PENDIDIKAN ISLAM
Praktisi
pendidikan Islam akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik jika memperoleh
jawaban yang benar tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan pendidikan
Islam. Jawaban yang benar tentang pendidikan Islam diperoleh melalui pemahaman
terhadap konsep dasar, pijakan, sistematisasi, dan wujud pendidikan sebagai
sebuah sistem.
Kajian dalam bab dua ini akan dipaparkan tentang konsep pendidikan Islam
dengan didukung oleh litelatur-litelatur yang disusun oleh pakar pendidikan
Islam atau literatur yang mendukungnya.
Penulisan akan diawali dengan hakekat pendidikan Islam dilanjutkan dengan
struktur dasar pendidikan Islam, orientasi, dan fungsi pendidikan Islam.
Asas-asas pokok pendidikan Islam dan sistematisasi pendidikan Islam.
A. Hakekat Pendidikan Islam
1.
Tinjauan Etimologi
Sangat
sulit merumuskan definisi pendidikan Islam secara tepat dan baik, oleh karena
itu sangat tidak heran apabila menemukan beberapa definisi yang dirumuskan oleh
pakar pendidikan Islam satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan meskipun
dapat ditarik benang merahnya.
Secara ontologis, sasaran obyek pendidikan
adalah manusia. Karena Manusia mengandung banyak aspek dan sifatnya yang
kompleks, karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak ada sebuah batasan yang
cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Batasan
pendidikan yang dirumuskan oleh para ahli sangat beraneka ragam, dan
kandungannyapun berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh orientasinya,
konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan atau karena falsafah
yang melandasi luasnya aspek yang dibina oleh pendidikan.1
Kegiatan pendidikan dalam garis besarnya dapat dibagi
tiga: (1) kegiatan pendidikan oleh diri sendiri. (2) kegiatan pendidikan
oleh lingkungan, dan (3) kegiatan pendidikan oleh orang lain terhadap
orang tertentu. Adapun binaan pendidikan dalam garis besarnya mencakup tiga
daerah; (1) daerah jasmani (2) daerah akal, dan (3) daerah hati. Tempat
pendidikan juga ada tiga yang pokok; (1) di dalam rumah tangga, (2) di masyarakat,
dan (3) di sekolah.”2
Sebenarnya definisi pendidikan dapat saja disusun,
tetapi definisi itu akan panjang sekali, bila tidak panjang definisi itu tidak
akan mencakup seluruh kegiatan pendidikan. Oleh karena itu, konferensi
internasional tentang pendidikan Islam yang pertama (1977) ternyata tidak juga
berhasil menyusun pendidikan yang dapat disepakati mereka.3
Hal tersebut karena banyaknya jenis kegiatan dan luasnya aspek binaan
pendidikan.
Selain itu Ahmad Tafsir berpendapat tentang sulitnya
merumuskan definisi pendidikan, bahwa untuk menjawab tentang apa pendidikan itu
menurut Islam. Maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai definisi pendidikan
menurut para pakar, setelah itu barulah dibahas mengenai apa pendidikan itu
menurut Islam.4 Padahal kajian
pendidikan dalam Islam itu mengkaji pendidikan dari aspek kesejarahan, dalam
arti pendidikan dalam Islam itu mengkaji praktek atau proses penyelenggaraan
pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam atau proses
pertumbuhkembangannya Islam dan umatnya, baik Islam sebagai agama, ajaran
maupun sistem budaya dan peradaban sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai
sekarang. Jadi dalam pengertian ini istilah pendidikan Islam dapat dipahami
sebagai “proses pembudayaan dan pewarisan ajaran agama, budaya dan peradaban
umat Islam dari generasi ke generasi sepanjang sejarahnya.”5
Dari pemaparan di atas, timbul sebuah pertanyaan yang
mendasar, apakah Islam mempunyai konsep tersendiri mengenai pendidikan
(pendidikan Islam). Kenyataan sejarah membuktikan bahwa Islam selalu menerima
dan berasimilasi serta beradaptasi bahkan mengadopsi dan menjustifikasi sistem
dan lembaga kependidikan dari lingkungan budaya dan peradaban masyarakat yang
dijumpaiya.6 Meskipun dalam proses
integrasiya dan adaptasi tersebut, Islam tidak pernah kehilangan sama sekali
identitas dan karakteristik dasarnya, bahkan sebaliknya terjadi proses
Islamisasi terhadap sistem dan kelembagaan serta lingkungan sosial budaya,
sehingga betul-betul menjadi sebuah sistem yang Islami dan menghilangkan
karakter aslinya. Sayyid Husain Nashr sebagaimana dikutip Muhaimin dalam buku
“Paradigma Pendidikan Islam” dikatakan:
“By the power of integration inherent within Islam, many of these
institutions were musliman absor into the structure of muslim society so that
they lost their foreign attributes”.7
Selain argumentasi di atas, ternyata sampai saat ini
belum ada kesepakatan pendapat yang baku di kalangan ahli pendidikan Islam
mengenai istilah yang dianggap tepat untuk konsep dan wawasan pendidikan Islam.
Terdapat perdebatan panjang tentang konsep pendidikan
Islam dalam konteks etimologi dengan argumentasi yang penulis kira sangat
representatif:
M. Naquib al-Attas yang lebih cenderung menguatkan akar
kata “addaba” mengemukakan argumentasinya dalam bukunya “Konsep
Pendidikan Islam” bahwa dalam istilah ta’dib yang berasal dari kata
kerja addaba, mencakup wawasan ilmu dan amal yang merupakan esensi
pendidikan Islam.8 Dibandingkan istilah
tarbiyah yang menurut M. Naquib al-Attas dinilai tidak tepat, sebab lebih
menekankan segi fisik dan mental serta berwatak kuantitatif.9
Di pihak lain, Abdurahman al-Bani menerangkan lebih
lengkap, bahwa ditinjau dari asal bahasanya, istilah at-tarbiyah mencakup
empat unsur:
a.
Memelihara pertumbuhan asal
manusia.
b.
Mengembangkan potensi dan
kelengkapan manusia yang beraneka ragam (terutama akal budinya).
c.
Mengarahkan fitnah dan potensi
manusia menuju kesempurnaan.
Sedangkan Abdul Fatah Jalal berpendapat penggunaan kata
tarbiyah pada surat Al-Isra ayat 24 menunjukkan bahwa pendidikan pada fase ini
menjadi tanggung jawab keluarga. Ibu dan ayah bertanggung jawab mengasuh dan
menghiasi anak yang masih kecil dan berada dalam situasi ketergantungan.11
Dalam penggunaan istilah pendidikan Islam, Abdul Fattah
Jalal lebih cenderung menggunakan kata Ta’lim, sebab Ta’lim tidak berhenti
hanya kepada pencapaian pengetahuan berdasarkan prasangka atau yang lahir dari
taqlid semata-mata, ataupun pengetahuan yang lahir dari dongeng khayali dan
syahwat atau cerita-cerita dusta.12
Terlepas dari seberapa jauh ketepatan argumen para ahli
dalam menggunakan kata tarbiyah, ta'dib, dan ta'lim, dalam
hal ini penulis hanya membedah wacana semata, tidak sampai menganalisis secara
tajam bahkan sampai menguatkan salah satu dari argumentasi tersebut. Yang
jelas, tentunya perbedaan-perbedaan yang ada, masing-masing argumentasi
tersebut sangat konstruktif dan memiliki landasan yang kuat yaitu dibangun atau
dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang
terkandung dalam sumber-sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan ash-Sunah.
2.
Tinjauan Terminologi
Berpijak dari pengertian pendidikan Islam secara
etimologi, pembahasan akan lari dalam pengertian pendidikan Islam secara terminologi,
tanpa memperdebatkan perbedaan-perbedaan yang ada, karena di muka sudah
dipaparkan bahwa perbedaan-perbedaan dalam pendidikan Islam disebabkan oleh
kekomplekan dan sifat manusia, orientasi, konsep dasar, tekanan, dan landasan
filosofisnya. Selain itu bila bukan untuk kepentingan ilmu, tidaklah begitu
penting membuat pembahasan apa pendidikan itu. Semua orang penulis kira sudah
mengetahui apa pendidikan itu. Pendidikan menurut orang awampun sudah tidak
asing lagi, adalah mengajari murid di sekolah, melatih kebiasaan baik, melatih
anak bernyanyi, dan lain sebagainya.
Mengawali definisi pedidikan secara terminologi penulis
akan menarik kembali hakekat tentang pendidikan Islam, dengan merujuk definisi
secara etimologi yang dikemukakan oleh pakar-pakar pendidikan Islam terkemuka.
Di muka telah dijelaskan bahwa konferensi international
pendidikan Islam pertama (First World Conference on Moslem Education)
yang diselenggarakan oleh universitas King Abdul Aziz, Jedah, pada tahun 1977,
belum berhasil membuat rumusan yang jelas tentang definisi pendidikan
Islam. Pendidikan Islam ialah
keseluruhan pengertian yang terkandung di dalam istilah ta'lim, tarbiyah,
dan ta'dib. Sedangkan ketiga istilah tersebut (ta’lim, tarbiyah, dan
ta’dib) masih diperdebatkan dan masih dicari istilah yang paling tepat
untuk digunakan sebagai istilah pendidikan Islam.
Meskipun demikian, al-Attas mencoba mendefinisikan
“pendidikan Islam sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur
ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala
sesuatu ke dalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan
dan pengakuan Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud tersebut.”13
Definisi yang dilontarkan oleh al-Attas tersebut,
penulis kira sangat filosofis, abstrak dan terdapat kesulitan untuk
dioperasikan dan butuh penalaran yang sangat tajam. Tetapi dapat diidentifikasi
bahwa inti dari definisi di atas, menghendaki bahwa proses dalam pendidikan
Islam adalah sebuah proses mengenalkan dan pengakuan bahwa Tuhan berada di mana
saja, tampaknya definisi di atas sangat berbau sufistik atau bermuatan tauhid
dan sangat ideal.
Abdurrahman an-Nahlawi merumuskan definisi pendidikan
bahwa “pendidikan menuntut adanya langkah-langkah yang secara bertahap harus
dilalui oleh berbagai kegiatan pendidikan dan pengajaran, sesuai dengan urutan
yang telah disusun secara sistematis. Anak melakukan kegiatan itu fase demi
fase.”14
Definisi tersebut tampaknya menyoroti pendidikan dari
aspek prosesnya, di mana pendidikan harus berangsur-angsur hingga sempurna.
Corak definisi an-Nahlawi tersebut wajar, karena an-Nahlawi berbeda dengan
Al-Attas. An-Nahlawi dalam merumuskan konsep definisi pendidikan diambil dari
akar kata tarbiyah, dengan rujukan imam Al-Baidawi (wafat : 685 H) dalam tafsirnya
Anwarul Tanzil wa Asratut Ta’wil dan buku Mufradat ar-Raghib al-Ashfahani
(wafat : 502 H) yang dalam hal ini penulis tidak memaparkan satu persatu dari
referensi an-Nahlawi tersebut.15
Selain pemikiran definisi pendidikan Islam di atas,
pemikiran domestik yang berkaitan dengan definis pendidikan Islampun banyak
ditemukan dalam literatur-literatur berbahasa Indonesia yang lebih transparan
dan operatif.
Ahmad Tafsir mengemukakn pendapatnya, “bahwa pendidikan
Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia
berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.”16 Achmadi berpendapat, bahwa pendidikan
Islam adalah “segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia
serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia yang
seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.”17 Berkaitan dengan pengembangan potensi
manusia, H.M. Irsyad Djuwaili menguatkan dalam karyanya, bahwa pendidikan Islam
adalah “upaya sadar akan pemeliharaan, pengembangan seluruh potensi diri
manusia, sesuai fitrahnya dan perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak
kemanusiaannya.”18 Selain
definisi-definisi pendidikan di atas, yang lebih berorientasi pada pengembangan
potensi, Zuhairini berpendapat bahwa: “Pendidikan Islam adalah usaha yang
diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam
atau suatu upaya dengan ajaran Islam, memikir, memutuskan dan berbuat
berdasarkan nilai-nilai Islam, serta bertanggung jawab sesuai dengan
nilai-nilai Islam.19
Demikianlah, beberapa definisi pendidikan Islam, yang
dikemukakan oleh para pakar, kiranya dapat dipahami secara konfrehesif tentang
pendidikan Islam itu sendiri, yang mencoba menggali dan mengembangkan potensi
manusia secara keseluruhan, agar manusia menjadi baik dan bertanggung jawab
baik dalam pandangan manusia maupun Khaliknya.
B. Struktur Dasar Pendidikan Islam
Sebagai aktifitas yang bergerak dalam bidang pendidikan
Islam dan pendidikan kepribadian, tentunya pendidikan Islam merupakan landasan
kerja untuk memberi arah bagi programnya, apalagi konflek yang dihadapi oleh
pendidikan Islam jauh lebih besar dibandingkan dengan dilema yang melanda
pendidikan yang tidak memasukkan dimensi keagamaan. Oleh karena itu pijakan
yang digunakan harus betul-betul valid dan tidak diragukan lagi kebenarannya,
bukan pijakan yang berupa hipotesa-hipotesa yang didesain oleh manusia, yang
apabila datang hipotesa baru maka akan runtuhlah hipotesa-hipotesa tersebut.
Dalam memaparkan tentang dasar-dasar pendidikan Islam
ini, penulis akan mencoba merujuk salah satu karya pakar pendidikan Islam yaitu
Sa'id Ismail Ali, yang dianggap sangat representatif dan paling lengkap dari
pada literatur-literatur yang ada yang membahas tentang dasar-dasar pendidikan
Islam.
Enam macam sumber-sumber pendidikan Islam yang
ditawarkan oleh Sa'id Ismail yaitu: “al-Qur'an, Sunnah Nabi, kata-kata sahabat,
kemaslahatan masyarakat (sosial), nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan
masyarakat, dan pemikir-pemikir Islam.”20
1.
Al-Qur’an
Al-Qur'anlah pijakan yang paling valid dan tidak
diragukan lagi kebenarannya, merupakan dasar keyakinan dan bukan kekuatan
logika semata.
Al-Qur'an merupakan sumber hukum dan pengetahuan yang
paling lengkap, mencakup keseluruhan hidup manusia baik di dunia maupun di
akhirat, merupakan petunjuk yang tidak pernah usang bagi manusia dalam
membentangkan sayap dan derap langkah kehidupannya di segala zaman.
Sa'id Ismail memaparkan dalam karangannya tentang
keistimewaan yang terdapat dalam al-Qur'an dalam usaha pendidikan manusia:
a.
Al-Qur'an menghormati akal
manusia. Semua peraturan yang diberikan al-Qur'an selalu memberi pertimbangan
akal manusia, walaupun sampai kepada soal-soal aqidah, perintah, dan kewajiban.
b.
Bimbingan ilmiah. Walaupun
pendidikan itu selalu perlu kepada teori yang memberi pedoman dalam
perjalanannya, tetapi ia adalah teori yang timbul dari suatu realitas tertentu
yang bertujuan menyelesaikan masalah-masalah manusia.
c.
Tidak menentang fitrah manusia.
d.
Penggunaan cerita-cerita
(kisah-kisah) untuk tujuan pendidikan.
e.
Memelihara keperluan-keperluan
sosial. Prinsip ini serupa dengan prinsip ketiga, cuma dalam konteks yang lebih
luas yaitu dalam kontek masyarakat.”21
Al-Qur'an sebagai dasar utama dalam pendidikan Islam
selain memiliki keistimewaan-keistimewaan, al-Qur'anpun di dalamnya tersurat
dengan tuntunan-tuntunan dan beberapa petunjuk bagi umat manusia.
Menurut Husain Nasr, al-Qur'an mempunyai tiga jenis
petunjuk bagi manusia, di antaranya sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
adalah doktrin, yang memberi pengetahuan tentang struktur kenyataan dan posisi
manusia di dalamnya.
b. Al-Qur'an
berisi petunjuk yang menyerupai ringkasan sejarah manusia, rakyat biasa,
raja-raja, orang-orang suci, dan para nabi sepanjang zaman dan segala cobaan
yang menimpa mereka.
c. Al-Qur'an
berisi sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dalam bahasa modern. Sesuatu itu
dapat disebut “magi” yang agung bukan berarti harfiah, melainkan dalam arti
metafisis.”22
Selain ketiga petunjuk di atas, M. Quraish Shihab
mengklasifikasi tujuan pokok al-Qur'an yaitu:
a.
Petunjuk aqidah dan kepercayaan.
b.
Petunjuk mengenai akhlak.
Dari pemaparan di atas, tidak diragukan lagi asas pokok
inilah (al-Qur'an) merupakan pedoman dan sekaligus merupakan kerangka segala
kegiatan intelektual, dan mestinya dari asas inilah pendidikan Islam dibangun
dan digerakkan.
2.
Sunnah
Selain al-Qur'an, Sunnah juga merupakan sumber
pengetahuan yang monumental bagi Islam, yang sekaligus menjadi penafsir dan
bagian yang komplementer terhadap al-Qur'an Sumber Yang paling esensial dari
pendidikan ini (Sunnah) adalah bahwa Sunnah mencerminkan segala tingkah laku
Rasullah SAW yang patut diikuti oleh setiap muslim.24 Oleh karena itu barangkali hal inilah
yang menyebabkan ahli-ahli pendidikan Islam menganggap bahwa Sunnah merupakan
acuan praktis dalam pendidikan Islam. Baik al-Qur'an maupun al-Hadits, keduanya
merupakan pembimbing kegiatan manusia dalam berbagai aspek kehidupan.
3.
Sahabat-sahabat Nabi
Hampir setarap dengan sirah Rasulallah SAW adalah
sejarah hidup sahabat-sahabatnya, terutama yang termasuk Khulafaur Rasyidin
(khalifah-khalifah yang empat). Sebab merekalah yang menyaksikan muncul dan
berkembangnya agama Islam dari zaman-zaman awal, sekaligus merasakan pahit
getirnya masa-masa perjuangan di zaman awal kebangkitan Rasulallah SAW.”25
4.
Kemaslahatan Awam (Sosial)
Al-Ghazali (1320 H) pernah menyatakan bahwa yang
disebut maslahah itu berarti mendatangkan manfaat dan menghindari madharat.
Lebih jauh Al-Ghazali menegaskan, bahwa maksud dari maslahah dalam hal ini
adalah menjaga tujuan agama pada manusia yang terdiri dari lima perkara, yaitu
menjaga agamanya, dirinya, akalnya, keturunannya, dan harta bendanya. Maka
setiap yang mengandung maksud memelihara dasar-dasar yang lima ini adalah
maslahah, sedang yang tidak temasuk lima dasar ini dianggap kerusakan.26 Perkara yang dilontarkan oleh
al-Ghazali inilah patut kiranya dijadikan sebuah dasar, karena nilai-nilai yang
ada di dalamnya sangat berkait dengan pendidikan.
5.
Nilai dan Kebiasaan-kebiasaan
Masyarakat
Oleh Mazhab Hanafi dan Maliki nilai-nilai dan kebiasaan
masyarakat dapat digunakan menentukan hukum, kalau dalam bidang
perundang-undangan hal ini dijadikan dalil, maka dalam bidang pendidikan
kebiasaan masyarakat itu harus diperhitungkan. 27
6.
Pemikir-pemikir Islam
Sudah tentu yang banyak mempengaruhi perkembangan
pendidikan dalam dunia Islam adalah pemikir-pemikir Islam dalam berbagai
bidang: falsafah, fiqih, tasawuf, ilmu kalam dan lain-lain. Oleh karena itu
sangatlah representastif ketika pemikir-pemikir Islam dijadikan pijakan dalam
mengembangkan langkah pendidikan Islam.28
Sebagai bentuk kemoderatan dalam dunia pendidikan Islam, bahwa pendidikan
Islam dalam menentukan pijakan untuk melangkah bukan hanya disandarkan pada
al-Qur’an dan al-Hadits semata, tetapi pendidikan Islam terus mengikuti rotasi
kebudayaan dan peradaban dalam masyarakat dengan menggunakan dasar-dasar yang
sesuai dengan zaman dan kebutuhan masyarakat. Hal ini dikuatkan oleh H.M.
Arifin, bahwa selain al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama dalam
pendidikan Islam. Maka pendapat para sahabat dan ulama atau ilmuan muslim
merupakan sumber bantuan yang representatif.29
C. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam
1.
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan
orientasi atau arah dalam pendidikan Islam memuat gambaran tentang nilai-nilai
yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan
pendidikan Islam memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap
kegiatan pendidikan atau dalam Bab I di muka, sebagai lokomotif yang mewarnai
pendidikan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan
pendidikan.
Sebagai
salah satu sistematisasi pendidikan, tujuan pendidikan Islam menduduki posisi
penting. Di mana di antara sistematisasi pendidikan yang dilakukan semata-mata
terarah pada atau ditujukan untuk pencapaian tujuan tersebut. Dengan demikian,
maka kegiatan-kegiatan yang tidak relevan dengan tujuan tersebut dianggap
menyimpang, tidak fungsional, bahkan salah, sehingga harus dicegah terjadinya.
Di sini terlihat bahwa tujuan pendidikan itu bersifat normatif, yaitu mengandung
unsur norma, yang bersifat memaksa, tetapi tidak bertentangan dengan hakekat
perkembangan peserta didik serta dapat diterima oleh masyarakat sebagai nilai
hidup yang baik.
Sehubungan
dengan fungsi tujuan pendidikan yang demikian penting itu, maka menjadi
keharusan bagi pendidikan untuk memahaminya, kekurangpahaman pendidikan
terhadap tujuan pendidikan dapat mengakibatkan kesalahan di dalam melaksanakan
pendidikan. Gejala demikian oleh Langveld disebut salah teoritis.30
Apakah
tujuan dalam pendidikan itu? Istilah-istilah bahasa Inggris yang dipergunakan
para ahli pendidikan untuk mendiskripsikan hasil-hasil pendidikan adalah aim,
goal, objective, dan purpose. Menurut kamus The Oxford
English Dictionary, aim adalah aksi yang menjadikan orang melakukan
kepada sebuah titik. Menurut Hirst dan Peters, aim aslinya adalah
“menembak suatu target tertentu yang terletak dalam suatu jarak tertentu. Para
ahli Leksikograpi berpendapat bahwa objecitive mempunyai makna yang sama
dengan aim dan goal. Namun sebagian ahli pendidikan membedakan aim dan objective.
Bagi mereka, aim penggunaannya mengacu kepada hasil-hasil pendidikan
secara umum, dan objective lebih khusus dari itu, sedangkan istilah
purpose, kamus the Oxford English Dictionary mendifinisikan “sesuatu
dalam diri seseorang yang harus dilakukan atau dicapai.”31
Begitu
juga, terminologi tujuan dalam bahasa Arab yang dipergunakan untuk mereferensi
istilah tujuan pendidikan. Banyak istilah yang dipakai dalam bahasa Arab
digunakan dalam rujukan yang mengacu kepada hasil pendidikan. Hal ini memberi
indikasi adanya obyek persoalan inisiasi dan perbuatan manusia yang langsung, “ghayyat”
untuk mengartikan tujuan akhir (muntaha) di luar yang tidak ada. “Ahdaf” pada
mulanya dipergunakan untuk memberi arti peranan yang lebih tinggi dan dapat
dimiliki oleh seseorang berkenaan dengan tinjauan luas yang menyiratkan hal ini
sangat diperlukan, juga berarti menempati suatu sasaran yang lebih dekat. “Maqasidh”
diperoleh dari suatu cara yang menunjukkan kepada jalan lurus.32
Tujuan
pendidikan Islam bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai yang sifatnya
abstrak. Tujuan demikian bersifat umum dan ideal, karena memang tujuan itu
adalah dunia cita, yakni suasana ideal yang ingin diwujudkan. “Dalam tujuan
pendidikan suasana ideal itu nampak pada tujuan akhir (ultimate aims of
educations). Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan singkat,
berarti terbentuknya kepribadian muslim.”33
Oleh
karena itu pendidikan akan dapat tercapai apabila tujuan yang ingin dicapai itu
dibuat jelas (eksplisit), konkret dan lingkup kandungannya terbatas.
Dengan kata lain tujuan yang masih umum perlu dirinci sehingga tujuan yang
lebih khusus dan terbatas mudah direalisasikan.
Ada
yang merinci tujuan pendidikan dalam bentuk taksonomi (sistem klasifikasi) yang
terutama meliputi:
a.
Pembinaan Kepribadian (nilai
idiologi)
1)
Sikap (attitude)
2)
Daya pikir praktis rasional
3)
Objektivitas
4)
Loyalitas kepada bangsa dan negara
5)
Sadar nilai-nilai moral agama
b.
Pembinaan aspek pengetahuan (nilai
materiil), yaitu materi ilmu itu sendiri.
c.
Pembinaan aspek kecakapan,
keterampilan (skill) nilai-nilai praktis.
Taksonomi
di atas penulis kira sangat tepat sekali, karena batasan konsep tujuan
pendidikan bukan hanya pada diri peserta didik semata, tetapi lebih dari itu
berguna terhadap bangsa sebagai warga negara dan agama sebagai penganutnya.
Omar
Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany dalam bukunya Falsafah Pendidikan, mengemukakan
pendapatnya tentang konsep sebuah tujuan dalam pendidikan, yaitu “perubahan
yang diiringi yang diupayakan oleh proses pendidikan/usaha pendidikan untuk
mencapainya, baik pada tingkat individu dan pada kehidupan pribadinya, atau
pada kehidupan masyarakat dan pada alam sekitar tentang individu itu hidup,
atau pada proses pendidikan sendiri, dan proses pengajaran sebagai suatu
aktivitas asasi, dan sebagai proporsi di antara profesi-profesi asasi dalam
masyarakat.”35
Secara
garis besar rumusan perubahan-perubahan yang diinginkan sebagai hasil
pendidikan dalam mengolah tujuannya meliputi tiga bidang asasi:
a.
Tujuan individu yang berkaitan
dengan individu-individu, pelajaran (learning) dan dengan
pribadi-pribadi mereka. Berkaitan dengan individu-individu tersebut pada
perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya dan
pada pertumbuhan yang diinginkan pada pribadi mereka, dan pada pertumbuhan yang
diinginkan dan pada persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan
dunia dan akhirat.
b.
Tujuan sosial yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat
umumnya, dan dengan apa yang berkaitan dengan kehidupan ini tentang perubahan
yang diinginkan, dan pertumbuhan, memperkaya pengalaman dan kemajuan yang
diinginkan.
c.
Tujuan profesional yang berkaitan
dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi
dan sebagai suatu aktivitas di antara aktivitas-aktivitas masyarakat.”36
Sedemikian
besarnya konstribusi pendidikan jika benar-benar para pendidik mengoperasikan
tujuan pendidikan dengan baik dan maksimal, gambaran-gambaran di atas kiranya
dapat memberikan pemahaman lingkup yang dikehendaki oleh tujuan pendidikan
Islam.
Dari
paparan di atas, kiranya menghasilkan kesimpulan bahwa rumusan sebuah tujuan
pendidikan sebenarnya berada dalam jarak yang mungkin untuk dicapai, oleh
karena itu keoperatifan sebuah rumusan tujuan pendidikan haruslah ada, agar
mudah dioperasikan dan tujuanpun tercapai.
Tujuan
pendidikan Islam harus sesuai dengan tujuan hidup manusia. Dalam pandangan
Islam tentang alam ini dengan jelas, bahwa tujuan asasi dari adanya manusia di
dalam alam ini adalah beribadah dan tunduk kepada Allah, serta menjadi khalifah
di muka bumi untuk memakmurkannya dengan melaksanakan syari’at dan mentaati
Allah. Dari asasi tujuan manusia di alam ini, maka pendidikanpun harus mempunyai
tujuan yang sama, yaitu mengembangkan pikiran manusia dan mengatur tingkah laku
serta perasaannya berdasarkan Islam agar tujuan hidupnya tercapai. Dengan kata
lain pendidikan dalam hal ini berposisi sebagai alat yang digunakan oleh
manusia.
Berbicara
soal pengembangan manusia dalam pendidikan Islam menyentuh beberapa aspek yang
dimiliki oleh manusia, yang merupakan pendekatan potensi lahiriah dan
bathiniyah. Karena metodologi Islam dalam melakukan pendekatan menyeluruh
terhadap wujud manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan
sedikitpun, baik segi jasmani maupun kehidupannnya secara mental, dan segala
kegiatannya di muka bumi ini.37
“Islam
memadang manusia secara totalitas, mendekatinya atas dasar apa yang terdapat
dalam dirinya, atas dasar fitrah yang diberikan oleh Allah kepadanya, tidak ada
sedikitpun yang diabaikan dan tidak memaksakan apapun selain apa yang dijadikan
sesuai dengan fitrahnya.”28
Berkaitan
dengan keselarasan tujuan pendidikan Islam dengan tujuan hidup manusia, beberapa
tujuan pendidikan Islam telah dirumuskan oleh intelektual muslim yang
berkompetisi dengan pendidikan.
a.
Al-Jammali sebagaimana dikutip
Hasan Langgulung dalam buku “Manusia dan Pendidikan (suatu Analisa Psikologis
dan Pendidikan)” disebutkan :
1)
“Memperkenalkan kepada manusia
akan tempatnya diantar makhluk-makhluk dan akan tanggung jawab perseorangannya
dalam hidup ini.
2)
Memperkenalkan kepada manusia akan
hubungan-hubungan sosialnya dan tanggung jawabnya dalam jangka suatu sistem
sosial.
3)
Memperkenalkan kepada manusia akan
makhluk dalam semester, dan mengajaknya memahami hikmah penciptanya dalam
menciptakannya, dan memungkinkan manusia untuk menggunakan atau mengambil
faedah dari padanya.
Tujuan
pendidikan Islam yang dirumuskan oleh Al-Jammali tersebut, selain menghendaki
peserta didik untuk taqarub dan ta’abud pada penciptanya, lebih dari itu
memproyeksikan peserta didik untuk bisa berperan (adaptasi dan memberikan
konstribusi positif pada masyarakat).
b.
Al-Maududi sebagaimana dikutip
Muhlisin, dalam buku “Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam: Telaah atas
Pemikiran Pendidikan Abdul A’la al-Maududi” dijelaskan bahwa tujuan pendidikan
berupaya untuk membentuk kepribadian manusia (peserta didik) yang berwawasan
modern seraya tetap menjadi muslim yang baik.40
c.
Ali Ashraf sebagaimana dikutip
Muhlisin, dalam buku “Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam: Telaah atas
Pemikiran Pendidikan Abdul A’la al-Maududi” dijelaskan bahwa mencari
keseimbangan dalam pribadi manusia dalam segala aspeknya secara piritual,
intelektual, imajinatif, fisikal, ilmiah, linguistik, baik secara individual
maupun kolektif.41
d.
Syeh Muhammad Naquib Al-Attas
sebagaimana dikutip Muhlisin, dalam buku “Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam:
Telaah atas Pemikiran Pendidikan Abdul A’la al-Maududi” dijelaskan bahwa dalam
menuju peningkatan insan yang sempurna, berupa insan kamil. 42
e.
Athiyah Al-Abrasyi Muhlisin,
sebagaimana dikutip Athiyah al-Abrosyi dalam buku Al-Atarbiyah Al-Islamiyah wa
Falasifatuha, disebutkan:
1)
Untuk mengadakan pembentukan
akhlak yang mulia.
2)
Persiapan untuk kehidupan dunia
dan kehidupan akhirat.
3)
Persiapan untuk mencari rizki dan
pemeliharaan segi manfaat.
4)
Menumbuhkan semangat ilmiah pada
pelajar dan memuaskan keingintahuan (curiosity) dan memungkinkan ia
mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri.
f.
An-Nahlawi sebagaimana dikutip
Hasan Langgulung dalam buku “Manusia dan Pendidikan (suatu Analisa Psikologi
dan Pendidikan)”, disebutkan:
1)
Pendidikan akal dan persiapan
pikiran.
2)
Menumbuhkan potensi-potensi dan
bakat-bakat asal pada kanak-kanak.
3)
Menaruh perhatian pada kekuatan
dan potensi generasi muda dan mendidik mereka sebaik-baiknya, baik laki-laki
maupun perempuan.
g.
Al-Buthi sebagaimana dikutip Hasan
Langgulung dalam buku “Manusia dan Pendidikan (suatu Analisa Psikologi dan
Pendidikan)”, disebutkan:
1)
Mencapai keridlaan Allah, menjauhi
murka dan siksa-Nya dan melaksanakan pengabdian yang tulus dan ikhlas
kepada-Nya.
2)
Mengangkat taraf akhlak
berdasarkan pada agama.
3)
Memupuk rasa cinta tanah air pada
diri manusia berdasarkan pada agama.
4)
Mewujudkan ketentraman jiwa dan
akidah.
5)
Memelihara bahasa dan
kesusasteraan Arab sebagai bahasa al-Qur'an, dan sebagai wadah kebudayaan dan
unsur-unsur kebudayaan Islam yang paling menonjol.
6)
Meneguhkan perpaduan tanah air dan
menyatukan barisan melalui usaha menghilangkan perselisihan.”45
Ketujuh
rumusan tujuan pendidikan Islam di atas merupakan pemikiran individual yang
belum mewakili keseluruhan tujuan pendidikan Islam. Berikut ini adalah rumusan
tujuan pendidikan Islam hasil Seminar pendidikan Islam se-dunia pada tahun 1980
di Islamabad, yang merupakan hasil kolektif seluruh pemikir pendidikan Islam.
Rumusan tujuan pendidikan Islam tersebut, sebagai berikut:
Education aims the balanced growth of total personality
of man through the training of man’s spirit, intellect, the rational self,
feeling and bodily sense. Education should therefore, cater for the growth of
man in all its aspects, spiritual, intellectual, imaginative, physical,
scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate all
these aspects to ward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim
of education lies in the realization of complete submission to Allah on the
level of individual, the community and humanity at large.46
Rumusan
tersebut menunjukkan bahwa pendidikan Islam mempunyai cakupan yang sama luasnya
dengan pendidikan umum, bahkan melebihinya, oleh karena itu pendidikan Islam
juga membina dan mengembangkan pendidikan agama di mana titik tekannya terletak
pada internalisasi nilai iman, Islam dan ihsan dalam manusia muslim yang
berilmu pengetahuan luas, serta memiliki keseimbangan potensi.
Dari ke
delapan rumusan tujuan pendidikan Islam di atas, kiranya menurut penulis telah
mewakili seluruh tujuan pendidikan Islam yang telah dirumuskan oleh pakar-pakar
pendidikan Islam.
Dari
pemaparan tujuan pendidikan Islam, terlihat sangat teramat penting sekali untuk
pengembangan pendidikan Islam. Untuk menciptakan manusia (peserta didik)
sempurna dalam berbagai aspeknya, suatu hal yang sulit sekali untuk
direalisasikan, tetapi tidak berarti suatu hal yang sulit untuk bisa
dipecahkan. Oleh karena itu lebih lanjut pemaparan tentang tujuan pendidikan
Islam ini akan dipaparkan lebih jelas dalam Bab IV, bersama dengan upaya
pencarian nilai-nilai demokrasi yang tersirat dalam subtansi pendidikan Islam
itu sendiri.
2.
Fungsi Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam sebagai alat untuk memproses pengembangan potensi manusia sebagaimana
termaktub dalam berbagai definisi dan tujuan pendidikan Islam memiliki beberapa
fungsi:
Achmadi
mengklasifikasi fungsi pendidikan menjadi dua, mikro, dan makro.
“Secara
mikro, fungsi pendidikan yaitu memelihara dan mengembangkan fitnah dan sumber
daya insani yang ada subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan
kamil) sesuai dengan norma Islam.
Secara
makro, fungsi pendidikan Islam dapat ditinjau dari fenomena yang muncul dalam
perkembangan peradaban manusia, dengan asumsi bahwa peradaban manusia seantiasa
tumbuh dan berkembang melalui pendidikan.”47
Fungsi
pendidikan Islam secara makro ini, penulis rasa sangat beralasan sekali, hal
ini dapat ditelusuri melalui kajian antropologi dan sosiologi budaya, dimana
pendidikan sangat berfungsi sekali dalam memajukan sebuah peradaban suatu
masyarakat dan bangsa. Achmadi mencontohkan suku terasing sangat lambat sekali
perkembangan peradabannya karena tidak pernah atau kecil sekali kapasitas
transfer pendidikannya, sebaliknya masyarakat modern karena wawasannya sangat
luas maka semakin tinggi pula kreativitasnya.48
Hasan
Langgulung menambahkan dalam bukunya Beberapa pemikiran tentang pendidikan
Islam, bahwa fungsi pendidikan adalah:
a.
Menyiapkan generasi muda untuk
memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang.
b.
Memindahkan ilmu pengetahuan yang
bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dari generasi tua ke genarasi
muda.
c.
Memindahkan nilai-nilai yang
bertujuan untuk memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi syarat
mutlak bagi kelangsungan hidup (survival) suatu masyarakat dan
peradaban.49
Tiga
fungsi pendidikan Islam secara paralel dan sistematika tersebut berorientasi
pada peningkatan ilmu pengetahuan dan transfer nilai-nilai baik pada generasi
muda, agar generasi muda dalam realitas sosial dapat berperan dan memberikan
konstribusi positif bagi perkembangan peradaban masyarakat dan bangsa.
Berkaitan
dengan pendidikan Islam sebagai transfer nilai, Chalidzah Hasan secara
sistematis memaparkan dalam tiga proses:
a.
Pendidikan sebagai proses
individualisasi
Proses
individualisasi ini, adalah sebuah upaya pengembangan potensi yang ada dalam
diri peserta didik agar individu dapat lebih mengenal dirinya atau menemukan
jati dirinya.
b.
Pendidikan sebagai proses
internalisasi
Dalam
proses ini pendidikan adalah suatu perbuatan yang fundamental, sebab mendidik
itu adalah proses hominisasi dan humanisasi yaitu perbuatan yang menyebabkan
manusia menjadi manusia, proses yang luhur ini hanya dapat dilaksanakan dalam
proses tranfer nilai, nilai dapat diserap dan dihayati sebagaimana
internalisasi sebagai proses pendidikan.
c.
Pendidikan sebagai proses
sosialisasi
Pendidikan
juga diartikan sebagai proses tranformasi nilai budaya. Pendidikan di samping
menghantarkan budaya yang diinstitusikan pada nilai formal pendidikan juga
proses penyiapan generasi masa depan untuk diproyeksikan sebagai alternatif
masa depan itu sendiri.50
D. Asas-asas Pendidikan Islam
Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang
menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik pada tahap perencanaan maupun tahap
pelaksanaan pendidikan. Hasan Langgulung telah menawarkan enam asas bagi
pendidikan Islam yang diharapkan dapat dipahami bukan hanya oleh pemikir dan
ahli-ahli saja tetapi juga oleh praktisi dalam pendidikan.
Pertama : Asas-asas historis yang mempersiapkan pendidik
dengan hasil-hasil pengalaman masa lalu, dengan undang-undang dan
peraturan-peraturannya, batas-batas dan kekurangan-kekurangannya.
Kedua : Asas-asas sosial yang memberikan kerangka
budaya dari mana pendidikan itu bertolak dan bergerak: memindah budaya,
memilih, dan mengembangkannya.
Ketiga : Asas-asas ekonomi yang memberinya prespektif
tentang potensi-potensi manusia dan keuangan, materi dan persiapan
sumber-sumbernya, dan bertanggung jawab terhadap anggaran belanjanya.
Keempat : Asas-asas politik dan administrasi yang
memberinya bingkai idiologi (aqidah) dari mana ia bertolak untuk mencapai
tujuan yang dicita-citakan dan rencana yang telah dibuat.
Kelima : Asas-asas psikologis yang memberinya informasi
tentang waktu, pelajar-pelajar, guru-guru, cara-cara terbaik dalam praktek,
pencapaian dan penilaian, dan pengukuran dan bimbingan.
Keenam : Asas-asas filsafat yang berusaha memberinya
kemampuan memilih yang lebih baik, memberi arah suatu sistem, mengontrol, dan
memberi arah kepada semua asas-asas yang lain.51
Dari ke enam asas di atas memberikan beberapa catatan
penting bahwa; (1) Setiap asas itu bukanlah suatu ilmu atau mata pelajaran
tetapi sejumlah ilmu dan cabang-cabangnya. (2) Asas-asas tersebut memberi
pendidikan itu sistem-sistem dan organisasi-organisasi, inovasi dan
pembaharuan. (3) Asas-asas tersebut semuanya sukar memainkan peranannya tanpa
asas filsafat yang mengarahkan gerak dan mengatur langkahnya.”52
Abdurrahman An-Nahlawi membagi asas-asas dalam
pendidikan Islam menjadi tiga bagian, yaitu:
1.
Asas-asas ideal
Asas
ideal mencakup konsep Islam tentang manusia, alam dan hidup, dalam arti konsep
Islam tentang alam, kehidupan dan aqidah yang wajib diimani oleh manusia.
Kehidupan dan aqidah itulah bila dijadikan asas terdapat beberapa dampak
edukatif.53
2.
Asas-asas ta’abudiyyah
Paling
tidak ada tujuh dampak edukatif ari asas ta’abudiyyah ini:
a.
Ibadah mendidik diri untuk selalu
berkesadaran berpikir.
b.
Ibadah menanamkan hubungan dengan
jama’ah muslim.
c.
Menanamkan kemuliaan dalam diri.
d.
Mendidik keutuhan selaku umat
Islam yang berserah diri kepada al-Khaliq.
e.
Mendidik keutamaan.
f.
Memberi manusia dengan kekuatan
rohaniah.
3.
Asas-asas tasyri’i
Syari’at
Islam merupakan salah satu asas pendidikan Islam yang agung. Menurut makna
Qur’aninya yang luas, syar’i adalah penjelas aqidah, ibadah, pengatur kehidupan
serta pembatas, dan pengatur seluruh hubungan insaniyah. Jika dikupas satu
persatu isi dari definisi syari’at tersebut akan tampak ke permukaan sebuah
dampak-dampak edukatifnya.55
Dari
asas-asas yang telah dikemukakan oleh pakar pendidikan Islam di atas,
diharapkan pendidikan Islam dalam operasionalnya tidak keluar jalur dari
subtansi asas-asas pendidikan tersebut.
E. Sistematisasi Pendidikan Islam
Sistematisasi
adalah proses kegiatan kependidikan dalam upaya mencapai tujuannya. Faktor,
unsur atau sistematisasi yang masing-masing mempunyai fungsi strategis inilah
yang kemudian dengan fungsinya menuju ke arah yang satu, yaitu dalam hal ini
tujuan pendidikan Islam menjadi sebuah sistem pendidikan. Karena sistem itu
sendiri adalah suatu keseluruhan yang terdiri dari sistematisasi yang masing-masing
bekerja sendiri dalam fungsinya yang berkaitan dengan fungsi dari sistematisasi
lainnya yang secara terpadu bergerak menuju ke arah satu tujuan yang telah
ditetapkan. 56
Untuk
mencapai tujuan dan harapan dalam pendidikan Islam diperlukan keintegrasian seluruh
sistematisasi yang ada di dalamnya. Dan semua itu secara serempak bergeser dan
terarah kepada tujuan yang ingin dicapai. 57
Sebagai
sebuah sistem pendidikan Islam tidak hanya menyediakan aspek-aspek material
saja tetapi meliputi berbagai sistematisasi yang satu sama lain berinteraksi
sesuai dengan fungsinya. Pembahasan dalam sub bab ini penulis akan mencoba
mengklasifikasi dari berbagai sistematisasi yang dinilai sangat tepat guna
dalam upaya mewujudkan keberhasilan dalam pendidikan Islam.
1.
Pendidikan dan Peserta Didik
Aktifitas
pendidikan dalam bentuk yang paling sederhana selalu melibatkan subyek didik
dan pihak pendidik, kedua pihak ini dalam aktifitas merupakan faktor-faktor
yang pertama dan kedua. Kedua pihak dalam setiap peristiwa pendidikan saling
berkomunikasi yang disebut juga interaksi. Suatu interaksi disebut interaksi
edukatif, apabila interaksi tersebut secara sadar dilakukan dalam rangka
mencapai tujuan yang bersifat mendidik. Dengan demikian suatu aktifitas
pendidikan dalam berbagai bentuknya selalu mengandung fakta tujuan sebagai
faktor ketiga. Interaksi edukatif di atas secara jelas dapat digambarkan
sebagai berikut.58
“Bagan
Interaksi Peserta edukatif.”59
Berbicara
tentang interaksi edukatif antara guru dan murid, M. Irsyad Djuwaili
menambahkan bahwa komunikasi dan motivasi sebagai syarat adanya interaksi
termasuk dalam salah satu pendidikan, dengan syarat statemennya sebagai
berikut: “Aspek ini (komunikasi dan motivasi) merupakan sistematisasi non
material yang memiliki peranan penting dalam kegiatan pendidikan. Tanpa
komunikasi dan motivasi edukatif, pendidikan menjadi rusak. Sebab, pendidikan
bisa berlangsung dengan baik, manakala di dalamnya terjadi komunikasi timbal
balik (two ways communication) antara guru (tenaga pengajar) dan peserta
didik”.60
Tampaknya
dalam hal ini menurut penulis kurang tepat. Apabila harus memasukkan komunikasi
dan motivasi dalam sebuah sistematisasi tersendiri. Argumentasi motivasi dan
komunikasi sangat penting memang betul, tanpa motivasi dan komunikasi dalam
pendidikan, interaksi tidak akan terjadi dan komunikasi harus disendirikan dari
sistematisasi yang lain. Menurut penulis motivasi dan komunikasi merupakan
sesuatu yang inhern dengan pendidik, otomatis antara motivasi dan komunikasi
merupakan satu kesatuan sistematisasi dan merupakan fungsi dari pendidik itu
sendiri, yaitu memberikan motivasi dan melakukan komunikasi dengan peserta
didik. Apabila kita harus memisahkan fungsi guru menjadi sistematisasi
tersendiri, maka akan tercipta puluhan bahkan ratusan sistematisasi dalam
pendidikan Islam.
2.
Faktor Tujuan
Pemaparan
bagan di atas memposisikan faktor tujuan sebagai faktor ketiga dalam praktek
pendidikan. Baik di lingkungan keluarga, di sekolah maupun di masyarakat luas,
banyak sekali tujuan pendidikan yang diinginkan oleh pendidikan agar dapat
dicapai (dimikili) oleh peserta didik.
Chalidzah
Hasan telah merumuskan secara sistematis atas tujuan pendidikan Islam yang di
reduksi dari pandangan Islam:
a.
“Pendidikan Islam dilaksanakan
pada tingkah laku Rasul sebagai kriteria ideal.
b.
Sumber-sumber tujuan pendidikan
umum dan hubungannya dengan filsafat pendidikan Islam dan susunan soal,
hubungannya dengan pribadi dan karakter Islam, dan hubungannya dengan berbagai
aspek kemanusian.
c.
Berbagai tujuan pendidikan umum,
informasi, dan institutsi.
d.
Tingkatan-tingkatan tujuan
pendidikan umum dan hubungannya dengan tingkatan pendidikan, tipe, dan bidang
kajian.
3.
Bahan (isi)
Yang
termasuk dalam isi/materi pendidikan, ialah segala sesuatu yang oleh pendidik
langsung diberikan kepada peserta didik dan diharapkan untuk dikuasai peserta
didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Tujuan
pendidikan terinci sangat beraneka ragam, dari mulai tujuan umum sampai ke
tingkat tujuan insidental. Masing-masing tujuan tersebut membutuhkan isi/materi
pendidikan yang relevan. Oleh karena itu bahan atau isi pendidikan harus
memenuhi syarat utama:
a.
Materi harus sesuai dengan tujuan
pendidikan.
M.
Irsyad Djuwaili telah merinci secara sistematik yang berkaitan dengan
kesesuaian materi dengan peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan,
bahwa pokok dan sub pokok bahasan dalam materi pendidikan secara esensial perlu
dipilih berdasarkan kriteria tertentu, antara lain: (1). Menyangkut aspek
kognitif, (2) Menyangkut pengembangan dan penerapan nilai-nilai dasar kehidupan
(iman dan taqwa) atau aspek afektif, dan (3) Mengembangkan kemampuan
psikomotorik.63
Isi
atau materi pendidikan sebagaimana sistematisasi pendidikan lainnya harus
berorientasi pada pengembangan masyarakat, karena UUSPN (pasal 27) telah
merumuskan secara koprehensif bahwa syarat dalam penyusunan bahan pendidikan
yang tergabung dalam kurikulum harus sesuai dengan lingkungan Supaya pendidikan
itu selain berguna bagi peserta didik sekaligus memberikan kontribusi penting
bagi masyarakat dan bangsa pada umumnya, hal demikian dimuat dalam UUSPN
sebagai berikut:
“Kurikulum disusun untuk tujuan pendidikan nasional dengan
memperhatikan perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan,
kebutuhan pembangunan dan teknologi, serta kesenian, sesuai dengan jenis dan
jenjang pendidikan masing-masing satuan pendidikan.”64
Menurut
penulis, pendidikan dalam konteks yang luas, berasal dari nurani masyarakat
yang menginginkan warga masyarakatnya menjadi baik dan maju. Keinginan tersebut
diakomodasi dalam sebuah sistem yang dikenal selama ini yaitu pendidikan. Oleh
karena itu pendidikan yang juga amanah dari masyarakat harus memberikan
kontribusi positif bagi masyarakat.
Hal
tersebut senada dengan pendapat Abdul Aini dalam tesisnya pada Universitas
Tanta tahun 1978 (Falsafat at-Tarbiyatil Islamiyyah fil Qur’anil Karim)
ketika mendefinisikan pendidikan sebagai “proses yang dirancang masyarakat,
dalam upaya mengantarkan generasi muda sehingga kecakapan mereka termanfaatkan
sepenuhnya.”65
4.
Metode
Peristiwa
pendidikan sebagaimana telah dibahas pada sistematisasi pendidikan pertama
(pendidik), ditandai dengan adanya interaksi edukatif. Agar interaksi ini dapat
berlangsung secara edukatif dan efisien dalam mencapai tujuan, maka di samping
dibutuhkan pemilihan bahan/materi pendidikan yang tepat, perlu dipilih metode
yang tepat pula.
Metode
adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan.66 Untuk menentukan apakah sebuah metode
disebut baik, diperlukan patokan (kriterium) yang bersumber dari beberapa
faktor. Faktor utama yang menentukan adalah tujuan yang akan dicapai.67 Karena seorang pendidik dianggap sebagai
pendidik yang berdedikasi dan bertanggung jawab apabila mampu mengolah metode
dan relevansinya dengan sasaran atau tujuan utama pendidikan. Metode merupakan
faktor yang penting menuju keberhasilan pendidikan Islam dalam mencapai sebuah
tujuan.
5.
Situasi Lingkungan
Situasi
lingkungan merupakan faktor strategis yang mempengaruhi proses dan hasil
pendidikan. “situasi lingkungan ini meliputi: lingkungan fisis, lingkungan
tekhnis, dan lingkungan sosiokultural.”68
Sebagai
salah satu faktor pendidikan, situasi lingkungan ini secara potensial dapat
menunjang atau menghambat usaha pendidikan, dan dapat menjadi sumber balajar
yang dimanfaatkan oleh pendidikan.
Lingkungan
yang direncanakan berarti lingkungan tersebut merupakan ciptaan dari masyarakat
didik untuk mengembangkan proses pendidikan, sedangkan lingkungan yang
dimanfaatkan berarti lingkungan tersebut sudah ada tanpa diciptakan lagi, dan
kedua lingkungan tersebut dalam prosesnya merupakan media di mana pendidikan
itu berlangsung.
6.
Organisasi-organisasi Kependidikan
Pendidikan
sebagai sebuah sistem yang keberadaannya sangat diharapkan dalam segala aspek
kehidupan, tidak bisa lepas dari organisasi-organisasi kependidikan, baik
organisasi sebagai wadah dimana pendidikan itu menjalankan aktivitasnya maupun
organisasi sebagai penentu kebijakan dalam hal ini pemerintah, sekaligus
organisasi sebagai media/ alat yang kesemuanya itu dapat membantu keberhasilan
pendidikan.
Lebih
lanjut Chalidzah Hasan, secara sistematis merumuskan organisasi-organisasi
kependidikan sebagai faktor dalam pendidikan. Sitematisasi dasar pendidikan
umum dalam masyarakat dan lingkungan, meliputi sebagai berikut:
a.
Lembaga pendidikan pemerintah dan
peranannya dalam pendidikan: sekolah dan perguruan tinggi.
b.
Lembaga-lembaga pendidikan pra-sekolah,
keluarga, dan TK.
c.
Lembaga-lembaga pendidikan
sederajat dan peranannya dalam proses pendidikan.
7.
Pemikiran Pendidikan
Keberadaan
intelektual yang berkonsentrasi di bidang pendidikan khususnya, tidak bisa dikesampingkan
keberadaannya, sebagai salah satu yang mempunyai andil dalam perkembangan
pendidikan. Tanpa seorang intelektual pendidikan, penulis rasa ide-ide, format
maupun rumusan pendidikan dengan segala kemampuan yang dicoba untuk
diaplikasikan niscaya tidak akan pernah ada. Dalam literatur-literatur yang
penulis temukan, belum ada yang memasukkan sistematisasi ini sebagai bagian
dalam sistematisasi tersendiri dalam pendidikan.
Demikian
dari beberapa sistematisasi yang penulis kira dari semua sistematisasi di atas
dengan fungsi yang berbeda dapat menunjang keberhasilan proses pendidikan
Islam, dan tidak bisa menafikkan salah satu dari faktor yang ada di atas,
hilang salah satu fungsi sistematisasi tersebut maka dapat dipastikan
pendidikan akan tersendat atau paling tidak, berjalan dengan lambat. Beberapa
faktor di atas dapat dirumuskan dalam sebuah bagan sebagai berikut:
Bagan Interaksi Sistematisasi Pendidikan
|
|
|
|
|
|
Keterangan: Terlihat seluruh faktor satu dengan yang
lain saling terkait dan menuju ke titik yang sama, yaitu sebuah tujuan.
1Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Prespektif, Remaja Rosda Karya, Bandung,
1994, hal 26.
2Loc.
Cit.
5Muhaimin,
Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001, hal. 30.
8Achmadi, Islam
sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta, 1992, hal. 15.
9Muslih
Usa, Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Citra dan Fakta, Tiara
Wacana, Yogyakarta, 1991, hal. 54.
10Achmadi,
Op.Cit., hal 14.
11Abdul
Fattah Jalal, Azaz-azaz Pendidikan Islam, CV. Diponegoro, Bandung, 1988,
hal. 28-29.
13Ahmad
Tafsir, Op.Cit. hal. 29.
14Abdurrahman
an-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Alih Bahasa
Drs. Herry Noer Ali, CV. Diponegoro, Bandung, 1989, hal. 32.
16Ahmad
Tafsir, Op.Cit., hal. 32.
17Achmadi,
Op.Cit., hal. 20.
18H. M.
Irsyad Djuwaili, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, Yayasan Karsa
Utama Mandiri, Jakarta, 1998. hal. 4.
19Zuhairini,
Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hal. 152.
20Hasan
Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentara Pendidikan Islam, PT. al-Ma’arif,
Bandung, 1995, hal. 35.
21Hasan
Langgulung, Op. Cit, hal., 36-37.
22H. M.
Irsyad Djuwaili, Op.Cit, hal. 10-11.
23Quraisy
Shihab, Membumikan al-Qur'an,
Mizan, Bandung, 2000, hal. 40.
24Hasan
Langgulung, Op.Cit., hal 38.
26 loc.
Cit.
29H. M.
Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Bumi Aksara, Jakarta,
1995, hal. 15.
30Umar
Tirtarahardja dan La Sula, Pengantar Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta,
2000, hal. 37.
31Abdur
Rahman Shalih Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut al-Qur'an
serta Implementasinya, C.V. Diponegoro, Bandung 1991, hal. 148-149.
32Abdur
Rahnab Shalih Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur'an, Alih
Bahasa, H.M. Arifin dan Zainuddin, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hal. 132.
33Zuhairini,
et.al, Op.Cit., hal 159.
34
Zuhairini, et.al, Op.Cit, hal 161.
35Omar
Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Alih Bahasa
Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta, 1997, hal. 399.
36Zuhairini
et.al. Op.Cit., hal. 161-162.
37Muhammad
Quthab, Sistem Pendidikan Islam, Alih Bahasa Drs. Salman Harun, PT.
Al-Ma’arif, Bandung, hal. 27.
39Hasan
Langgulung, Manusia dan Pendidikan (suatu Analisa Psikologis dan Pendidikan),
Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1995, hal. 61-62.
40Muhlisin,
Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam: Telaah atas Pemikiran Pendidikan Abdul
A’la Al-Maududi, Tesis Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo,
Semarang, 1999, hal. 64.
43Athiyah
Al-Abrasy, Al-Tarbiyah Al-Islamiyah wa Falasifatuha, Mesir, Isa Al-Baby
Al-Khalaby, 1950, hal. 22-25.
44Hasan
Langgulung, Manusia dan Pendidikan suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,
Op.Cit., hal. 61.
45 Hasan
Langgulung, Manusia dan Pendidikan suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,
Op.Cit., hal. 62-63.
46H.M.
Arifin, Op.Cit., hal. 4.
47Achmadi,
Op.Cit., hal 21.
49Hasan
Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Op.Cit., hal.
92.
50Chalidzah
Hasan, Kajian Pendidikan Perbandingan, Al-Ikhlas, Surabaya, 1995, hal.
14.
51Hasan
Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1992,
hal. 6-7.
52Hasan
Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Op. Cit, hal 7-9.
53Abdurrahman
an-Nahlawi, Op.Cit., hal. 50.
55Abdurrahman
an-Nahlawi, Op.Cit, hal. 101.
56H.M.
Arifin, Op.Cit., hal. 76.
58Tim
Pengembangan MKDK IKIP Semarang, Dasar-dasar Pendidikan, IKIP Semarang
Press, 1989, hal. 25.
60M.Irsyad
Djuwaeli, Op.Cit., hal. 24.
61Chalidzah
Hasan, Op.Cit., hal. 50.
62Tim
Pengembangan MKDK IKIP Semarang, Op.Cit., hal. 37.
63M.
Irsyad Djuwaili, Op.Cit., hal. 26.
65Abdurrahman
Shalih Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut al-Qur'an serta
Implementasinya, Op.Cit., hal. 37.
66Tim
Pengembang MKDK IKIP Semarang, Op.Cit., hal. 38.
69Chalidzah
Hasan, Op.Cit., hal. 51.
0 Response to "PENDIDIKAN ISLAM"
Post a Comment