TELEVISI DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

TELEVISI DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
         A.     Media Pendidikan Budi Pekerti
         1.      Pendidikan Budi Pekerti
Pendidikan budi pekerti sering diartikan dengan pendidikan akhlak. Budi pekerti dan akhlak merupakan dua istilah yang memiliki kesamaan esensi, walaupun akhlak memiliki cakupan yang lebih luas. Di dalam akhlak terkandung nilai-nilai budi pekerti, baik yang bersumber dari ajaran agama maupun dari kebudayaan manusia. Budi pekerti mencakup pengertian watak, sikap, sifat, moral yang tercermin dalam tingkah laku baik dan buruk yang terukur oleh norma-norma sopan santun, tata krama dan adat istiadat. Sedangkan akhlak diukur dengan menggunakan norma-norma agama.[1]
Tujuan pendidikan budi pekerti adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu hakekat dari pendidikan budi pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.[2]
Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan budi pekerti adalah menyiapkan manusia (peserta didik) agar memiliki sikap dan perilaku yang terpuji baik ditinjau dari segi norma-norma agama maupun norma-norma sopan santun, adat-istiadat dan tata krama yang berlaku di masyarakatnya.[3]
Secara lebih terperinci lagi (Depdiknas, 2000: 5)  menjelaskan bahwa tujuan pendidikan budi pekerti adalah mengkaji dan menginternalisasi nilai, mengembangkan ketrampilan sosial yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya akhlak mulia dalam diri peserta didik serta mewujudkannya dalam perilaku sehari-hari dalam konteks sosio-kultural yang berbineka sepanjang hayat.[4]
Edi Sedyawati (1995) menyampaikan 56 butir sifat terpuji yang perlu ditanamkan pada diri anak. Sifat-sifat tersebut adalah bekerja keras, berani memikul resiko, berdisiplin, beriman, berhati lembut, berinisiatif, berfikir matang, berfikir jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersifat konstruktif, bersyukur, bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdik, cermat, dinamis, efisien, gigih, hemat, jujur, berkemauan keras, kreatif, kokoh hati, lugas, mandiri, mawas diri, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai waktu, pemaaf, pemurah, pengabdian, pengendalian diri, produktif, rajin, ramah tamah, rasa kasih sayang, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, sportif, susila, tangguh, tegas, tekun, tepat janji, terbuka dan ulet.[5]
Dari tujuan pendidikan tersebut jelas tergambar betapa petingnya pendidikan moral (budi pekerti) bagi bangsa Indonesia disamping pendidikan lainnya. Namun demikian pendidikan budi pekerti yang selama kita laksanakan belum memperoleh perhatian yang maksimal, sehingga hasilnya pun juga tidak seperti yang diharapkan. Menyadari adanya kelemahan tersebut pemerintah kini ingin menggalakkan pendidikan budi pekerti, baik pendidikan melalui jalur konvensional atau dengan cara yang  inovatif, yaitu dengan memanfaatkan media pendidikan.
Sarana untuk menyampaikan pendidikan budi pekerti bisa ditempuh melalui beberapa cara yaitu memanfaatkan substansi dan praktis mata pelajaran yang relevan, memanfaatkan tatanan dan iklim sosial budaya dunia pendidikan yang sengaja dikembangkan sebagai lingkungan pendidikan yang memancarkan akhlak/moral luhur, dan memanfaatkan media massa dan lingkungan masyarakat secara selektif dan adaptif.[6]    
2.      Media Pendidikan Budi Pekerti
Banyak media yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyampaikan pendidikan budi pekerti kepada peserta didik, salah satu diantaranya adalah media televisi. Media ini dipilih dengan pertimbangan kemampuan/kelebihan media tersebut yang dapat menyajikan materi secara audio visual dengan jangkauan pemirsa dalam jumlah yang tidak terbatas; sehingga dalam waktu yang bersamaan tayangan program dapat ditonton oleh ribuan bahkan jutaan orang. Terlebih lagi dengan adanya kebijaksanaan "langit terbuka" (Open Sky Policy) yang telah ditetapkan oleh pemerintah sejak tahun 1976, maka jika di rumah dilengkapi dengan decoder dan parabola yang sesuai dengan spesifikasi yang diperlukan, maka tayangan program-program televisi dapat dinikmati oleh setiap penduduk selama 24 jam setiap harinya.
Peran media massa dalam pendidikan budi pekerti sangat penting sekali, mengingat media adalah sarana untuk menyampaikan sesuatu agar dapat sampai kepada tujuan, yang dapat diakses oleh masyarakat luas. Hal itu harus menjadi kewajiban kultural kita semua sebab media massa di era sekarang telah menunjukkan kesempurnaannya menjadi industri budaya, yang efeknya luar biasa bagi generasi mendatang. Tetapi kita tidak bisa menolak, bagaimana pun kehadiran media adalah penting sebagai sarana membangun peradaban manusia.
Ada persoalan lain di samping perkembangan media, yakni merosotnya budi pekerti yang terjadi di semua lapisan masyarakat. Anak-anak dengan mudahnya bertindak keras, cabul, pencurian, pemerkosaan, bunuh diri dan segala macam bentuk tindakan tidak beradab lainnya. Apakah gejala menguatnya tindakan semacam itu karena pengaruh media?
Seorang akan berperilaku terpuji apabila batin atau hatinya bersih dan mulia. Nilai-nilai budi pekerti ini harus diajarkan, dan proses pengajarannya yang disebut pendidikan budi pekerti. Ia identik dengan komunikasi kebudayaan yang berarti proses transmisi nilai-nilai budaya atau sebaliknya upaya menginternalisasikan nilai-nilai budaya itu melalui proses belajar untuk menjadi milik diri dan menjadi acuan berperilaku.[7]
Ki Hajar Dewantara mengidentifikasi menjadi tiga sentra, yakni; keluarga, masyarakat dan sekolah.[8] Media belum disebut sebagai salah satu sentra pendidikan karena pada masa itu perkembangan media masa belum pesat sekarang. Lagi pula lanskap budaya yang berlaku menjadi setting kehidupan sosial sehari-hari mereka adalah pertanian bukan budaya industrial.
Ketika globalisasi memasuki semua segi, media, politik, bahkan sistem pemikiran, membawa implikasi terhadap makin terbukanya masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern.
Bisa dibayangkan berdasarkan temuan penelitian yang dilakukan Amirudin anak-anak di desa ternyata menghabiskan waktu menonton televisi selama 5-6 jam sehari.[9] Jadi media ternyata benar-benar telah menjadi ‘candu’ bagi anak-anak. Media menjadi medium ekspresi berwisata pikiran dan emosi sekaligus sarana memuaskan spiritualitas mereka. Jika demikian halnya, apakah benar bahwa perilaku yang menyimpang di kalangan anak-anak direproduksi oleh media?
Media kita sekarang memang berbeda dengan media jaman dulu. Media kita tengah berada dalam setting budaya yang berbeda,  karenanya agar eksis media lebih memilih berwajah ganda. Di satu sisi ia bermuka sebagai institusi budaya dan di sisi lain sebagai institusi ekonomi. Sebagai institusi budaya, media seharusnya tetap menjalankan kewajibannya mendidik warga dalam kerangka membentuk peradaban ke arah yang lebih baik. Sementara sebagai institusi ekonomi berarti disamping menjalankan fungsi utamanya yaitu menjalankan peran kulturalnya, media juga berusaha mendapatkan keuntungan dari sejumlah investasi.
B.      Fungsi Televisi
Melihat perkembangan teknologi informasi yang sedemikian pesat dewasa ini, dunia kini dirasakan semakin sempit, karena dalam berbagai saat saja kita dapat berhubungan dengan orang lain yang berada di belahan bumi yang lain, sehingga rasanya kita berada di dalam satu tempat, dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian canggih. Akibat perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat ini mengakibatkan semakin majunya media massa, salah satunya adalah media televisi.
Televisi adalah sistem elektronik yang mengirimkan gambar diam dan gambar hidup bersama suara melalui kabel dan ruang. Sistem ini menggunakan peralatan yang mengubah cahaya dan suara ke dalam gelombang elektrik dan mengkonfersikannya kembali ke dalam cahaya dan suara yang dapat dilihat dan didengar.[10]
Televisi memberikan pengaruh sosial terhadap masyarakat, baik terhadap anak-anak maupun orang dewasa. Akan tetapi kemajuan mereka dalam hal pembicaraan tentang kebudayaan, menambah perbendaharaan bahasa dan menyebabkan berkurangnya minat mereka dalam membaca surat kabar atau majalah.[11]
1.      Televisi Sebagai Media Informasi
Media komunikasi massa khususnya televisi, berperan besar dalam hal interaksi budaya antar bangsa, karena dengan sistem penyiaran yang ada sekarang ini wilayah jangkauan siarannya tidak terbatas lagi. meskipun demikian, bagaimana pun juga televisi hanya berperan sebagai media, bukan merupakan tujuan kebijakan komunikasi di Indonesia. Oleh karena itu dalam perannya sebagai media informasi, televisi berfungsi sebagai:
a.       Alat Komunikasi Pemerintah
Sebagai alat komunikasi pemerintah, televisi dalam pesan komunikasinya terhadap kondisi sosial budaya suatu bangsa, meliputi tiga sasaran pokok,[12] yaitu:
1)      Memperkokoh pola-pola sosial budaya
Upaya menumbuhkan aspirasi masyarakat harus diupayakan secara tepat dan selalu diupayakan dapat tercermin dalam pesan komunikasinya. Sebab, jika tanpa aspirasi yang meningkat atau yang merangsang masyarakat agar bekerja keras, untuk dapat menjamin kehidupan yang lebih baik, pembangunan akan sulit diwujudkan.
Dalam hubungan ini, Subroto menyatakan peranan televisi sebagai alat komunikasi pemerintah, seperti dinyatakan dalam tulisannya yang berjudul “Peranan Pemberitaan Televisi dalam Ketahanan Nasional”, yang meliputi hal-hal berikut:
a)      Menyampaikan informasi kepada masyarakat aktif dalam pelaksanaan pembangunan nasional.
b)      Pemberian kesempatan kepada masyarakat secara aktif dalam pelaksanaan pembangunan nasional dengan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan, kesadaran politik dan bernegara, demi suksesnya pembangunan bangsa dan negara.
c)      Pertumbuhan tingkat kecerdasan masyarakat yang dilakukan secara persuasif dengan pendekatan kultural.[13]


2)      Melakukan adaptasi terhadap kebudayaan
Karena keheterogenan masyarakat pemirsa, timbul kesulitan tersendiri dalam upaya menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai budi pekerti yang luhur dalam masyarakat. Hal ini karena sebagian masyarakat kita masih sulit untuk meninggalkan sikap ketradisionalannya dan mengganti dengan sikap yang rasional, sehingga akan melemahkan adaptasi masyarakat. Ketidakmampuan beradaptasi, akan berpengaruh terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsa.
3)      Kemampuan mengubah norma-norma sosial budaya bangsa
Pengaruh sistem televisi tidak bisa disangsikan lagi, khususnya dalam menumbuhkan norma-norma budaya baru, sehingga masyarakat bisa dipengaruhi, dan lambat laun norma-norma masyarakat yang sudah berlaku akan terdesak. Karena itulah maka bukan saja negara-negara yang sedang berkembang yang selalu khawatir akan dampak yang ditimbulkannya melainkan negara yang sudah maju pun merasakannya.
b.      Televisi Sebagai Alat Komunikasi Massa
Daerah jangkauan televisi di belahan bumi manapun sudah tidak menjadi masalah bagi media masa, meskipun kalau dihitung dari usia kelahirannya, relatif masih muda. Hal ini karena ada revolusi di bidang satelit komunikasi massa yang terjadi pad dekade akhir-akhir ini. Akibat adanya sistem komunikasi yang canggih itu, media massa televisi  mampu membuka isolasi masyarakat tradisional yang sifatnya tertutup menjadi masyarakat terbuka, yang mau menerima kemajuan serta n modernisasi dari luar. Demikian juga televisi dapat menunjukkan nilai-nilai luhur budaya yang menjadi identitas bangsa dan televisi sebagai alat komunikasi pembangunan.
Media televisi berperan menyampaikan informasi pada masyarakat mengenai pembangunan yang sedang berlangsung dan pembangunan yang sedang direncanakan untuk masa mendatang.
Beberapa riset telah dilakukan untuk menguji seberapa jauh kehebatan televisi dalam perannya dalam pendidikan, khususnya pendidikan anak-anak. Satu diantara hasil riset yang dilakukan oleh Patrica Marks Greenfield dan Jessica Beagles-Roos. Mereka melibatkan anak-anak umur enam tahun sampai sepuluh tahun dari empat kelompok yang berbeda. Yaitu kelompok kulit putih kelas menengah, kulit hitam kelas menengah, kulit putih kelas pekerja dan kelas hitam kelas pekerja.[14]
Setiap anak diberi kesempatan menonton film kartun di layar televisi dengan kisah yang diceritakan. Pada waktu yang berbeda, anak itu diberi kesempatan untuk yang berbeda. Anak itu diberi kesempatan untuk mendengarkan kisah-kisah lain yang berasal dari kaset atau radio. Setelah menonton atau mendengar kisah itu, anak diuji ingatannya dengan pengertiannya. Hasilnya ternyata dapat memperjelas peranan televisi dalam pendidikan. Penyajian cerita melalui radio serupa dengan apa yang terjadi di ruang kelas, yaitu anak-anak mendengarkan cerita guru atau saling menukar pengalaman dengan murid-murid lainnya. Perangsangan di luar kelas, pada dasarnya  berupa perangsangan kata-kata, sedangkan penyajian cerita melalui televisi ada tambahan berupa ilustrasi visual yang dinamis.
Menurut pendapat Franklin di atas lebih meyakinkan bahwa media televisi dapat membantu di dalam memecahkan masalah pendidikan. Hal ini berarti televisi dapat menggerakkan kemampuan belajar, bukan saja untuk anak-anak melainkan juga untuk semua tingkat usia.[15]


2.      Televisi Sebagai Media Pendidikan
Dalam hal ini banyak peneliti membuktikan, pengaruh media massa (televisi) sering tak bersifat langsung. Jika diasumsikan tayangan pemerkosaan di televisi misalnya telah menyebabkan perilaku pemerkosaan, maka ada berapa juta anak gadis tak perawan lagi akibat diperkosa laki-laki (penonton tayangan tersebut).
Mundurnya pendidikan dan masyarakat, memudarnya kebudayaan bangsa, dan lunturnya penghayatan terhadap ajaran agama, lebih merupakan realitas sosiologis yang terbentuk dari praktik kehidupan sehari-hari.
Praktik politik, hukum dan ekonomi merupakan variabel deterministic (yang sangat menentukan) keberadaan suatu realitas sosial. Kalau dipikir, masyarakat Amerika saat ini menghabiskan separuh waktu yang dimilikinya di depan pesawat televisi (Todd Gitlin, watching television, 1986). Tayangan televisi amerika jelas lebih liberal dibanding tayangan televisi kita, tapi toh masyarakatnya tetap taat pada hukum (menindak tegas warga negara yang tak membayar pajak, korupsi dan pelanggar hak asasi manusia).
Efek siaran televisi yang paling kuat sebenarnya hanyalah sebatas memperkuat kecenderungan yang sudah ada (reinforcement effect).[16]
Artinya, kalau dasar moral dan kepribadian seseorang sendiri memang sudah buruk, maka televisi menyuguhkan banyak stimulus yang membangkitkan perilaku destruktif. Jika dasar moral kepribadian masyarakat sendiri sudah kuat, maka pengaruhnya relatif sangat kecil.
Pada tiap individu dalam masyarakat telah dibekali referensi dan pengalaman (frame of references and field of experiences) untuk menyeleksi  tiap informasi dan nilai-nilai yang menghampirinya (selective attention).[17]
Sebagai mana firman Allah SWT, sebagai berikut:

Pada kalangan yang demikian, tayangan televisi justru sering dipergunakan sebagai media katarsis (sebagai penyaluran energi negatif dalam jiwanya), sehingga penikmatan pemirsa televisi lebih bersifat hiburan (entertainment).
3.      Televisi Sebagai Media Hiburan
Materi paket hiburan yang ada pada saat sekarang, pada intinya ingin merebut hati para pemirsa dan menjadikan TV tersebut dijadikan andalan. Tidak ketinggalan juga, TVRI seiring dengan perkembangan zaman, mencobaa mengkemas paket-paket acara hiburan. Peraturan pemerintah no, 36, yamg memberi peluang kepada TVRI untuk lebih berkarya, dikarenakan TVRI sekarang telah berubah menjadi perusahaan jawatan (perjan), artinya diberi kebebasan melakukan usaha sendiri yang sebelumnya ditabukan.[18]
Tiap stasiun TV komersial mencanangkan ciri khas dan segmentasinya. Setidaknya RCTI dengan sangat yakin menyatakan dirinya sebagai broad casting TV kelas menengah keatas. Demikian juga ‘kembarannya’ SCTV. Belakangan hari, ketika film-film Indonesia yang taaaak bisa dibilang baik untuk meraih peringkat cukup bagus ditayangkan TPI, sekalipun RCTI dan SCTV tidak menyatakan dirinya berubah haluan, akhirnya dua stasiun itu kemudian menayangkan film-film Indonesia yang sesungguhnyaaa lebih laku diputar dibioskop keliling atau misbar.[19]
Sebagaimana dilansir media massa pusat maupun daerah, acara televisi yang bertajuk Buah Bibir (RCTI) dan potret (SCTV) mendapat kecaman keras dari berbagai tokoh mulai dari politisi, rohaniawan, bahkan sampai dengan menpen R. Hartanto.
Alasannya acara itu tak mendidik masyarakat, dan bertentangan dengan kebudayaan bangsa dan agama. Harian Surabaya postmenurunkan polemik acara itu pada terbitan 3 juli 1997.
Masyarakat luas pun bertanya-tanya, benaarkah acara itu mempunyai efek negatif yang begiiiitu mendalam terhadap kebudayaan, pendidikan dan agama? Padahal denagan mata telanjang pun tiap malam masyarakat dapat menunjukkan banyak tayangan lain yang lebih riskan ketimbang acara itu.
Sebut saja film-film yang kita impor dari barat baik itu yang menonjolkan unsur daya tarik seks (sex appeal) maupun kekerasan fisik (brutalisme), bukankah hal itu sudah mengandung dua resiko sekaligus, bertentangan dengan kebudayaan bangsa (budaya ketimuran) dan bertolak belakang dengan ajaran agama. Atau film-film dalam negeri (film nasional) yang semula untuk mengkonsumsi layar lebar, diputar ulang dilayar kaca. Sebagian besar banyak menonjolkan unsur-unsur mistik dan ketahayulan.
Bukankah ini juga merusak pendidikan masyarakat, karena diera pasca modernisasi ini masyarakat Indonesia sedang digalakkan menekuni ilmu pengetahuan yang rasional. Mengapa bukan tayangan ini yang dihujat?[20]
Televisi  pernah dijuluki dengan sebutan sitabung tolol, candu elektronik, monster mata satu, dan sebagainya. Itu sisi jeleknya. Sisi baiknya, si tabung tolol itu dapat juga berperan sebagai tabung percobaan untuk belajar di rumah. Akan tetapi untuk mewujudkannya, kita harus mengamati dari dekat apa yang bisa ia lakukan dan apa yang tidak. Dalam menerapkan pengetahuan ini dalam tindakan nyata menuntut komitmen serius dari orang tua maupun anak. Dan untuk bisa berperan sebagai orang tua secara efektif, sebagaimana dengan semua cara lain, orang perlu beresperimen dengan tabung percobaan ini untuk melihat mana yang paling cocok untuk keluarga.[21]
C.     Televisi dalam Perannya sebagai Media Pengembangan Pendidikan Budi Pekerti
1.      Membenahi Pendidikan Budi Pekerti
Problem bangsa secara langsung atau tidak berhubungan dengan persoalan pendidikan. Kontribusi pendidikan dalam konteks ini adalah pada pembangunan mentalitas manusia yang merupakan produknya. Tujuan pendidikan menghendaki agar manusia yang dihasilkan dari sebuah sistem pendidikan di Indonesia adalah manusia yang beriman dan bertakwa disamping terampil dan berbudi pekerti yang luhur. Namun persoalannya tujuan ini lebih merupakan sebuah retorika daripada menjadi doktrin yang harus dimiliki manusia terdidik di Indonesia.
Fungsi pendidikan di atas sejalan dengan tujuan utama dari pendidikan Islam seperti yang diungkapkan M. Athiah al-Ibrasyi, bahwasanya tujuan utama dari pendidikan Islam adalah pembentukan akhlak dan budi pekerti sehingga menghasilkan individu-individu yang bermoral,  berjiwa  bersih, berkemauan keras, bercita-cita luhur dan berakhlak mulia, mengetahui arti kewajiban dan pelaksanaannya menghormati hak-hak manusia, dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.[22]
Hal ini sesuai dengan misi (risalah) Rasulullah SAW, yaitu untuk memperbaiki akhlak yang mulia sebagaimana sabdanya:
اِنَّمَابُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَلْأَخْلَاقَ (روه: احمد)[23]
 “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Ahmad).
Hal ini sejalan dengan Al-Qur’an yang menyebutkan hal tersebut dalam banyak kesempatan, seperti dalam surat Yunus ayat 13:
وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ وَمَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ. (يونس:13)
Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal Rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa.[24] (QS. Yunus: 13)
Di lain pihak Allah SWT, menyebutkan:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (لأعراف:96)
Jika penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami itu maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al-A’raf: 96)[25]
Persoalannya, bagaimana mengimplementasikan sistem pendidikan yang benar-benar dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia. Rendahnya akhlak generasi muda terlihat misalnya dari survei yang dilakukan BBKKBN Jawa Barat yang menyebutkan bahwa sekitar 39,7% siswa di Jawa Barat pernah melakukan hubungan seks.[26] Sebagai respon rendahnya perilaku generasi muda, banyak pihak yang menghendaki agar di sekolah para siswa diberikan pelajaran budi pekerti. Sayangnya sekolah lah yang banyak diwacanakan berkaitan dengan persoalan dekadensi moral sebagai institusi tunggal, sementara masyarakat dan keluarga seperti luput dari perhatian. Padahal kedua institusi ini memegang peran dominan dalam perkembangan perilaku budi pekerti para remaja.
Dalam menyoal pendidikan budi pekerti atau akhlak di kalangan para remaja, pendidikan agama Islam menjadi persoalan yang harus diperbincangkan secara seksama. Masalahnya, mata pelajaran ini dianggap telah gagal memberikan bekal bagi tumbuhnya perilaku dan nilai di kalangan remaja dalam masyarakat. Di lain pihak, kenyataan menunjukkan bahwa tantangan global dalam konteks budaya, life still (gaya hidup) remaja tidak cukup tertanggulangi dengan mata ajar PAI (Pendidikan Agama Islam) yang hanya 2 jam pelajaran itu. Di samping itu, sangat tidak adil mengkambing hitamkan PAI berkaitan dengan rendahnya perilaku remaja.
Dekadensi moral ini dirasakan sangat mengglobal seiring dengan perubahan tata nilai yang sifatnya mendunia. Di belahan bumi mana pun sering kali kita saksikan berbagai gaya hidup yang bertentangan dengan etika dan nilai agama. Berbagai pendekatan telah dan sedang dilakukan untuk menyelamatkan masa depan peradaban manusia dari rendahnya perilaku moral. Pentingnya pendidikan akhlak bukan hanya dirasakan oleh masyarakat kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun kini sudah mulai diterapkan di berbagai negara. Di Jerman misalnya, pelajaran agama Islam juga masuk pada kurikulum mereka.[27]
a.       Beberapa Persoalan Mendasar tentang Pendidikan Budi Pekerti
­berbagai persoalan pendidikan ternyata tidak hanya terletak pada persoalan materi, kurikulum, guru atau metodologi pembelajaran, namun juga melibatkan persoalan tidak adanya persepsi dan tanggungjawab yang sama antara berbagai komponen pendidikan dalam membina budi pekerti dan pendidikan nilai terhadap para siswa.[28] Persepsi dan tanggungjawab tersebut seyogyanya diletakkan secara integral sehingga segala bentuk pembelajaran yang dilakukan sekolah berfokus pada pembentukan nilai dan akhlak siswa.
Kondisi faktual yang mesti dicermati dalam memberikan jawaban terhadap persoalan di atas mencakup, pertama, secara geografis sekolah lebih banyak terletak di pusat perkotaan. Aspek geografis ini telah memunculkan persoalan lingkungan yang secara akademis kurang kondusif atau kurang mendukung terciptanya lingkungan belajar yang baik. Pada setiap saat, siswa menyaksikan berbagai perilaku yang kurang baik yang dapat mempengaruhi nilai dan akhlak para siswa.
Kedua, pembinaan nilai dan akhlak siswa lebih banyak dibebankan kepada guru agama karena mata pelajaran ini dianggap paling relefan dengan persoalan pembinaan keimanan dan ketakwaan. Diperlukan pembelajaran nilai dan akhlak yang integratif dengan mata ajar lainnya. Proses ini secara psikologis akan memperkaya dan memperdalam mata pelajaran tersebut. Persoalannya terletak strategi mana yang hendak dipergunakan guru dalam mengintegrasikan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan dengan mata pelajaran yang diampunya.
Ketiga, belum optimalnya pembelajaran agam sebagai sebuah mata pelajaran yang harus mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan para siswa. Menurut pengamatan penulis, terhadap pelajaran agama dan efek dari mata ajar agama baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik belum optimal. Pembelajaran agama belum sepenuhnya melahirkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan pada diri siswa bahkan mata ajar agama masih terpisah dari mapelajaran lainnya.
Dalam konteks ini, penulis mengamati masih ada proses sekularisasi ilmu atau dikotomi ilmu, yakni pemisahan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Nilai-nilai keimanan dan ketakwaan seolah-olah hanya merupakan bagian mata pelajaran agama, sementara mata pelajaran lain mengajarkan bidang ilmunya seolah tidak ada hubungannya dengan masalah nilai keimanan dan budi pekerti.
Keempat, belum terciptanya pola atu mekanisme yang mampu mengintegrasikan ilai-nilai imtak dengan iptek. Sebagaimana dikatakan di atas, pola integrasi ini ini akan dapat dilakukan apabila para guru memahami keterkaitan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan dengan mata ajar yang dibinanya. Dalam konteks ini memang ada dua permasalahan yang dihadapi para guru sekaligus. Pertama, para guru harus melek (menguasai) bidang ilmunya, dan yang kedua, para guru harus mampu menerjemahkan bidang ilmu tersebut dengan nilai-nilai keagamaan dan ketaqwaan yang terkandung dalam ajaran agama. Proses integrasi inipun harus berjalan secara alamiah, tidak melalui proses mengada-ada. Dalam kenyataannya, ada beberapa konsep ilmu pengetahuan yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam nilai-nilai tersebut. Proses integrasi bukan berarti setiap pokok bahasan harus dilegalkan dengan ayat-ayat al-Qur’an melainkan dari setiap pokok bahasan tersebut diambil hikmah yang dapat diambil siswa bagi kehidupan (nilai spiritual).
Kelima, masih banyak kegiatan ekstrakurikuler yang tidak relevan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan. Kegiatan ekstrakurikuler lebih difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat fisik dan motorik, seperti olah raga, kepramukaan, PMR, dan bela diri. Pengkondisian dalam teori belajar behavioural diperlukan sebagai komponen lingkungan. Teori Pavlop dan Skinner bahkan menunjukkan munculnya perilaku karena proses pembiasaan. Lingkungan belajar yang kondusif  akan mendukung proses pembentukan secara lebih baik, termasuk kegiatan ekstrakurikuler.
Keenam, pembinaan keimanan dan ketakwaan elum melibatkan orang tua, padahal disadari betul bahwa guru hanyalah mengganti posisi orang tua di sekolah. Keberperanan orang tua sangat menentukan keberhasilan para siswa dalam meningkatkan keimaan dn ketakwaannya. Untuk terciptanya satu pembinaan yang integratif, diperlukan langkah dan visi yang sama dan saling mendukung antara sekolah dan orang tua juga masyarakat. Bahkan dalam beberapa hal orag tua harus menjadi “lembaga evaluasi” keberhasilan pembinaan kaimanan dna ketakwaan anaknya di sekolah.[29]
b.      Pola Integrasi
Dengan demikian, yang diperlukan saat ini adalah teroptimalkan nya pendidikan agama Islam dan mata ajar sejenis sehingga menyentuh akhlak pelajar, terintegrasi nya iptek dan imtak dalam setiap pembelajaran setiap mata pelajaran, terciptanya sebuah kondisi yang kondusif bagi tumbuh kembang nya nilai-nilai budi pekerti dan akhlak yang baik di kalangan pelajar, terselenggaranya kegiatan ekstra kurikuler yang mendukung penanaman nilai-nilai budi pekerti, serta terciptanya kerja sama antara pihak sekolah dan orang tua serta masyarakat dalam mengembangkan budi pekerti para siswa. Komponen-komponen strategis ini harus dilaksanakan melalui pola terintegrasi dalam sebuah sistem pendidikan persekolahan.
Dalam optimalisasi pendidikan agama tidak sekedar bersifat kognisi. Integrasi imtak dan iptek didasari tiga komponen penting pada setiap mata pelajaran, yaitu substansi mata pelajaran yang bersangkutan, keilmuan dan nilai. Melalui landasan inilah integrasi pembelajaran akan tercipta. Nilai adalah bagian yang tidak terpisahkan dari unsur agama yang pad gilirannya akan melahirkan budi pekerti yang luhur.
Lingkungan yang kondusif berarti terdapat sarana prasarana bagi tumbuhnya perilaku yang baik (budi pekerti) dan hadirnya rule of law yang diwujudkan dalam reward and punishment. Ekstrakurikuler menjadi penting kerena inilah saat yang alamiah untuk menumbuhkan budi pekerti melalui kegiatan-kegiatan yang mendorong minat dan bakat siswa. Kerja sama merupakan kunci bagi terciptanya kontrol secara lebih luas sehingga berbagai pihak bisa melihat keberhasilan sebuah “proyek budi pekerti” di sekolah. Ini pula yang akan merekomendasikan apa yang harus dilakukan masing-masing pihak.
Di samping itu, hal mendasar dari pola integrasi tanggungjawab dalam membina budi pekerti para siswa. Maka, selama distribusi tanggungjawab ini tidak tercipta yang lahir dari semua program pembinaan budi pekerti hanyalah wacana belaka.
2.      Hakekat Televisi Pendidikan
Suatu program televisi dapat dikatakan sebagai televisi pendidikan jika memiliki ciri-ciri antara lain mampu menyajikan pesan-pesan yang jelas kepada pemirsanya tentang hal-hal yang pantas/patut ditiru dan hal-hal yang tidak patut/pantas ditiru.[30] Dengan kata lain program-program yang disajikan hendaknya tidak bertentangan dengan norma-norma kesusilaan, adat istiadat dan sopan santun ke-Timuran yang hidup dalam masyarakat. Ciri lainnya program yang disajikan mampu membentuk dan mengembangkan sikap mental, tekad dan semangat serta ketaatan dan disiplin bagi para pemirsanya untuk tercapainya keberhasilan pembangunan.[31]
Secara khusus Depari menyoroti penampilan program televisi pendidikan dapat diukur dari kemampuannya untuk mensosialisasikan nilai-nilai agar orang dapat berfikir kritis, karena pada dasarnya hakekat dari pada pendidikan adalah membentuk manusia yang mandiri baik dalam mengambil keputusan maupun dalam berperilaku.[32] Sosialisasi menurut Brown,  merupakan proses yang bertujuan untuk membentuk manusia menjadi dewasa. Selanjutnya ia berpendapat bahwa ada empat komponen penting yang dapat mempengaruhi proses sosialisasi yaitu lingkungan keluarga, teman sebaya, lingkungan sekolah dan media massa.[33]
Dari ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan bahwa program televisi pendidikan merupakan suatu program televisi yang mampu menyajikan pesan-pesan secara jelas kepada para pemirsanya tentang hal-hal yang patut ditiru dan hal-hal yang tidak patut ditiru. Program yang ditampilkan tidak bertentangan dengan norma-norma kesusilaan yang berlaku, adat-istiadat dan sopan santun serta mampu mensosialisasikan nilai-nilai agar pemirsanya dapat berfikir kritis.
3.      Potensi Televisi sebagai Media Pendidikan Budi Pekerti
Melihat kejadian-kejadian di masyarakat akhir-akhir ini; terutama yang berhubungan dengan masalah dekadensi moral (seperti amuk massa, tawuran, perkelahian, perampokan narkoba dan berbagai tindak kekerasan lainnya), membuat kita tersentak dan menyadari bahwa selama ini kita mengalami kesalahan dalam menerapkan strategi pembangunan. Pembangunan yang hanya mengutamakan kemajuan fisik semata-mata ternyata tidaklah cukup tanpa diimbangi pembangunan di bidang mental-psikologis, yaitu pembentukan sikap/prilaku warga masyarakat (peserta didik) agar menjadi manusia yang berbudi luhur (berakhlaq mulia). Ketidaksiapan tersebut nampak ketika kita menghadapi krisis yang bersifat multidimensi, sehingga kita mudah terprofokasi, terhasut dan  tersulut untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Padahal Dalam Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, bahwa tujuan pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[34]
Dari tujuan pendidikan tersebut jelas tergambar betapa petingnya pendidikan moral (budi pekerti) bagi bangsa Indonesia disamping pendidikan lainnya. Namun demikian pendidikan budi pekerti yang selama kita laksanakan belum memperoleh perhatian yang maksimal, sehingga hasilnya pun juga tidak seperti yang diharapkan. Menyadari adanya kelemahan tersebut pemerintah kini ingin menggalakkan pendidikan budi pekerti, baik pendidikan melalui jalur konvensional atau dengan cara yang  inovatif, yaitu dengan memanfaatkan media pendidikan. Banyak media yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyampaikan pendidikan budi pekerti kepada peserta didik, salah satu diantaranya adalah media televisi. Media ini dipilih dengan pertimbangan kemampuan/kelebihan media tersebut yang dapat menyajikan materi secara audio visual dengan jangkauan pemirsa dalam jumlah yang tidak terbatas; sehingga dalam waktu yang bersamaan tayangan program dapat ditonton oleh ribuan bahkan jutaan orang. Terlebih lagi dengan adanya kebijaksanaan "langit terbuka" (Open Sky Policy) yang telah ditetapkan oleh pemerintah sejak tahun 1976, maka jika di rumah dilengkapi dengan decoder dan parabola yang sesuai dengan spesifikasi yang diperlukan, maka tayangan program-program televisi dapat dinikmati oleh setiap penduduk selama 24 jam setiap harinya.
Televisi sebagai media massa, memiliki tiga fungsi utama yaitu sebagai media informasi (information), sebagai media pendidikan (education) dan sebagai media hiburan (entertainment). Sesuai dengan fungsinya  televisi sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai media pendidikan, karena dalam berbagai hal televisi dapat memberikan: rangsangan, membawa serta, memicu, membangkitkan, mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu, memberikan saran-saran, memberikan warna, mengajar, menghibur, memperkuat, menggiatkan, menyampaikan pengaruh dari orang lain, memperkenalkan berbagai identitas (ciri) sesuatu, memberikan contoh, proses internalisasi tingkah laku, berbagai bentuk partisipasi serta penyesuaian diri dan lain-lain.[35]
Selain itu media televisi juga merupakan wahana yang kuat sekali pengaruhnya dalam pembentukan pola fikir, sikap dan tingkah laku disamping menambah pengetahuan dan memperluas wawasan masyarakat.[36]
Suprapti Widarto, menambahkan bahwa: siaran televisi memiliki daya penetrasi yang sangat kuat terhadap kehidupan manusia sehingga ia mampu merubah sikap, pendapat dan perilaku seseorang dalam rentang waktu yang relatif singkat.[37]
Dengan jangkauannya yang begitu luas, siaran televisi memiliki potensi yang luar biasa untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kepentingan pendidikan.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Fahmi Alatas, dengan kekuatan pandang dengarnya, siaran televisi memiliki potensi penetratif untuk mempengaruhi sikap, pandangan, gaya hidup, orientasi dan motivasi masyarakat.[38]
Dari berbagai pendapat tersebut disimpulkan bahwa, televisi merupakan media yang sangat potensial sebagai sarana pendidikan, khususnya pendidikan budi pekerti. Karena tujuan pendidikan budi pekerti seiring/sejalan dengan tujuan pendidikan pada umumnya. Tujuan pendidikan kita adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yang dimaksud manusia Indonesia seutuhnya  adalah manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional).
Disamping itu, media televisi yang memiliki kemampuan menyajikan informasi dalam bentuk visual dan suara, dinilai sangat efektif untuk menyampaikan materi/ pesan-pesan pendidikan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang disampaikan Dwyer (1978) bahwa sebagian besar materi pendidikan/pembelajaran (83%) diserap oleh peserta didik melalui indera penglihatan, 11% nya melalui indera pendengaran dan sisanya 6% melalui indera pengecapan, penciuman dan rabaan.[39]
Persoalannya adalah bagaimana mengemas tayangan program-program pendidikan budi pekerti melalui televisi menjadi sebuah tontonan yang menghibur sekaligus berisikan pesan-pesan/informasi yang pantas dan tidak pantas untuk ditiru oleh para pemirsanya. Membuat program yang demikian tentu dibutuhkan keterlibatan dari berbagai pihak serta ketelitian dan kejelian dalam mengangkat tema-tema aktual yang sedang ‘ngetrend’ sekaligus menarik, kemudian dikaitkan dengan pesan-pesan pendidikan budi pekerti yang ingin disampaikan.
Munculnya TV Pendidikan yang diprakarsai oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) patutlah disambut dengan baik di tengah keprihatinan masyarakat terhadap siaran televisi khususnya televisi swasta yang makin jauh dari unsur-unsur pendidikan. Televisi Edukasi (TV E) mengudara sejak Selasa tanggal 12 Oktober 2004, namun baru dapat diakses lewat parabola. Jadi pemirsanya pun masih relatif terbatas. Untuk Semarang dan Jawa Tengah bisa dinikmati melalui TV Borobudur (TVB) dan Televisi Dian Nuswantoro (TV KU). Memang langkah ini masih kecil dan belum akan dapat menjangkau publik sebanyak televisi komersial yang makin banyak. Namun sengaja kita mencatat dan memberikan dorongan karena begitu penting kehadiran televisi pendidikan.
Sebagaimana kita ketahui program-program siaran televisi swasta saat ini boleh dikatakan kurang mendukung pengembangan pendidikan, khususnya pendidikan budi pekerti. Dalam banyak hal justru bertolak belakang dengan upaya mencerdaskan masyarakat. TV swasta lebih banyak melansir acara-acara infotainment sekitar kehidupan kawin cerai artis atau pun yang sekarang menyedot perhatian luas adalah tayangan misteri. Di sisi lain pemirsa dari kalangan muda lebih di bius oleh kontes-kontes seperti AFI dan KDI. Rating acara-acara seperti itu memang sangat tinggi serta menyedot iklan sangat banyak. Tetapi apakah cukup sampai di situ? Di mana letak tanggung jawab sosial dan idealisme lembaga penyiaran dalam mengembangkan pendidikan dan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Acara-acara infotainment dengan segala bentuknya itu boleh-boleh saja. Lembaga penyiaran telah menjelma sebuah dominasi lembaga bisnis dalam sebuah kancah industri yang makin kompetitif. Dalam hal itulah kita bisa memahami bila mereka berpikir keras membidik pasar dan merebut perhatian pemirsa. Tingkat persaingan pun makin tinggi, kendati lama-lama kita sering merasakan kejenuhan karena kurang ada kreativitas. Satu televisi sukses dengan satu acara seperti AFI, yang lain segera meniru. Infotainment yang berisi gosip pun laris seperti kacang goreng. Rasanya hampir semua senada dan seirama dalam arti memperebutkan pasar dan konsumen yang sama.
Komisi Penyiaran baik yang ada di pusat maupun daerah hendaknya mulai melakukan kontrol dan menerapkan berbagai regulasi tanpa harus melakukan pengekangan kreativitas, apalagi sampai mengurangi kebebasan. Seharusnya materi siaran yang menyangkut pendidikan memperoleh porsi yang lebih besar. Bisa saja materi pendidikan di kemas dalam bentuk hiburan atau disebut edutainment. Sebaliknya program-program acara yang berselera rendah dan tidak mendidik dibatasi agar tidak kontraproduktif dari sisi pendidikan anak, terutama yang masih di SD, SMP, dan SMA. Syukur bila kesadaran itu muncul di kalangan lembaga penyiaran, khususnya televisi. Yakinlah apa pun bisa di kemas dengan baik agar tetap menarik perhatian.
Kemunculan televisi pendidikan, walaupun masih kecil perlu terus didukung agar makin meluas. Paling tidak bisa sebagai penyeimbang atau alternatif siaran-siaran televisi sekarang. Sebelum televisi-televisi swasta merombak paket-paket acaranya agar lebih mendidik dan pro pada pengembangan pendidikan termasuk akhlak dan moral. Janganlah didikotomikan, sesuatu yang edukatif pasti tidak disukai pasar. Kita menyadari betapa besar siaran televisi dalam mempengaruhi opini maupun perilaku masyarakat. Jadi janganlah terus diumbar selera rendah dan hal-hal yang kurang mendidik hanya semata-mata demi kepentingan bisnis. Idealnya kepentingan bisnis tetap berjalan seiring dengan penerapan idealisme lain seperti muatan pendidikan. [40]




[1]Departemen Agama, Budi Pekerti Dalam Mata Pelajaran pendidikan agama, Konsep Operasional (Jakarta : Direktorat Pembinaan, Kelembagaan, Agama Islam, 2000), hlm 2-3.
[2]Teuku Ramli Zakaria, Pendekatan-Pendekatan Nilai dan Implementasi dalam Pendidikan Budi Pekerti, www,depdiknas.go.id/jurnal/26/pendekatan_pendidikan_teuku_ramli.htm, hlm. 1.
[3]Zamris Habib, dkk, Penelitian Film Anak-anak di TV dalam Rangka Pengembangan  Program Pendidikan  Budi Pekerti, http://www.pustekkom.go.id/teknodik/t9/9-2.htm, hlm. 3
[4]Departemen Pendidikan Nasional,  Pedoman Umum Pendidikan Budi Pekerti Untuk Pendidikan Dasar dan Menegah (Jakarta : Ditjen Dikdasmen 2000), hlm. 5
[5]Edi Sedyawati, dalam Zamris Habib, Loc. Cit, hlm. 4
[6]Depdiknas, Op. cit, hlm. 5.
[7]Amirudin, Media dalam Pendidikan Budi Pekerti, www.suaramerdeka.com/harian/1410/02/opi3.htm, hlm. 1
[8]Ibid.
[9]Ibid. hlm. 2.
[10]Arsyad Azhar, Media Pengajaran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), cet. 2 hlm. 50.
[11]Drs. Fatah Syukur, NC, Teknologi Pendidikan, (Semarang: Rasail, 2005), hlm. 150.
[12]Ibid.
[13]Darwanto Sastro Subroto, Televisi Sebagai Media Pendidikan (Teori dan praktis), (Yogyakarta: Duta Wacana University Prees, 1992), cet. 2, hlm. 29.
[14]Ibid. hlm. 87.
[15]Ibid, hlm. 87.
[16]Redi Panuju, Drs. M.Si, Komunikasi Organisasi (dari Konseptual-Teotitis ke Empirik), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet.1, 2001, hlm. 133
[17]Ibid, hlm. 134
[18]Majalah Tempo, edisi 28 agustus 2000, Jakarta, 2000, hlm.91
[19]Ibid, hlm.95
[20]Redi Panuju, Drs. M.Si, op-cit, hlm.131-132
[21]Milton Chen Ph.D, Mendampingi Anak Menonton Televisi, (Jakarta: Gramedia pustaka utama, 2005), hlm. 15
[22]M. Athiyah al-Ibrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Ghani dan Johan Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 19.
[23]Al-Imam Ahmad ibn Hambal, Musnad, jilid 2 (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, tt), hlm. 381.
[24]Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra, 2001), hlm. ….
[25]Ibid. hlm.
[26]Dadang S. Anshori, Membenahi Pendidikan Budi Pekerti, http://pikiran-rakyat.com/cetak /0103/15/0801.htm, hlm. 1.
[27]Ibid. hlm. 2.
[28]Ibid, hlm. 2.
[29]Ibid, hlm. 2-3
[30]Susanto Astrid S..  "Strategi Pendidikan Melalui Media Audio Visual", Makalah Bahan Seminar Lokakarya Nasional Teknologi Pendidikan Tentang : Media Massa Elektronik dan Pendidikan Sumber Daya Manusia, 1 - 3 Februari 1994 (Jakarta : IPTPI, CTPI, Pustekkom, 1994). Hlm. 7.
[31]Widarto Suprapti.  "Pendayagunaan Siaran Televisi untuk Pendidikan Sumber Daya Manusia", Makalah Bahan Seminar Lokakarya Nasional Teknologi Pendidikan Tentang : Media Massa Elektronik dan Pendidikan Sumber Daya Manusia, 1-3 Februari 1994 (Jakarta: IPTPI, CTPI, Pustekkom, 1994). Hlm. 1
[32]Depari Eduard. "Pemenuhan Kebutuhan Pendidikan Bagi Masyarakat Melalui Media Elektronik", Makalah Bahan Seminar Lokakarya Nasional Teknologi Pendidikan Tentang : Media Massa Elektronik dan Pendidikan Sumber Daya Manusia, 1 - 3 Februari 1994 (Jakarta : IPTPI, CTPI, Pustekkom, 1994).hlm. 4.
[33]Ray Brown, J.,  Children and Television,  (Beverly Hills, California : Sage Publication, Inc. 1976), hlm. 197.
[34]Undang Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 BAB II Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hlm. 17
[35]Ibid, hlm. 347.
[36]Sri Hardjoko W.  "Pendayagunaan Radio dan Televisi Dalam Pendidikan", Makalah Bahan Seminar Lokakarya Nasional Teknologi Pendidikan Tentang : Media Massa Elektronik dan Pendidikan Sumber Daya Manusia, 1 - 3 Februari 1994 (Jakarta : IPTPI, CTPI, Pustekkom, 1994), hlm. 4.
[37]Suprapti Widarto, Loc. Cit, hlm. 4.
[38]Fahmi Alatas.  "Potensi Siaran Televisi Untuk Pendidikan Sumber Daya Manusia", Makalah Bahan Seminar Lokakarya Nasional Teknologi Pendidikan Tentang : Media Massa Elektronik dan Pendidikan Sumber Daya Manusia, 1 - 3 Februari 1994 (Jakarta : IPTPI, CTPI, Pustekkom, 1994), hlm. 3.
[39]Dwyer Francis M.,  dalam Zamris Habib, Loc. Cit, hlm. 5.
[40]Suara Merdeka, TV Pendidikan dan Keprihatinan Siaran Televisi Sekarang, http://www. suaramerdeka.com/harian/0410/14/opi01.htm. 3

0 Response to "TELEVISI DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI"

Post a Comment