelaskan persyaratan dalam memberikan hukuman pukulan, sebagai berikut :
a.   Pendidik tidak boleh memukul sebelum dilakukan berbagai upaya, nasehat dan saran serta peringatan keras
b.   Pendidik hendaknya tidak memukul dalam keadaan marah karena dikhawatirkan akan mencederai anak
c.   Tidak memukul bagian-bagaian yang peka, seperti kepala, wajah dan perut
d.   Hendaknya sanksi pukulan ini untuk pukulan pertama kali tidak terlalu keras dan tidak menyakitkan. Bagi anak yang belum baligh pukulan cukup satu sampai tiga kali. Dan bagi orang dewasa tiga dan kalau perlu sampai sepuluh kali pukul hingga dia jera
e.   Sebelum sampai umur sepuluh tahun, sebaiknya anak jangan dipukul
f.    Jika baru pertama kali anak berbuat kesalahan, setidaknya dimaafkan. Perbuatannya ditolerir, diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri sehingga dia tidak mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya
g. Pendidik harus memukul anaknya sendiri jika memang bersalah
h.   Jika anak sudah baligh dan dengan 10 kali pukulan belum juga jera, boleh ditambah lagi jumlah pukulannya hingga dia sadar dan berjalan di jalan yang lurus.

Memperhatikan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan memberikan perhatian besar terhadap hukuman, baik hukuman fisik maupun hukuman psikologis dan pendidik tidak boleh melanggarnya guna mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.

5. Pembentukkan Kepribadian Anak
Pada dasarnya manusia sejak lahir telah membawa sifat-sifat dan kepribadiannya dan untuk selanjutnya sifat-sifat dan kepribadian tersebut akan berkembang. Sumadi Suryabrata (1982:46) menjelaskan dalam perkembangan kepribadian banyak dipengaruhi oleh berbagai hal diantaranya perhatian orang tua, keadaan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Perkembangan kepribadian dapat kearah positif dan bisa juga kearah negatif, tergantung bagaimana orang-orang yang ada di sekitarnya. Karena sifat yang ada pada manusia itu modualis yaitu bahwa manusia sebagai makhluk individu yang sekaligus sebagai makhluk sosial. Sejak awal anak dididik di dalam keluarga. Dan di dalam keluarga tersebut secara tidak direncanakan menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang diwarisi dari nenek moyang, sedangkan anak meniru dengan senang hati, meskipun kadang-kadang ia tidak menyadari benar apa maksud dan tujuan yang ingin dicapai dengan pengaruh itu. Sumadi Suryabrata (1982:48) menjelaskan secara otomatis kepribadian anak dibentuk di dalam keluarga dan untuk selanjutnya karena manusia sebagai makhluk sosial, maka kepribadian itu banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Pengaruh lingkungan bisa berasal dari sekolah dan bisa juga berasal dari masyarakat. Jika pengaruh lingkungan berasal dari sekolah, sampai pada batas-batas tertentu, sedangkan pengaruh yang berasal dari masyarakat berlangsung terus seluruh hidupnya.
Sumadi Suryabrata (1982:49) menjelaskan pola kepribadian pada setiap individu berbeda tergantung pada masyarakat dimana anak hidup, akan memberikan batas-batas pada perkembangan kepribadian. Perbedaan tersebut hanya terletak pada pola-pola khas setiap orang dan bagaimana orang tersebut mengorganisasikan pada seluruh kepribadian. Oleh sebab itu segala sesuatunya tergantung pada individu di dalam mengembangkan kepribadian masing-masing.

6. Perkembangan Kepribadian
Banyak ahli psikologi yang mengemukakan pendapatnya mengenai perkembangan kepribadian. Sumadi Suryabrata (1982:61) menjelaskan perkembangan kepribadian adalah psyche yang menyangkut perkembangan manusia yang kurang sempurna ke tarap yang kurang sempurna ke tarap yang lebih sempurna. Goldstein (dalam Sumadi Suryabrata (1982:62) berpendapat perkembangan kepribadian terbentuknya pola-pola tingkah laku baru (kecakapan-kecakapan) baru yang dapat dipergunakan oleh individu untuk memenuhi kebutuhan yang timbul karena lingkungan tertentu dan dipenuhi dalam lingkungan tertentu.
Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan kepribadian adalah suatu perubahan-perubahan untuk memperoleh kecakapan baru berdasarkan pengetahuan baru dari lingkungan untuk memenuhi kebutuhan. Jadi setiap individu akan mengalami suatu perubahan yang akan menentukan kepribadiannya dimasa yang akan datang guna memenuhi segala kebutuhan yang harus tercukupi. Oleh sebab itu setiap orang tua harus menyadari bahwa perkembangan setiap anak tidak akan sama.
Angyal (dalam Sumardi Suryabrata, 1982:62) menjelaskan perkembangan kepribadian setiap individu akan melalui beberapa dimensi yaitu dimensi vertikal, dimensi progresif, dan dimensi transvers.
Sumadi Suryabrata (1982:64) menjelaskan dimensi vertikal yaitu pribadi berkembang ke luar dan ke dalam. Ke dalam berarti makin mempunyai (mengembangkan) kebutuhan-kebutuhan yang lebih dalam dan lebih mempunyai nilai kemanusiaan, sedangkan ke luar berarti dia makin menguasai pola-pola tingkah laku yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dimensi progresif yaitu perkembangan berarti meningkatkan efisiensi dan produktivitas individu mendapatkan tujuannya dalam cara yang lebih langsung dan lebih sedikit meluangkan tenaga dan waktu. Dimensi transvers yaitu perkembangan berarti bertambah baiknya koordinasi tingkah laku serta bertambahnya arena tingkah laku (yang telah dapat di koordinasikan)
Perkembangan yang harmonis pada ketiga dimensi merupakan hal yang ideal, dan ini akan memperkaya dan memperluas kepribadian. Setiap fase perkembangan sedikit banyak cenderung mengandung keseragaman dalam batas lingkungan kebudayaan tertentu. Suatu fase ditentukan oleh suatu problem hidup tertentu yang merupakan thema bagi masa itu dan memberikan arti khusus bagi masa tersebut. Sumadi Suryabrata (1982:65) menjelaskan satu hal yang dikatakan pasti adalah bahwa makin tegar dan lebih terarah jalan hidupnya dan makin kurang terbuka terhadap pengaruh luar, sehingga tingkah lakunya makin dapat diperhitungkan.

7. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kepribadian
Perkembangan kepribadian manusia banyak dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Singgih D. Gunarso (1988:73)  menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang ada dua yaitu : faktor yang terdapat pada anak sendiri, dan faktor yang mempengaruhi kepribadian yang berasal dari lingkungan.
Singgih D. Gunarso (1988:73)  menjelaskan faktor yang termasuk dari dalam diri anak (intern) yaitu faktor rohaniah, yang meliputi : pikiran, kehendak, perasaan dan sebagainya. Sedangkan faktor jasmaniah terdiri dari : jantung, paru-paru, usus, perut besar dan sebagainya. Faktor yang termasuk dari luar diri anak (ekstern) yaitu faktor sosial yaitu keluarga, sekolah, dan maasyarakat. Sedangkan faktor non sosial : binatang, tumbuh-tumbuhan, iklim dan sebagainya.

Berdasarkan dari uraian tersebut di atas maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa perkembangan kepribadian atau watak seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik itu faktor dari dalam yaitu pembawaan sejak lahir dan juga faktor dari luar yang meliputi lingkungan sosial keluarga, sekolah dan masyarakat.

0 Response to "PERANAN LEMBAGA PENITIPAN ANAK DALAM PEMBENTUKKAN KEPRIBADIAN ANAK"

Post a Comment