A. Tinjauan Umum Tentang Sholat Dhuha
1.
Pengertian Sholat Dhuha
Dalam kamus istilah agama sholat Dhuha adalah solat sunnat
yang dikerjakan pada waktu pagi (07.00-11.00), paling sedikit dua reka’at,
paling banyak 12 reka’at.[1]
Sedangkan pengertian sholat Dhuha
menurut para pemikir Islam adalah sebagai berikut :
a. Menurut Abdul Manan Bin H.Muhammad Sobari adalah :
“Sholat
Dhuha dikerjakan ketika matahari sedang naik, kurang lebih setinggi hasta (pukul
07.00 pagi) sampai dengan kurang lebih pukul 11.00 siang”.[2]
b. Menurut Drs. Sudarsono SH adalah
:
“Sholat
Dhuha adalah sholat pada waktu naik matahari yakni dua rekaat sekali, dua kali,
tiga kali, empat kali, sesudah naik matahari, kira-kira jam delapan dan
sembilan pagi”.[3]
c. Sedangkan Menurut Sayyid Sabiq adalah :
“Sholat
dhuha adalah ibadah yang di sunnatkan diwaktu matahari sudah naik kira-kira
sepenggalah dan berakhir di waktu matahari lingsir, paling sedikit dua rekaat
dan paling banyak dua belas rekaat”.[4]
Dari beberapa pendapat diatas dapat penulis simpulkan bahwa
sholat Dhuha adalah sholat sunnat yang dikerjakan pada waktu matahari sedang
naik (07.00 pagi) sampai dengan kurang lebih pukul 11.00 siang.
2. Keutamaan sholat Dhuha
Ada beberapa hadits yang menjelaskan tentang keutamaan
sholat dhuha, diantaranya adalah :
a. Dari Abu Dzar r.a. katanya
:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: يسبح على كل سلامى من احد كم صد قة, فكل تسبيحة صد
قة, وكل تحميد ة صد قة, وكل تهليلة صد قة, وكل تكبيرة صد قة, وامر بالمعروف صد فة,
ونهي عن المنكر صد قة, ويجزي من ذ لك ركعتان ير كعهما من الظحى.(رواه احمد ومسلم وابو
داود).
Artinya: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Hendaklah
masing-masing kamu setiap pagi bersedekah untuk setiap ruas tulang badannya.
Maka tiap kali bacaan tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah,
setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kebaikan
adalah sedekah, melarang keburukan adalah sedekah dan sebagai ganti dari semua
itu, cukuplah mengerjakan dua reka’at sholat Dhuha”.(HR. Ahmad, Muslim dan
Abu Daud)[5].
b. Ahmad dan
Abu Daud meriwayatkan dari Buraidah bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda :
فى
الانسان ستون وثلاثمائة مفصل عليه ان يتصد ق عن كل مفصل منها صد قة. قالوا فمن
الذى يطيق ذ لك يا رسول الله ؟ قال: النخامة فى المسجد يد فنها اوالشئ ينحيه عن
الطريق, فاان لم يقدر فركعتا الضحى تجزئ عنك.( رواه احمد وابو داود).
Artinya: Dalam diri manusia itu ada tigaratus
enampuluh ruas yang setiap darinya diharuskan bersedekah, para sahabat
bertanya: kalau begitu, siapa yang mampu berbuat demikian ya Rasulallah?
Rasulallah saw menjawab: mengeluarkan dahak dimasjid lalu ditanamnya atau menyingkirkan
sesuatu gangguan dari jalan, itu juga sedekah. Tetapi kalau engkau tidak bisa,
kerjakanlah dua rekaat dhuha karena dia mencukupi dari semua itu.(HR. Ahmad
dan Abu Daud).[6]
Syaukani berkata: dua hadits diatas menunjukkan betapa besar
keutamaan sholat Dhuha, betapa tinggi kedudukannya serta betapa keras syari’at
menganjurkannya. Dua reakaat sholat Dhuha dapat menggantikan tigaratus
enampuluh kali sedekah, oleh sebab itu hendaknya dilaksanakan secara terus
menerus. Juga memberikan petunjuk agar kita memperbanyak tasbih, tahlil,
tahmid, menyuruh kebaikan, melarang yang mungkar, menanam dahak di masjid,
menyingkirkan setiap gangguan di jalan dan lain-lain kebaktian agar dengan
demikian terpenuhilah sedekah-sedekah yang diharuskan atas setiap orang tiap harinya.
c. Dalam
hadits Bukhari dan Muslim terdapat riwayat dari Abu Hurairah bahwa beliau
berkata :
او صانى خليلى بثلاث صيام ثلاثة ايام من
كل شهر وركعتى الضحى وان او تر قبل ان انام.
Artinya: “Kekasihku telah berwasiat kepadaku tentang tiga
perkara, yaitu puasa tiga hari setiap bulan, dua reka’at sholat dhuha dan agar
saya sholat witir sebelum tidur”.[7]
Ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Turmudzi, Abu Dawud dan
Nasa’i dari Nu’aim al Ghotfani dengan sanad yang baik. Adapun lafazh Turmudzi
dari Rasulullah saw dari Allah Yang Maha Suci dan luhur yaitu:[8]
“Sesungguhnya Allah telah berfirman: “Wahai
anak adam, bersembahyanglah untukku empat rekaat pada permulaan siang, niscaya
akan kucukupi kebutuhanmu pada sore harinya”.
Dari uraian hadits diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa
kita sebagai anak Adam jangan sekali-kali malas mengerjakan empat rekaat pada
permulaan siang, karena Allah sudah berjanji akan dicukupi kebutuhan kita pada
sore harinya. Juga memberikan petunjuk pada kita agar berpuasa tiga hari pada
setiap bulan, mengerjakan dua rekaat Dhuha dan melaksanakan sholat witir
sebelum tidur.
d. Hadits riwayat Bukhori dan Muslim
:
وعن ام هانئ فاختة
بنت ابى طالب رضىالله عنها قالت: ذ هبت الى رسول الله ص.م عام الفتح فوجد ته يغتسل
فلما فرغ من غسله صلى ثمان ركعات وذ لك ضحى.(متفق عليه)
Artinya: Dari Ummu Hanik binti Abu Thalib ra, ia berkata: “pada
penaklukan kota Makkah saya datang kepada
Rasulullah saw. Dan saya dapatkan beliau sedang mandi, beliau sholat sunnat
delapan reka’at.sholat itu adalah sholat dhuha”.[9]
ada satu
hadits lagi yang menjelaskan tentang keutamaan sholat Dhuha sebagai berikut :
من حافضا على شفعة
الضحى غفرله ذنوبه وان كانت مثل زبد البحر.(رواه ترمذى)
Artinya:
Siapa saja yang dapat mengerjakan sholat dhuha dengan langgeng akan diampuni
dosanya itu sebanyak buih dilaut.(HR. Turmudzi).[10]
3. Dasar Hukum Sholat Dhuha.
Sholat dhuha itu adalah ibadah yang disunnatkan. Kerena itu
barang siapa yang menginginkan pahalanya, baiklah mengerjakannya dan kalau
tidak, tidak ada halangan pula meninggalkannya.
Dari Abu Said r.a. katanya
:
كان
صلى الله عليه وسلم يصلى الضحى حتى نقول لا يد عها ويد عها حتى نقول لا يصليها.(رواه الترمذى وحسن)
Artinya: “Rasulullah Saw selalu bersembayang dhuha
sampai-sampai kita mengira bahwa beliau tidak pernah menginggalkannya, ttetapi
kalau sudah meninggalkan sampai-sampai kita mengira bahwa beliau tidak pernah
mengerjakannya. (Di riwayatkan oleh Turmudzi yang mengganggapnya sebagai
hadits hasan).[11]
يسن الضحى لقوله تعالى: يسبحن بالعشى
والعسراق. قال ابن عباس. صلا ة العسراق صلا ة الضحى.
Artinya: Sunnat sholat dhuha, sebagaimana firman Allah yang artinya
: “ Mereka memaha-sucikan Allah di sore hari dan di waktu isroq.” Ibnu Abbas
menjelaskan: Sholat isroq adalah sholat dhuha.[12]
4. Waktu dan Bilangan Sholat
Dhuha.
Permulaan waktu dhuha itu adalah waktu matahari sudah naik
kira-kira sepenggalah dan berakhir di waktu matahari lingsir, tetapi disunatkan
mengundurkannya sampai matahari agak tinggi dan panas agak terik.
Dari Zaid bin Arqom r.a katanya :
خرج النبى صلى الله
عليه وسلم على اهل قباء وهم يصلون الضحى فقال: صلاة الا ؤا بين اذا رمضت الفصال من
الضحى. ( رواه
احمد ومسلم وتر مذى ).
Artinya: “Nabi Saw ke luar menuju tempat ahli quba’.
Dikala itu mereka sedang bersembahyang dhuha. Beliau lalu bersabda: “ini adalah
sholat orang–orang yang sama kembali pada Allah yakni diwaktu anak-anak unta
telah bangkit karena kapanasan waktu dhuha”.)Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan
Turmudzi).[13]
Bilangan sholat Dhuha
sedikit-dikitnya ialah dua rekaat sebagaimana tersebut dimuka dalam hadits Abu
Dzar, dan sebanyak-banyaknya yang dikerjakan oleh Rasulullah ialah delapan
rekaat.
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa
tidak ada batas bilangan rekaat sholat Dhuha. Ini adalah pendapat Abu
Ja’far Thabari, Humaini dan Ruyani dari
golongan Syafi’i. Dalam syarah Turmudzi, Al-Iraqi berkata: saya tidak pernah
melihat seorangpun baik dalam golongan sahabat atau tabi’in yang membatasinya
hanya sampai dua belas rekaat. Demikian yang disampaikan oleh suyuthi. Said bin
Manshur sewaktu ditanya: apakah sahabat Rasulallah Saw juga mengerjakan itu?.
Ia menjawab: ya, diantara mereka ada yang mnegerjakan sebanyak dua belas
rekaat, ada yang empat rekaat dan ada pula yang terus – menerus mengerjakan
sampai tengah hari.[14]
Diriwayatkan dari Ibrahim an-Nakh’i
bahwa ada seorang yang bertanya kepada Aswad bin Yazid: “berapa rekaatlah saya harus mengerjakan sholat Dhuha? ” Ia
menjawab: sesuka hatimu.
Dari Ummu Hani’:
ان النبى صلى الله و
سلم صلى سبحة الضحى ثما نى ركعات يسلم من كلى ركعتين.( رواه احمد داود با
سناد صحيح
).
Artinya: “Bahwa Nabi saw mnegrjakan sholat dhuha
sebanyak delapan rakaat dan tiap raakaat salam”.(Diriwayatkan oleh Abu Daud
dengan isnad shahih).
Dari Aisyah r.a katanya :
كان النبى صلى الله
عليه وسلم يصلى الضحى اربع ركعات ويزيد ما شاء الله .(رواه ومسلم وابن ماجه).
Artinya: “Nabi Saw mengerjakan sholat dhuha empat rekaat
dan tambahanya seberapa yang dikehendaki Allah”. (Diriwatyatkan oleh Ahmad,
Muslim dan Ibnu Majah).
B. Tinjauan Umum Tentang
Etos Kerja
1. Pengertian Etos Kerja
Dalam kamus besar bahasa Indonesia
etos adalah pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial.[15]
Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos)
yang mempunyai arti sebagai sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap serta
persepsi terhadap nilai bekerja.[16]
Dari kata ini lahirlah apa yang disebut “ethic” yaitu, pedoman, moral,
perilaku, atau dikenal pula etiket yang artinya cara bersopan santun.
Pengertian kamus bagi perkataan
“etos” menyebutkan bahwa ia berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang bermakna
watak atau karakter.[17]
Maka secara lengkapnya “etos” ialah karakteristik dan sikap, kebiasaan serta
kepercayaan, dan seterusnya, yang bersifat khusus tantang seorang individu atau
kelompok manusia.
Sedangkan, yang dimaksud kerja adalah
suatu usaha yang dilakukan seseorang, baik sendiri atau bersama orang lain,
untuk memproduksi suatu komoditi atau memberikan jasa.[18]
Kerja dalam pengertian luas adalah
semua bentuk usaha yang dilakukan manusia baik dalam hal materi atau
non-materi, intelektual atau fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan
masalah keduniaan atau keakhiratan.[19]
Makna “kerja” bagi seorang muslim adalah suatu
upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh aset, pikir, dan
dzikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba
Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari
masyarakat yang terbaik (khoiru ummah).[20]
Dari uraian diatas dapat penulis
simpulkan bahwa yang dimaksud etos kerja adalah karakteristik dan sikap serta
kebiasaan seseorang dalam melakukan usaha untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan
rohani serta tujuan tertentu, dengan mengerahkan aset, pikir, dan dzikirnya
untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah.
2.
Dalil (dasar) Tentang Etos Kerja
Firman Allah yang menjadi dasar hukum
tentang etos kerja adalah:
فاذا
قضيت الصلوة فانتشروا فىالارض وابتغوا من فضل الله واذ كرواالله كثيرالعلكم تفلحون
(الجمعه:10)
Artinya: “Apabila telah ditunaikan
sembahyang, maka bertebarlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.(Q.S. Al-Jumu’ah: 10).[21]
وقل اعملوا فسيرى الله عملكم ورسوله
والمؤمنون وستردون الى علم الغيب والشهادة فينبئكم بما كنتم تعملون (التوبه:105)
Artinya: Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah
dan Rasulnya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu
akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghoib dan nyata,
lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.(Q.S.
At-Taubah:105).[22]
اعمل عمل امرى يظن ان
لن يموت ابدا واخذر حذر امرى يخس ان يموت غدا (رواه البيهقى عن ابن امير
)
Artinya: “Bekerjalah seperti kerja orang yang meyangka
dia tidak akan mati selamanya, dan berhati-hatilah seperti hati-hati orang yang kuatir ia mati besok pagi”.(
H.R. Baihaqi dari Ibnu Amr).[23]
Dari ayat dan sabda Nabi tersebut dapat diambil suatu
kesimpulan, bahwa persyaratan agar manusia bisa mempertahankan eksistensinya di
dunia ini, maka harus terus-menerus dan berencana meningkatkan dirinya untuk
menciptakan hari esok yang lebih baik dan mulia dalam kehidupan di dunia dan
akhirat. Jelaslah mereka harus bekerja yang lebih baik dan selalu mendekatkan
diri kepada Allah.
3.
Komponen
Dasar Etos Kerja
a. Iman dan Taqwa
Yang dinamakan iman adalah meyakini di dalam hati,
menyatakannya dengan lesan, dan malaksanakannya dengan perbuatan.[24]
Kata taqwa (al-taqwa) dan kata-kata kerja serta kata-kata
benda yang dikaitkan dengannya memiliki tiga arti, menurut Abdullah Yusuf Ali
pertama, takut kepada Allah, merupakan awal dari ke’arifan. Kedua, menahan atau
menjaga lidah, tangan dan hati dari segala kejahatan. Ketiga, ketaqwaan,
ketaatan dan kelakuan baik.[25]
Setiap pribadi muslim harus menyakini bahwa nilai iman dan
taqwa akan terasa kelezatannya apabila secara nyata dimanifestasikan dalam
bentuk amal sholeh atau tindakan kreatif dan prestatif. Iman dan taqwa
merupakan energi batin yang memberi cahaya pelita untuk mewujudkan identitas
dirinya sebagai bagian dari umat yang terbaik.
Dalam Al-qur’an banyak memuat ayat yang manganjurkan taqwa
dalam setiap perkara dan pekerjaan. Ayat-ayat tentang keimanan selalu diikuti
dengan ayat-ayat kerja, demikian pula sebaliknya. Ayat seperti “orang-orang
yang beriman” diikuti dengan ayat “dan mereka yang beramal sholeh”. Jika Allah
SWT ingin menyeru kepada orang-orang mukmin dengan nada panggilan seperti
“Wahai orang-orang yang beriman”, maka biasanya diikuti oleh ayat yang
berorentasi pada kerja dengan muatan ketaqwaan, di antaranya, “keluarkanlah
sebagian dari apa yang telah kami anugerahkan kepada kamu”, “janganlah kamu
ikuti/rusakkan sedekah-sedekah (yang telah kamu keluarkan) dengan olokan-olokan
dan kata-kata yang menyakitkan” ; “wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kamu kepada Allah”.[26]
Keterkaitan ayat-ayat tersebut memberikan pengertian bahwa
taqwa merupakan dasar utama etos kerja, apapun bentuk dan jenis pekerjaan, maka
taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan kerja dengan iman berarti mengucilkan
Islam dari aspek kehidupan dan membiarkan kerja berjalan pada wilayah
kemaslahatannya sendiri, bukan dalam kaitannya perkembangan individu, kepatuhan
dengan Allah, serta pengembangan umat manusia.
Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai etos
yang harus diikutsertakan di dalamnya, oleh karena kerja merupakan bukti adanya
iman dan parameter bagi pahala dan siksa. Hendaknya para pekerja dapat meningkatkan
tujuan akhir dari pekerjaan yang mereka lakukan, dalam arti bukan sekedar
mencari upah dan imbalan, karena tujuan utama kerja adalah demi memperoleh
keridhaan Allah SWT sekaligus berkhidmat kepada umat. Prinsip inilah yang
terutama dipegang teguh oleh umat Islam, sehingga hasil pekerjaan mereka
bermutu dan monumental sepanjang zaman.
Etos kerja yang disertai dengan ketaqwaan merupakan tuntunan
Islam. Hal ini telah dipratikkan oleh umat Islam pada masa yang gemilang,
ketika Islam mampu mendominasi dunia kerja dan mempengaruhi hati manusia
sekaligus. Sehingga seluruh aktifitas umat Islam tidak lepas dari nilai-nilai keimanan.[27]
2. Niat (komitmen)
Pembahasan mengenai pandangan Islam tentang etos kerja
barang kali dapat dimulai dengan usaha menangkap makna sedalam-dalamnya sabda
Nabi yang amat terkenal bahwa nilai setiap bentuk kerja itu tergantung kepada
niat-niat yang dipunyai pelakunya, jika tujuannya tinggi (tujuan mencari ridha
Allah) maka iapun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya
rendah (hanya bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka), maka
setingkat tujuan itu pulalah nilai kerjanya tersebut.[28]
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang sesuai
dengan dengan tinggi rendah nilai komitmen yang dimilikinya. Dan komitmen atau
niat adalah suatu bentuk pilihan dan keputusan pribadi yang dikaitkan dengan
sistem nilai (value system) yang dianutnya. Oleh karena itu komitmen
atau niat juga berfungsi sebagai sumber dorongan batin bagi seseorang untuk
mengerjakan sesuatu dengan sunggguh-sungguh.
Telah dikatakan bahwa niat atau komitmen ini merupakan suatu
keputusan dan pilihan pribadi, dan menunjukkan keterikatan kita kepada
nilai-nilai moral serta spiritual dalam pekerjaan kita. Karena nilai-nilai
moral dan spiritual itu bersumber dari Allah dengan ridha atau perkenan-Nya,
maka secara keagamaan semua pekerjaan dilakukan dengan tujuan memperoleh
ridho dan perkenan Allah itu. Oleh
karena itu, sebaiknya diberi penegasan bahwa pekerjaan yang dilakukan tanpa
tujuan luhur yang terpusat pada usaha mencapai ridho Allah berdasarkan iman
kepadanya itu adalah bagaikan fartamurgana. Yakni, tidak mempunyai nilai-nilai
atau makna yang suptansial apa-apa.
4.
Konsep Islam Tentang Etos Kerja
Sebagai agama yang bertujuan
mengantarkan hidup manusia kepada kesejahteraan dunia dan akhirat, lahir dan
bathin, Islam telah membentangkan dan merentangkan pola hidup yang ideal dan
praktis. Pola hidup Islami tersebut dengan jelas dalam Alqur’an dan terurai
dengan sempurna dalam sunnah Rasulullah SAW.[29]
Itulah sebabnya, penghargaan Islam
terhadap budaya kerja bukan hanya sekedar pajangan alegoris, penghias retorika,
pemanis bahan pidato, indah dalam pernyataan tetapi kosong dalam kenyataan.
Islam membuka pintu kerja setiap
muslim agar ia dapat memilih amal yang sesuai dengan kemampuannya, pengalaman,
dan pilihannya. Islam tidak membatasi suatu pekerjaan secara khusus kepada
seseorang, kecuali demi pertimbangan kemaslahatan masyarakat. Islam tidak akan
menutup peluang kerja bagi seseorang, kecuali bila pekerjaan itu akan merusak
dirinya atau masyarakat secara fisik atau pun mental. Setiap pekerjaan yang
merusak diharamkan oleh Allah.[30]
Huizinga mengatakan bahwa manusia
adalah homo ludens, yaitu pribadi yang bebas menentukan sikap dan memilih obyek
dunia sebagai bahan kreatifitas dan permainan (ludens), maka muslim
mengatakan bahwa manusia adalah khalifatullah, wakil Allah yang bebas
menentukan pilihannya sesuai dengan kerangka Qur’ani dan sunnah, sehingga
dirinya tampil untuk mempermainkan dunia, dan bukan sebaliknya dimana dunia
mempermainkan dirinya karena setiap muslim sadar bahwa dirinya tidak mungkin
tenggelam dalam arus permainan dunia (al-dunya la’ibun wa lahwun).[31]
Sedangkan kesadaran bekerja akan melahirkan
suatu perbaikan (improvement) untuk meraih nilai yang lebih bermakna,
dia mampu menuangkan idenya dalam bentuk perencanaan, tindakan, serta melakukan
penilaian dan analisa tentang sebab dan akibat dari aktivitas yang dilakukan (managerial
aspect).
Dengan cara pandang seperti ini,
sadarlah bahwa setiap muslim tidaklah akan bekerja hanya sekedar untuk
bekerja; asal mendapat gaji, dapat surat pengangkatan atau sekedar menjaga
gengsi supaya tidak disebut sebagai penganggur. Karena, kesadaran bekerja
secara produktif serta dilandasi semangat tauhid dan tanggung jawab uluhiyah
merupakan salah satu ciri yang khas dari karakter atau kepribadian seorang
muslim.
Ajaran sunnah yang mangatakan “tangan
di atas lebih mulia dari pada tangan di bawah”, seakan-akan menghantui dirinya,
menggedor dan menggapai-gapai untuk selalu tampil sebagai subyek yang terbaik.
Dia tidak akan merasa nista apabila dalam hidupnya tak mampu memberikan makna
pada lingkungannya, bahkandia merasa tak berharga apabila harus hidup sebagai
benalu yang hidupnya statis apalagi harus menjadi peminta-minta. Terkenanglah
dia akan ucapan Nabiyullah Muhammad SAW yang bersabda :
وعن ابى هر يرة
رضىالله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لان يحتطب احدكم حزمة على ظهره
خيرله من ان يسال احدا فيعطيه او يمنعه (متفق عليه)
Artinya: “Andainya seseorang mencari kayu bakar dan
dipikulkan diatas punggungnya, hal itu lebih baik dari pada kalau ia
meminta-minta pada seseorang yang kadang-kadang diberi, kadang pula ditolak”.(Diriwayatkan
oleh Bukhori dan Muslim).[32]
Setiap muslim menyadari bahwa dirinya hanya berharga apabila
ia berkarya, mencipta dan mampu memberikan arti pada lingkungannya. Maka
terkenanglah dirinya akan nasehat sabda suci Rasulullah SAW yang mengatakan :
المؤمن
القوي خير واحب الى الله من المؤمن الضعيف
Artinya: “Bahwa mukmin yang kuat itu labih baik dan
lebih dicintai Allah dari pada mukmin yang lemah”.
Salah satu kebahagiaannya yang paling
berbunga apabila dirinya mampu mengangkat yang lemah, memberi cahaya bagi
mereka yang kegelapan, menjadi tongkat bagi mereka yang buta, dan kalau perlu tampillah dia
sebagai pohon yang rindang ditengah padang tandus untuk tempat penghentian dan
berlindungnya para musafir yang kepanasan dan ingin melepas rasa lelah dan
dahaganya.
Bekerja adalah manifestasi kekuatan
iman. Karena dorongan firman Allah yang
bersabda:
قل
يقوم اعملوا على مكانتكم اني عامل فسوف تعلمون (الزّمر: 39)
Artinya: “Katakanlah: Hai kaumku, bekerjalah sesuai
dengan keadaanmu masing-masing. Sesungguhnya akupun bekerja, maka kelak kamu
akan mengetahui”.( Q.S. az-Zumar:39 ).[33]
Ayat diatas adalah perintah (amar) dan karenanya mempunyai
nilai hukum “wajib” untuk dilaksanakan. Siapapun mereka yang secara pasif
berdiam diri tidak mau berusaha untuk bekerja, maka dia telah menghujat
perintah Allah, dan sadar atau tidak, sesungguhnya orang tersebut telah menggali
kubur kenistaan bagi dirinya.
Pada kurun waktu kenabian dan awal
kebangkitan Islam sangat jelas terlihat bahwa penghargaan atas makna bekerja
telah diterima oleh para pengikut Rasul dengan sikap sami’na wa ato’na.
Hal ini terlihat dari sikap keteladanan Rasul yang merupakan suatu cacatan
sejarah paling monumental dalam hal kebanggaan bekerja dan semangat untuk
berprestasi atas dasar hasil keringatnya sendiri.
Rasulullah bersabda :
وعن المقدام بن
معديكرب رضىالله عنه عن النبى صل الله عليه وسلم قال:ماكل احد طعاما قط خيرا من ان
ياكل من عمل يديه وان نبيالله داود عليه السلام ياكل من عمل يديه (رواه البخارى)
Artinya: “Tiada seorang pun yang makan makanan yang
lebih baik dari pada makan yang diperoleh dari hasil dari keringatnya sendiri.
Sesungguhnya Nabi Allah Daud AS itu pun makan dari hasil karyanya sendiri”.(H.R.
Bukhori)
Bekerja untuk mencari fadhilah
karunia Allah, menjebol kemiskinan, meningkatkan taraf hidup dan martabat serta
harga diri adalah merupakan nilai abadah yang esensial, karena Nabi bersabda: “Kemiskinan
itu sesungguhnya lebih mendekati kepada kekufuran”.
Bekerja adalah segala aktivitas
dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan
rohani), dan didalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan
untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada
Allah SWT.
Dikatakan sebagai aktivitas dinamis,
mempunyai makna bahwa seluruh kegiatan yang dilakukan seorang muslim harus
penuh dengan tantangan (chollenging), tidak monoton, dan selalu berupaya
untuk mencari terobosan-terobosan baru (innovative) dan tidak pernah
merasa puas dalam berbuat kebaikan.
Ibarat meneguk air laut, kian diteguk
tarasa kian haus pula rasanya. Islam adalah agama yang bergerak dinamis penuh
energi, dan tidak pernah mengenal kamus “berhenti dalam berbuat kebaikan,
menggapai prestasi Ilahiyah”, karena tempat perhentian seperti itu, hanyalah
kelak di pekuburan sepi, dimana diri kita terasa kaku dan beku terbujur
sendirian.
Demikianlah bahwa sikap yang paling
agresif dalam etos kerja muslim adalah sikap mental yang selalu siap untuk
melontarkan sebuah jawaban: “Inilah pekerjaan dan hasil prestasiku, semoga apa
yang kuperbuat memberikan nilai sebagai rahmatan Lil ‘Alamiin, dan semoga Allah
mencatatnya sebagai amal saleh”. Penghargaan Islam atas hasil karya dan upaya
manusia untuk bekerja ditempatkan pada dimensi yang setara setelah iman, bahkan
bekerja dapat menjadikan jaminan diampuninya dosa-dosa manusia,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
من
امسى كا لامن عمل يديه امسى مغفورا.(رواه الطبرانى و البيهقى)
Artinya: “Barang siapa yang di waktu sorenya merasakan
kelelahan karena bekerja, berkarya dengan tangannya sendiri, maka diwaktu sore
itu pulalah ia terampuni dosanya”.(Riwayat Tabrani dan Baihaqi).
Bertebaran ayat dan hadits yang memuliakan orang-rang yang
bekerja dan seharusnya menjadi dorongan bagi pemeluknya untuk menghayati dan
menjadikan etos kerja ini sebagai bagian dari setiap tetesan darahnya, sehingga
tampillah dia sebagai manusia muslim yang menyandang gelar syuhada ‘alan naas.
C. Tinjauan Umum Tentang Bimbingan dan Konseling Islam
1. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam
a.
Pengertian Bimbingan Islam.
Kata bimbingan adalah terjemahan dari kata bahasa inggris “guidance”
yang berasal dari kata kerja “to guide” yang artinya menunjukkan, atau
menuntun orang lain, memberi jalan, atau menuntun orang lain kearah tujuan yang
lebih manfaat bagi kehidupannya dimasa kini dan akan datang.[34]
Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikemukakan beberapa
pendapat para ahli tentang pengertian bimbingan secara umum dan Islam sebagai
berikut :
Menurut priyatno dan Erman amti bimbingan adalah proses
pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau
beberapa orang, baik anak-anak, remaja maupun dewasa, agar orang yang dibimbing
dapat mengembangkan kamampuan dirinya sensiri dan mandiri, dengan memanfaatkan
kakuatan individu dan sarana yang dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma
yang berlaku.[35]
Menurut Bimo Walgito bimbingan adalah bantuan atau pertolongan
yang diberikan kepada individu atau sekumpulan individu-individu dalam
menghindari atau mengatasi kesulitan-kesulitan didalam kehidupannya agar
individu atau sekumpulan individu itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya.[36]
Sedangkan menurut Muhammad Surya bimbingan adalah suatu
proses pemberian bantuan yang terus-menerus dan sistematis dari pembimbing
kepada orang yang dibimbing agar mencapai kemandirian dalam pemahaman diri,
penerimaan diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat
perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dalam lingkungan.[37]
Dari beberapa pengertian bimbingan tersebut diatas maka
dapat penulis ambil kesimpulan bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian
bantuan yang dilakukan oleh orang ahli kepada individu atau beberapa orang agar
mampu mengembangkan potensi yang ada ada dalam dirinya, sehingga mereka mampu
mengatasi permasalaham-permasalan yang dihadapi dan mampu menentukan sendiri
jalan hidupnya, tanpa bergantung kepada orang lain dengan bertanggung jawab.
Rumusan tersebut merupakan konsep bimbingan secara umum,
sedangkan dalam penelitian ini bimbingan yang penulis teliti adalah bimbingan
Islam, oleh karena itu perlu penulis kemukakan pengertian bimbingan dari sudut
pandang Islam sebagaimana telah dirumuskan oleh Thohari Musnamar dalam bukunya
“Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam”. Bimbingan Islam adalah
proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan
ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga
dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.[38]
Bimbingan Islam merupakan proses pemberian bantuan, artinya bimbingan tidak
menentukan atau mengharuskan, melainkan sekedar membantu individu. Individu
yang dibantu dan dibimbing agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan
petunjuk Allah, maksudnya adalah.
1. Hidup selaras dengan ketentuan Allah artinya sesuai dengan
kodratnya yang ditentukan oleh Allah, sesuai dengan sunnatullah, sesuai dengan
hakekatnya sebagai makluk Allah.
2. Hidup selaras dengan petunjuk Allah artinya sesuai dengan
pedoman yang telah ditentukan Allah melalui rosulnya.
3. hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah berarti
menyadari eksistensinya mengabdi dalam arti seluas-luasnya.[39]
Dengan menyadari eksistensinya sebagai makluk Allahyang
demikian itu berarti yang bersangkutan dalam hidupnya akan berperilaku yang
tidak keluar dari ketentuan Allah maka akan tercapai kehidupan yang bahagia di
dunia dan di akhirat.
Dengan demikian bimbingan Islam merupakan proses bimbingan
sebagaimana kegiatan bimbingan yang lainnya, tetapi dalam seluruh seginya
berlandaskan ajaran Islam.
b. Pengertian
konseling Islam.
Kata Konseling berasal dari bahasa inggris yaitu “caunseling”
sedang kata “caunseling” dari kata “to caunsel” yang artinya
memberikan nasehat kepada orang lain secara face to face dan juga bisa
diartikan advice yang artinya nasehat atau petuah.[40]
Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikemukakan beberapa
pendapat tentang pengertian konseling secara umum dan Islam sebagai berikut :
Menurut Prayitno dan Erman Amti Konseling adalah proses
pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli
(konselor) kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah (klien), yang
bermuara pada suatu masalah yang dihadapi oleh klien.[41]
Menurut Hasan Langgulung konseling adalah proses yang
bertujuan menolong seseorang yang mengidap kegoncangan emosi, sosial yang belum
sampai pada tingkat kegoncangan psikologi (kegoncangan akal), agar ia dapat
menghindari diri padanya.[42]
Sedangkan Robinson merupakan semua bentuk hubungan antara
dua orang dimana yang seorang yaitu klien dibantu untuk lebih mampu
menyesuaikan diri secara efektif terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya.[43]
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
konseling adalah suatu proses pemberian bantuan kepada seseorang yang mengalami
masalah, agar individu atau seseorang yang mengalami masalah tersebut dapat
mengatasi masalah yang dihadapinya.
Setelah mengetahui pengertian konseling dari sudut pandang
umum, maka perlu dikemukakan pengertian konseling dari sudut pandang Islam yang
dirumuskan oleh M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky dalam bukunya “Psikoterapi dan
Konseling Islam”. Konseling Islam adalah suatu aktivitas memberikan bimbingan
pelajaran dan pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal
bagaimana seharusnya seorang klien dapat mengembangkan potensi akal pikirannya,
kejiwaan, keimanan dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika hidup
dan kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri dan berparadigma kepada
Al-qur’an dan Al-hadits.[44]
2.
Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling Islam
Dalam melangkah pada suatu usaha, biasanya diperlukan dasar,
karena dasar merupakan titik pijak untuk melangkah kesuatu tujuan, yaitu sebuah
usaha yang berjalan baik dan terarah. bimbingan dan konseling Islam juga
merupakan sebuah usaha yang memiliki dasar utama pada Alqur’an dan Hadits yang
mana keduanya merupakan sumber pedoman kehidupan umat Islam.[45]
Al-qur’an dan hadits mengajarkan kepada manusia agar memberi bimbingan
dan nasehat, sehingga wajar kedua hal tersebut merupakan landasan ideal dan
konseptual bimbingan dan konseling Islam.
Firman Allah:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي
الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ (يونس:57)
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuhan bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman.(Q.S. Yunus: 57).[46]
Dan ayat lain menyebutkan
bahwasanya :
وَأَوْحَيْنَا إِلَى
مُوسَى أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي إِنَّكُمْ مُتَّبَعُونَ (الشعراء:52)
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada
jalan yang lurus”.(Q.S.As-Syura: 52)[47]
Ayat-ayat tersebut memberi
petunjuk pada kita bahwa bimbingan dan konseling Islam disamping perlu untuk
orang lain, juga perlu untuk diri kita sendiri
karena dimungkinkan bahwa keberhasilannya dipandang sebagai salah satu
tugas dari ciri jiwa orang yang beriman. Bimbingan dan konseling Islam
merupakan pengetahuan yang sangat esensial didalam bimbingan dan konseling
islam sehingga perlu diketahui oleh semua manusia. Sesuai firman Allah dalam
Al-qur’an al- Ashr ayat 1-3 yang berbunyi :
وَالْعَصْر, إِنَّ الْأِنْسَانَ لَفِي
خُسْرٍ, إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا
بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.(العصر:3-1)
Artinya:
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan nasehat menasehati supaya menaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.(Q.S. Al-Ashr:
1-3) [48]
3.
Fungsi Bimbingan dan
Konseling Islam.
Fungsi bimbingan dan konseling
ditinjau dari sifatnya hanya merupakan bantuan, karena individu yang mengalami
masalah itulah yang mewujudkan dirinya sebagai makluk yang seutuhnya, maksudnya
hanya individu itulah yang dapat menyelesaikan masalahnya, sedangkan bimbingan
dan konseling Islam hayalah membantu. Dari hal ini Thohari Musnawar memberikan
rumusan tentang fungsi bimbingan dan konseling Islam yang dikelompokkan dalam
empat bagian :
a.
Fungsi preventif: yakni
membantu individu menjaga atau mencegah timbulnya masalah bagi dirinya.
b.
Fungsi kuratif atau
korektif: yakni membantu individu memecahkan masalah yang sedang dihadapi atau
dialami.
c.
Fungsi preservatif: yakni
membantu individu menjaga agar situasi dan kondisi yang semula tidak baik
(mengandung masalah) telah menjadi baik (terpecahkan) itu kembali menjadi baik.
d.
Fungsi development atau
pengembangan: yakni membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi dan
kondisi yang telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak
memungkinkannya menjadi sebab munculnya masalah baginya.[49]
4. Tujuan Bimbingan dan
Konseling Islam.
Secara garis besar atau secara umum, tujuan bimbingan
konseling Islam itu dapat dirumuskan sebagai “membantu individu mewujudkan
dirinya sebagai menusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
di akhirat”.
Bimbingan dan konseling Islam berusaha membantu, mencegah
jangan sampai individu mengalami masalah, sehingga ketika individu mengalami
masalah maka berusaha untuk membantu memecahkan masalah tersebut. Bimbingan dan
konseling Islam mempunyai dua tujuan sebagaimana yang dikemukakan oleh Thohari
Musnamar, Yaitu:
a. Tujuan Umum; Membantu individu mewujudkan dirinya menjadi
manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
b. Tujuan Khusus; Membantu individu agar tidak menghadapi masalah.
Membantu individu mengatasi
masalah yang sedang dihadapinya.
Membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi yang
dan kondisi yang baik atau yang telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih
baik, sehingga tidak terjadi masalah bagi dirinya dan orang lain.[50]
Selain itu M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky menyatakan bahwa
tujuan bimbingan dan konseling Islam
adalah :
a. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan, kesehatan dan
kebersihan jiwa dan mental. Jiwa menjadi tenang, jinak dan damai, bersikap
lapang dada dan mendapatkan pencerahan taufik hidayah dari tuhannya.
b. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan dan kesopanan
tingkah laku yang dapat memberikan manfaat baik bagi diri sendiri, lingkungan
keluarga, lingkungan kerja maupun lingkungan sosial dan alam sekitar.
c. Untuk menghasilkan kecerdasan rasa pada individu sehingga muncul
dan berkembang rasa toleransi, keistimewaan, tolong menolong dan rasa kasih
sayang.
Untuk menghasilkan kecerdasan spiritual pada diri individu
sehingga muncul dan berkembang rasa keinginan untuk berbuat taat pada Tuhannya,
ketulusan mematuhi segala perintah-Nya serta ketabahan menerima ujian-Nya.[51]
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa tujuan bimbingan dan
konseling Islam adalah :
a. Membantu individu mewujudkan dirinya menjadi manusia seutuhnya
agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
b. Membantu individu agar dapat menghadapi masalah dengan teguh dan
tanggung jawab.
c. Membantu individu memelihara dan mengembangkan dirinya dari
situasi dan kondisi yang baik atau telah baik menjadi lebih baik lagi bagi
dirinya dan orang lain.
[1]
Drs. M Shodik, Kamus Istilah Agama, Bonafida Cipta Pratama, Jakarta,
1991, hlm. 305.
[2]
Abdul Manan bin H. Muhammad Sobari, Rahasia Solat Sunnat: Bimbingan Lengkap
dan Praktis, Pustaka Hidayah,
Bandung, 2003, hlm. 66.
[3]
Drs. Sudarsono SH , Sepuluh Pokok Aspek Agama Islam, PT Reneka Cipta,
Jakarta, 1994, hlm. 68.
[4]
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah II,
terjemahan Mahyudin Syaf, PT Al-Ma’arif, Bandung, 1994, hlm. 68.
[5]
Saiyid Sabiq, Fiqih sunnsh II, Terjemahan Mahyudin Syaf, PT Al-Ma’arif,
Bandung, 1994, hlm. 65
[6]
Abdul Manan bin H. Muhammad Sobari, Op. Cit, hlm. 67-68.
[7]
Al-imam Taqiyuddin Abubakar Alhusaini, Kifayatul Akhyar I, Terjemahan
Anas Thohir Syamsuddin, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984, hlm. 179.
[8]
Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm. 66.
[9]
Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin jilid II, Terjemahan Ahmad Sunarto,
Pustaka Amani, Jakarta, 1994, hlm. 189.
[10]
Abdul Manan bin H. Muhammad Sobari, Op Cit, hlm. 69.
[11]
Saiyid Sabiq, Op. Cit, hlm. 68.
[12]
Fathul Mu’in I, terjemahan Drs. H. Aliy As’ad, Menara Kudus, Kudus,
1980, hlm. 243.
[13]
Sayyid Sabiq, Op Cit, hlm. 68.
[14]
Ibid, hlm. 69.
[15]
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim
Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, 1993, hlm. 237.
[16] Drs H. Toto Tasmara, Op Cit, hlm. 25.
[17]
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradapan, Yayasan Wakaf Paramadina,
Jakarta, 1992, hlm. 410.
[18]
DR Yusuf Qordhowi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Gema Insani Press,
Jakarta, 1995, hlm. 51.
[19]
DR Abdul Aziz Alkhayyat, Etika Bekerja Dalam Islam, Gema Insani Press,
Jakarta, 1994, hlm. 13.
[20]
Drs H. Toto Tasmara, Op Cit, hlm. 27.
[21]
Departeman Agama R I, Op Cit, hlm. 933.
[22]
Ibid, hlm. 298.
[23]
Jalaluddin Abdul Rahman as-Suyuthi, Jami’us Shaghir, Al-ma’arif,
Bandung, tt., hlm. 48.
[24]
K.H. Toto Tasmara, Op Cit, hlm. 2.
[25]
Syahrin Harahab, Islam Dinamis, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996, hlm.
110.
[26] DR. Abdul Aziz Alkhayyat,
Op. Cit, hlm. 28.
[27]
DR. Abdul Aziz Alkhayyat, Op Cit, hlm. 29.
[28] Nurcholish
Madjid, Op. Cit, hlm. 412.
[29]
DR H. Ya’qub Hamzah, Etos Kerja
Islami, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1992, hlm. 6.
[30]
DR Yusuf Qordhowi, Op Cit, hlm.51.
[31]
Drs H. Toto Tasmara, Op Cit, hlm. 2.
[32]
Ibid, hlm. 4.
[33]
Departemen Agama RI, Op Cit, hlm. 751.
[34]
H.M. Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, PT
Golden terayon Press, Jakarta, 1994, hlm. 1
[35]
Priyatno dan Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Reneka
Cipta, Jakarta, 1999, hlm.34
[36]
Bimo Walgito, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Andi Ofset,
Yogyakarta, 1995, hlm. 4
[37]
Muhammad Surya, Dasar-Dasar Konseling Pendidikan (Teori dan Konsep), Kota
Kembang, Yogyakarta, 1998, Hlm. 12
[38]
Thohari Musnamar, Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan Konselibng Islam,
UUI Press, Yogyakarta, 1992, Hlm.5
[39]
Aunur Rahim Faqih, Bimbingan dan Konseling dalam Islam, UII Press,
Yogyakarta, 2001, Hlm.4
[40]
Jons M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, PT
Gramedia, 1992, hlm.150
[41]
Prayitno dan Erman Amti, Op. Cit, hlm.99
[42]
Hasan langgulung, Teori-Teori Kesehatan Mental, Pustaka Al Husna,
Jakarta, 1986, hlm.452
[43]
Muhammad Surya, Op. Cit, hlm.5
[44]
M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Psikoterapi dan Konseling Islam, Fajar
Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001, hlm.137
[45]
Thohari Musnamar, Op Cit, hlm.5
[46]
Departemen Agama RI, OP Cit, hlm.315
[47]
Ibid, hlm. 791
[48]
Ibid, hlm. 1099
[49]
Thohari Musnamar, Op. Cit, hlm. 34
[50]
Aunur Rahim Faqih, Op. Cit, 36-37
[51]
M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Op. Cit, hlm.167-168
0 Response to "SHOLAT DHUHA, ETOS KERJA DAN BIMBINGAN KONSELING ISLAMI"
Post a Comment