KETENTUAN UMUM TENTANG QASHAR SHALAT BAGI MUSAFIR

KETENTUAN UMUM TENTANG QASHAR SHALAT BAGI MUSAFIR

 

A.    Pengertian Qashar Shalat

Manusia adalah makluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari lingkungan sekitarnya, karena ia akan selalu berhubungan dengan yang satu dengan yang lainnya. Adalah suatu kenyataan bahwa tak seorang pun yang sempurna apalagi maha sempurna melainkan seorang itu serba terbatas, sehingga dalam menempuh perjalanan hidupnya yang sangat kompleks, tidak bisa luput dari kesulitan dan problema, maka dari itu dibutuhkan ketenangan dan ketentuan dalam hidupnya. Al-Qur’an surat Ar -Rum ayat 28 menyebutkan :
الذ ين امنوا وتطمئنّ قلوبهم بذ كرالله الا بذ كر الله تطمئنّ القلوب.
(الرعد : 28)

Artinya : “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah, ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram”.[1]

Agar ketenangan dan ketentraman hati selalu menemani dalam hidupnya, maka artinya harus selalu ingat kepada Allah karena kegelisahan akan selalu menyelimuti manakala hati dalam kebimbangan dan kebingungan, maka sholat merupakan salah satu jalan untuk dapat menghilangkan keraguan dan kebimbangan. Allah SWT berfirman :
انّ الانسان خلق هلوعا اذا مسّه الشّرّ جزوعا واذا مسّه الخير منوعا الاّ المصلّين الذ ين هم على صلاتهم دائمون .(المعارج : 19-23).

Artinya :    “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang  yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya” (QS. Al-Ma’arij: 19-23)[2]
Shalat terbagi atas wajib dan sunnah. Shalat wajib adalah yang wajib di kerjakan dan tidak boleh ditinggalkan, artinya jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat dosa, sedangkan shalat sunnah adalah shalat yang dianjurkan untuk dikerjakan, artinya mendapat pahala bagi yang mengerjakan dan tidak berdosa bagi yang meninggalkannya, karena semua shalat sunnah adalah semata-mata mencari keridhaan Allah SWT. Namun shalat sunnah jika dilihat dari ada dan tidaknya dapat dilihat dari sebab-sebab dianjurkannya shalat sunnah tersebut dan dibedakan dalam dua macam, yaitu :
1.      Shalat sunnah yang bersebab yang dikerjakan karena memang ada suatu sebab.
2.      Shalat sunnah yang tidak bersebab yaitu shalat sunnah yang dilakukan tidak karena ada sebab tertentu.[3]
Dengan banyaknya ayat Al-Qur’an yang berisi tentang perintah untuk mengerjakan shalat, maka shalat tidak terbatas pada keadaan tertentu saja, seperti pada waktu dalam keadaan sehat, tidak dalam bepergian, tidak sakit dan sebagainya, melainkan dalam keadaan bagaimanapun orang berkewajiban untuk melaksanakannya.
Perintah untuk mengerjakan shalat menunjukkan bahwa shalat mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi seseorang muslim, tapi juga indikator untukorang yang bertaqwa, bahkan shalat bukan saja sebagai salah satu unsur agama Islam, tetapi shalat adalah sebagai unsur pokoknya dari semua amalan-amalan seperti dijelaskan Rasulullah SAW :
الصلاة عما دالد ين فمن أقامها فقد أقام الد ين ومن عد مها فقد هد م الد ين (رواه البيهقي وعنه عمر). [4]

Artinya : “Shalat adalah tiang agama, maka barang siapa yang menegakkannya berarti menegakkan agama dan barang siapa yang meruntuhkannya maka berarti meruntuhkan agama”. (HR. Al-Baihaqi dari Umar).

Karena kedudukannya sebagai unsur pokok maka shalat menjadi tempat bertumpu dan bergantung bagi amalan yang lain yang karenanya jika shalat seorang rusak, rusaklah seluruh amalannya dan sebaliknya jika shalat itu baik, maka baik pula seluruh amalannya. Rasulullah SAW bersabda :
اول مايحاسب به العبد يوم القيامة الصلاة فان صلحة صلح سائر عمله وان فسد ت فسد ساير عمله (رواه الطبرنى وعنه عمر). [5]

Artinya :     “Yang pertama kali dihitung dari amalan-amalan hamba (seseorang) pada hari kiamat ialah amalan shalat. Jika amalan shalat itu baik, maka baiklah seluruh amalannya dan jika amalan shalat itu rusak, maka rusaklah seluruh amalannya”. (HR. Thabrani dari Umar).

Shalat qashar adalah shalat yang dikerjakan pada saat seseorang dalam keadaan bepergian, jumlah shalat qashar adalah dua rekaat dimana yang awalnya empat rekaat menjadi dua rekaat. Musafir adalah seseorang yang sedang dalam perjalanan keluar dari tempat tinggalnya untuk sesuatu urusan yang tidak dapat ditentukan masa lamanya.
Ketentuan mengqhasar shalat menurut sebagaian ulama madzhab, di antaranya madzhab Syafi’i mengqashar shalat oleh orang yang sedang dalam perjalanan jauh ataupun menyempurnakannya seperti biasa. Kedua-duanya diperbolehkan tetapi apabila perjalanan tersebut berjarak lebih dari 2 (dua) marhalah atau setidaknya 3 (tiga) hari perjalanan atau (kira-kira 120 km), maka mengqashar lebih baik dari pada menyempurnakannya.[6]
    Menurut Malik mengqashar shalat adalah sunnah muakad, sedangkan menurut imam Hanafi mengqashar shalat adalah hukumnya wajib. Tetapi hanya berlaku bagi orang-orang yang menempuh perjalanan jauh tiga hari perjalanan (kira-kira 120 KM lebih).[7]
Mengenai ketentuan hukum tentang qashar shalat yang berbeda di kalangan para ulama ini terjadi karena beberapa hal pemahaman yang ada pada surat An-Nisa’ ayat 101 pada kalimat “jika kamu takut di ganggu oleh kaum kafir” persyaratan inilah yang membuat pemahaman para sahabat berbeda. Ya’ la bin Umayyah mengatakan bahwa “aku pernah bertanya kepada Umar bin Khattab tentang kalimat dalam ayat tersebut yang seolah merupakan persyaratan di perbolehkannya qashar shalat, lalu umar mengatakan kepada Nabi SAW. jawab beliau “ itulah sebuah sedekah di sedekahkan kepadamu, maka terimalah sedekah Allah itu.
Kemudian adanya ayat Al-Qur’an yang terdapat di surat An-Nisa’ ayat 101 yang berbunyi :

فليس عليكم جنا ح ان تقصرا من الصلاة.

Artinya : “maka tidaka ada dosa atas kamu mengqashar shalat”. (QS. An-Nisa’ : 101).[8]

Dari ayat ini sebagaian ulama mendefinisikan qashar shalat mencakup segala macam bepergian dan para ulama telah beralasan dengan mengemukakan ayat ini dengan pemahaman atau persepsi  mereka sendiri.
Dalam hal ini mengenai hukum melaksanakan shalat qashar juga berbeda dilakangan para ulama’ ada yang berkata azimah (wajib) rukhsah (keringanan) dari sekian banyak pendapat dari para ulama’ tadi beberapa pendapat dapat di bedakan menjadi beberapa aliran (kelompok).
Kelompok pertama Imam Syafi’i dan Imam Ahmad meeka berpendapat mengqashar shalat dalam bepergian itu merupakan rukhsah.maka jika orang berkehendak mengqashar shalat ia boleh melakukannya dan apabila ia berkehendak menyempurnakannya maka ia pun boleh melakukannya.
Kelompok kedua adalah pendapat Hanafiah bahwa mengqashar shalat dalam bepergian itu hukumnya wajib dan bahwa shalat dua rekaat itu adalah yang sempurna bagi orang yang bepergian.
Kelompok ketiga merupakan pendapat imam Malik, yang mengatakan, “apabila dalam bepergian orang menyempunakan shalatnya, hendaknyalah ia mengulanginya dengan mengqasharnya selama waktunya masih ada” hukum melaksanakan qashar itu sendiri adlah sunnah bukan wajib. Dari beberapa pendapat diatas mempunyai tendensi atas pendapat yang diungkapkandan berdasar dalil-dalil sebagai pendapat hukumnya.[9]   
Dari sekian banyak kelompok yang berpendapat ruhksah atau azimah tentang pelaksanaan qashar shalat tidak hanya semata di definisikan berdasar pemahaman tapi juga berdasar dali-dalil agar pendapatnya rafih; Diantara kelompok di atas kelompok Imam Syafiiyah dan Hanabillah menguatkan pendapatnya tidak dapat mengqashar shalat dalam bepergian dalilnya ini adalah:

 فليس عليكم جنا ح ان تقصرا من الصلا ة.

Artinya : “Maka tidak ada dosa atas kamu mengqashar shalat”. (QS. An-Nisa’ : 101).[10]

Yang memberikan pengertian tentang tidak wajibnya. Mengqashar shalat karena ungkapan meniadakan dosa menunjukkan hukum mubah (boleh) tidak menunjukkan hukum wajib seandainya mengqashar itu wajib, niscaya akan diungkapkan dengan :

فعليكم آ ن تقصروا من الصلاة.

Artinya : “maka wajib atas kamu mengqashar shalat”.

Diantara alasan yang menunjukkan kepada hukum yang disebutkan ialah bahwa rukhsah yang diberikan dalam bepergian datang daam bentuk pilihan, seperti kebolehan pilihan berpuasa atau berbuka, maka demikian pulalah dengan mengqashar shalat.
Sementara pada golongan Hanafiah menguatkan pendapatnya yang wajib mengqashar shalat dalam bepergian dengan dalil-dalil di antaranya :
عن ابن عمر رضىالله عنه قال: صحبت النبيّ صلىالله عليه وسلم فكان لا يزيد فىالسّفرعا لى وابوبكر وعمر وعثمان كذ لك(رواه البخارىومسلم). [11]

Artinya : “Ibnu Umar berkata ”saya telah menyertai Nabi SAW, maka beliau tidak melaksanakan lebih dari dua rekaat di dalam safar Abu Bakar Umar dan Usman berbuat demikian juga”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan alasan bahwasanya Nabi SAW tetap bersembahyang di dalam safar dua rekaat, selai dari magrib tidak pernah bersembahyang empat rekaat. Dalam suatu riwayat Muslim juga diterangkan bahwa Usman mengqasharkan shalatnya di dalam safar selama 8 tahun dalam kekhalifahannya, sesudah itu beliau menyempurnakan.[12]  
Dari sekian banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ulama’ yang mengatakan shalat qashar adalah wajib dari ulama’ yang  mengatakan rukhsah juga mempunyai alasan yaitu kalimat yang terdapat didalam surat An-Nisa’ ayat 100 yang artinya : “tak ada dosa” menunukkan arti kepada tidak wajib mengerjakan qashar. Tapi hanya menunjukkah “tamam” (sempurna) empat rekaat dan qasharnya memendekkan dari rakaat yang panjang. Akan tetapi alasan ini ditambah oleh pihak yang mewajibkan dengan mengatakan “ayat ini mengenai qashar shalat yang dikala melaksanakan shalat khauf dan ayat ini kemudian dari adanya aturan mengqasharkan bilangan rekaat shalat.
Ibnu Qayim dalam judul Ma’ad berkata “ayat ini menghendaki qashar yang melengkapi qashar bilangan rakaat dengan mengurangi dua rekaatnya. Qashar yang demikian ini, diakaitkan dengan dua keadaan. Pertama safar dan kedua khauf.[13] 
Apabila terdapat kedua dua keadaan ini, maka dibolehkan kedua-duanya mengqashar. Boleh diqasharkan bilangannya dan boleh diqasharkan rukunnya. Kalau terdapat keadaan tersebut tidak boleh dilakukan qashar, maka harus disempurnakan shalatnya. Tapi apabila didapati salah satu sebab dilakukan suatu macam, maka sebaiknya diqashar saja.
Maka kalau kita bersafar dan tak ada ketakutan kita qasharkan rukunnya dengan menyempurnakan bilangannya (bilangan rakaat) dan dibolehkan mengerjakan dalam safar, hanya mengqasharkan rukun-rukunnya yang dua rakaat dalam safar yang disertai ketakutan, dapat pula dikatakan safar dan diqasharkan menjadi satu rakaat dan mengerjakan dua rakaat dalam safar bukanlah bernama qashar karena dua rakaat itu memang yang disuruh dalam safar.
Kemuduan arti dari sabda Nabi bahwasannya qashar adalah suatu sadaqah itu memberikan pengertian bahwa qashar itu suatu kelapangan bukan suatu keharusan. Hasan ini di jawab oleh yang mewajibkan, bahwa perintah yang menyuruh kita menerima sedekah menujukan kepada keharusan untuk menerima sedekah itu.[14]    
   
B.     Syarat-syarat dan Perjalanan yang Dibolehkan Menjadi Musafir
1.      Syarat-syarat Qashar
Para ulama sepakat bahwa qashar shalat itu dikhususkan untuk shalat yang raba’iyah (yang jumlah rakaatnya empat) jadi shalat Dhuhur, Ashar, Isya dikerjakan dua rakaat. Qashar shalat itu mempunyai beberapa syarat yang harus di penuhi yaitu :[15]
a.       Menempuh jarak yang tertentu
Disebutkan menempuh jarak tertentu dimaksudkan pergi saja ataukah dihitung dari jarak antara pergi dan pulang dalam sehari dan malamnya sudah kembali dan perjalan itu menyibukkannya sehari penuh. Sebagian ulama Imaniyah mengatakan bahwa orang wajib mengqashar shalatnya jika bermaksud akan kembali sebelum sepuluh hari atau dalam waktu yang tidak bisa ditentukan kembalinya.
b.      Harus berniat menempuh jarak yang telah ditetapkan itu dari mulai berangkatnya.
Orang yang mengikuti seperti istri, pelayan, budak dan serdadu harus mengikuti niat pemimpin mereka dengan syarat mengetahui, maka mereka wajib tetap melaksanakan shalat secara sempurna.
c.       Tidak boleh mengqasharkan shalat kecuali bila sudah meninggalkan bangunnan kota (tugu batas).
Yaitu dalam keadaan berpegian harus benar-benar jauh dari bangunan kota, sehingga tidak tampak oleh pandangan lagi, serta sudah tak kedengaran lagi suara adzannya. Batasan yang ditetapkan oleh mereka bagi permulaan safar itu juga menjadi batasan untuk akhir safar juga.
Jika seorang kembali ke kotanya ia masih wajib mengqasharkan shalatnya hingga tampak bangunan kota atau mendengar suara adzannya.[16]
d.      Perjalanan itu haruslah perjalanan yang mubah
Semua ulama sepakat terkecuali ulama Hanafiah, bahwasanya qashar dalam perjalanan haram itu tidak diperbolehkan akan tetapi ulama Hanafiah memperbolehkannya, sebab qashar bukanllah keharaman melalaikan perbuatanya saja yang menjadi haram.[17]
e.       Orang sedang dalam perjalanan (musafir) tidak boleh bermakmum kepada orang tidak dalam perjalanan (mukim) atau kepada musafir yang mengerjakan shalat dengan tamam (sempurna).
Seorang musyafir shalat di belakang (bermakmum kepada) orang mukim dalam shalat Dzuhur dan Ashar dan Isya’, maka ia melakukan shalat dua rakaat di belakang imam membaca tasyahit bersama imam, lalu memberi salam sendiri, sedangkan imam meneruskan shalatnya hingga selesai, dan kalau orang yang “mukim” shalat di belakang “musafir” ia shalat dua rakaat bersama imam. Kemudian ia menyelesaikan shalatnya yang tersisa sampai selesai.
f.       Hendaklah berniat qashar pada shalat yang dilaksanakannya kalau tidak, maka harus di lakukan dengan sempurna.
Dari beberapa pendapat yang diutarakan oleh berbagai ulama bahwa niat qashar itu dilakukan pada saat dimulainya perjalanan (safar) akan tetapi bila seseorang tidak berniat qashar maka ia wajib shalat sempurna sebab hukum tidak berubah karena niat dan karena ia telah berniat safar dari permulaannya.
Namun bila seorang musyafir berniat akan mukim di suatu tempat kemudian niatnya berubah, maka ia wajib shalat qashar sepanjang ia belum mengerjakan shalat secara sempurna, sekalipun hanya satu shalat. Tapi kalau sudah mengerjakan shalat secara tamam (sempurna) sekalipun hanya satu kali, lalu niatnya berubah (tidak jadi menetap) maka ia tetap harus melakukan shalat secara tamam (semperna).[18]
g.      Tidak boleh berniat menetap selama lima belas hari atau sepuluh hari berturut-turut menurut Hanafi ada lebih dua puluh shalat menurut sebagian ulama (Hanafilah).
Apabila seseorang tidak berniat menetap dan ia bimbang kapan selesai urusanya maka ia wajib mengqashar shalatnya hingga tiga puluh hari. Setelah itu ia diwajibkan qashar walaupun hanya satu shalat.
h.      Pekerjan musyafir itu menurut untuk tidak sering bepergian.
Syarat ini ditentukan untuk sebagian paras pedagang yang usahanya menuntut selalu untuk bepergian dan jarang menetap di tempat tinggalnya.
i.        Rumah tinggalnya harus berbeda dengan golongan yang tinggal mempunyai tempat tinggal tetap yang selalu berpidah-pindah tempat.
j.        Dari beberapa syarat qashar yang di kemukakan diatas syarat qashar ini banyak menimbulkan berbagai versi pendapat yang berbeda di kalangan ulama’ mazdab diantaranya :[19]
Ulama Hanafi, Hambali, Maliki mengatakan jika seseorang musafir pulang dari perjalanannya dan bermaksud kembali ia ketempat ia berangkat dari perjalanannya maka dalam hal ini harus diperhatikan. Jika ia melakukan sebelum menempuh jarak qashar, maka batallah perjalanannya dan wajib atasnya menyempurnakan shalat. Dan jika ia telah menempuh jarak yang telah ditetapkan syara’ maka ia boleh mengqasharkan shalatnya hingga kembali ke negerinya.
Sedangkan ulama Syafi’i mengatakan bilamana terlintas dalam benaknya hendak kembali di tengah perjalannya maka ia harus menyempurnakan shalatnya. Dan jika ia telah menempuh jarak yang telah ditetapkan syara’ maka ia boleh mengqashar shalatnya.
Menurut Imamiyah jika seseorang bermaksud membatalkan perjalanannya, atau merasa bimbang sebelum menempuh jarak yang menyebabkannya qashar maka ia wajib menyempurnakan shalatnya. Tetapi kalau ia sudah menempuh jarak qashar, maka ia wajib mengqashar shalatnya.
Kelangsung niat safar itu termasuk syarat selama belum menempuh jarak yang ditetapkan. Apabila jarak qashar itu sudah ditempuh, maka tidak tergantung lagi pada niat.
Kesepakatan dan alasan-alasan itu kesemuanya adalah syarat yang ditetapkan untuk qashar menjadi syarat pula bagi bolehnya membatalkan puasa atau yang berbuka wajib qashar orang yang mengqashar wajib berbuka.
2.      Syarat musafir dan pejalan yang dibolehkan mengqashar shalat
a.       Syarat-syarat musafir
Banyak diantara para ulama hanya membolehkan mengqashar shalat bagi mereka yang melakukan perjalanan yang sifatnya mendekatkan diri kepada Allah seperti dalam perjalanan untuk umroh haji dan jihad atau seperti perjalanan yang mubah, berdagang, menjenguk keluarga dan sebagainya.[20] Akan tetapi qashar tidak berlaku bagi mereka yang melakukan perjalanan maksiat atau orang yang berbuat zalim kepada sesama muslim atau orang kafir yang ada perjanjian damai dengan orang muslim.
Atau bermaksud merampok atau berbuat kerusakan di bumi atau budak keluar dengan melarikan diri dari tuannya atau orang yang lari untuk mencegah melaksanakan kewajiban yang harus dilaksanakannya maka tidak boleh orang itu melaksanakan qashar.[21]
Kalau ia masih tetap melaksanakan qasharnya maka ia harus  mengulangi setiap shalat yang dikerjakannya karena qashar itu sudah keringanan. Sesungguhnya dijadikan keringan atas orang-orang yang tidak berlaku maksiat sebagaimana firman Allah SWT :
فمن اضطر غيرا باغ ولا عا د فلا اثم عليه (البقراة : 173).
Artinya :   “Maka siapa yang terpaksa oleh keadaan tidak hendak melakukan kesalahan dan melanggar aturan maka tidaklah ia berdosa”. (Q.S. Al-Baqarah 173).[22]

Apabila kita memperhatikan hadits safar nyatalah pula bahwa safar itu umum mengenai safar saat dan ma’shiyat. Tegasnya walaupun seseorang berdosa karena safar ma’shiyat, namun hukum qashar berlaku juga baginya pendapat Abu Hanifah segolongan ulama salaf dan khalaf yang di kuatkan pula oleh Ibn Hazm dan oleh beberapa pentaqiq lain, walaupun Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad tidak membolehkan dalam safar yang diharamkan (ma’syiat).
Dari keterangan di atas dapat diperoleh berbagai alasan tentang syarat safar (musafir) dan dari keterangan tersebut tidak ada syarat khusus tentang musafir karena sebuah perjalanan yang dilakukan seseorang, niat dan tujuan terkandung, berbeda, seseorang terkadang berniat baik akan tetapi niatnya dan tujuannya berubah karena ada sesuatu yang tidak diinginkan dalam perjalanan sehingga merubah niatnya yang semula.
Disebut musafir karena ia sedang dalam perjalanan, maka dari sekian pendapat tentang qashar shalat baik tentang tujuan orang bermusafir sampai hal apa yang di lakukan dalam perjalanan termasuk jenis kemusafiran dengan tujuan baik seperti haji, umroh dan jihad. Imam Maliki dan Asy-Syafi’i qashar karena safar ibahah karena mengqashar, sementara Abu Hanafi mengatakan semua jenis qashar baik ibahah atau maksiat tetap diwajibkan mengqashar sementara fuqaha yang mementingkan masyaqat mereka tidak membedakan antara satu jenis safar dengan safar yang lainnya.
b.      Jarak perjalanan yang dapat di perbolehkan untuk mengqashar shalat.
Dalam hal mengqashar shalat tidak di bedakan mengenai perjalanan laut ataupun perjalanan darat, berkendaraan ataupun berjalan kaki asalkan jarak perjalanannya mencapai masafat qashar. Adapun  masafat (jarak) perjalanan dibolehkannya mengqashar shalat ialah sejauh dua hari perjalanan unta yang di bebani termasuk waktu yang dipakainya untuk berhenti makan dan minum secara sederhana yaitu 4 bard 16 farsakh 48 syar’i = 138,24 km = 91,2 pal atau dapat di jabarkan:[23]
1 mil syari     =    6.000 hasta    =    4.000 langkah
1 hasta          =    24 jarak biasa (sederhana)
1 hasta           =    0,48 m
1jari               =    0,02 m
1 langkah      =    0,72 m
1 mil syari     =    6.000 hasta    =    2,880 m         =       1,9 pal.
1 farsakh       =    3 mil              =    8,640 m         =       5,7 pal.
1 bard            =    farsakh          =    34,560 m       =       36,9 pal.
1 safar tawil  =    4 bard            =    138,240 m     =       91,2 pal.
Dalam sebuah Hadits disebutkan                                                                 
كان ابن عمر وابن عبّاس رضىالله عنهما يقصران ويفطران أربعة برد وهي ستة عشر فرسخا (رواه البخاري). [24]

Artinya :     “Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ia pernah mengqashar dan berbuka dalam perjalanan empat bard yaitu enam belas farsakh”. (H.R. Bukhori).

Akan tetapi ulama berpendapat bahwa mengqashar shalat boleh dalam perjalanan sejauh tiga mil sebagaimana disebutkan dalam hadits :
عن يحيى بن مزيد قال : سأ لت انسا عن قصرالصلاة فقال : سأ لت انسا عن قصرالصلاة فقال : كان رسول الله صلىالله عليه وسلم اذا خرج ميسرة ثلاثة فراشيخ صلى ركعتين (رواه مسلم). [25]

Artinya :     “Dari Yahya bin Mazid ia berkata ‘aku pernah bertya kepada Anas tetang mengqashar shalat lalu ia menjawab, Rasulullah SAW pernah melaksanakan perjalanan sejauh tiga mil atau tiga fasakh, beliau shalat dua rakaat”. (HR. Muslim).

Menurut sebagian besar ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki dan Ahmad hanya boleh dilakukan dalam perjalanan jauh, yaitu biasa diukur dengan dua marsalah atau disebut juga “perjalan dua hari” (yakni dengan perjalanan kaki secara wajar) menurut Abdurrahman Al-Jazari jarak tersebut sama dengan 80,640 KM.[26]
Adapun yang dijadikan ukuran dalam soal qashar ini adalah jarak perjalanan bukan lamanya perjalanan. Dengan demikian penggunaan sarana perjalanan apapun (mobil, kereta api, kapal laut, pesawat terbang) tidak dipersoalkan, sepanjang perjalanan tersebut mencapai 80,64 KM, walaupun hanya ditempuh dengan waktu 1 (satu) jam.
Ibn Hazm membantah segala pendapat bahwa perjalanan yang mewajibkan qashar (membolehkannya) ialah kalau perjalanan itu ada 76 mil atau 82 mil atau 72 mil atau 63 mil atau 61 mil atau 45 mil atau 48 mil atau 40 mil atau 36 mil.[27]
Karena beliau (Ibnu Hazm) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan safar ialah pergi dari tempat kediaman untuk bermalam di tempat lain dan pergi melawat ke tempat jauh, sekurang-kurangnya perjalanan satu mil jauhnya.
Perlu kiranya dijelaskan di sini bahwa ketentuan jarak dibolehkannya qashar ini banyak diperselisihkan antara para ulama. Tidak sedikit diantara mereka yang menyebutkan jarak kurang dari tersebut di atas, bahkan ada pula yang membolehkan qashar pada setiap perjalanan dari kota (desa) tempat tinggalnya seseorang ke kota (desa) lainnya, sepanjang ia berniat mukim di sana.[28]
Pada dasarnya ayat 101 dari surat An-Nisa’ seperti tersebut di atas tidak menyebutkan perjalanan yang membolehkan musafir mengqashar shalatnya. Oleh sebab itu para pengikut madzhab Azzhahiri menyatakan bahwa qashar itu berlaku pada tiap perjalanan baik itu perjalanan jauh atau dekat. Adapun berbagai keterangan dari para sahabat yang menyebutkan jarak minimal berlakunya qashar tidak dapat dijadikan pegangan, mengingat keterangan tersebut bertentangan satu sama lain, di samping tidak adanya ketentuan Nabi SAW mengenai itu.
Adapun Ibnu Hazm memberlakukan jarak perjalanan yang berlaku padanya qashar shalat ialah paling sedikit 1 (satu) mil (atau 1748 m) dengan diperkuat sebuah dalil yang diriwayatkan Ibn Abi Syaibah dan Ibn Umar dengan sanad yang sahih, berdasar hal itu Ibn Hazm membolehkan qashar pada perjalanan minimal sejauh itu dan tidak membolehkan jika perjalanan kurang dari jumlah itu.
Tentang ini contohkan sebagai penguat dalilnya bahwa Rasulullah SAW pergi ke pekuburan Buqi’ (yang waktu itu masih terpisah dari kota Madinah) untuk menguburkan orang uang mati, namun beliau tidak mengqashar shalatnya lihat Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah 1/239, dan Ibn Rusyd, Bidayatul Al-Mujtahid 1/ 121.
Mengenai waktu dimulainya qashar, para ulama juga berbeda pendapat, tapi sebagian ulama bermufakat membolehkan orang bersafar memulai qashar apabila dia telah keluar dari kampungnya yaitu tentang bolehkan seorang musafir mengqasharkan shalatnya sebelum melampaui batas itu, menurut jumhur tidak boleh sebelum melampaui batas kampungnya, sebagian ulama kufah membolehkan dia memulai qashar jika dia sudah bersiap akan bersafar. Ibnu Mundzir berkata pula saya tidak mengetahui bahwasanya Nabi SAW mengqasharkan shalatnya sebelum keluar dari batasan kotanya.
Sementara Imam Syafi’i menumbuhkan kalau ia dalam bersafar melewati tempat yang ada padanya tempat tinggal, kalau ia pada lembah maka ia melintasi lebarnya lembah lalu bila saat ia ingin mengqashar tapi tidak melewati yang ditentukan, maka ia wajib mengulang shalat yang diqasharkannya.[29]

C.    Batas Masa Menjadi Musafir

Apabila musafir tiba di tempat yang dituju, maka ia hendaknya berniat mengqashar shalatnya. Demikian pula bila hendak meninggalkannya. Namun bila ia berada di tempat tujuannya selama empat hari atau lebih, hari-hari itu sudah menjadi mukim dan ia tidak boleh mengqashar shalatnya.
Kalau ia keluar lalu bermaksud bermusafir yang dapat di qasharkan shalatnya empat malam kemudian ia bermusafir ke tempat lain yang ia tuju dan ia membaharukan niat bahwa ia hanya bersinggah tidak bermukim, niscaya ia menyempurnakan shalatnya.
Dalam hal seorang musafir ingin bersinggah di suatu tempat, maka ia harus berniat dalam safarnya tidak bermukim (ingin bermukim) maka ia harus memenuhi syarat safar yaitu :
1.      Niat bermukim pada suatu tempat persinggahan sebanyak empat hari. Hadits riwayat Bukhari Muslim menyebutkan :
عن انس بن ملك رضىالله عنه قال : خرجنا مع النبيّ صلىالله عليه وسلم مف المد ينة الى مكة, فصلى ركعتين حتى رجعنا الى المد ينة قلت : قلتم بها سيئا قال اقمنا بها عشرا (رواه البخاري ومسلم). [30]

Artinya : “Anas bin Malik ra berkata: “Kami pergi bersama Rasulullah SAW dari Madinah ke Mekkah, maka Nabi SAW mengerjakan shalat dua rekaat sehingga kami kembali ke kota Madinah, berkata Yahya bin Abi Ishaq “Saya bertanya kepada Anas: apakah tuan-tuan bermukim di sana ? menjawab Anas kami bermukim di sana selama sepuluh hari”.

Apabila kita memasuki suatu tempat dan berdiam di sana untuk beberapa hari, sedang kita tetap dalam keadaan safar yakni tidak bermaksud untuk menetap di sana bolehlah kita mengqasharkan shalatnya.
Adanya satu riwayat yang mengatakan bahwa Nabi SAW pernah bermukim selama 20 hari di Tabuk dengan mengqashar shalatnya karena Nabi tidak mengatakan tidak boleh qashar kalau lebih dari jumlah beliau berada di Tabuk.[31]
Bermukim di suatu tempat dalam keadaan safar tidak mengeluarkan kita dari hukum safar, baik jama’ ataupun singkat seperti keadaan para haji bermukim di Mekkah menanti malam pulangnya. Walaupun mereka di sana tinggal sampai dua bulan atau lebih namun mereka tetap dinamakan orang musafir, karena mereka tidak bermaksud menetap di sana.
Maka setelah kita mengetahui petunjuk Nabi SAW dan para sahabat dalam masalah qashar dikala kita singgah disuatu tempat dalam keadaan safar secara tamam (sempurna), karena pada saat Nabi bermukim selama 10 (sepuluh) hari di Mekkah dan Mina saat perjalanan haji wada’ menimbulkan pendapat yang berbeda tentang kedatangan beliau. Satu pendapat mengatakan Nabi sampai ke Mekkah pada hari yang keempat dari bulan haji, pada hari ke delapan beliau menuju ke Mina, pada hari yang ketiga belas, sesudah tiga hari bermukim di Mina beliau kembali ke Mekkah dan pada hari yang ke empat belas beliau berangkat menuju Madinah kembali.[32]
Mengenai mengqashar shalat setelah berada dalam tujuan selama empat hari atau lebih tidak boleh mengqashar shalat. Pendapat ini mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah memberi keterangan tentang kelonggaran kepada kaum Muhajirin untuk tinggal di Mekkah selama tiga hari. Dalam hadits disebutkan :
عن العلاء بن المفرمي رضىالله عنه قال : قال النبيّ صلىالله عليه وسلم : يمكث المهاجر بعد قفاء نسكه ثلاثا (رواه البخاري مسلم). [33]

Artinya : “Dari Al-Ala’ bin Hadhrani ra berkata Nabi SAW bersabda : Kamu Muhajirin telah tinggal di Mekkah delama tiga hari sesudah membayar rukun hajinya”. (HR. Bukhari-Muslim).

Hadits lain juga menyatakan :
عن عمر رضي الله عنه أنه اجل اليهود مف الحجاث ثمّ أذ ن لمن قه م منهم تاجرا ان يقيم ثلاثا (رواه مالك فى المواطاء). [34]

Artinya : “Dari Umar ra : bahwasanya ia pernah membawa orang Yahudi dari Hijaz kemudian mengizinkan mereka untuk bermukim selama tiga hari”. (HR. Malik dalam kitab Al-Muwatha’).

Kedua keterangan ini menyatakan bahwa musafir yang tinggal selama tiga hari itu belumlah dinamakan mukim melainkan musafir. Dengan demikian mereka dibolehkan safar qashar karena musafir itu hanya boleh diizinkan tinggal selama tiga hari, dalam masa tiga hari itu mereka boleh mengerjakan ibadah sebagai musafir jika ia berdiam lebih dari tiga hari, ia tidak lagi terhitung musafir lagi, akan tetapi telah menjadi mukim yang sebenarnya, dan ia tidak boleh lagi mengqashar shalatnya, tetapi wajib untuk menyempurnakannya. Dalam kitab Majmu’ disebutkan :
قال النووى قال الشافعى والاصحاب ان نوي اقامه أربعة ايام صار مقيما وانقطعت الرخص (المجموع). [35]

Artinya : “Nawawi berkata, Syafi’i dan sahabat-sahabatnya berkata, jika seseorang berniat akan menetap (tinggal) selama empat hari, maka jadilah ia mukim dan putuslah baginya rukhsah (tak boleh lagi melakukan qashar) (Al-Majmu’)”..

2.      Berniat menetap di suatu tempat tidak dengan niat bermukim
Dalam sebuah hadits diterangkan :
عن عمران بن حصين رضي الله عنه قال: عزوت مع النبيّ صلىالله عليه وسلم وشهد ت معه الفتح فاقام بمكة ثماني عشرة ليلة لا يصلي الا ركعتين, يقول : ياهل البلد ة, صلو اربعا فانا سعفرا (رواه ابو داود). [36]

Artinya : “Imran bin Husain ra berkata : “Saya turut berperang beserta Nabi dan saya menyaksikan penaklukan kota Mekkah, sesudah kota dikalahkan beliau bermukim di kota Mekkah selama delapan belas malam, beliau bersembahyang dengan qashar (dua rekaat dua rekaat) beliau berkata kepada penduduknya “Hai penduduk Mekkah, kamu harus mengerjakan sembahyanh (shalat) secara sempurna (empat rekaat) kami ini orang safar (dalam perjalanan)”.

Para ulama berselisih tentang batas muddah (waktu) yang boleh diqasharkan shalatnya. Apabila seseorang bermukim di suatu tempat, sedang dia tidak memastikan berapa hari ia akan tinggal di situ.
Menurut pendapat Al-Hadi dan Al-Qasim, bahwa orang yang tidak memastikan tempo atau waktu yang tertentu, boleh harus mengqasharkan shalatnya walaupun sampai sebulan.
Menurut pendapat Abu Hanifah, Ashabnya Imam Yahya dan menurut As-Syafi’i bahwa orang yang demikian itu boleh terus menerus mengqasharkan shalatnya.
Pendapat Ibnu Taimiyah dalam pendapatnya mengatakan bermukim adalah lawan bersafar, para manusia di atas mukim dan musafir dalam Al-Qur’an disebutkan yang artinya “Maka barang siapa sakit diantara kamu, atau berada dalam perjalanan maka hendaklah dia mengerjakan (puasa) sebanyak ditinggalkan di hari-hari yang lain”.
Ayat ini memberikan pengertian, bahwaa orang yang tidak sakit dan tidak dalam perjalanan dihukumi mukim.
Tegasnya memandang seseorang menjadi mukim karena dia berniat tinggal ditempat yang dia singgahi ataau didatangi sekian hari, tidak ditunjukkan di nash agama, tidak ditunjukkan oleh bahasa dan tidak pula oleh urf, maka oleh karena itu seseorang musafir yang singgah di suatu tempat untuk menyelesaikan tugasnya, kemudian pergi tetaplah dia mengqosharkan sholatnya, walaupun dia perlu tinggal ditempat itu lebih dari 20 hari dan walaupun diperkirakan sejak semula bahwa dia akan tinggal ditempat ittu lebih dari 20 hari, selama dia masih berkeadaan safar dan tidak bermaksud menetap di tempat itu.
     Sebagai sebab persilangan pendapat dikalangan fuqoha’ karena adanya perbedaan maksud oleh kata safar karena pengaruh safar dalam keadaan dalam hal qashar itu lantaran adanya berbagai kesukaran dalam safar seperti halnya pengaruh safar bagi kewajiban puasa jika demikian halnya maka berarti qashar itu baru boleh dilaksanakan setelah adanya masaqat. Fuqaha’ yang hanya memperhatikan kalau safar mereka berpendirian dengan sabda Nabi SAW.
ان الله وضع عن المسافر الصوم وشطرة الصلاة . [37]
Artinya : “Sesungguhnya Allah telah menghilangkan (kewajiban) puasa dan setengah dari sholat musafir”.

Dengan demikian orang yang berstatus musafir dibolehkan mengqashar sholat dan tidak berpuasa, dikuatkan hadits riwayat Muslim dari Umar bin Khattab.
ان النبي صلىالله عليه وسلم كان يقتصر فى نحو السبعة عشر ميلا. [38]

Artinya : “Sesungguhnya Nabi SAW mengqashar (sholat) dalam jarak tempuh seiktar 17 mil”.

 Pada dasarnya orang diperbolehkan mengqashar sholatnya selama ia masih layak disebut musafir. Namun terdapat beberapa riwayat yang tidak sama dari Nabi SAW, tentang lamanya beliau mengqashar shalat ketika dalam perjalanan ada yang menyebut dalam jangka waktu tiga hari, sembilan belas hari, dua puluh hari, dan lain-lain lagi. Begitu pula tentang praktek shahabat Nabi, ada yang mengqashar sampai dengan empat puluh hari, tujuh bulan, bahkan sampai dua tahun (yaitu selama mereka masih belum berhasil menyelesaikan tugas atau keperluannya) pendapat ini adalah dari As-Syafi’i.[39]
Adanya qashar adalah merupakan sebuah keringanan yang diberikan kepada seseorang yang sedang dalam keadaan safar, maka dibolehkan ia mengqashar shalatnya selama ia masih mengalami kelelahan atau kesulitan dalam rutinitasnya sehari-hari, akibat keberadaannya jauh dari rumah dan keluarganya walaupun telah berlalu waktu cukup lama.
Sebaliknya apabila merasa lebih tenang dan akrab dengan kota yang dikunjunginya (misalnya di tengah keluarga, hotel) yang membuatnya lebih tenang seperti di rumah sendiri, maka sejak itu sebaiknya ia tidak lagi mengqashar shalatnya walaupun masih berada jauh dari kota asalnya.[40]
3.      Syarat yang terakhir ini adalah qashar bagi orang yang mempunyai istri di suatu tempat persinggahan, apakah ia tetap mengqashar shalat secara tamam. Sebuah hadits diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah bin Abdurrahman Ibn Abi Dzubab dari ayahnya beliau berkata :
عن عبدالله ابن عبدالرحمن بن ابى ذ باب عن أبيه قال : ان عثمان صلى بمعنى اربع ركعات فانكرالناس عليه, فقال : ابها الناس اني ثاهلت بمكة مذ قد مت وانى سمعت رسول الله صلىالله عليه وسلم يقول مف تاهل فى بلد فليصل صلاة المقيم (رواه احمد). [41]

Artinya : “Abdullah Ibn Abdurrahman Ibn Abi Dzubab dari ayahnya “Bahwasanya Usman Ibn Affan shalat di Mina empat rekaat, perbuatannya itu dibantah orang, maka Usman berkata : “Hei manusia, saya telah beristri di Mekkah semenjak saya datang, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa beristri di suatu tempat hendaklah ia mengerjakan shalat seperti shalatnya mukim”. (HR. Ahmad). (Lihat Al-Muwatha’ 1 : 671).

Para ulama berselisih paham tentang sebab Usman menyempurnakan shalatnya karena beliau mempunyai istri di Mina. Diantara ulama yang berpendapat bahwa sebabnya Usman menyempurnakan shalatnya ialah karena beliau berpendapat bahwasanya qashar itu dilakukan di dalam safar sebelum sampai ke tempat yang dituju.
Asy-Syafi’i dan Ashabnya dan segolongan dari ulama Mutaakhirin dari pengikut Ahmad seperti Ibn Aqil berpendapat bahwa sebabnya Usman menyempurnakan shalatnya di Mina karena orang musafir boleh memilih antara menyempurnakan shalatnya atau mengqasharkan shalatnya sebagaimana yang telah dikerjakan oleh Aisyah.
Menurut Abu Hanifah, Malik dan Ashabnya, ketika itu Usman menyempurnakan shalatnya di Mina karena beliau belum sampai ke suatu kota yang dituju (dalam safar) ini dimaksudkan bahwa Usman dalam perjalanannya bersafar telah sampai di suatu kota akan tetapi kota yang dilewatinya itu ia mempunyai istri di kota tersebut, sedangkan tujuannya untuk bersafar belum sampai meski bekal-bekal dalam safar terpenuhi, tetapi beliau beranggapan karena ia punya istri di kota tersebut meski ia sedang bersafar beliau singgah di tempat istrinya tadi kemudian beliau mengerjakan shalat secara sempurna.
Dari situlah para ulama banyak yang tidak menyetujui perbuatan beliau karena ulama banyak beranggapan beliau sedang melaksanakan safar, dan selama dalam perjalanan ia melewati kota di mana dalam kota itu beliau punya istri dan ini sangat berlawanan perbuatan shahabat lainnya (perbuatan Ali Ibn Mas’ud Imran Ibn Husain, Sa’ad Ibn Abi Waqqash Ibn Umar Ibn Abbas dan lain-lain.





[1]Al-Qur’an, Surat Ar-Ra’d Ayat 28, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1992. hlm. 373.

[2]Al-Qur’an, Surat Al-Ma’arij Ayat 19-23, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1992. hlm. 974.
[3]Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, Jilid I, Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hlm. 478.

[4]Ibid, hlm. 72.
[5]Ibid, hlm. 73.

[6]Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqh Praktis Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah dan Pendapat Ulama, Mizan, Bandung, 1999, hlm. 208.

[7]Ibid, 209.
[8]Al-Qur’an, Surat An-Nisa’ Ayat 101, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1992. hlm. 137.
[9]Aburrahim Fathuny, Syariat Islam, Tafsir Ayat-ayat Ibadah, Rajawali, jakarta, 1987, hlm. 143.

[10]Al-Qur’an, Surat An-Nisa’ Ayat 101, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1992. hlm. 137.
[11]Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu’ Wal Marjan, Juz 1, Bina Ilmu Surabaya, t.th, hlm. 215.

[12]Muhammad Hasbi Asshidiqy, Koleksi Hadis Hukum, Cet 5, Magenta Bakti Guna Jakarta, 1994 hlm.356.

[13]Ibid, 363.
[14]Ibid, 365.

[15]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Lentera, Jakarta, 1999. hlm. 141.
[16]Ibid. 142.

[17]Ibid. 142.
[18]Ibid. 143.
[19]Ibid. 144.
[20]Muhammad Baqir Al-Habsyi, Fiqh Praktis, Menurut Al-Qur’an As-Sunnah dan pendapat ulama’, Mizan, Bandung. 1999. hlm. 209.

[21]Imam Asy-Syafi’i, Al-Umm, Juz 1, Dar Al-Fikr, Beirut, Libanon, 1990, hlm. 399.

[22]Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah Ayat 173, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1992. hlm. 42.
[23]Ibnu Mas’ud dan Zaenal Abidin, Fiqh Mazhab Syafi’i Buku Ibadah , Pustaka Setia, Bandung, 2000. hlm.316.
[24]Ibid, hlm. 317.

[25]Ibid, hlm. 318.

[26]Abdurrahman Al-Jaziri, Ushul Fiqh ‘Ala’l Mazhabil Al-Arba’ah, Juz. I, t.th, hlm. 472.
[27]Muhmmad Hasbi Asy-Syidiqi, Op.cit, hlm. 367.

[28]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz.1, Dar Al-Kutub Al-Arba’ah, Mesir, t.th, hlm. 239.
[29]Imam Syafi’i, Op.cit, hlm. 398.
[30]Muhammad Fuad Abdul Baqi, Op.cit, hlm. 216.

[31]Muhmmad Hasbi Ash-Syidiqi, Op.cit, hlm. 372.
[32]Ahmad Ibn Ali Abn Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, Juz II, Dar Al-Fikr, Beirut, t.th, hlm. 452.

[33]Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Op.cit, hlm. 316.

[34]Imam Malik bin Anas, Al-Muwatha’, Dar Al-Fikr, 1989, hlm. 225.
[35]Imam Nawawi, Al-Majmu’, Dar Al-Fikr, Beirut, Libanon, t.th, hlm. 241.

[36]Muhmmad Hasbi As-Syidiqi, Op.cit, hlm. 374.
[37]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz. 1, Asy-Syifa’, Semarang, 1990, hlm. 354.

[38]Ibid, hlm. 356.

[39]Sayid Sabiq, Op.cit, hlm. 242.
[40]Muhammad Bagir Al-Habsyi, Op.cit, hlm.211.

[41]Muhmmad Hasbi As-Syidiqi, Op.cit, hlm. 380. 

0 Response to "KETENTUAN UMUM TENTANG QASHAR SHALAT BAGI MUSAFIR"

Post a Comment