KECERDASAN EMOSIONAL

TINJAUAN UMUM TENTANG KECERDASAN EMOSIONAL

A.     Pengertian Kecerdasan Emosional
Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi kemampuan membaca, menulis, berhitung, sebagai jalur  sempit keterampilan kata dan angka yang menjadi fokus di pendidikan formal (sekolah), dan sesungguhnya mengarahkan seseorang untuk mencapai sukses di bidang akademis. Tetapi definisi keberhasilan hidup tidak melulu ini saja. Pandangan baru yang berkembang, ada kecerdasan lain di luar IQ, seperti bakat, ketajaman pengamatan sosial, hubungan sosial, kematangan emosional yang harus juga dikembangkan.1) Sedangkan emosi berasal dari bahasa latin “movere” yang berarti pindah dari atau bergerak.2) Definisi emosi itu bermacam-macam, seperti “keadaan bergejolak”, gangguan keseimbangan”, “response kuat dan tak beraturan terhadap stimulus”.3) Dan menurut Grolier Webster international dictionary, emosi  adalah “ An affective state of consciousness in which joy, sorrow, fear, hate, or the like is experienced “.4) ( suatu keadaan kesadaran afeksi dari sesuatu yang dialami  seperti senang, susah, takut, benci atau yang lain semacamnya) Daniel Goleman juga merumuskan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi dapat dikelompokkan sebagai suatu rasa amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel dan malu.5)
Kecerdasan emosional (EI) merupakan istilah yang belum lama dikenal baik di dunia psikologi dan sosial pada umumnya. Sebagai sandingan  IQ (intelligence Quotient), aspek terpenting EI berada pada mental dan emosi. Topik tentang EI menjadi ramai dibicarakan oleh masyarakat luas setelah terbitnya buku karya Daniel Goleman pada tahun 1995 yang berjudul Emotional Intelligence.
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Yale University dan John Mayer dari University of  New Hampshire. Mereka menggambarkan kecerdasan emosional sebagai “ a form of social intelligence that involves the ability to monitor one’s own and other’s  fellings and emotions, to discriminate among them, and to use this information to guide one’s thinking and action ".6) ( himpunan  bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing  fikiran dan tindakan).
Definisi yang tidak jauh berbeda dengan definisi yang dikemukakan Salovey dan Mayer di atas, dikemukakan pula oleh Daniel goleman. Kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain”.7)
Sedangkan rumusan definisi yang agak berbeda dan kelihatannya lebih simpel dan aplikatif dari definisi di atas adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Steve Hein yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “ knowing what fells good, what fells bad and how to get from bad to good "8). (mengetahui mana perasaan-perasaan yang baik, mana yang jelek dan bagaimana untuk mendapatkan dari yang jelek itu menjadi baik).
Di samping itu, masih banyak lagi definisi-definisi kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh para ahli dengan sudut pandang yang berbeda. Beberapa di antaranya memfokuskan pada keahlian atau kecakapan kecerdasan emosional seseorang, beberapa ahli yang lain lebih memfokuskan pada tingkah laku, dan yang lain lagi lebih memfokuskannya pada hasil akhir (outcome). Definisi-definisi tersebut antara lain:
1.      Heartskills™ mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “ability to navigate life towards ever increasing degrees of freedom by accessing innate heartskills: to integrate emotions and awareness, to align feelings and reason, to direct actions with vision to solve problems, resolve conflicts and creatively enhance inter-and intra-personal relationships.9) (kemampuan untuk mengemudikan kehidupan ke arah peningkatan derajat kebebasan yang sesungguhnya dengan  mempergunakan daya batin: untuk mengintegrasikan emosi dan kesadaran, menyelaraskan perasaan dan fikiran, mengarahkan tindakan dengan pandangan untuk memecahkan suatu permasalahan, memecahkan konflik dan secara kreatif mempertinggi hubungan antar dan intrapribadi).
2.      Six second berpendapat bahwa kecerdasan emosional adalah “The combination of knowing yourself, choosing yourself, and giving yourself. It includes the skills, habits, and understandings that shape our thoughts, feelings, and actions in our relationships with ourselves and with others.”10) (perpaduan antara pengetahuan diri sendiri, pemilihan diri dan pemberian diri. Hal ini termasuk keahlian, kebiasaan, dan pemahaman yang membentuk pemikiran, perasaan dan tindakan kita dalam berhubungan dengan diri sendiri dan orang lain).
3.      Dan Q-metrics berpendapat bahwa “Emotional Intelligence (EQ) is the ability to sense, understand, and effectively apply the power and acumen of emotions as a source of human energy, information, trust, creativity and influence.11) (Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk merasakan, memahami dan mempergunakan kekuatan dan kecakapan emosi secara efektif sebagai sumber energi manusia, informasi, kepercayaan, kreativitas dan pengaruh).
Secara historis, topik yang berhubungan dengan kecerdasan emosional bukanlah persoalan yang baru sama sekali, bahkan penelitian yang berkaitan dengan ini telah berlangsung sejak lama. Kenyataan ini didasarkan pada sejarah yang panjang dari penelitian dan teori tentang kepribadian dan sosial yang dilakukan oleh para psikolog.
Ketika para psikolog mulai menulis dan berfikir tentang kecerdasan, mereka memfokuskan pada aspek-aspek kognitif termasuk memori dan problem-solving. Bagaimanapun, ada beberapa peneliti yang mengakui  sejak semula bahwa aspek-aspek nonkognitif juga penting. Misalnya, David Wechsler mendefinisikan kecerdasan sebagai kumpulan atau kemampuan menyeluruh dari seseorang untuk bertindak yang penuh tujuan, berfikir secara  rasional, dan berhubungan dengan lingkungannya secara efektif. Sejak permulaan 1940 ia mengarahkan unsur “non-intellective” sebagaimana “intellective”, dengan yang ia maksud efektif, pribadi dan faktor-faktor sosial. Lagipula pada permulaan 1943, Wechsler telah mengemukakan bahwa kecakapan non-intellective sangat perlu untuk meramalkan kemampuan seseorang untuk meraih keberhasilan dalam kehidupan.12)
Wechsler juga bukan satu-satunya peneliti yang memandang  kecerdasan non-kognitif sebagai hal yang penting bagi penyesuaian diri dan keberhasilan seseorang. E.L Thorndike (1920), misalnya telah menulis tentang Kecerdasan sosial yang merupakan akar konsep kecerdasan emosional. Thorndike mendefinisikan kecerdasan sosial sebagai “the ability to understand and manage men and women, boys and girl – to act wisely in human relations13) (kemampuan untuk memahami dan mengatur  laki-laki dan perempuan, pemuda dan pemudi untuk berbuat secara bijaksana dalam hubungannya dengan manusia). Sayangnya hasil karya dari perintis awal ini sebagian besar telah terlupakan hingga pada tahun 1983 ketika Howard Gardner mulai menulis tentang  personal intelligence dalam teori  multiple intelligence-nya.
Gardner  melalui kecerdasan personalnya, telah membicarakan  kecerdasan sosial. Gardner membedakan kecerdasan personal dalam dua bagian yaitu kecerdasan interpersonal dan intrapersonal. Ia mendefinisikannya sebagai berikut:
‘Kecerdasan antarpribadi adalah kemampuan untuk memahami orang lain : apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu-membahu dengan mereka. Tenaga-tenaga penjualan yang sukses , para guru, dokter dan pemimpin keagamaan semuanya orang-orang yang mempunyai tingkat kecerdasan pribadi yang tinggi. Kecerdasan intrapribadi adalah kemampuan korelatif, tetapi terarah.  Ke dalam kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk model diri sendiri yang diteliti dan mengacu pada diri serta kemampuan  untuk menggunakan model tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif’.14)

Kedua jenis kecerdasan yang dikemukakan oleh Gardner ini jelas memperlihatkan kaitan yang erat dengan pengertian kecerdasan emosional sebagaimana yang dikemukakan  oleh Salovey dan Mayer serta Goleman. Hanya saja di sini terdapat perbedaan di antara keduanya, yaitu dalam hal ini Gardner serta rekan-rekannya tidak mengejar secara lebih terperinci peran perasaan dalam kecerdasan, mereka lebih memfokuskan pada pemahaman tentang perasaan dan dari sudut pandang bagaimana kognisi melihat emosi.15) Fokus ini barangkali secara tidak sengaja menyebabkan belum terjelajahinya  lautan emosi yang begitu kaya dan yang membuat kehidupan batin dan hubungan-hubungan menjadi begitu kompleks.16)
Sementara itu, kecerdasan emosional menunjukkan pengelompokkan alternatif dari tugas-tugas kecerdasan sosial. Di satu pihak kecerdasan emosional lebih luas daripada kecerdasan sosial, yakni tidak hanya melibatkan pemikiran tentang emosi dalam perhubungan sosial, tetapi juga pemikiran tentang emosi-emosi internal yang penting bagi perkembangan pribadi (sebagai lawan dari sosial). Di pihak lain, kecerdasan emosional lebih terfokus pada permasalahan-permasalahan emosional yang melekat pada persoalan-persoalan pribadi dan sosial.17) Dan yang paling menonjol dalam perbedaan tersebut adalah pendekatan yang digunakan oleh Daniel Goleman dan yang lainnya, yang lebih mengarah kepada peranan emosi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Penelitian tentang kecerdasan sosial kemudian berlanjut melalui pekerjaan penting yang dilakukan oleh Sternberg dan Smith (1985), Cantor dan Kihlstrom (1987), Legree (1995) dan yang lainnya. Sebagian besar dari penelitan itu menggambarkan pentingnya pengembangan konsep kecerdasan sosial.

B.     Kecakapan-kecakapan Utama Kecerdasan Emosional
Dalam definisi yang dikemukakan oleh Salovey dan Mayer serta Daniel Goleman, disebutkan beberapa kemampuan utama yang harus dimiliki yang berhubungan dengan kecerdasan emosional. Kemampuan-kemampuan tersebut mencakup lima wilayah utama kecerdasan emosional yaitu:
1.      Kesadaran Diri ( self awareness )
2.      Pengaturan Diri ( self regulation )
3.      Motivasi Diri ( self motivation )
4.      Empati ( empathy )
5.      Membina Hubungan ( relationship ).
   
ad.1. Kesadaran Diri ( Kemampuan Mengenali Emosi Diri )
Komponen pertama dari kecerdasan emosional adalah kesadaran diri yaitu kemampuan untuk memahami emosi-emosi seseorang, kekuatan dan kelemahan-kelemahannya.18)  Kesadaran diri ini merupakan dasar kecerdasan emosional yang melandasi terbentuknya kecakapan-kecakapan lain.19) Seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi akan berusaha menyadari emosinya ketika emosi itu menguasai dirinya. Melalui kesadaran diri tersebut, seseorang dapat mengetahui dan memahami emosinya. Namun kesadaran diri ini tidak berarti bahwa seseorang itu hanyut terbawa dalam arus emosinya tersebut sehingga suasana hati itu menguasai dirinya sepenuhnya. Sebaliknya kesadaran diri adalah keadaan ketika seseorang  dapat menyadari emosi yang sedang menghinggapi fikirannya akibat permaslahan-permasalahan yang dihadapi untuk selanjutnya ia dapat menguasainya. Orang yang keyakinannya lebih dan menguasai perasaannya dengan baik dapat diibaratkan  pilot yang andal bagi kehidupannya, karena ia mempunyai kepekaan yang lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya.
Kesadaran emosi dimulai dengan penyelarasan diri terhadap aliran perasaan yang terus ada dalam diri seseorang, kemudian mengenali bagaimana emosi-emosi ini membentuk persepsi, fikiran dan perbuatannya. Seseorang yang unggul dalam kecakapan ini selalu sadar tentang emosinya bahkan sering dapat mengenali kehadiran emosi-emosi itu dan merasakannya secara fisik. Ia dapat mengartikulasikan perasaan-perasaan itu, selain menunjukkan ekspresi sosialnya yang sesuai.20)
Kesadaran emosi diri ini sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanpa adanya kesadaran terhadap perasaan dan apa yang menjadi penyebabnya, mustahil baginya untuk dapat mencapai kebahagiaan hidup.
Kaitannya dengan kebahagiaan hidup, seringkali orang mengartikan kebahagiaan hidup berdasarkan tingkatan status, pendidikan atau kekayaan materi. Fakta membuktikan bahwa banyak orang  dianggap berhasil dalam hidupnya (dengan ukuran berlimpahnya harta benda dan tingginya status dan pendidikan orang tersebut) namun ternyata orang itu tidak dapat merasakan kebahagiaan hidup. Dengan demikian, kebahagiaan hidup tidak ditentukan oleh aspek material semata. Sebaliknya, hal itu sangat berkaitan dengan aspek emosional. Karena itu untuk mencapai kebahagiaan hidup orang harus sepenuhnya mempunyai kesadaran terhadap emosi diri, mampu memahami mana perasaan yang positif dan mana yang negatif. Orang hidup juga harus mengetahui apa yang memungkinkan bagi dirinya untuk merasa bahagia di masa mendatang berdasarkan kesadaran diri yang tepat.21)
Menurut Hein, terdapat empat aspek praktis  dalam kesadaran diri. Keempat aspek itu adalah;
a.       pengakuan terhadap perasaan ( acknowledging fellings )
b.      penerimaan terhadap perasaan ( acceptance )
c.       identifikasi perasaan yang spesifik ( identifying specific fellings )
d.      prakiraan perasaan di masa yang akan datang ( forecasting fellings in the future).22)
Sedangkan Goleman menyebutkan ada tiga kecakapan utama dalam kesadaran diri yaitu:
a.       Kesadaran emosi; mengenali emosi diri dan pengaruhnya. Orang dengan kecakapan ini akan :
-          mengetahui emosi mana yang sedang mereka rasakan dan mengapa terjadi
-          menyadari keterkaitan antara perasaan mereka dengan yang mereka pikirkan
-          mengetahui bagaimana perasaan mereka mempengaruhi kinerja
-          mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan sasaran-sasaran mereka.
b.      Pengukuran diri yang akurat; mengetahui sumber daya batiniah, kemampuan dan keterbatasan diri. Orang dengan kecakapan ini akan :
-          sadar tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya
-          menyempatkan diri untuk merenung , belajar dari pengalaman
-          terbuka terhadap umpan balik yang tulus, perspektif baru, mau terus belajar dan mengembangkan diri
-          mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia memandang diri sendiri dengan perspektif yang luas.
c.       Kepercayaan diri; kesadaran yang kuat tentang harga diri dan kemampuan diri sendiri. Orang dengan kemampuan ini akan :
-          berani tampil dengan keyakinan diri, berani menyatakan “keberadaannya’
-          berani menyuarakan pandangan yang tidak populer dan bersedia berkorban demi kebenaran
-          tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan    tidak pasti dan tertekan.23)

ad. 2. Mengendalikan Emosi Diri ( Self Regulation )
Pengendalian emosi diri yaitu kemampuan untuk mengatur pengaruh-pengaruh emosi yang menyusahkan seperti kegelisahan dan amarah dan untuk mencegah emosi-emosi yang bersifat impulsif.24) Dengan kata lain pengendalian emosi oleh diri sendiri berarti berupaya untuk meredam atau menahan gejolak nafsu yang sedang berlaku agar emosi tidak terekspresikan secara berlebihan sehingga seseorang tidak sampai dikuasai sepenuhnya oleh arus emosinya.
Namun demikian pengendalian emosi diri tidak berarti pengendalian secara berlebihan (over kontrol), sebab kendali diri yang berlebihan dapat mendatangkan kerugian baik fisik maupun mental. Orang yang mematikan perasaannya, terutama perasaan negatif yang kuat, menyebabkan meningkatnya denyut jantung sekaligus naiknya tekanan darah. Mereka yang memendam emosi akan mendapatkan sejumlah kerugian. Mereka mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda yang kelihatan bahwa mereka sedang mengalami pembajakan emosi, tetapi sebagai gantinya mereka menderita kehancuran internal seperti; pusing-pusing, mudah tersinggung, terlalu banyak merokok dan minum, sulit tidur dan sebagainya. Dan, mereka mempunyai resiko yang sama dengan mereka yang mudah meledak emosinya.25)
Menangani perasaan agar dapat terungkapkan secara pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Emosi muncul secara tiba-tiba dan cepat sekali tanpa dapat kita duga. Misalnya, emosi marah akan menjadi aktif dan bertindak dengan cepat sekali tanpa kita duga, ketika mendapat rangsangan emosi seperti apabila hak kita dirampas, dicemooh orang ataupun ketika merasa disakiti baik secara fisik maupun psikis. Dalam situasi seperti ini orang mempunyai waktu yang sangat terbatas untuk dapat mengendalikan emosi tersebut. Semakin cepat ia dapat menentukan dan mengidentifikasi emosi ini maka akan semakin berpeluang untuk dapat mengendalikannya, sehingga emosi akan tersalurkan secara tepat, dan orang itu akan terhindar  dari melampiaskan emosi ini secara berlebihan.
Terdapat lima kemampuan utama yang berhubungan dengan pengaturan diri yaitu: pengendalian emosi diri, sifat dapat dipercaya, kehati-hatian, adaptabilitas, dan inovatif.
Berikut ini beberapa keterampilan yang berhubungan dengan lima kecakapan tersebut, sebagaimana yang diungkapkan oleh Daniel Goleman:
a.       Pengendalian diri; menjaga agar emosi dan impuls yang merusak tetap terkendali. Orang dengan kecakapan ini akan mampu :
-          mengelola dengan baik perasaan-perasaan impulsif dan emosi-emosi yang menekan mereka.
-          tetap teguh, tetap positif dan tidak goyah bahkan dalam situasi yang sangat berat.
-          berfikir dengan jernih dan tetap terfokus  kendati dalam tekanan.
b.      Sifat dapat dipercaya; menujukkan standar kejujuran dan integritas. Orang dengan kecakapan ini akan mampu :
-          bertindak menurut etika dan tidak pernah mempermalukan orang
-          membangun kepercayaan lewat keandalan diri dan otentisitas.
-          mengakui kesalahan sendiri dan berani menegur perbuatan tidak etis orang lain.
-          berpegang kepada prinsip secara teguh bahkan  bila akibatnya adalah menjadi tidak disukai.
c.       Sifat kewaspadaan; bertanggung jawab atas kinerja pribadi. Orang dengan kecakapan ini akan:
-          Memenuhi komitmen dan mematuhi janji.
-          Bertanggung jawab terhadap diri sendiri untuk memperjuangkan kepentingannya.
-          Terorganisasi dengan baik dan cermat dalam bekerja.
d.      Adaptabilitas; luwes dalam menanggapi perubahan. Orang dengan kecakapan ini akan mampu :
-          terampil menangani beragamnya kebutuhan, bergesernya prioritas dan pesatnya perubahan.
-          siap mengubah tanggapan dan taktik untuk menyesuaikan diri dengan keadaan.
-          luwes dalam memandang situasi.
e.       Inovatif; terbuka terhadap gagasan-gagasan  dan informasi baru. Orang dengan kecakapan ini akan mampu :
-          selalu mencari gagasan baru dari berbagai sumber.
-          mendahulukan solusi-solusi yang orisinal dalam pemecahan masalah.
-          menciptakan gagasan-gagasan baru.
-          berani mengubah wawasan dan mengambil resiko akibat pemikiran baru mereka.26)

ad. 3. Motivasi Diri ( Self Motivation )
Motivasi diri adalah dorongan hati untuk bangkit. Ia merupakan inti secercah harapan dalam diri seseorang yang membawa orang itu mempunyai cita-cita yang mendorongnya untuk meraih yang lebih tinggi. Motivasi  merupakan kepercayaan bahwa sesuatu dapat dilakukan, bahkan ketika masalah menghadangnya. Jika seseorang telah termotivasi, tidak ada seorang lain pun yang dapat mengambil (merampas) kekuatan mereka untuk bergerak maju. Dan ketika motivasi itu datang dari dalam hati seseorang, mereka menjadi tak terkalahkan.27)
Dalam salah satu definisi EI di muka telah disebutkan bahwa EI adalah mengetahui bagaimana untuk meraih dari emosi yang negatif menjadi positif. Dalam hal ini Motivasi diri adalah komponen utama untuk mewujudkan hal tersebut, yaitu dengan memotivasi emosi negatif yang sedang  dirasakan . Melalui motivasi diri emosi negatif tersebut diarahkan kepada hal-hal yang baik.
Emosi dapat dijadikan alat untuk meningkatkan prestasi fikiran kognitif dengan cara-cara tertentu. Di antaranya adalah dengan cara menumbuhkan harapan dalam diri seseorang itu. Harapan, menurut penelitian modern, lebih bermanfaat daripada memberikan sedikit hiburan di tengah kesengsaraan..28) Apabila seseorang mempunyai harapan, maka segala kebimbangan, keputusasaan dan kesedihan yang dialami dapat diredakan karena segala masalah dapat diatasi. Segala pekerjaan yang diiringi dengan harapan akan dibantu perasaan gembira dan bersemangat untuk melaksanakannya. Dan orang yang memiliki harapan yang tinggi, menurut penemuan Snyder, memiliki ciri-ciri tertentu, di antaranya adalah mampu memotivasi diri, merasa cukup banyak akal untuk menemukan cara meraih tujuan, tetap memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa segala sesuatunya akan beres ketika sedang menghadapi tahap sulit, cukup luwes untuk menemukan cara alternatif agar sasaran tetap tercapai atau untuk mengubah sasaran jika sasaran semula musykil dicapai.29)
Dari sudut pandang kecerdasan emosional, orang yang mempunyai harapan berarti ia tidak akan terjebak dalam kecemasan, bersikap pasrah, atau depresif dalam menghadapi sulitnya tantangan atau kemunduran.
Selain perhatian, berusaha untuk memasuki suatu keadaan psikologis yang disebut “flow” merupakan keadaan mental pada tingkatan yang tinggi. Flow adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, fikirannya hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan tindakan. Dalam flow, emosi tidak hanya ditampung dan disalurkan, tetapi juga bersifat mendukung, memberi tenaga, dan selaras dengan tugas yang sedang dihadapi.30)
Untuk mencapai keadaan flow, seseorang harus dapat memberikan perhatian sepenuhnya dan membutuhkan konsentrasi yang tinggi terhadap apa yang dilakukan. Pada tingkatan ini, emosi diarahkan menjadi tenaga yang positif dan produktif. Emosi menjadi satu unsur motivasi menghadapi emosi yang negatif seperti kekecewaan, kebimbangan, dan ketakutan melalui kecakapan-kecakapan tertentu.
Adapun yang termasuk dalam kecakapan motivasi diri antara lain :
a.       Dorongan prestasi; berusaha untuk memperbaiki dan menemukan standar yang sempurna. Orang dengan kecakapan ini akan :
-          beorientasi pada hasil, dengan semangat juang yang tinggi untuk meraih tujuan dan memenuhi standar.
-          menetapkan sasaran yang menantang dan berani mengambil resiko yang telah diperhitungkan.
-          mencari informasi untuk mengurangi ketidakpastian dan mencari cara yang lebih baik.
-          terus belajar untuk meningkatkan kinerja mereka.
b.      Komitmen; menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau organisasi. Orang dengan kecapakan ini akan :
-          siap berkorban demi pemenuhan sasaran organisasi yang lebih penting.
-          merasakan dorongan semangat dalam misi yang lebih besar.
-          menggunakan nilai-nilai kelompok dalam pengambilan keputusan dan penjabaran pilihan-pilihan.
-          aktif mencari peluang guna memenuhi misi kelompok.
c.       Inisiatif ; Kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan. Orang dengan kecakapan ini akan :
-          siap memanfaatkan peluang.
-          mengejar sasaran yang melebihi dari yang dipersyaratkan atau diharapkan dari mereka.
-          berani melanggar batas-batas dan aturan-aturan yang tidak prinsip bila perlu agar tugas dapat dilaksanakan.
-          mengajak orang lain sesuatu yang tidak lazim dan bernuansa petualangan.
d.      Optimisme; keteguhan dalam mengejar sasaran walaupun ada halangan dan kegagalan. Orang dengan kecakapan ini akan :
-          tekun dalam mengejar sasaran kendati banyak halangan dan kegagalan.
-          bekerja dengan harapan untuk sukses daripada takut gagal.
-          memandang kemunduran atau kegagalan sebagai situasi yang dapat dikendalikan daripada sebagai kekurangan pribadi.31) 

    ad. 4. Empati
Empati adalah kemampuan untuk merasakan keadaan jiwa dan perasaan orang lain.32) Kemampuan empati ini sangat tergantung pada kemampuan seseorang dalam merasakan perasaan diri sendiri dan mengidentifikasi perasaan-perasaan tersebut. Apabila seseorang  tidak dapat merasakan suatu perasaan tertentu , maka akan akan sulit bagi orang itu untuk memahami bagaimana perasaan orang lain. Untuk itu, semakin tinggi kemampuan seseorang dalam memahami emosi diri maka akan lebih mudah baginya untuk menjelajahi dan memasuki emosi orang lain.
Empati bermula dari kesadaran akan perasaan orang lain. Akan lebih mudah untuk menyadari emosi orang lain jika mereka benar-benar menceritakannya secara langsung tentang apa yang mereka rasakan. Tetapi selama mereka tidak menceritakannya, seseorang harus berusaha menanyakannya, membaca apa yang tersirat, menduga-duga, dan berupaya untuk menginterpretasikan isyarat-isyarat yang bersifat nonverbal. Orang yang ekspresif secara emosional adalah paling mudah untuk dibaca, tentunya lewat mata dan wajah mereka yang memberitahukan kita bagaimana perasaan mereka.33)
Seseorang yang mau membaca emosi orang lain haruslah berempati. Empati berbeda dengan simpati. Simpati hanya sekedar memahami masalah atau perlakuan seseorang. Empati lebih dari itu, empati bukan hanya memahami masalah orang lain tetapi juga merasakan apa yang dirasakan orang tersebut. Misalnya, seseorang memahami masalah yang dihadapi temannya yang sedang tertimpa musibah, tetapi ia tidak ikut merasakan perasaan temannya, maka orang itu hanya bersimpati. Jika orang tersebut berempati terhadap temannya, maka ia tidak sekedar memahami masalah yang dihadapi temannya, tetapi meletakkan dirinya dalam kedudukan temannya untuk merasakan perasaan temannya itu.
Kemampuan empati sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Tanpa empati akan menyebabkan seseorang sulit untuk bergaul dan membina persahabatan yang erat dengan orang lain. Namun empati atau memahami sudut pandang atau perspektif seseorang -tahu mengapa mereka merasakan demikian- tidak berarti kita juga harus mengalaminya.34) Setelah berempati barulah kita dapat membantu dengan cara yang lebih rasional dan positif.

 Ad. 5. Membina Hubungan (Relationship)
Membina hubungan merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Kecakapan jenis ini sangat membantu seseorang untuk berkomunikasi dan menjalin hubungan serta kepercayaan dengan orang lain. Gardner memecahnya menjadi empat jenis kemampuan, yaitu : kepemimpinan, kemampuan membina hubungan dan mempertahankan persahabatan, kemampuan menyelesaikan konflik, dan keterampilan analisis sosial. Karena setiap orang memerlukan berhubungan dengan orang lain, maka kecerdasan ini memiliki peran sangat besar dalam menentukan kesuksesan seseorang.
Mengenali emosi orang lain dapat dilakukan bila seseorang itu memiliki kemampuan mengendalikan emosi diri atau pengaturan diri dan empati. Dua kemampuan ini membentuk kecakapan antarpribadi. Kecakapan antarpribadi ini dapat menghasilkan perhubungan yang positif dengan orang lain dan dapat membantu orang lain mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan.
Setiap kali bertemu dengan orang lain, seseorang sebenarnya memberi isyarat melalui mimik muka, bahasa tubuh, dan nada suara. Isyarat-isyarat ini memberi kesan kepada orang yang ditemui. Misalnya senyuman yang diberikan pada orang lain pada setiap bertemu akan menyebabkan seseorang mudah didekati oleh orang lain,dan mudah untuk menjalin sebuah tali persahabatan. Maka dengan kecerdasan emosional isyarat-isyarat yang dihasilkan itu mampu membentuk hubungan yang positif.
 Mereka yang jenius di bidang ini akan menjadi pemimpin dan manajer yang handal dan disukai oleh rakyat serta bawahannya. Ia pun bisa menjaling hubungan yang tepat baik kepada teman, sahabat maupun musuh sekalipun, dan juga kepada anak-anak.
 Supaya anak memiliki kecerdasan antar pribadi yang baik mereka harus dibimbing untuk bisa menjalin sosialisasi berkawan yang sehat, ditumbuhkan empatinya terhadap perasaan teman lain, diajarkan bagaimana mengelola emosi-emosi negatifnya dan bagaimana memanfaatkan emosi positifnya.35)

C.     Pentingnya Kecerdasan Emosional
Emosi mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan. Emosi sangat mempengaruhi kehidupan manusia ketika dia mengambil keputusan. Tidak jarang suatu keputusan diambil karena dipengaruhi oleh emosi. Tidak ada sama sekali keputusan yang diambil manusia murni berdasarkan pemikiran rasionya. Ini karena seluruh keputusan manusia memiliki warna emosional. Jika diperhatikan, keputusan-keputusan dalam kehidupan manusia, ternyata keputusannya lebih banyak ditentukan oleh emosi dari pada akal sehat.36)
Menurut berbagai bukti, perasaan adalah sumber terkuat yang menetukan kebahagiaan dan kesuksesan seseorang di dunia kerja. Oleh karena itu, orang yang cerdas dalam menggunakan emosinya akan lebih berpeluang untuk memperoleh kebahagiaan hidup.
Goleman menyebutkan bahwa kecerdasan  emosional memainkan peranan yang sangat vital. Ia menyebutkan bahwa yang menjadi penentu kesuksesan kehidupan manusia  bukanlah rasio tetapi emosi. Dari hasil penelitiannya, ia menyebutkan bahwa IQ hanya menyumbang sedikit bagi kesuksesan yang dapat dicapai manusia, sementara EQ memberikan kontribusi yang lebih dominan. Dengan demikian, EQ menjadi salah satu unsur utama yang dapat menentukan kebahagiaan dan kesuksesan seseorang.

D. Sasaran Kecerdasan Emosional
Sebagaimana dikemukakan di muka bahwa kecerdasan emosional sangat penting dalam kehidupan manusia. Untuk itu EI perlu ditanamkan kepada anak-anak sejak dini. Upaya penanaman kecerdasan emosional dapat dilakukan oleh orang tua dan para guru di sekolah dengan cara-cara tertentu. Untuk itu, orang tua dan guru sebagai pendidik emosi harus mengetahui dan memahami sasaran-sasaran yang terkandung di dalam setiap kecakapan-kecakapan emosional. Dengan demikian, arah serta tujuannya akan menjadi jelas dan terancang.
Adapun sasaran-sasaran di dalam lima komponen utama kecakapan emosional, sebagaimana yang dikemukakan oleh Daniel Goleman, adalah sebagai berikut
1.      Kesadaran emosi diri :
-          Perbaikan dalam mengenali dan merasakan emosinya sendiri.
-          Lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul.
-          Mengenali perbedaan perasaan dan tindakan.
2.      Mengelola emosi :
-          Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustrasi dan pengelolaan amarah.
-          Berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di ruang kelas.
-          Lebih mampu memngungkapkan amarah dengan tepat tanpa berkelahi.
-          Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri.
-          Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah dan keluarga.
-          Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa.
-          Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.
3.      Memotivasi diri :
-          Lebih bertanggung jawab.
-          Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan dan menaruh perhatian.
-          Kurang impulsif, lebih menguasai diri.
4.      Empati (membaca emosi) :
-          Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain.
-          Memperbaiki empati dan kepekaan terhadap perasaan orang lain.
-          Lebih baik dalam mendengarkan orang lain.
5.      Membina hubungan :
-          Meningkakan kemampuan menganalisis dan memahami hubungan.
-          Lebih baik dalm menyelesaikan pertikaian dan merundingkan persengketaan.
-          Lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan.
-          Lebih tegas dan terampil dalam berkomunikasi.
-          Lebih populer dan mudah bergaul, bersahabat dan terlibat dengan teman sebaya.
-          Lebih dibutuhkan oleh teman sebaya.
-          Lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa.
-          Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok.
-          Lebih suka berbagi rasa, bekerja keras,dan suka menolong.
-          Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain.37)
Sasaran-sasaran dalam lima komponen utama kecerdasan emosional itu jelas mengarah pada pembentukan kecerdasan emosional. Kecakapan-kecakapan tersebut tidak mudah diperoleh kecuali dengan adanya pendidikan dan pelatihan emosi sejak dini. Dan hal ini adalah tugas utama bagi orang tua dan para guru untuk mewujudkannya. Pendidikan emosi yang teratur dan terancang dengan baik akan dapat membina anak-anak untuk memiliki kecakapan-kecakapan emosional sebagaimana yang tersebut di atas. Salah satu cara untuk membentuk kecakapan-kecakapan ini pada anak-anak adalah dengan menggunakan cerita-cerita keteladanan, terutama cerita-cerita yang ada dalam Quran yang begitu kaya akan hikmah dan pelajaran hidup. Pendekatan ini sangat baik digunakan oleh orang tua dan guru, diberikan kepada anak-anak atau murid-muridnya agar berhasil sebagai manusia yang seimbang perkembangan intelek, emosi dan rohaninya.






 1) L. Verina H.Secapramana, Kecerdasan Emosional, http://www.secapramana tripod com. (Diakses pada 31 Desember 2000 Pukul 16:00 WIB).
 2) Webster, Grolier Webster International Dictionary of the English Language,  Grolier Incorporated, New York, 1974, hlm. 321.
 3) Drs. M. Dimyati Mahmud, Psikologi Suatu Pengantar, BPFE, Yogyakarta, 1990, hlm. 163.
 4) Webster, Loc.Cit.
 5) Kecerdasan Emosional, http://hokuriku-mol.twoglobe.com/kecerdasanemosio- nalhtml. (Diakses pada 23 Agustus 2001 Pukul 15:30 WIB).

 6) Cary Cherniss, Emotional Intelligence: What It is and Why It  Matters, (paper),2000, http://www.eicosortium.org/research/what_is_emotional_intelligence.htm.  (Diakses pada 31 Desember 2000 Pukul 16:30 WIB). mengutip Peter Salovey and John D. Mayer, Emotional Intelligence: imagination, Cognition,and Personality, hlm. 212.
 7) Daniel Goleman(b), Op.Cit, hlm.512.
 8) teve Hein, EQ  for Everybody; A Practical Guide to Emotional Intelligence, Aristotle Press, Florida, 1996, hlm. 8.

 9) EQ Definitions, http://www.heartskills.com/eq/eq-definitions.html. (Diakses pada Maret 2001 Pukul 14:30 WIB).
 10) Ibid.

 11) Ibid.

 12) Carry Cherniss, Loc.Cit.
 13) Ibid. mengutip E.L Thorndike, Intelligence and Its Uses, Harper’s Magazine, 1990,140.227-235.

 14) Daniel Goleman(a), Op-Cit.hlm. 52  mengutip Howard Gardner, Multiple Intelligences, BasicBooks, New York, 1993, hlm. 9.

 15) Ibid, hal.53

 16) Ibid.

 17) John D. Mayer; et al ., Emotional Intelligence Meets Traditional Standards for an Intelligence, Ablex Publishing Corporation, 1999,  http://www.eqi.org. (Diakses pada 2 April 2001 Pukul 14:30 WIB).

 18) EQ Definitions, Loc.Cit.

 19) Daniel Goleman(a), Op.Cit, hlm. 64.

 20) Daniel Goleman(b), Op.Cit, hlm. 86.

 21) Steve Hein, Op.Cit, hlm. 14.

 22) Steve Hein, Awareness, http://www.eqi.org/aware.htm. (Diakses pada 7 Februari 2001 Pukul 13:00).

23) Daniel Goleman, Emotional Competence Framework, http:/www.eiconsortium .org /research/ emotional_competence_framework.htm. (Diakses pada 2 April 2001 Pukul 14:30 WIB).

 24) Cary Cherniss dan Daniel Goleman,  An EI-Based Theory of Performance, http://www .eiconsortium.org/research/ei_theory_performance.htm. (Diakses pada 2 April 2001 Pukul 14:30 WIB).

 25) Daniel Goleman(b), Op.Cit, hlm. 129.
 26) Daniel Goleman, Loc.Cit.

 27) Sheila Ellison dan Barbara Ann Barnet,  365 Ways to Help Your Children Grow, Source books Inc, Illionis, 1996,  hlm. 20.

 28) Daniel Goleman(a), Op.Cit, hlm. 121.
 29) Ibid, hlm. 122

 30) Ibid,  hlm. 127.

 31) Daniel Goleman, Loc.Cit.
 32) Benjamin B. Wolman, Dictionary of Behavioral Science,Litton Educational Publishing Inc., New York, 1973, hlm.115.

 33) Steve Hein, Op.Cit, hlm.
 34) Daniel Goleman(b), Op.Cit, hlm.232.

35) Majalah Suara Hidayatullah, Ragam Kecerdasan Yang Luas, http://www.hidayatullah. com/2001/08/tarbiyah2.shtml. (Diakses  pada September 2001 Pukul 15:00 WIB).

 36) KH. Jalaluddin Rakhmat, Sabar; Kunci Kecerdasan Emosional, Al-Tanwir, 140, 25 Mei, 1999, http://www.muthahhari.or.id/sabar.htm. (Diakses pada 2 April 2001 Pukul 14:30 WIB) .
37) Daniel Goleman(a), Op.Cit,  hlm. 403

0 Response to "KECERDASAN EMOSIONAL"

Post a Comment