TELEVISI
DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
A. Media
Pendidikan Budi Pekerti
1. Pendidikan Budi Pekerti
Pendidikan budi
pekerti sering diartikan dengan pendidikan akhlak. Budi pekerti dan akhlak
merupakan dua istilah yang memiliki kesamaan esensi, walaupun akhlak memiliki
cakupan yang lebih luas. Di dalam akhlak terkandung nilai-nilai budi pekerti,
baik yang bersumber dari ajaran agama maupun dari kebudayaan manusia. Budi
pekerti mencakup pengertian watak, sikap, sifat, moral yang tercermin dalam tingkah
laku baik dan buruk yang terukur oleh norma-norma sopan santun, tata krama dan
adat istiadat. Sedangkan akhlak diukur dengan menggunakan norma-norma agama.[1]
Tujuan pendidikan
budi pekerti adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik,
warga masyarakat dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik,
warga masyarakat dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa,
secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh
budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu hakekat dari pendidikan budi
pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai,
yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia
sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.[2]
Dengan demikian
secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan budi pekerti adalah
menyiapkan manusia (peserta didik) agar memiliki sikap dan perilaku yang
terpuji baik ditinjau dari segi norma-norma agama maupun norma-norma sopan santun,
adat-istiadat dan tata krama yang berlaku di masyarakatnya.[3]
Secara lebih
terperinci lagi (Depdiknas, 2000: 5)
menjelaskan bahwa tujuan pendidikan budi pekerti adalah mengkaji dan
menginternalisasi nilai, mengembangkan ketrampilan sosial yang memungkinkan
tumbuh dan berkembangnya akhlak mulia dalam diri peserta didik serta
mewujudkannya dalam perilaku sehari-hari dalam konteks sosio-kultural yang
berbineka sepanjang hayat.[4]
Edi Sedyawati
(1995) menyampaikan 56 butir sifat terpuji yang perlu ditanamkan pada diri
anak. Sifat-sifat tersebut adalah bekerja keras, berani memikul resiko,
berdisiplin, beriman, berhati lembut, berinisiatif, berfikir matang, berfikir
jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersifat konstruktif, bersyukur,
bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdik, cermat, dinamis,
efisien, gigih, hemat, jujur, berkemauan keras, kreatif, kokoh hati, lugas,
mandiri, mawas diri, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan,
menghargai waktu, pemaaf, pemurah, pengabdian, pengendalian diri, produktif,
rajin, ramah tamah, rasa kasih sayang, rasa percaya diri, rela berkorban,
rendah hati, sabar, sportif, susila, tangguh, tegas, tekun, tepat janji,
terbuka dan ulet.[5]
Dari tujuan
pendidikan tersebut jelas tergambar betapa petingnya pendidikan moral (budi
pekerti) bagi bangsa Indonesia
disamping pendidikan lainnya. Namun demikian pendidikan budi pekerti yang
selama kita laksanakan belum memperoleh perhatian yang maksimal, sehingga
hasilnya pun juga tidak seperti yang diharapkan. Menyadari adanya kelemahan
tersebut pemerintah kini ingin menggalakkan pendidikan budi pekerti, baik
pendidikan melalui jalur konvensional atau dengan cara yang inovatif, yaitu dengan memanfaatkan media
pendidikan.
Sarana untuk
menyampaikan pendidikan budi pekerti bisa ditempuh melalui beberapa cara yaitu
memanfaatkan substansi dan praktis mata pelajaran yang relevan, memanfaatkan
tatanan dan iklim sosial budaya dunia pendidikan yang sengaja dikembangkan
sebagai lingkungan pendidikan yang memancarkan akhlak/moral luhur, dan
memanfaatkan media massa
dan lingkungan masyarakat secara selektif dan adaptif.[6]
2. Media Pendidikan
Budi Pekerti
Banyak media yang
dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyampaikan pendidikan budi pekerti
kepada peserta didik, salah satu diantaranya adalah media televisi. Media ini
dipilih dengan pertimbangan kemampuan/kelebihan media tersebut yang dapat
menyajikan materi secara audio visual dengan jangkauan pemirsa dalam jumlah
yang tidak terbatas; sehingga dalam waktu yang bersamaan tayangan program dapat
ditonton oleh ribuan bahkan jutaan orang. Terlebih lagi dengan adanya
kebijaksanaan "langit terbuka" (Open Sky Policy) yang telah
ditetapkan oleh pemerintah sejak tahun 1976, maka jika di rumah dilengkapi
dengan decoder dan parabola yang sesuai dengan spesifikasi yang diperlukan,
maka tayangan program-program televisi dapat dinikmati oleh setiap penduduk
selama 24 jam setiap harinya.
Peran media massa dalam pendidikan budi pekerti sangat
penting sekali, mengingat media adalah sarana untuk menyampaikan sesuatu agar
dapat sampai kepada tujuan, yang dapat diakses oleh masyarakat luas. Hal itu
harus menjadi kewajiban kultural kita semua sebab media massa di era sekarang telah menunjukkan
kesempurnaannya menjadi industri budaya, yang efeknya luar biasa bagi generasi
mendatang. Tetapi kita tidak bisa menolak, bagaimana pun kehadiran media adalah
penting sebagai sarana membangun peradaban manusia.
Seorang akan berperilaku terpuji
apabila batin atau hatinya bersih dan mulia. Nilai-nilai budi pekerti ini harus
diajarkan, dan proses pengajarannya yang disebut pendidikan budi pekerti. Ia
identik dengan komunikasi kebudayaan yang berarti proses transmisi nilai-nilai
budaya atau sebaliknya upaya menginternalisasikan nilai-nilai budaya itu
melalui proses belajar untuk menjadi milik diri dan menjadi acuan berperilaku.[7]
Ki Hajar Dewantara mengidentifikasi
menjadi tiga sentra, yakni; keluarga, masyarakat dan sekolah.[8]
Media belum disebut sebagai salah satu sentra pendidikan karena pada masa itu
perkembangan media masa belum pesat sekarang. Lagi pula lanskap budaya
yang berlaku menjadi setting kehidupan sosial sehari-hari mereka adalah
pertanian bukan budaya industrial.
Ketika globalisasi memasuki semua
segi, media, politik, bahkan sistem pemikiran, membawa implikasi terhadap makin
terbukanya masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern.
Bisa dibayangkan berdasarkan temuan
penelitian yang dilakukan Amirudin anak-anak di desa ternyata menghabiskan
waktu menonton televisi selama 5-6 jam sehari.[9]
Jadi media ternyata benar-benar telah menjadi ‘candu’ bagi anak-anak. Media
menjadi medium ekspresi berwisata pikiran dan emosi sekaligus sarana memuaskan
spiritualitas mereka. Jika demikian halnya, apakah benar bahwa perilaku yang
menyimpang di kalangan anak-anak direproduksi oleh media?
Media kita sekarang memang berbeda
dengan media jaman dulu. Media kita tengah berada dalam setting budaya yang
berbeda, karenanya agar eksis media
lebih memilih berwajah ganda. Di satu sisi ia bermuka sebagai institusi budaya
dan di sisi lain sebagai institusi ekonomi. Sebagai institusi budaya, media
seharusnya tetap menjalankan kewajibannya mendidik warga dalam kerangka
membentuk peradaban ke arah yang lebih baik. Sementara sebagai institusi
ekonomi berarti disamping menjalankan fungsi utamanya yaitu menjalankan peran
kulturalnya, media juga berusaha mendapatkan keuntungan dari sejumlah
investasi.
B. Fungsi
Televisi
Melihat perkembangan teknologi
informasi yang sedemikian pesat dewasa ini, dunia kini dirasakan semakin
sempit, karena dalam berbagai saat saja kita dapat berhubungan dengan oran g lain yang berada di
belahan bumi yang lain, sehingga rasanya kita berada di dalam satu tempat,
dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian canggih.
Akibat perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat ini mengakibatkan
semakin majunya media massa ,
salah satunya adalah media televisi.
Televisi adalah sistem elektronik
yang mengirimkan gambar diam dan gambar hidup bersama suara melalui kabel dan
ruang. Sistem ini menggunakan peralatan yang mengubah cahaya dan suara ke dalam
gelombang elektrik dan mengkonfersikannya kembali ke dalam cahaya dan suara
yang dapat dilihat dan didengar.[10]
Televisi memberikan pengaruh sosial
terhadap masyarakat, baik terhadap anak-anak maupun oran g dewasa. Akan tetapi kemajuan mereka
dalam hal pembicaraan tentang kebudayaan, menambah perbendaharaan bahasa dan
menyebabkan berkurangnya minat mereka dalam membaca surat kabar atau majalah.[11]
1. Televisi Sebagai
Media Informasi
Media komunikasi massa khususnya televisi,
berperan besar dalam hal interaksi budaya antar bangsa, karena dengan sistem
penyiaran yang ada sekarang ini wilayah jangkauan siarannya tidak terbatas
lagi. meskipun demikian, bagaimana pun juga televisi hanya berperan sebagai
media, bukan merupakan tujuan kebijakan komunikasi di Indonesia . Oleh
karena itu dalam perannya sebagai media informasi, televisi berfungsi sebagai:
a. Alat Komunikasi
Pemerintah
Sebagai alat komunikasi
pemerintah, televisi dalam pesan komunikasinya terhadap kondisi sosial budaya
suatu bangsa, meliputi tiga sasaran pokok,[12] yaitu:
1) Memperkokoh
pola-pola sosial budaya
Upaya menumbuhkan aspirasi masyarakat harus diupayakan secara tepat dan
selalu diupayakan dapat tercermin dalam pesan komunikasinya. Sebab, jika tanpa
aspirasi yang meningkat atau yang merangsang masyarakat agar bekerja keras,
untuk dapat menjamin kehidupan yang lebih baik, pembangunan akan sulit
diwujudkan.
Dalam hubungan ini, Subroto menyatakan peranan televisi sebagai alat
komunikasi pemerintah, seperti dinyatakan dalam tulisannya yang berjudul
“Peranan Pemberitaan Televisi dalam Ketahanan Nasional”, yang meliputi hal-hal
berikut:
a) Menyampaikan
informasi kepada masyarakat aktif dalam pelaksanaan pembangunan nasional.
b) Pemberian
kesempatan kepada masyarakat secara aktif dalam pelaksanaan pembangunan
nasional dengan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan, kesadaran
politik dan bernegara, demi suksesnya pembangunan bangsa dan negara.
c) Pertumbuhan
tingkat kecerdasan masyarakat yang dilakukan secara persuasif dengan pendekatan
kultural.[13]
2) Melakukan
adaptasi terhadap kebudayaan
Karena keheterogenan masyarakat pemirsa, timbul kesulitan tersendiri
dalam upaya menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai budi pekerti yang luhur
dalam masyarakat. Hal ini karena sebagian masyarakat kita masih sulit untuk
meninggalkan sikap ketradisionalannya dan mengganti dengan sikap yang rasional,
sehingga akan melemahkan adaptasi masyarakat. Ketidakmampuan beradaptasi, akan berpengaruh
terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsa.
3) Kemampuan
mengubah norma-norma sosial budaya bangsa
Pengaruh sistem televisi tidak bisa disangsikan lagi, khususnya dalam
menumbuhkan norma-norma budaya baru, sehingga masyarakat bisa dipengaruhi, dan
lambat laun norma-norma masyarakat yang sudah berlaku akan terdesak. Karena
itulah maka bukan saja negara-negara yang sedang berkembang yang selalu
khawatir akan dampak yang ditimbulkannya melainkan negara yang sudah maju pun
merasakannya.
b. Televisi
Sebagai Alat Komunikasi Massa
Daerah
jangkauan televisi di belahan bumi manapun sudah tidak menjadi masalah bagi
media masa, meskipun kalau dihitung dari usia kelahirannya, relatif masih muda.
Hal ini karena ada revolusi di bidang satelit komunikasi massa yang terjadi pad dekade akhir-akhir
ini. Akibat adanya sistem komunikasi yang canggih itu, media massa televisi mampu membuka isolasi masyarakat tradisional
yang sifatnya tertutup menjadi masyarakat terbuka, yang mau menerima kemajuan
serta n modernisasi dari luar. Demikian juga televisi dapat menunjukkan
nilai-nilai luhur budaya yang menjadi identitas bangsa dan televisi sebagai
alat komunikasi pembangunan.
Media
televisi berperan menyampaikan informasi pada masyarakat mengenai pembangunan
yang sedang berlangsung dan pembangunan yang sedang direncanakan untuk masa
mendatang.
Beberapa
riset telah dilakukan untuk menguji seberapa jauh kehebatan televisi dalam
perannya dalam pendidikan, khususnya pendidikan anak-anak. Satu diantara hasil
riset yang dilakukan oleh Patrica Marks Greenfield dan Jessica Beagles-Roos.
Mereka melibatkan anak-anak umur enam tahun sampai sepuluh tahun dari empat
kelompok yang berbeda. Yaitu kelompok kulit putih kelas menengah, kulit hitam
kelas menengah, kulit putih kelas pekerja dan kelas hitam kelas pekerja.[14]
Setiap
anak diberi kesempatan menonton film kartun di layar televisi dengan kisah yang
diceritakan. Pada waktu yang berbeda, anak itu diberi kesempatan untuk yang
berbeda. Anak itu diberi kesempatan untuk mendengarkan kisah-kisah lain yang
berasal dari kaset atau radio. Setelah menonton atau mendengar kisah itu, anak
diuji ingatannya dengan pengertiannya. Hasilnya ternyata dapat memperjelas
peranan televisi dalam pendidikan. Penyajian cerita melalui radio serupa dengan
apa yang terjadi di ruang kelas, yaitu anak-anak mendengarkan cerita guru atau
saling menukar pengalaman dengan murid-murid lainnya. Perangsangan di luar
kelas, pada dasarnya berupa perangsangan
kata-kata, sedangkan penyajian cerita melalui televisi ada tambahan berupa ilustrasi
visual yang dinamis.
Menurut
pendapat Franklin
di atas lebih meyakinkan bahwa media televisi dapat membantu di dalam
memecahkan masalah pendidikan. Hal ini berarti televisi dapat menggerakkan
kemampuan belajar, bukan saja untuk anak-anak melainkan juga untuk semua
tingkat usia.[15]
2.
Televisi Sebagai Media Pendidikan
Dalam hal
ini banyak peneliti membuktikan, pengaruh media massa (televisi) sering tak bersifat
langsung. Jika diasumsikan tayangan pemerkosaan di televisi misalnya telah
menyebabkan perilaku pemerkosaan, maka ada berapa juta anak gadis tak perawan
lagi akibat diperkosa laki-laki (penonton tayangan tersebut).
Mundurnya
pendidikan dan masyarakat, memudarnya kebudayaan bangsa, dan lunturnya
penghayatan terhadap ajaran agama, lebih merupakan realitas sosiologis yang
terbentuk dari praktik kehidupan sehari-hari.
Praktik
politik, hukum dan ekonomi merupakan variabel deterministic (yang sangat
menentukan) keberadaan suatu realitas sosial. Kalau dipikir, masyarakat Amerika
saat ini menghabiskan separuh waktu yang dimilikinya di depan pesawat televisi
(Todd Gitlin, watching television, 1986). Tayangan televisi amerika
jelas lebih liberal dibanding tayangan televisi kita, tapi toh masyarakatnya
tetap taat pada hukum (menindak tegas warga negara yang tak membayar pajak,
korupsi dan pelanggar hak asasi manusia).
Efek
siaran televisi yang paling kuat sebenarnya hanyalah sebatas memperkuat
kecenderungan yang sudah ada (reinforcement effect).[16]
Artinya,
kalau dasar moral dan kepribadian seseorang sendiri memang sudah buruk, maka
televisi menyuguhkan banyak stimulus yang membangkitkan perilaku destruktif. Jika
dasar moral kepribadian masyarakat sendiri sudah kuat, maka pengaruhnya relatif
sangat kecil.
Pada tiap
individu dalam masyarakat telah dibekali referensi dan pengalaman (frame of
references and field of experiences) untuk menyeleksi tiap informasi dan nilai-nilai yang
menghampirinya (selective attention).[17]
Sebagai
mana firman Allah SWT, sebagai berikut:
Pada
kalangan yang demikian, tayangan televisi justru sering dipergunakan sebagai
media katarsis (sebagai penyaluran energi negatif dalam jiwanya), sehingga
penikmatan pemirsa televisi lebih bersifat hiburan (entertainment).
3.
Televisi Sebagai Media Hiburan
Materi
paket hiburan yang ada pada saat sekarang, pada intinya ingin merebut hati para
pemirsa dan menjadikan TV tersebut dijadikan andalan. Tidak ketinggalan juga, TVRI
seiring dengan perkembangan zaman, mencobaa mengkemas paket-paket acara
hiburan. Peraturan pemerintah no, 36, yamg memberi peluang kepada TVRI untuk
lebih berkarya, dikarenakan TVRI sekarang telah berubah menjadi perusahaan
jawatan (perjan), artinya diberi kebebasan melakukan usaha sendiri yang
sebelumnya ditabukan.[18]
Tiap
stasiun TV komersial mencanangkan ciri khas dan segmentasinya. Setidaknya RCTI
dengan sangat yakin menyatakan dirinya sebagai broad casting TV kelas menengah
keatas. Demikian juga ‘kembarannya’ SCTV. Belakangan hari, ketika film-film
Indonesia yang taaaak bisa dibilang baik untuk meraih peringkat cukup bagus
ditayangkan TPI, sekalipun RCTI dan SCTV tidak menyatakan dirinya berubah
haluan, akhirnya dua stasiun itu kemudian menayangkan film-film Indonesia yang
sesungguhnyaaa lebih laku diputar dibioskop keliling atau misbar.[19]
Sebagaimana
dilansir media massa pusat maupun daerah, acara televisi yang bertajuk Buah
Bibir (RCTI) dan potret (SCTV) mendapat kecaman keras dari berbagai
tokoh mulai dari politisi, rohaniawan, bahkan sampai dengan menpen R. Hartanto.
Alasannya
acara itu tak mendidik masyarakat, dan bertentangan dengan kebudayaan bangsa
dan agama. Harian Surabaya postmenurunkan polemik acara itu pada terbitan 3
juli 1997.
Masyarakat
luas pun bertanya-tanya, benaarkah acara itu mempunyai efek negatif yang
begiiiitu mendalam terhadap kebudayaan, pendidikan dan agama? Padahal denagan
mata telanjang pun tiap malam masyarakat dapat menunjukkan banyak tayangan lain
yang lebih riskan ketimbang acara itu.
Sebut saja
film-film yang kita impor dari barat baik itu yang menonjolkan unsur daya tarik
seks (sex appeal) maupun kekerasan fisik (brutalisme), bukankah
hal itu sudah mengandung dua resiko sekaligus, bertentangan dengan kebudayaan
bangsa (budaya ketimuran) dan bertolak belakang dengan ajaran agama. Atau
film-film dalam negeri (film nasional) yang semula untuk mengkonsumsi layar
lebar, diputar ulang dilayar kaca. Sebagian besar banyak menonjolkan
unsur-unsur mistik dan ketahayulan.
Bukankah
ini juga merusak pendidikan masyarakat, karena diera pasca modernisasi ini
masyarakat Indonesia
sedang digalakkan menekuni ilmu pengetahuan yang rasional. Mengapa bukan
tayangan ini yang dihujat?[20]
Televisi pernah dijuluki dengan sebutan sitabung
tolol, candu elektronik, monster mata satu, dan sebagainya. Itu sisi jeleknya.
Sisi baiknya, si tabung tolol itu dapat juga berperan sebagai tabung percobaan
untuk belajar di rumah. Akan tetapi untuk mewujudkannya, kita harus mengamati
dari dekat apa yang bisa ia lakukan dan apa yang tidak. Dalam menerapkan
pengetahuan ini dalam tindakan nyata menuntut komitmen serius dari orang tua
maupun anak. Dan untuk bisa berperan sebagai orang tua secara efektif,
sebagaimana dengan semua cara lain, orang perlu beresperimen dengan tabung
percobaan ini untuk melihat mana yang paling cocok untuk keluarga.[21]
C. Televisi
dalam Perannya sebagai Media Pengembangan Pendidikan Budi Pekerti
1.
Membenahi
Pendidikan Budi Pekerti
Problem bangsa secara langsung atau
tidak berhubungan dengan persoalan pendidikan. Kontribusi pendidikan dalam
konteks ini adalah pada pembangunan mentalitas manusia yang merupakan
produknya. Tujuan pendidikan menghendaki agar manusia yang dihasilkan dari
sebuah sistem pendidikan di Indonesia
adalah manusia yang beriman dan bertakwa disamping terampil dan berbudi pekerti yang luhur. Namun
persoalannya tujuan ini lebih merupakan sebuah retorika daripada menjadi doktrin
yang harus dimiliki manusia terdidik di Indonesia .
Fungsi pendidikan di atas sejalan
dengan tujuan utama dari pendidikan Islam seperti yang diungkapkan M. Athiah
al-Ibrasyi, bahwasanya tujuan utama dari pendidikan Islam adalah pembentukan
akhlak dan budi pekerti sehingga menghasilkan individu-individu yang
bermoral, berjiwa bersih, berkemauan keras, bercita-cita luhur
dan berakhlak mulia, mengetahui arti kewajiban dan pelaksanaannya menghormati
hak-hak manusia, dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.[22]
Hal ini sesuai dengan misi (risalah)
Rasulullah SAW, yaitu untuk memperbaiki akhlak yang mulia sebagaimana sabdanya:
اِنَّمَابُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ
مَكَارِمَلْأَخْلَاقَ (روه: احمد)[23]
“Sesungguhnya aku diutus
hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Ahmad).
Hal ini sejalan dengan Al-Qur’an yang
menyebutkan hal tersebut dalam banyak kesempatan, seperti dalam surat Yunus ayat 13:
وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ مِنْ
قَبْلِكُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ وَمَا
كَانُوا لِيُؤْمِنُوا كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ. (يونس:13)
Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat
sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal Rasul-rasul mereka telah
datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi
mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan
kepada orang-orang yang berbuat dosa.[24]
(QS. Yunus: 13)
Di lain pihak Allah SWT, menyebutkan:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا
وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (لأعراف:96)
Jika penduduk negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami itu maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya. (QS. Al-A’raf: 96)[25]
Persoalannya, bagaimana
mengimplementasikan sistem pendidikan yang benar-benar dapat meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia. Rendahnya akhlak generasi muda
terlihat misalnya dari survei yang dilakukan BBKKBN Jawa Barat yang menyebutkan
bahwa sekitar 39,7% siswa di Jawa Barat pernah melakukan hubungan seks.[26]
Sebagai respon rendahnya perilaku generasi muda, banyak pihak yang menghendaki
agar di sekolah para siswa diberikan pelajaran budi pekerti. Sayangnya sekolah
lah yang banyak diwacanakan berkaitan dengan persoalan dekadensi moral sebagai
institusi tunggal, sementara masyarakat dan keluarga seperti luput dari
perhatian. Padahal kedua institusi ini memegang peran dominan dalam
perkembangan perilaku budi pekerti para remaja.
Dalam menyoal pendidikan budi pekerti
atau akhlak di kalangan para remaja, pendidikan agama Islam menjadi persoalan
yang harus diperbincangkan secara seksama. Masalahnya, mata pelajaran ini
dianggap telah gagal memberikan bekal bagi tumbuhnya perilaku dan nilai di
kalangan remaja dalam masyarakat. Di lain pihak, kenyataan menunjukkan bahwa
tantangan global dalam konteks budaya, life still (gaya hidup) remaja tidak cukup tertanggulangi
dengan mata ajar PAI (Pendidikan Agama Islam) yang hanya 2 jam pelajaran itu.
Di samping itu, sangat tidak adil mengkambing hitamkan PAI berkaitan dengan
rendahnya perilaku remaja.
Dekadensi moral ini dirasakan sangat
mengglobal seiring dengan peru bahan
tata nilai yang sifatnya mendunia. Di belahan bumi mana pun sering kali kita
saksikan berbagai gaya
hidup yang bertentangan dengan etika dan nilai agama. Berbagai pendekatan telah
dan sedang dilakukan untuk menyelamatkan masa depan peradaban manusia dari
rendahnya perilaku moral. Pentingnya pendidikan akhlak bukan hanya dirasakan
oleh masyarakat kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun kini
sudah mulai diterapkan di berbagai negara. Di Jerman misalnya, pelajaran agama
Islam juga masuk pada kurikulum mereka.[27]
a.
Beberapa
Persoalan Mendasar tentang Pendidikan Budi Pekerti
berbagai persoalan pendidikan
ternyata tidak hanya terletak pada persoalan materi, kurikulum, guru atau
metodologi pembelajaran, namun juga melibatkan persoalan tidak adanya persepsi
dan tanggungjawab yang sama antara berbagai komponen pendidikan dalam membina
budi pekerti dan pendidikan nilai terhadap para siswa.[28]
Persepsi dan tanggungjawab tersebut seyogyanya diletakkan secara integral
sehingga segala bentuk pembelajaran yang dilakukan sekolah berfokus pada
pembentukan nilai dan akhlak siswa.
Kondisi faktual yang mesti dicermati
dalam memberikan jawaban terhadap persoalan di atas mencakup, pertama,
secara geografis sekolah lebih banyak terletak di pusat perkotaan. Aspek
geografis ini telah memunculkan persoalan lingkungan yang secara akademis
kurang kondusif atau kurang mendukung terciptanya lingkungan belajar yang baik.
Pada setiap saat, siswa menyaksikan berbagai perilaku yang kurang baik yang
dapat mempengaruhi nilai dan akhlak para siswa.
Kedua,
pembinaan nilai dan akhlak siswa lebih banyak dibebankan kepada guru agama
karena mata pelajaran ini dianggap paling relefan dengan persoalan pembinaan keimanan
dan ketakwaan. Diperlukan pembelajaran nilai dan akhlak yang integratif dengan
mata ajar lainnya. Proses ini secara psikologis akan memperkaya dan memperdalam
mata pelajaran tersebut. Persoalannya terletak strategi mana yang hendak
dipergunakan guru dalam mengintegrasikan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan
dengan mata pelajaran yang diampunya.
Ketiga, belum optimalnya pembelajaran agam sebagai sebuah mata pelajaran
yang harus mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan para siswa. Menurut
pengamatan penulis, terhadap pelajaran agama dan efek dari mata ajar agama baik
secara kognitif, afektif maupun psikomotorik belum optimal. Pembelajaran agama
belum sepenuhnya melahirkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan pada diri siswa
bahkan mata ajar agama masih terpisah dari mapelajaran lainnya.
Dalam konteks ini, penulis mengamati
masih ada proses sekularisasi ilmu atau dikotomi ilmu, yakni pemisahan antara
ilmu agama dengan ilmu umum. Nilai-nilai keimanan dan ketakwaan seolah-olah
hanya merupakan bagian mata pelajaran agama, sementara mata pelajaran lain
mengajarkan bidang ilmunya seolah tidak ada hubungannya dengan masalah nilai
keimanan dan budi pekerti.
Keempat, belum terciptanya pola atu mekanisme yang mampu mengintegrasikan
ilai-nilai imtak dengan iptek. Sebagaimana dikatakan di atas,
pola integrasi ini ini akan dapat dilakukan apabila para guru memahami
keterkaitan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan dengan mata ajar yang dibinanya.
Dalam konteks ini memang ada dua permasalahan yang dihadapi para guru sekaligus.
Pertama, para guru harus melek (menguasai) bidang ilmunya, dan yang kedua,
para guru harus mampu menerjemahkan bidang ilmu tersebut dengan nilai-nilai
keagamaan dan ketaqwaan yang terkandung dalam ajaran agama. Proses integrasi
inipun harus berjalan secara alamiah, tidak melalui proses mengada-ada. Dalam kenya taannya,
ada beberapa konsep ilmu pengetahuan yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam
nilai-nilai tersebut. Proses integrasi bukan berarti setiap pokok bahasan harus
dilegalkan dengan ayat-ayat al-Qur’an melainkan dari setiap pokok bahasan
tersebut diambil hikmah yang dapat diambil siswa bagi kehidupan (nilai
spiritual).
Kelima, masih banyak kegiatan ekstrakurikuler yang tidak relevan dengan
nilai keimanan dan ketaqwaan. Kegiatan ekstrakurikuler lebih difokuskan pada
kegiatan-kegiatan yang bersifat fisik dan motorik, seperti olah raga,
kepramukaan, PMR, dan bela diri. Pengkondisian dalam teori belajar behavioural
diperlukan sebagai komponen lingkungan. Teori Pavlop dan Skinner bahkan
menunjukkan munculnya perilaku karena proses pembiasaan. Lingkungan belajar
yang kondusif akan mendukung proses
pembentukan secara lebih baik, termasuk kegiatan ekstrakurikuler.
Keenam, pembinaan keimanan dan ketakwaan elum melibatkan orang tua, padahal
disadari betul bahwa guru hanyalah mengganti posisi oran g tua di sekolah. Keberperanan oran g tua sangat
menentukan keberhasilan para siswa dalam meningkatkan keimaan dn ketakwaannya.
Untuk terciptanya satu pembinaan yang integratif, diperlukan langkah dan visi
yang sama dan saling mendukung antara sekolah dan oran g tua juga masyarakat. Bahkan dalam
beberapa hal orag tua harus menjadi “lembaga evaluasi” keberhasilan pembinaan
kaimanan dna ketakwaan anaknya di sekolah.[29]
b.
Pola
Integrasi
Dengan demikian, yang diperlukan saat
ini adalah teroptimalkan nya pendidikan agama Islam dan mata ajar sejenis sehingga
menyentuh akhlak pelajar, terintegrasi nya iptek dan imtak dalam setiap
pembelajaran setiap mata pelajaran, terciptanya sebuah kondisi yang kondusif
bagi tumbuh kembang nya nilai-nilai budi pekerti dan akhlak yang baik di
kalangan pelajar, terselenggaranya kegiatan ekstra kurikuler yang mendukung
penanaman nilai-nilai budi pekerti, serta terciptanya kerja sama antara pihak
sekolah dan orang tua serta masyarakat dalam mengembangkan budi pekerti para
siswa. Komponen-komponen strategis ini harus dilaksanakan melalui pola
terintegrasi dalam sebuah sistem pendidikan persekolahan.
Dalam optimalisasi pendidikan agama
tidak sekedar bersifat kognisi. Integrasi imtak dan iptek didasari tiga
komponen penting pada setiap mata pelajaran, yaitu substansi mata pelajaran
yang bersangkutan, keilmuan dan nilai. Melalui landasan inilah integrasi
pembelajaran akan tercipta. Nilai adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
unsur agama yang pad gilirannya akan melahirkan budi pekerti yang luhur.
Lingkungan yang kondusif berarti
terdapat sarana prasarana bagi tumbuhnya perilaku yang baik (budi pekerti) dan
hadirnya rule of law yang diwujudkan dalam reward and punishment.
Ekstrakurikuler menjadi penting kerena inilah saat yang alamiah untuk
menumbuhkan budi pekerti melalui kegiatan-kegiatan yang mendorong minat dan
bakat siswa. Kerja sama merupakan kunci bagi terciptanya kontrol secara lebih
luas sehingga berbagai pihak bisa melihat keberhasilan sebuah “proyek budi
pekerti” di sekolah. Ini pula yang akan merekomendasikan apa yang harus
dilakukan masing-masing pihak.
Di samping itu, hal mendasar dari
pola integrasi tanggungjawab dalam membina budi pekerti para siswa. Maka,
selama distribusi tanggungjawab ini tidak tercipta yang lahir dari semua
program pembinaan budi pekerti hanyalah wacana belaka.
2.
Hakekat Televisi Pendidikan
Suatu program
televisi dapat dikatakan sebagai televisi pendidikan jika memiliki ciri-ciri
antara lain mampu menyajikan pesan-pesan yang jelas kepada pemirsanya tentang
hal-hal yang pantas/patut ditiru dan hal-hal yang tidak patut/pantas ditiru.[30]
Dengan kata lain program-program yang disajikan hendaknya tidak bertentangan
dengan norma-norma kesusilaan, adat istiadat dan sopan santun ke-Timuran yang
hidup dalam masyarakat. Ciri lainnya program yang disajikan mampu membentuk dan
mengembangkan sikap mental, tekad dan semangat serta ketaatan dan disiplin bagi
para pemirsanya untuk tercapainya keberhasilan pembangunan.[31]
Secara khusus
Depari menyoroti penampilan program televisi pendidikan dapat diukur dari
kemampuannya untuk mensosialisasikan nilai-nilai agar orang dapat berfikir
kritis, karena pada dasarnya hakekat dari pada pendidikan adalah membentuk
manusia yang mandiri baik dalam mengambil keputusan maupun dalam berperilaku.[32]
Sosialisasi menurut Brown, merupakan
proses yang bertujuan untuk membentuk manusia menjadi dewasa. Selanjutnya ia
berpendapat bahwa ada empat komponen penting yang dapat mempengaruhi proses
sosialisasi yaitu lingkungan keluarga, teman sebaya, lingkungan sekolah dan
media massa .[33]
Dari ciri-ciri
tersebut dapat disimpulkan bahwa program televisi pendidikan merupakan suatu
program televisi yang mampu menyajikan pesan-pesan secara jelas kepada para
pemirsanya tentang hal-hal yang patut ditiru dan hal-hal yang tidak patut
ditiru. Program yang ditampilkan tidak bertentangan dengan norma-norma
kesusilaan yang berlaku, adat-istiadat dan sopan santun serta mampu
mensosialisasikan nilai-nilai agar pemirsanya dapat berfikir kritis.
3. Potensi Televisi sebagai
Media Pendidikan Budi Pekerti
Melihat kejadian-kejadian
di masyarakat akhir-akhir ini; terutama yang berhubungan dengan masalah
dekadensi moral (seperti amuk massa ,
tawuran, perkelahian, perampokan narkoba dan berbagai tindak kekerasan
lainnya), membuat kita tersentak dan menyadari bahwa selama ini kita mengalami
kesalahan dalam menerapkan strategi pembangunan. Pembangunan yang hanya
mengutamakan kemajuan fisik semata-mata ternyata tidaklah cukup tanpa diimbangi
pembangunan di bidang mental-psikologis, yaitu pembentukan sikap/prilaku warga
masyarakat (peserta didik) agar menjadi manusia yang berbudi luhur (berakhlaq
mulia). Ketidaksiapan tersebut nampak ketika kita menghadapi krisis yang
bersifat multidimensi, sehingga kita mudah terprofokasi, terhasut dan tersulut untuk melakukan tindakan-tindakan yang
tidak terpuji. Padahal Dalam Undang Undang No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, bahwa tujuan pendidikan
Nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.[34]
Dari tujuan
pendidikan tersebut jelas tergambar betapa petingnya pendidikan moral (budi
pekerti) bagi bangsa Indonesia
disamping pendidikan lainnya. Namun demikian pendidikan budi pekerti yang
selama kita laksanakan belum memperoleh perhatian yang maksimal, sehingga
hasilnya pun juga tidak seperti yang diharapkan. Menyadari adanya kelemahan
tersebut pemerintah kini ingin menggalakkan pendidikan budi pekerti, baik
pendidikan melalui jalur konvensional atau dengan cara yang inovatif, yaitu dengan memanfaatkan media
pendidikan. Banyak media yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk
menyampaikan pendidikan budi pekerti kepada peserta didik, salah satu
diantaranya adalah media televisi. Media ini dipilih dengan pertimbangan
kemampuan/kelebihan media tersebut yang dapat menyajikan materi secara audio
visual dengan jangkauan pemirsa dalam jumlah yang tidak terbatas; sehingga
dalam waktu yang bersamaan tayangan program dapat ditonton oleh ribuan bahkan
jutaan orang. Terlebih lagi dengan adanya kebijaksanaan "langit
terbuka" (Open Sky Policy) yang telah ditetapkan oleh pemerintah
sejak tahun 1976, maka jika di rumah dilengkapi dengan decoder dan parabola
yang sesuai dengan spesifikasi yang diperlukan, maka tayangan program-program
televisi dapat dinikmati oleh setiap penduduk selama 24 jam setiap harinya.
Televisi
sebagai media massa ,
memiliki tiga fungsi utama yaitu sebagai media informasi (information), sebagai
media pendidikan (education) dan sebagai media hiburan (entertainment).
Sesuai dengan fungsinya televisi sangat
memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai media pendidikan, karena dalam berbagai
hal televisi dapat memberikan: rangsangan, membawa serta, memicu,
membangkitkan, mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu, memberikan
saran-saran, memberikan warna, mengajar, menghibur, memperkuat, menggiatkan,
menyampaikan pengaruh dari orang lain, memperkenalkan berbagai identitas (ciri)
sesuatu, memberikan contoh, proses internalisasi tingkah laku, berbagai bentuk
partisipasi serta penyesuaian diri dan lain-lain.[35]
Selain itu
media televisi juga merupakan wahana yang kuat sekali pengaruhnya dalam
pembentukan pola fikir, sikap dan tingkah laku disamping menambah pengetahuan
dan memperluas wawasan masyarakat.[36]
Suprapti
Widarto, menambahkan bahwa: siaran televisi memiliki daya penetrasi yang sangat
kuat terhadap kehidupan manusia sehingga ia mampu merubah sikap, pendapat dan perilaku
seseorang dalam rentang waktu yang relatif singkat.[37]
Dengan
jangkauannya yang begitu luas, siaran televisi memiliki potensi yang luar biasa
untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kepentingan pendidikan.
Pendapat
yang hampir sama dikemukakan oleh Fahmi Alatas, dengan kekuatan pandang
dengarnya, siaran televisi memiliki potensi penetratif untuk mempengaruhi
sikap, pandangan, gaya
hidup, orientasi dan motivasi masyarakat.[38]
Dari
berbagai pendapat tersebut disimpulkan bahwa, televisi merupakan media yang
sangat potensial sebagai sarana pendidikan, khususnya pendidikan budi pekerti.
Karena tujuan pendidikan budi pekerti seiring/sejalan dengan tujuan pendidikan
pada umumnya. Tujuan pendidikan kita adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya. Yang dimaksud manusia Indonesia seutuhnya adalah manusia yang beriman dan bertakwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan
ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, memiliki kepribadian yang mantap dan
mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan
(Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional).
Disamping
itu, media televisi yang memiliki kemampuan menyajikan informasi dalam bentuk
visual dan suara, dinilai sangat efektif untuk menyampaikan materi/ pesan-pesan
pendidikan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang disampaikan Dwyer
(1978) bahwa sebagian besar materi pendidikan/pembelajaran (83%) diserap oleh
peserta didik melalui indera penglihatan, 11% nya melalui indera pendengaran
dan sisanya 6% melalui indera pengecapan, penciuman dan rabaan.[39]
Persoalannya
adalah bagaimana mengemas tayangan program-program pendidikan budi pekerti
melalui televisi menjadi sebuah tontonan yang menghibur sekaligus berisikan
pesan-pesan/informasi yang pantas dan tidak pantas untuk ditiru oleh para
pemirsanya. Membuat program yang demikian tentu dibutuhkan keterlibatan dari
berbagai pihak serta ketelitian dan kejelian dalam mengangkat tema-tema aktual
yang sedang ‘ngetrend’ sekaligus menarik, kemudian dikaitkan dengan pesan-pesan
pendidikan budi pekerti yang ingin disampaikan.
Munculnya TV
Pendidikan yang diprakarsai oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)
patutlah disambut dengan baik di tengah keprihatinan masyarakat terhadap siaran
televisi khususnya televisi swasta yang makin jauh dari unsur-unsur pendidikan.
Televisi Edukasi (TV E) mengudara sejak Selasa tanggal 12 Oktober
2004, namun baru dapat diakses lewat parabola. Jadi pemirsanya pun masih
relatif terbatas. Untuk Semarang dan Jawa Tengah bisa dinikmati melalui TV
Borobudur (TVB) dan Televisi Dian Nuswantoro (TV KU). Memang langkah
ini masih kecil dan belum akan dapat menjangkau publik sebanyak televisi
komersial yang makin banyak. Namun sengaja kita mencatat dan memberikan
dorongan karena begitu penting kehadiran televisi pendidikan.
Sebagaimana kita ketahui
program-program siaran televisi swasta saat ini boleh dikatakan kurang
mendukung pengembangan pendidikan, khususnya pendidikan budi pekerti. Dalam
banyak hal justru bertolak belakang dengan upaya mencerdaskan masyarakat. TV
swasta lebih banyak melansir acara-acara infotainment sekitar kehidupan
kawin cerai artis atau pun yang sekarang menyedot perhatian luas adalah
tayangan misteri. Di sisi lain pemirsa dari kalangan muda lebih di bius oleh
kontes-kontes seperti AFI dan KDI. Rating acara-acara seperti itu memang sangat
tinggi serta menyedot iklan sangat banyak. Tetapi apakah cukup sampai di situ?
Di mana letak tanggung jawab sosial dan idealisme lembaga penyiaran dalam mengembangkan
pendidikan dan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Acara-acara infotainment
dengan segala bentuknya itu boleh-boleh saja. Lembaga penyiaran telah menjelma sebuah dominasi lembaga
bisnis dalam sebuah kancah industri yang makin kompetitif. Dalam hal itulah
kita bisa memahami bila mereka berpikir keras membidik pasar dan merebut
perhatian pemirsa. Tingkat persaingan pun makin tinggi, kendati lama-lama kita
sering merasakan kejenuhan karena kurang ada kreativitas. Satu televisi sukses
dengan satu acara seperti AFI, yang lain segera meniru. Infotainment yang
berisi gosip pun laris seperti kacang goreng. Rasanya hampir semua senada dan
seirama dalam arti memperebutkan pasar dan konsumen yang sama.
Komisi Penyiaran
baik yang ada di pusat maupun daerah hendaknya mulai melakukan kontrol dan
menerapkan berbagai regulasi tanpa harus melakukan pengekangan kreativitas,
apalagi sampai mengurangi kebebasan. Seharusnya materi siaran yang menyangkut
pendidikan memperoleh porsi yang lebih besar. Bisa saja materi pendidikan di
kemas dalam bentuk hiburan atau disebut edutainment. Sebaliknya
program-program acara yang berselera rendah dan tidak mendidik dibatasi agar
tidak kontraproduktif dari sisi pendidikan anak, terutama yang masih di SD,
SMP, dan SMA. Syukur bila kesadaran itu muncul di kalangan lembaga penyiaran,
khususnya televisi. Yakinlah apa pun bisa di kemas dengan baik agar tetap
menarik perhatian.
Kemunculan
televisi pendidikan, walaupun masih kecil perlu terus didukung agar makin meluas. Paling tidak bisa sebagai
penyeimbang atau alternatif siaran-siaran televisi sekarang. Sebelum
televisi-televisi swasta merombak paket-paket acaranya agar lebih mendidik dan
pro pada pengembangan pendidikan termasuk akhlak dan moral. Janganlah
didikotomikan, sesuatu yang edukatif pasti tidak disukai pasar. Kita menyadari
betapa besar siaran televisi dalam mempengaruhi opini maupun perilaku
masyarakat. Jadi janganlah terus diumbar selera rendah dan hal-hal yang kurang
mendidik hanya semata-mata demi kepentingan bisnis. Idealnya kepentingan bisnis
tetap berjalan seiring dengan penerapan idealisme lain seperti muatan
pendidikan. [40]
[1]Departemen Agama, Budi
Pekerti Dalam Mata Pelajaran pendidikan agama, Konsep Operasional (Jakarta : Direktorat
Pembinaan, Kelembagaan, Agama Islam, 2000), hlm 2-3.
[2]Teuku Ramli Zakaria, Pendekatan-Pendekatan Nilai dan Implementasi
dalam Pendidikan Budi Pekerti,
www,depdiknas.go.id/jurnal/26/pendekatan_pendidikan_teuku_ramli.htm, hlm. 1.
[3]Zamris Habib, dkk, Penelitian Film Anak-anak di TV dalam Rangka
Pengembangan Program Pendidikan Budi Pekerti,
http://www.pustekkom.go.id/teknodik/t9/9-2.htm, hlm. 3
[4]Departemen Pendidikan Nasional,
Pedoman Umum Pendidikan Budi Pekerti Untuk Pendidikan Dasar dan
Menegah (Jakarta
: Ditjen Dikdasmen 2000), hlm. 5
[5]Edi Sedyawati, dalam Zamris
Habib, Loc. Cit, hlm. 4
[6]Depdiknas, Op. cit, hlm. 5.
[7]Amirudin, Media dalam Pendidikan Budi Pekerti,
www.suaramerdeka.com/harian/1410/02/opi3.htm, hlm. 1
[8]Ibid.
[9]Ibid. hlm. 2.
[10]Arsyad Azhar, Media Pengajaran, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000),
cet. 2 hlm. 50.
[11]Drs. Fatah Syukur ,
NC , Teknologi Pendidikan,
(Semarang :
Rasail, 2005), hlm. 150.
[12]Ibid.
[13]Darwanto Sastro Subroto, Televisi Sebagai Media Pendidikan (Teori
dan praktis), (Yogyakarta: Duta Wacana University Prees, 1992), cet. 2, hlm.
29.
[14]Ibid. hlm. 87.
[15]Ibid, hlm. 87.
[16]Redi Panuju, Drs. M.Si, Komunikasi Organisasi (dari Konseptual-Teotitis
ke Empirik), Yogyakarta , Pustaka Pelajar,
cet.1, 2001, hlm. 133
[17]Ibid, hlm. 134
[18]Majalah Tempo, edisi 28 agustus 2000, Jakarta , 2000, hlm.91
[19]Ibid, hlm.95
[20]Redi Panuju, Drs. M.Si, op-cit, hlm.131-132
[21]Milton Chen Ph.D, Mendampingi Anak Menonton Televisi, (Jakarta : Gramedia pustaka
utama, 2005), hlm. 15
[22]M. Athiyah al-Ibrasyi, Dasar-Dasar
Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Ghani dan Johan Bahry, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1970), hlm. 19.
[23]Al-Imam Ahmad ibn Hambal, Musnad,
jilid 2 (Beirut :
Darul Kutub al-Ilmiyah, tt), hlm. 381.
[24]Depag RI , Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang : CV. Toha Putra, 2001), hlm. ….
[25]Ibid. hlm.
[26]Dadang S. Anshori, Membenahi Pendidikan Budi Pekerti,
http://pikiran-rakyat.com/cetak /0103/15/0801.htm, hlm. 1.
[27]Ibid. hlm. 2.
[28]Ibid, hlm. 2.
[29]Ibid, hlm. 2-3
[30]Susanto Astrid S.. "Strategi Pendidikan Melalui Media
Audio Visual", Makalah Bahan Seminar Lokakarya Nasional Teknologi
Pendidikan Tentang : Media Massa Elektronik dan Pendidikan Sumber Daya Manusia,
1 - 3 Februari 1994 (Jakarta : IPTPI, CTPI, Pustekkom, 1994). Hlm. 7.
[31]Widarto Suprapti. "Pendayagunaan Siaran Televisi untuk
Pendidikan Sumber Daya Manusia", Makalah Bahan Seminar Lokakarya
Nasional Teknologi Pendidikan Tentang : Media Massa Elektronik dan Pendidikan
Sumber Daya Manusia, 1-3 Februari 1994 (Jakarta: IPTPI, CTPI, Pustekkom, 1994).
Hlm. 1
[32]Depari Eduard. "Pemenuhan
Kebutuhan Pendidikan Bagi Masyarakat Melalui Media Elektronik",
Makalah Bahan Seminar Lokakarya Nasional Teknologi Pendidikan Tentang : Media
Massa Elektronik dan Pendidikan Sumber Daya Manusia, 1 - 3 Februari 1994
(Jakarta : IPTPI, CTPI, Pustekkom, 1994).hlm. 4.
[33]Ray Brown, J., Children and Television, (Beverly Hills, California : Sage
Publication, Inc. 1976), hlm. 197.
[34]Undang Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 BAB II Pasal 3
tentang Sistem Pendidikan Nasional,
hlm. 17
[35]Ibid, hlm. 347.
[36]Sri Hardjoko W. "Pendayagunaan Radio dan Televisi
Dalam Pendidikan", Makalah Bahan Seminar Lokakarya Nasional Teknologi
Pendidikan Tentang : Media Massa Elektronik dan Pendidikan Sumber Daya Manusia,
1 - 3 Februari 1994 (Jakarta : IPTPI, CTPI, Pustekkom, 1994), hlm. 4.
[37]Suprapti Widarto, Loc. Cit, hlm. 4.
[38]Fahmi Alatas. "Potensi Siaran Televisi Untuk
Pendidikan Sumber Daya Manusia", Makalah Bahan Seminar Lokakarya
Nasional Teknologi Pendidikan Tentang : Media Massa Elektronik dan Pendidikan
Sumber Daya Manusia, 1 - 3 Februari 1994 (Jakarta : IPTPI, CTPI, Pustekkom,
1994), hlm. 3.
[39]Dwyer Francis M., dalam Zamris Habib, Loc. Cit, hlm. 5.
[40]Suara Merdeka, TV Pendidikan dan Keprihatinan Siaran Televisi
Sekarang, http://www. suaramerdeka.com/harian/0410/14/opi01.htm. 3
0 Response to "TELEVISI DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI"
Post a Comment