KONSEP TAKHALLI, TAHALLI DAN TAJALLI

KONSEP TAKHALLI, TAHALLI DAN TAJALLI
A.    Pengertian Tasawuf
Achmad Mubarok dalam bukunya mengetangahkan:
Manusia adalah makhluk yang berpikir dan merasa. Bertasawuf artinya menghidupkan hubungan rasa antara manusia dengan Tuhan. Berbeda dengan kesadaran intelektual tentang adanya Tuhan yang belum tentu mendatangkan ketenangan jiwa, kesadaran rasa berhubungan dengan Tuhan dan menempatkan seseorang berada dalam harmoni sistem sunatullah. Bagi orang yang sudah sampai pada stasion ridha atau mahabbah, apalagi ma’rifat, maka ia tak akan terganggu oleh perubahan zaman hidupnya, karena pusat perhatiannya tidak lagi kepada yang berubah, tetapi kepada yang tetap tak berubah yaitu Allah SWT. Kesadaran rasa berhubungan dengan Tuhan dapat memupuk fitrah keberagamaan yang hanif  dan mempertajam bashirah sehingga seseorang selalu tergelitik untuk memperdekatkan dirinya (taqarrub) kepada Allah.[1]

Salah satu ajaran yang dapat mendekatkan diri manusia kepada Tuhan, adalah tasawuf.  Sebagai salah satu disiplin keagamaan, tasawuf merupakan bidang yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai disiplin yang ada pada wilayah yang berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya.[2] Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dikhadirat Tuhan.[3] Intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya tasawuf, adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.[4]
Masalah yang muncul apakah yang dimaksud dengan tasawuf itu sendiri? Beberapa ahli merumuskan tasawuf dalam rumusan yang berbeda-beda, akibat sudut pandang dan titik tekan yang berbeda. Adanya perbedaan rumusan tentang pengertian tasawuf bukanlah berarti untuk disiplin ilmu lain rumusannya tidak berbeda-beda. Dalam fiqih (hukum Islam) pun terdapat rumusan yang berbeda-beda. Demikian pula dalam ilmu hukum barat pun tidak ada kesepakatan para ahli tentang apa itu hukum? Kurang lebih 200 tahun yang lalu Immanuel Kant pernah menulis sebagai berikut: “Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffi von Recht” (masih juga para sarjana hukum mencari-cari suatu definisi tentang hukum).[5]
Amin Syukur dalam bukunya menjelaskan:
Dalam tasawuf pun terdapat berbagai istilah yang mewarnai pengertian tasawuf itu sendiri. Sebutan atau istilah tasawuf tidak pernah dikenal pada masa Nabi maupun Khulafaur Rasyidin, karena pada masa itu para pengikut Nabi saw diberi panggilan sahabat. Panggilan ini adalah yang paling berharga pada saat itu. Kemudian pada masa berikutnya, yaitu pada masa sahabat, orang-orang muslim yang tidak berjumpa dengan beliau disebut tabi’in, dan seterusnya disebut tabi’it tabi’in.[6]
Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III hijriyah, oleh Abu Hasyim al-Kufy (w 250 H) dengan melatakkan al-sufi dibelakang namanya, sebagaimana dikatakan oleh Nicholson bahwa sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, wara, tawakkal, dan dalam mahabbah, akan tetapi dia yang pertama kali diberi nama al-sufi.[7]
Secara etimologis, para ahli berselisih pendapat tentang asal kata tasawuf. Namun salah seorang pakar tasawuf yaitu H.M.Amin Syukur terhadap yang terakhir ini  tidak setuju. Beliau cenderung pada pendapat yang mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari Shuf (bulu domba). Selanjutnya orang yang berpakaian bulu domba disebut mutashawwif, perilakunya disebut tasawuf.[8]
Secara terminologis, tasawuf diartikan secara variatif oleh para sarjana. Ibrahim Basuni sebagaimana dikutip oleh H.M. Amin Syukur, mengklasifikasikan definisi tasawuf menjadi tiga varian, yakni definisi yang menitik beratkan pada al-Bidayah (tasawuf dalam tataran elementer), al-Mujahadah (tasawuf dalam tataran intermediate), dan al-Madzaqat (tasawuf dalam tataran advance).[9]
Definisi tasawuf dari sudut al-Bidayah, antara lain dikemukakan oleh Sahalal-Tustury mendefinisikan tasawuf dengan:
Seorang sufi ialah orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan manusia, dan memandang sama antara emas dan kerikil.[10]
Dari sisi al-Mujahadah, Abu Muhammad al-Jaziri mengartikan tasawuf dengan : “masuk kedalam akhlak yang mulia dan keluar dari semua akhlak yang hina”.[11]
Untuk mencapai tujuan tasawuf seseorang harus melaksanakan berbagai kegiatan (al-Mujahadah dan al Riyadlah), tidak dibenarkan memisahkan amaliah kerohanian dengan syari’at agama Islam. 
Apabila dalam pengertian kedua (dari sisi al-Mujahadah), tasawuf mempunyai pengertian berjuang, menundukkan hawa nafsu/keinginan, maka pengertian tasawuf pada sisi al-Madzaqat, tasawuf diartikan dan dititik beratkan pada rasa serta kesatuan dengan yang mutlak, sebagaimana dikatakan oleh Ruwaim bahwa tasawuf itu ialah melepaskan jiwa terhadap kehendak Allah SWT. Demikian pula al-Sybli menyatakan bahwa tasawuf adalah bagaikan anak kecil dipangkuan Tuhan. Sedang al-Hallaj menyatakan bahwa tasawuf itu kesatuan dzat.[12]
Dengan demikian dapat diungkapkan secara sederhana, bahwa tasawuf itu ialah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, sehingga dengan itu segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya. Oleh karena itu, maka al-Suhrawardi mengatakan bahwa semua tindakan (al-akhwal) yang mulia adalah tasawuf.[13] 
Dengan pengertian seperti itu, HM. Amin Syukur merumuskan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akherat. Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sangup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya, yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela. Hal inilah yang dikehendaki dalam tasawuf yang sebenarnya.[14]

B.     Pembagian Tasawuf
Secara keseluruhan ilmu tasawuf bisa dikelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Tasawuf yang tercakup dalam bagian ini ialah sejarah lahirnya tasawuf dan perkembangannya sehingga menjelma menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Termasuk di dalamnya adalah teri-teori tasawuf menurut berbagai tokoh tasawuf dan tokoh luar tasawuf yang berwujud ungkapan sistematis dan filosofis.[15]
Bagian kedua ialah tasawuf Amali atau tathbiqi yaitu tasawuf terapan, yakni ajaran tasawuf yang praktis. Tidak hanya teori belaka, tetapi menuntut adanya pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tasawuf. Orang yang menjalankan ajaran tasawuf ini akan mendapat keseimbangan dalam kehidupannya, antara material dan spiritual, dunia dan akherat.[16]
Sementara ada lagi yang membagi tasawuf menjadi tiga bagian, yakni:
1.      Tasawuf Akhlaqi,
2.      Tasawuf Amali,
3.      Tasawuf Falsafi.
Tasawuf Akhlaqi ialah tasawuf yang menitik beratkan pada pembinaan akhlak al-karimah. Akhlak adalah keadaan yang tertanam dalam jiwa yang menumbuhkan perbuatan, dilakukan dengan mudah, tanpa dipikir dan direnungkan terlebih dahulu. Dengan demikian, maka nampak adanya perbuatan itu didorong oleh jiwa, ada motifasi (niat) kuat dan tulus ikhlas, dilakukan dengan gampang tanpa dipikir dan direnungkan sehingga perbuatan itu nampak otomatis.
Tasawuf Amali ialah tasawuf yang menitik berat pada amalan lahiriyah yang didorong oleh qalb (hati). Dalam bentuk wirid, hizib, dan doa. Selanjutnya tasawuf ini dikenal dengan tariqat (Arab: tariqah), jalan menuju Allah, yang selanjutnya menjelma menjadi organisasi ketasawufan yang diikat dalam sebuah organisasi yang dilengkapi dengan aturan-aturan yang ketat dengan mengkaitkan diri kepada seorang guru (mursyid). Pengikut tariqat harus berguru, sebab yang bertariqat tanpa guru, maka gurunya adalah syaitan. Organisasi ini dihimpun dalam suatu wadah yang namanya disesuaikan dengan nama perintisnya, seperti tariqat qadiriyah naqsabandiyah, alawiyah dan sebagainya.
Selanjutnya ada lagi tasawuf Falsafi, yakni tasawuf yang dipadukan dengan filsafat. Dari cara memperoleh ilmu menggunakan rasa, sedang menguraikannya menggunakan rasio, ia tidak bisa dikatakan tasawuf secara total dan tidak pula bisa disebut filsafat, tetapi perpaduan antara keduanya, selanjutnya dikenal tasawuf Falsafi. Ketiga model tasawuf tersebut hanya sebatas dalam sistematika keilmuan, bukan dalam tataran praktis. Ketiga menyatu pada pribadi yang satu dan utuh.
Semua proses bertasawuf   akan melalui tahapan takhalli (pembersihan hati dari sifat-sifat tercela) dan tahalli (menghiasi/mengisinya dari sifat-sifat terpuji) secara simultan, sehingga tercapai tajalli (tersingkapnya hijab/tabir) antara seorang hamba dengan Tuhan. Bagi orang awam (orang pada umumnya mencapainya dalam tataran elementer, yakni mengetahui, menghayati dan mengamalkan kebenaran, sementara bagi khawwash dan khawash al-Khawash (istimewa dan sangat istimewa), mencapai ma’rifatullah dengan mencapai nur bashirah (mata hati)
Menurut HM. Amin Syukur, pembagian ini hanya sebatas kajian akademik, ketiganya tidak bisa dipisahkan secara dikotomik, sebab dalam prakteknya ketiga-tiganya tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama lainnya. Misalnya dalam tasawuf, pendalaman dan pengalaman aspek batin adalah yang paling utama dengan tanpa mengabaikan aspek lahiriyah yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa. Kebersihan jiwa di maksud adalah hasil perjuangan (mujahadah) yang tak henti-hentinya, sebagai cara perilaku perorangan yang terbaik dalam mengontrol diri pribadi.[17] Pencapaian kesempurnaan serta kesucian jiwa, tiada lain kecuali harus melalui pendidikan dan latihan mental (riyadlah) yang diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar dan pendisiplinan tingkahlaku yang ketat. Itulah sebabnya mengapa al-Ghazali mengibaratkan hati/jiwa manusia itu bagaikan cermin. Cermin yang mengkilap dapat saja menjadi hitam pekat jika tertutup oleh noda-noda hitam maksiat dan dosa yang diperbuatnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT :


Artinya : Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. (QS. 83:14)[18]

Namun apabila manusia mampu menghilangkan titik noda dan senantiasa menjaga kebersihannya, maka cermin tersebut akan mudah menerima apa-apa yang bersifat suci dari pancaran nur illahi. Bahkan lebih dari itu, hati jiwa seseorang akan memiliki kekuatan yang besar dan luar biasa. Ketika seseorang merasa dekat dengan Tuhan, bahkan dalam perasaannya merasa lebur (fana) DenganNya disini titik temu antara ketiga bagian tersebut, yakni tasawuf akhlaki, Amali dan Falsafi.[19] 
Berbeda dengan pembagian tasawuf di atas, Abd al-Kadir Mahmud sebagaimana dikutif oleh M.Amin Syukur dan H. Masyharuddin, mengelompokkan aliran/madzhab tasawuf kedalam tiga aliran; tasawuf Salafi, tasawuf Sunni, dan tasawuf Falsafi.[20] Tasawuf Salafi adalah tasawuf yang ajaran dan metodenya berdasarkan al-Qur'an dan al-Sunnah nabi serta praktek-praktek kerohanian generasi salaf. Tasawuf Sunni merupakan tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan aspek syari’ah dan hakekat namun diberi interpretasi dan metode baru yang belum dikenal pada masa salaf al-Shalihin. Sedang tasawuf Falsafi adalah jenis tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan antara visi tasawuf dan filsafat, sehingga cenderung melampaui batas-batas syari’ah.[21]
Tasawuf Akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat. Guna mencapai kebahagiaan yang optimum manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui pensucian jiwa raga, bermula dari pembentukan pribadi  bermoral  dan berakhlak, yang dalam ilmu tasawuf dikenal sebagai takhalli (pengosongan diri dari sikap tercela), tahalli (menghias diri dengan sifat yang terpuji), dan tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan).[22] Tiga jenjang ini akan diuraikan pada pembahasan berikut ini (pada sub C). Sementara tasawuf Amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pengertian ini, tasawuf Amali berkonotasikan tarekat,  dalam tarekat dibedakan antara kemampuan sufi yang satu daripada yang lain, ada orang yang dianggap mampu dan tahu cara mendekatkan diri kepada Allah, dan ada orang yang memerlukan bantuan orang lain yang dianggap memiliki otoritas dalam masalah itu.  Perkembangan selanjutnya, para pencari penuntun semakin banyak dan terbentuklah semacam komunitas sosial yang sepaham, dan dari sini muncullah strata-strata berdasarkan pengetahuan serta amalan yang mereka lakukan. Dari sini maka muncullah istilah murid, mursid, wali dan sebagainya. Sedangkan tasawuf Falsafi, yaitu tasawuf yang ajaran-ajaranya mamadukan antara visi mistis atau intuitif dan visi rasional. Termionologi filosofis yang digunakan berasal dari macam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak bisa dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak bisa dikategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering diungkapkan dengan bahasa filsafat.[23] Bahkan ungkapan-ungkapan yang samar-samar (syathahiyyat) yang sulit dipahami, sering terlontar dari ucapan para tokohnya, yang  berakibatkan kesalah pahaman dan tragedi.
Jika dikaji uraian di atas bahwa dalam pertumbuhannya, tasawuf Sunni dan Falsafi lebih berkembang dan lebih menarik minat banyak orang. Tasawuf Sunni mencapai puncaknya di tangan al-Ghazali, sedang tasawuf Falsafi mencapai puncaknya di tangan ibn Arabi. Sementara itu, tasawuf Salafi meskipun cikal bakalnya telah ada sejak masa salaf (sahabat dan tabi’in), namun baru menemukan formatnya setelah dikembangkan oleh para tokoh hadits madzab Hanbali, di antaranya adalah ibn  Taimiyah. Tasawuf Salafi oleh Fazlur Rahman dipandang sebagai neo sufisme.[24]
Upaya menghidupkan kembali tasawuf Salafi oleh para tokoh madzhab Hanbali dilakukan setelah mereka melihat gerakan tasawuf dapat menguasai dunia Islam selama abad VI dan VII Hijriyah, baik secara emosional, spirituial maupun intelektual. Melihat kenyataan tersebut, mereka sampai pada suatu kesimpulan bahwa sama sekali tidak mungkin mengabaikan kekuatan-kekuatan sufisme secara keseluruhan. Karena itu mereka berusaha menggabungkan kedalam metodologi mereka, warisan para sufi sebanyak mungkin yang dapat dikompromikan dengan doktrin-doktrin Islam ortodok, sehingga dapat memberi kontribusi positif kepadanya. Ada dua cara yang mereka tempuh, yaitu; pertama, motif moral sufisme lebih ditekankan dan sebagaian dari teknik dzikir dan murakabah diterima pula. Tetapi obyek dan kandungan muraakabah tersebut, kini diidentifikasikan dengan doktrin ortodok dan selanjutnya didefinisikan kembali sebagai peneguhan keimanan sejalan dengan ajaran-ajaran dogmatis dan kesucian moral jiwa. Kedua, formulasi tasawuf yang diperbaharui ini diarahkan untuk memperbaharui aktifisme ortodoks dan menanamkan kembali sikap positif terhadap dunia. Dalam makna ini maka ibn Taimiyah sebagai salah satu penerus madzhab Hanbali walaupun banyak mengkritik tasawuf, namun ia termasuk perintis tasawuf Salafi atau neo sufisme.
C.    Jenjang Pembinaan dalam Tasawuf
Sesuai dengan judul skripsi ini, bahwa ajaran-ajaran tasawuf demikian luasnya, karena itu fokus bahasan hanya ditujukan pada ajaran tasawuf Akhlaqi. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa tasawuf Akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang dirumuskan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkahlaku yang ketat, guna menncapai kebahagian yang optimal, manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui pensucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna, dan berakhlak mulia, yang dalam ilmu tasawuf dikenal dengan istilah takhalli, tahalli dan tajalli.
1.  Takhalli
Mengenai takhalli terdapat berbagai rumusan yang redaksinya berbeda namun intinya sama. Misalnya, HM. Amin Syukur menegaskan takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran, dan penyakit hati yang merusak.[25] Sementara Mustafa Zahri merumuskan takhalli yaitu mengosongkan diri dari segala sifat-sifat yang tercela.[26] Sedangkan M. Hamdani Bakran adz-Dzaky mengemukakan bahwa takhalli yaitu metode pengosongan diri dari bekasan kedurhakaan dan pengingkaran (dosa) terhadap Allah Ta’ala dengan jalan melakukan pertaubatan yang sesungguhnya (nasuha).[27]
H. Ramayulis mengetengahkan bahwa takhalli pada umumnya diartikan sebagai membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat batin, mengosongkan diri dari sifat-sifat ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Cara pencapiannya ialah dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu jahat.[28]
Kemaksiatan pada dasarnya dapat dibagi dua, maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir ialah segala sifat tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir seperti tangan, mulut dan mata. Maksiat batin ialah segala sifat tercela yang diperbuat oleh anggota batin yaitu hati. Pada tahap takhalli ini, seseorang berjuang keras untuk dapat mengosongkan jiwa mereka dari segala sifat tercela yang dapat mendatangkan kegelisahan pada jiwanya.
Fase takhalli adalah fase pensucian mental, jiwa, akal pikiran, qalbu, sehingga memancar keluar dan moral (akhlak) yang mulia dan terpuji. Metode takhalli ini secara teknis ada lima, yaitu:
a.       mensucikan yang najis, dengan melakukan istinjak dengan baik, teliti dan benar dengan menggunakan air atau tanah.
b.      Mensucikan yang kotor, dengan cara mandi atau menyiram air keseluruh tubuh dengan cara yang baik, teliti dan benar.
c.       Mensucikan yang bersih, dengan cara berwudhu dengan air, dan debu  dengan cara yang baik, teliti dan benar.
d.      Mensucikan yang suci (fitrah) dengan mendirikan  shalat taubat untuk memohon ampunan kepada Allah SWT.
e.       Mensucikan yang Maha Suci, dengan berdzikir dan mentauhidkan Allah dengan kalimat tiada sesembahan kecuali Allah Ta’ala.[29]
 Metode pensucian rohani itu adalah merenungkan keburukan dunia ini dan menyadari bahwa ia palsu dan cepat sirna, dan mengosongkan hati darinya. Hal ini hanya dapat dicapai dengan perjuangan menaklukan hawa nafsu, dan kesungguhan perjuangan yang terpenting adalah melaksanakan peraturan-peraturan disiplin lahiriyah secara terus menerus dalam keadaan apapun.[30]
Muhammad Rasulullah saw melakukan uzlah (mengasingkan diri dari dunia ramai) untuk berkhalwat dan bermunajat, menyepi diri dalam rangka mencari suatu esensi kebenaran. Beliau mengambil tempat di Gua Hira yang sepi dari keramaian, gelap gulita, berlokasi di sebelah utara kota Makkah. Di sanalah beliau merenung untuk mendapatkan kesucian akal dan rohani, cahaya ketuhanan serta segudang petunjuk suci dari Allah SWT sehingga dengan modal itu semua harapan untuk menyelamatkan umat dari kehancuran dan kebodohan dapat terwujud.
Sebelum beliau menjadi rasul, kegiatan uzlah dan khalwat (menyepi diri) merupakan aktifitas rutin setiap tahun, meninggalkan kota Makkah dengan menyendiri untuk menghabiskan bulan ramadhan. Apabila bulan itu telah habis, beliau kembali lagi ke tengah-tengah masyarakat dan umat dengan bekal cahaya-cahaya ideologi dan kemantapan jiwa serta batin illahiyah, sebagai bekal taqarub (pendekatan diri) kepada Allah SWT. Begitulah seterusnya apabila bulan tiba beliau kembali menjalankan program pengembangan fitrah tauhidnya sebagaimana tahun-tahun yang lalu.
Hasil tempaan diri yang aktif dilakukan oleh Nabi Muhammad saw secara terus menerus, disiplin dan total di dalam Gua Hira tersebut, benar-benar merupakan suatu keajaiban yang supra luar biasa. Beliau memperoleh esensi ilmu dan pengetahuan tentang suatu kebenaran hakekat yang dapat mengantarkan manusia kepada jalan-jalan hidup dan kehidupan berarti.[31] Setelah beulang-ulang sepanjang bulan ramadhan hingga beliau berusia 40 tahun, akhirnya beliau menerima cahaya-cahaya esensi kebenaran dan kebenaran esensi dengan sukses.
Ungkapan hujjatul Islam Imam al-Ghazali r.a; dapat diambil suatu pelajaran tentang konsep takhalli dimana saat ia melakukan uzlah dan khalwat, ia dapatkan sebuah keberhasilan yang indah dari proses pensucian diri seperti kata-katanya:
Saya menganalisis diri, kemudian saya melihat bahwa diri saya digenangi oleh banyak penghalang. Oleh sebab itu, saya segera berkhalwat dan selalu berolah batin selama 40 hari. Kemudian memancarlah kepada diri saya ilmu penegetahuan yang belum saya ketahui dapat membersihkan  dan membebaskan ilmu yang sudah saya miliki. Peristiwa ini saya analisa, ternyata ia mengandung potensi pemahaman. Saya kembali berkhalwat, konsentrasi bermujahadah selama 40 hari lagi. Maka mengalirlah kepada diri saya ilmu lain yang membersihkan dan dapat membebaskan ilmu yang sudah saya raih sebelumnya. Saya terasa bahagia. Ilmu itu pun saya analisa ternyata mengandung unsur teoritik. Saya pun kembali berkhalwat untuk yang ketiga kalinya selama 40 hari. Kemudian mengalirlah kepada diri saya suatu ilmu pengetahuan lain yang dapat membebaskan dan membersihkan. Ilmu ini saya analisa, ternyata mengandung unsur potensi yang bercampur dengan ilmu pengetahuan.[32]

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, takhalli yaitu membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan juga dari kotoran-kotoran/penyakit hati yang rusak. Langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengetahui dan menyadari betapa buruknya sifat-sifat tercela dan kotoran-kotoran hati tersebut, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses, maka seseorang akan memperoleh kebahagiaan. Allah berfirman:





Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya. (QS. 91: 8-9)[33]

Adapun sifat-sifat atau penyakit hati yang perlu diberantas sebagimana diterangkan oleh HM. Amin Syukur dalam kedua bukunya sebagai berikut:[34]
a.       Hasad
Hasad diartikan iri dan dengki. Hal ini terkandung pengertian adanya keinginan hilangnya suatu nikmat dari tangan orang lain, agar berpindah kepada dirinya. Sifat ini dilarang oleh Allah (QS. An-Nisa’ : 54 dan QS. Al-Baqarah : 109).
Menurut Aboebakar Aceh hasad diartikan membenci nikmat Tuhan yang dianugerahkan kepada orang lain dengan keinginan agar nikmat orang lain itu terhapus.[35] Hasad merupakan salah satu sifat jiwa yang keji, tidak dapt dihilangkan jika tidak memperoleh didikan dan latihan secara sufi. Sebelum orang yang hasad itu mencapai maksudnya, ia lebih dahulu telah membinasakan dirinya dengan lima akibat, pertama menderita duka cita yang berlarut-larut, kedua menderita kecelakaan yang tak dapat ditolong, ketiga memperoleh amarah Tuhan, keempat dan kelima ditutup untuknya pintu hidayat dan taufik. Hasan Basri berkata: “wahai anak Adam jangan engkau hasad atau dengki terhadap saudaramu, karena ia memperoleh kemuliaan dari Tuhan, maka tidaklah layak engkau dengki terhadap orang yang telah dimuliakan oleh Tuhan itu. Sebaliknya jika ia memperoleh sesuatu bukan dari Tuhan, apakah layak engkau dengki atau iri hati terhadap orang yang akan pergi masuk neraka?” Ada orang sufi berkata: “seseorang yang mempunyai tiga macam kelakuan tidak diperkenankan doanya, pertama ia gemar makan barang haram, kedua banyak mengumpat orang lain, ketiga barang sedikit hasad atau dengki dalam hatinya terhadap orang Islam. Sedangkan hasad yang tidak berarti dengki terhadap nikmat yang dikaruniakan kepada orang lain, dan tidak juga menghendaki hilangnya karunia tersebut, namun sekadar mendorong cita-cita untuk berbuat sesuatu, sehingga memperoleh karunia seperti orang lain itu, maka sifat yang demikian itu termasuk sifat yang terpuji dan memperoleh pahala di hari akherat, sifat ini dinamakan munafasah atau ghirah.[36]
Imam Ghazali mengatakan hasad itu haram hukumnya yaitu hasad yang mempunyai tujuan menghilangkan sesuatu nikmat pada diri orang lain dan mengharapkan datang celaka kepada orang lain itu. Adapun munafasah, yaitu keinginan agar memperoleh nikmat seperti orang lain itu dengan tidak menghendaki kebinasaan terhadap orang itu menurut Ghazali tidak haram.[37]
Sejalan dengan itu HM. Amin Syukur menegaskan ightibath, yaitu keinginan untuk mendapatkan nikmat seperti nikmat yang diperoleh orang lain seperti ilmu, harta kekayaan kedudukan dan kebaikan, tanpa adanya keinginan hilangnya nikmat itu dari orang tersebut adalah diperbolehkan.[38]
Berlainan dengan hasad ialah sifat haqad, yaitu dengki yang sudah membuahkan permusuhan, kebencian dan memutuskan silaturrahim, yang demikian itu aalah sifat yang paling buruk dan sangat tercela, menurut Rasulullah  besar sekali dosanya, karena orang yang demikian itu telah termasuk kedalam golongan orang yang memisahkan dirinya dari sesama Islam, dan membuka ‘aib dan rahasia sesama saudaranya, sehingga baginya tidak ada tempat lain daripada neraka.[39]
b.      Al-Hirshu
Al-Hirshu adalah suatu keinginan yang berlebih-lebihan terhadap masalah-masalah keduniaan. Sifat selalu ingin menang merupakan sifat kemanusiaan (manusiawi) dan sifat pembawaan manusia (al-Imran : 14). Islam memandang, keinginan yang berlebih-lebihan adalah dilarang, namun keinginan dalam batas kewajaran dan dalam rangka memenuhi kebutuhan primer seseorang, masih dalam batas diperbolehkan, karena ia merupakan sarana mempertahankan eksistensi di atas dunia ini, hanya saja cara dan materi pemenuhan keinginan (kebutuhan hidup) itu dalam kerangka norma dan kaidah yang berlaku.[40]
c.       Al-Takabburu
Takabbur yang biasa diartikan kesombongan, berarti sikap dan sifat merendahkan orang lain dan bisa berarti menolak al-haq (kebenaran). Sebab-sebab yang menjadikan seseorang berlaku sombong (takabbur) ialah adanya perasaan kelebihan pada dirinya, seperti ilmu pengetahuan, amal ibadah, keturunan orang terhormat, harta kekayaan, kekuatan fisik, kedudukan, kecantikan, ketampanan dan sebagainya.[41]
Dalam realisasinya, takabbur itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga: pertama, takabbur kepada Allah, seperti Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan. Takabbur ini yang terjelak. Kedua, takabbur kepada rasulnya seperti orang-orang quraisy. Ketiga, takabbur kepada sesamanya. Ketiga-tiganya harus kita hilangkan dari diri kita masing-masing.
d.      Al-Ghadlab
Ghadlab berarti marah. Sifat ini merupakan pembawaan setiap manusia, namun mereka berbeda dalam kadarnya, ada yang berdarah dingin, berdarah panas dan ada yang berdarah sedang. Bagi mereka yang berdarah dingin tidak mempunyai sifat marah, atau seandainya mempunyai, kadarnya hanya sedikit. Orang seperti ini dinilai tidak baik, karena justru manusia suatu ketika harus marah, manakala menyangkut hak asasinya yang harus dipertahankan. Imam Syafi’i pernah menyatakan, barang siapa yang semestinya harus marah, akan tetapi tidak mau marah, maka orang itu bagaikan himar. Sebaliknya bagi yang berdarah panas, sedikit tersinggung perasaannya, naik pitam, sehingga lupa daratan, keluar dari rel pemikiran yang sehat dan ketentuan agama bahkan seperti orang gila. Memang demikianlah, marah pada awalnya seperti orang gila, tapi akhirnya akan menyesal. Dalam hubungan ini menurut HM. Amin Syukur, yang paling baik ialah bersikap tengah di antara keduanya, yaitu marah untuk membela suatu kebenaran (haq), artinya marah yang proporsional. 
e.       Riya’ dan Sum’ah
Riya’ artinya mencari simpati dengan mempertahankan kebaikannya. Sifat ini dilarang oleh Allah (al-Ma’un : 4-6). Hal-hal atau kebaikan yang diperlihatkan ialah tubuh, perhiasan, ucapan, amalan lahir, pengikut atau teman dan sebagainya. Tanda-tanda orang yang riya’ ialah malas beramal ketika berada dalam kesendirian dan giat apabila dilihat orang banyak, serta menambah amalnya ketika dipuji orang dan menguranginya ketika dicaci.
Sum’ah adalah sifat yang tercela yang mirip ria, bedanya ialah kalau sum’ah melakukan amal kebaikan disertai tujuan agar didengar oleh orang dengan tujuan ingin populer. 
f.       Ujub atau Ta’jub
Ujub adalah mengherani diri sendiri atas kebaikan yang dilakukan dan kelebihan yang dimilikinya tanpa mengingat pemberi dan pendukungnya. Sifat ini mempunyai pengaruh negatif terhadap diri seseorang antara lain menjurus kepada sifat takabbur (sombong), lupa nikmat Allah dan dosanya, dan sebagainya. Oleh karena itu Allah mencelanya (at-Taubah : 25 dan al-Kahfi : 104). 
g.      Syirik
Syirik adalah mempersekutukan Allah SWT dengan makhluknya, baik dalam dimensi rububiyah, mulqiyah maupun illahiyah, secara langsung atau tidak, secar nyata atau terselubung. Dalam dimensi rububiyah misalnya meyakini bahwa ada makhluk yang mampu menolak segala kemudharatan dan meraih segala kemanfaatan, atau dapat memberikan berkat, seperti meyakini “kesaktian para wali Allah”, sehingga ia minta bantuan kepada mereka untuk menolak petaka atau untuk meraih keuntungan apalagi bila wali tersebut sudah meninggal dunia.
Dalam dimensi mulqiyah misalnya mematuhi sepenuhnya para penguasa non muslim – bukan terpaksa – di samping menyatakan patuh kepada Allah SWT, padahal pemimpin non muslim itu menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT dan mengharamkan apa yang dihalalkan atau mengajaknya melakukan kemaksiatan.[42]

2. Tahalli
Menurut HM. Amin Syukur tahalli adalah menghias diri dengan jalan membiasakan dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik.[43] Sementara Mustafa Zahri mengartikan tahalli yaitu menghias diri dengan sifat-sifat terpuji.[44] Untuk melakukan tahalli lagkahnya ialah membina pribadi, agar memiliki akhlak al-karimah, dan senatiasa konsisten dengan langkah yang dirintis sebelumnya (dalam takhalli). Melakukan latihan kejiwaan yang tangguh untuk membiasakan berprilaku baik, yang pada gilirannya akan menghasilkan manusia yang sempurna (insan kamil).
Langkah pengosongan dalam takhalli secara langsung dan disinari dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah), dan sifat-sifat ketuhanan antara lain al-tauhid (pengesaan Tuhan secara mutlak), al-taubah (kembali kejalan yang baik), al-zuhdu (sikap hati mengambil jarak dengan dunia materi), al-hub al-llah (cinta Tuhan), al-wara (memelihara diri dari barang-barang yang haram dan syubhat), al-shabru (tabah dan tahan) dalam menghadapai segala situasi dan kondisi, al-fakr (merasa butuh kepada Tuhan) al-syukru (sikap terima kasih dengan menggunakan nikmat dan rahmat Allah SWT secara fungsional dan proporsional), al-ridha (rela terhadap apa  yang diterimanya), al-tawakal (pasrah diri kepada Allah SWT setelah berusaha maksimal), al-qan’ah (menerima pemberian Allah SWT secara ikhlas) dan sebagainya. 
Setelah seseorang berupaya melalui dua tahap tersebut, yaitu tahap takhalli dan tahalli maka kemudian tahap ketiga yakni tajalli.

3.  Tajalli
Menurut Mustafa Zahri tajalli ialah lenyapnya/hilangnya hijab dari sifat-sifat basyari’a, jelasnya nur yang selama itu ghaib, fana / lenyapnya segala yang lain ketika nampaknya wajah Allah.[45] Sementara Hasyim Muhammad menyatakan, tajalli adalah lenyapnya sifat-sifat kemanusiaan yang digantikan dengan sifat-sifat ketuhanan.[46]
Menurut M. Hamdani Bakran adz-Dzaky tajalli ialah kelahiran atau munculnya eksistensi yang baru dari manusia yaitu perbuatan, ucapan, sikap dan gerak-gerik yang baru; martabat dan status yang baru; sifat-sifat dan karakteristik yang baru; dan esensi diri yang baru. Itulah yang disebut dengan kemenangan dari Allah SWT.[47] Telah lahirnya seseorang dari kelahiran yang baru dan di dalam hidup dan kehidupan yang baru adalah semata-mata karena pertolongan Allah, syafa’at Rasulullah saw dan doanya para malaikat di sisinya melalui upaya, perjuangan, pengorbanan dan kedisiplinan yang sangat tinggi dari diri sendiri dalam melaksanakan ibadah-ibadah berupa menjalankan segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan tabah terhadap ujian-Nya.
Adapun indikasi-indikasi kelahiran baru seorang manusia adalah :
Pertama, (tingkat dasar). Yaitu hadirnya rasa aman, tenang, tentram baik secara psikologis, spiritual maupun fisik; sebagai indikasi telah lenyapnya bekasan-bekasan hitam sebagai akibat dari pengingkaran (maksiat) kepada Allah, yang melekat pada akal fikiran, qalb, inderawi, jiwa, jasad dan kehidupan.
Kedua, (tingkat menengah). Yaitu hadirnya sifat, sikap dan perilaku yang baik, benar, sopan santun, tulus, istiqomah, yaqin, kesatria dan sebagainya secara otomatis bukan rekayasa.
Ketiga, (tingkat atas). Yaitu hadirnya potensi menerima mimpi yang benar, ilham yang benar dan kasysyaf yang benar.
Keempat, (tingkat kesempurnaan). Yaitu hadirnya ketiga tingkatan itu ke dalam diri.[48]
Dari uraian di atas, tampak pentingnya ketiga jenjang pembinaan dalam tasawuf untuk diamalkan dalam kehidupan manusia di alam dunia ini.




[1] Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hlm. 124.
[2] Hasyim muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Telaah Atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Pustaka Pelajar,  Yogyakarta, 2002, hlm. 1.
[3] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1995, hlm. 56.
[4] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, 2002, hlm.68.
[5] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 35.
[6] Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 7.
[7] Ibid, hlm. 7- 8.
[8] Ibid, hlm. 7-8 Bandingkan Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1995, hlm. 56-58.
[9] HM. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 14.
[10] Ibid.
[11] Ibid. hlm. 14--15.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid,  hlm. 16-17.
[15] HM. Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 224.
[16] HM. Amin Syukur dan Hj. Fatimah Ustman, Insan Kamil Paket Pelatihan Seni Menata Hati (SMH), CV Bima Sejati, Bekerja Sama dengan Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf (LEMKOTA) dan Yayasan al-Muhsinun, Semarang, 2004, hlm. 5.  
[17] HM. Amin Syukur dan Musyaruddin, op.cit, hlm. 43-44. lihat juga S.H. Nashr, Tiga pemikiran Islam, (Ibnu Sina, Suhrawardi, dan ibn Arabi), terj. Ahmad Mujahid, Risalah, Bandung, 1986, hlm. 5.
[18] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur'an, al-Qur'an dan Terjemahnya, Surya Cipta Aksara, Surabaya, 1989, hlm. 1036.
[19] HM. Amin Syukur dan Musyaruddin, op.cit, hlm. 44.
[20] H.Masyharuddin, Ibn Taimiyah dan Pembaharuan Tasawuf, dalam  HM. Amin syukur dan Abdul Muhayya, Tasawuf dan Krisis, Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI) Bekerja Sama dengan IAIN Walisongo, Yogyakarta, 2001, hlm. 86-87.
[21] Ibid, hlm. 87.
[22] HM. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, op.cit, hlm. 45.
[23] Ibid, hlm. 50-51. 
[24] H.Masyharuddin, ibn Taimiyah dan Pembaharuan Tasawuf, dalam H.M.Amin Syukur dan Abdul Muhayya, op.cit., hlm. 87.
[25] HM. Amin Syukur dan Masyharuddin, op.cit, hlm. 45.
[26] Mustafa Zahri, Kunci Memahmi Ilmu Tasawuf, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1995, hlm. 26 dan 74.
[27] M. Hamdani Bakran adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam Penerapan Metode Sufistik, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2002, hlm. 259.
[28] H. Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2002, hlm. 138.
[29] M. Hamdani Bakran adz-Dzaky, op.cit, hlm. 259-260.
[30] Ali ibn Ustman al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, Mizan, Bandung, 1992, hlm.263.
[31] M. Hamdani Bakran adz-Dzaky, Pendidikan Ketuhanan Dalam Islam, tp, Yogyakarta, 1990, hlm. 42.
[32] Hamdani, Mencari Wihdah, Asy-Suhud, Sebagai Esensi Ibadah, Tp, Yogyakarta, 1989, hlm. 29.
[33] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur'an, al-Qur'an dan Terjemahnya, Surya Cipta Aksara, Surabaya, 1989, hlm. 1064.
[34] HM. Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, op.cit, hlm. 228-234. HM. Amin Syukur dan Musyaruddin, op.cit, hlm. 45-46.
[35] Aboebakar Aceh, Pendidikan Sufi Sebuah Upaya Mendidik Akhlak Manusia, CV. Ramahani, Solo, 1991, hlm. 31.
[36] Ibid, hlm. 32.
[37] Aboebakar Aceh, op.cit, hlm. 32.
[38] HM. Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, op.cit, hlm. 228-229.
[39] Ibid.
[40] Ibid. hlm. 229.
[41] HM.Amin Syukur, Op.cit, hlm. 3.
[42] Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta, 2002, hlm. 70.
[43] HM. Amin Syukur dan Musyaruddin, op.cit, hlm. 47.
[44] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, PT. Bina ilmu, Surabaya, 1998, hlm. 82-89.
[45] Ibid, hlm. 245.
[46] Hasyim Muhammad, op cit, hlm. 9.
[47] M. Hamdani Bakran adz-Dzaky, op.cit, hlm. 328.
[48] Ibid, hlm. 328-329.

0 Response to "KONSEP TAKHALLI, TAHALLI DAN TAJALLI"

Post a Comment