SUPERVISI PENDIDIKAN


KONSEP DASAR PERENCANAAN SUPERVISI PENDIDIKAN

I.    Pengertian dan Batasan (Ruang Lingkup)
1.   Pengertian Perencanaan Supervisi Pendidikan
Secara bahasa perencanaan berasal dari bahasa Inggris yaitu “planning” yang mempunyai arti membuat rencana.[1] Merencanakan pada dasarnya menentukan kegiatan yang hendak  dilaksanakan pada masa depan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengatur berbagai sumber daya agar hasil yang dicapai sesuai dengan apa yang diharapkan.[2]
Ada beberapa definisi tentang perencanaan yang rumusannya berbeda-beda satu dengan yang lain. Cunningham mengatakan bahwa perecanaan itu ialah menyeleksi dan menghubungkan pengetahuan, fakta-fakta, imajinasi-imajinasi dan asumsi-asumsi untuk masa yang akan datang untuk tujuan memvisualisasikan dan memformulasikan hasil yang diinginkan, urutan kegiatan yang diperlukan dan perilaku dalam batas-batas yang dapat diterima yang akan digunakan dalam penyelesaian. Definisi yang kedua mengemukakan bahwa perencanaan ialah hubungan antara adanya sekarang (what is) dengan bagaimana seharusnya seharusnya (what should be) yang bertalian dengan kebutuhan, penentuan tujuan, prioritas, program dan alokasi sumber.[3] Ketiga mendefinisikan perencanaan sebagai persiapan menyusun sesuatu keputusan berupa langkah-langkah penyelesaian suatu masalah atau pelaksanaan suatu pekerjaan yang terarah pada pencapaian tujuan tertentu atau suatu cara untuk mengantisipasi dan menyeimbangkan perubahan sesuai dengan tujuan.[4] Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut, Friendman mengemukakan bahwa “Planning is a process by which a scientific and technical knowledge joined to organized action” (perencanaan adalah proses yang menggabungkan pengetahuan dan tehnik ilmiah ke dalam kegiatan yang diorganisasi.[5] Suherman dalam buku “Tehnik-tehnik Dasar Pembangunan Masyarakat” mengemukakan bahwa perencanaan adalah suatu penentuan urutan kegiatan yang didasarkan atas data dengan memperhatikan prioritas yang wajar dengan efisien untuk tercapainya tujuan.
Dari beberapa definisi perencanaan yang telah dikemukakan di atas memperlihatkan tekanan dan rumusan yang berbeda. Yang satu mencari wujud yang akan datang serta usaha untuk mencapainya, sedang definisi yang lainnya menghilangkan kesenjangan antara keadaan sekarang dengan keadaan yang akan datang dengan menggunakan tehnik-tehnik ilmiah secara sistematis agar sejalan dengan keadaan lingkungan yang juga berubah dengan prioritas yang wajar sesuai tujuan yang diharapkan. Namun dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, pada hakekatnya sama-sama ingin mencari dan mencapai wujud yang akan datang, tetapi tidak menyatakan secara eksplisit wujud yang dicari itu kausalitas dari terjadinya perubahan, termasuk perubahan yang diharapkan. Sehingga dapat dibuat rumusan baru tentang pengertian perencanaan sebagai suatu cara yang diambil untuk melaksanakan tindakan selama waktu tertentu (sesuai dengan jangka waktu yang direncakan) agar pencapaian tujuan menjadi lebih efektif dan efesien serta relevan dengan kebutuhan kausalitas dari terjadinya perubahan pada lingkungan.
Sedangkan pengertian supervisi secara etimologi adalah dari kata “super” yang berarti atas dan “visi” yang berarti melihat. Dengan demikian supervisi diartikan melihat dari atas. Berdasarkan pengertian secara etimologi, istilah-istilah supervisi yang dalam praktek, isi dan kegiatannya mengarah pada kegiatan ke-inspeksi, kepengawasan, kepenilik.[6] Inspeksi berasal dari istilah bahasa Belanda Inspective yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan Inspection. Kedua kata tersebut berarti pengawasan, yang terbatas kepada pengertian mengawasi apakah bawahan (dalam hal ini guru) menjalankan apa yang diinstruksikan oleh atasannya dan bukan berusaha membantu guru. Adapun istilah pengawas dan penilik di dalam PP No. 38 tahun 1992 Pasal 20 dijelaskan bahwa istilah pengawas dipakai untuk menunjukkan tugasnya pada jalur pendidikan sedangkan istilah penilik dipakai untuk menunjukkan tugasnya pada jalur pendidikan luar sekolah.[7] Sedangkan dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (SK Menpen) No. 118 tahun 1996 Bab I Pasal 1 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya dinyatakan bahwa istilah pengawas sekolah adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas tanggungjawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pengawasan di sekolah dengan pembinaan dan penilaian dari segi teknis pendidikan dan administrasi pendidikan pra-sekolah, dasar dan menengah.[8]
Istilah supervisi sering kita temukan dalam berbagai kepustakaan baik Indonesia maupun asing, namun istilah supervisi sebenarnya berasal dari kurikulum SD, SMP, SMA yang diartikan pembinaan guru. Jika yang dimaksudkan supervisi adalah pembinaan guru, maka pengertian supervisi secara terminologi sering diartikan sebagai serangkaian usaha bantuan kepada guru terutama bantuan yang berwujud layanan profesional yang dilakukan oleh kepala sekolah, penilik sekolah dan pengawas serta pembina lainnya untuk meningkatkan proses dan hasil belajar. [9]
Dalam Dictionary of Education Good Carter memberikan pengertian bahwa supervisi adalah usaha dari petugas-petugas sekolah dalam memimpin guru-guru dan petugas-petugas lainnya dalam memperbaiki pengajaran, termasuk menstimulasi, menyeleksi pertumbuhan jabatan dan perkembangan guru-guru serta merevisi tujuan pendidikan, bahan pengajaran dan metode serta evaluasi pengajaran. Berbeda dengan Mc Nerney yang melihat supervisi sebagai suatu prosedur memberi arahan serta mengadakan penilaian secara kritis terhadap proses pengajaran.[10] Sedangkan dalam Pedoman Guru PGAN memberikan definisi supervisi pendidikan sebagai suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk diberikan kepada staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik secara efektif dan efisien.[11]
Dari berbagai definisi di atas, ada kesepakatan umum bahwa supervisi adalah sebagai berikut :
1.      Serangkaian bantuan yang berwujud layanan profesional yang berencana
2.      Layanan profesional tersebut diberikan kepada staf sekolah (dalam hal ini guru) yang diberikan oleh yang ahli (kepala sekolah, penilik sekolah dan pengawas serta pembina lainnya)
3.      Maksud layanan profesional tersebut adalah perbaikan kualitas pengajaran sehingga tujuan pendidikan yang direncanakan tercapai
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian perencanaan supervisi pendidikan adalah sebagai suatu cara yang memuaskan dalam pembinaan dan perbaikan kualitas pengajaran dalam bentuk layanan profesional oleh yang ahli (kepala sekolah, penilik sekolah dan pengawas serta pembina lainnya) selama waktu tertentu (sesuai dengan jangka waktu yang direncanakan) agar pencapaian tujuan menjadi lebih efektif dan efesien serta relevan dengan kebutuhan kausalitas dari terjadinya perubahan pada lingkungan.
2.   Batasan/ Ruang Lingkup Perencanaan Supervisi Pendidikan
Kajian yang berkaitan dengan kegiatan perencanaan supervisi pendidikan meliputi beberapa segi, yaitu; segi kelembagaan, segi kepegawaiaan dan segi komponen-komponen dan substansi.[12]
a.       Segi kelembagaan
Dalam segi kelembagaan, pengawas/ supervisor adalah Pegawai Negeri Sipil Jabatan Fungsional dilingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan maupun di Departemen Agama yang melaksanakan tugas dalam pembinaan dan perbaikan kualitas pengajaran. Perencanaan supervisi pendidikan di tingkat departemen/ instansi ini dilihat dari ruang lingkup perencanaan merupakan jenis perencanaan meso, yaitu perencanaan yang ruang lingkupnya mencakup wilayah pendidikan tertentu, misalnya satu propinsi yang pada umumnya diprakarsai oleh departemen/ instansi pendidikan yang membawahi lembaga-lembaga pendidikan dasar dan menengah di daerah itu. Kegiatan perencanaan supervisi pendidikan yang dilakukan departemen pendidikan dalam menentukan kebijakan-kebijakan di daerah dengan berdasarkan pada Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Pendidikan dan Angka Kredit untuk departemen/ instansi masng-masing.[13] Hal tersebut sesuai dengan pertanggungjawaban vertikal antara Pemda Propinsi dan Pemerintah Pusat dalam hubungan kemitraan, seperti yang telah ditentukan dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemda, Kabupaten mempunyai otonomi yang seluas-luasnya.[14]
b.      Segi kepegawaian
Dalam kepegawaian, kenaikan pangkat dan jabatan pengawas ditetapkan berdasarkan Angka Kredit, karena pengawas merupakan pejabat fungsional. Penetapan Angka Kredit (PAK) prestasi kerja pengawas sesuai dengan bukti prestasi yang ditentukan dalam evaluasi kerja. Melalui perencanaan langkah-langkah kegiatan supervisi yang mencakup; persiapan. pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjut[15] yang terencana disamping akan meningkatkan profesionalisme pengawasan juga pada pengembangan karier kerja pengawas untuk kenaikan jabatan/ pangkat.
c.       Segi komponen-komponen dan substansi
Komponen pengawasan/ supervisi pendidikan meliputi; segi teknis pendidikan dan administrasi. Adapun dari segi teknis pendidikan meliputi; kurikulum, proses belajar mengajar, penilaian dan kegiatan ekstra kurikuler. Sedangkan dari segi administrasi meliputi; administrasi madrasah/ sekolah, kepegawaian, kesiswaan, guru, laboratorium dan sebagainya. Disamping komponen tersebut, setiap pengawas diharapkan memiliki wawasan dan kemampuan profesional dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kaitannya dengan kurikulum[16], sehingga diharapkan mampu memberikan penilaian dan pembinaan secara benar.

II.  Tujuan, Prinsip, Model, Pendekatan dan Tehnik Supervisi Pendidikan
1.   Tujuan supervisi pendidikan
Seperti telah dijelaskan di atas, kata kunci dari supervisi ialah memberikan layanan dan bantuan kepada guru-guru, maka tujuan supervisi adalah memberikan layanan dan bantuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang dilakukan guru di kelas yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas belajar siswa.
Secara umum, pembinaan guru atau supervisi pendidikan bertujuan untuk memberikan bantuan dalam mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik, melalui usaha peningkatan profesional mengajar, menilai kemampuan guru sebagai pendidik dan pengajar dalam bidang masng-masing guna membantu mereka melakukan perbaikan dan pembinaan dalam rangka meningkatan kualitas pendidikan.[17] Dalam rumusan yang lebih rinci, Djajadisastra mengemukakan tujuan pembinaan guru atau supervisi sebagai berikut :
a.       Memperbaiki tujuan Khusus mengajar guru dan belajar siswa
b.      Memperbaiki materi (bahan) dan kegiatan belajar mengajar
c.       Memperbaiki metode, yaitu cara mengorganisasi kegiatan belajar megajar
d.      Memperbaiki penilaian atas media
e.       Memperbaiki penilaian proses belajar dan hasilnya
f.       Memperbaiki pembimbingan siswa atas kesulitan belajarnya
g.      Memperbaiki sikap guru atas tugasnya [18]
Dalam buku Pedoman Supervisi PGAN sebagai acuan atau landasan pelaksanaan supervisi Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) menyebutkan bahwa tujuan supervisi ialah mengembangkan situasi belajar-mengajar yang lebih baik melalui pembinaan dan peningkatan profesi. Situasi belajar yang lebih baik dapat dicapai melalui pembinaan/ peningkatan kemampuan guru dalam proses penyusunan program pengajaran, penyampain bahan pelajaran dengan sistem tertentu kepada siswa. Hal ini dengan jelas tercantum dalam Undang-undang tentang pendidikan dan pengajaran No. 12 tahun 1945 Bab XVI pasal 27 yang berbunyi : “Pengawas pendidikan dan pengajaran berarti memberi pimpinan kepada para guru untuk mencapai kesempurnaan pekerjaannya ”.[19]
Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut sangatlah jelas, bahwa supervisi pendidikan bertujuan sebagai berikut :
a.       Memperbaiki proses belajar mengajar dalam menciptakan situasi belajar yang lebih baik
b.      Perbaikan tersebut dilaksanakan melalui pembinaan profesional
c.       Sasaran pembinaan tersebut adalah guru, atau orang lain yang terkait
d.      Secara jangka panjang maksud tersebut adalah memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan pendidikan
Bila dikembangkan lebih detail, maka tujuan supervisi pendidikan adalam membantu meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pendidikan terhadap kualitas pengajaran.
2.   Prinsip-prinsip Supervisi Pendidikan
Agar pembinaan tersebut dapat dilakukan dengan baik, perlu dipedo                                                                                                           mani prinsip-prinsip pembinaan guru. Yang dimaksud dengan prinsip adalah sesuatu yang harus dipedomani dalam suatu aktivitas. Adapun yang menjadi prinsip-prinsip supervisi pendidikan adalah sebagai berikut :
a.       Prinsip ilmiah (scientific)
1)    Kegiatan supervisi dilakukan berdasarkan data obyektif yang diperoleh dalam kenyataan pelaksanaan proses belajar mengajar
2)    Untuk memperoleh data perlu diterapkan alat perekam data, seperti; angket, observasi, percakapan pribadi dan seterusnya
3)    Setiap kegiatan supervisi dilaksanakan seara sistematis, berencana dan kontinu[20]


b.      Prinsip Demokratis
Supervisi harus didasarkan dengan menjunjung tinggi azas musyawarah, memiliki jiwa kekeluargaan yang kuat serta sanggup menerima pendapat orang lain. Demokratis mengandung makna menjunjung tinggi harga diri dan martabat guru, bukan berdasarkan atasan dan bawahan tapi berdasarkan rasa kesejawatan. Situasi pelaksanaan supervisi pendidikan bukan karena perintah dan karena takut dengan atasan, namun menciptakan situasi kekeluargaan, musyawarah dan saling memberi dan menerima.[21]
c.       Prinsip kerja sama/ kooperatif
Supervisi hendaklah didasarkan untuk mengembangkan usaha bersama untuk menciptakan situasi belajar yang lebih baik[22] atau menurut istilah supervisi Sharing of idea, sharing of experience, memberi, mendorong, menstimulasi guru.[23]
d.      Prinsip konstruktif dan kreatif
Setiap guru akan merasa termotivasi dalam mengembangkan potensi kreativitas dan inisiatif guru itu sendiri, sedangkan supervisor hanya memberikan dorongan agar tercipta situasi belajar yang baik atau dengan menciptakan suasana kerja yang menyenangkan, bukan melalui cara-cara menakutkan.[24]
2.   Model-model supervisi pendidikan
a.       Model-model supervisi pendidikan
Yang dimaksud model dalam uraian ini adalah suatu pola yang diterapkan dalam pelaksanaan supervisi pendidikan. Ada berbagai model yang berkembang dalam supervisi pendidikan, yaitu :
1)   Model tradisional (konvensional)
Perilaku  supervisi model konvensional ialah mengadakan inspeksi untuk mencari kesalahan dan menemukan kesalahan. Kadang-kadang bersifat memata-matai, perilaku tersebut oleh Olive P.F disebut snoopervision (memata-matai) atau sering disebut supervisi korektif. Guru yang banyak kesalahan mendapat kondite buruk dan sebaliknya yang patuh mendapat kondite bagus dan dicalonkan menduduki pangkat yang lebih tinggi. Suasana antara staf yang dibina (dalm hal ini guru) dibawah pimpinan dikdatoris, tertekan dan tegang tanpa ada kegembiraan sama sekali.[25] Praktek pembinaan yang dilakukan pembina adalah lebih banyak memberikan penilikan/ inspeksi kepada guru-guru yang menjadi tanggungjawabnya sebagai kontrol atas pengajaran dari pada langkah-langkah pembinaan secara profesional/ akademik.[26]
2)   Model ilmiah (scientific)
Supervisi yang bersifat ilmiah memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a)   Dilaksanakan secara berencana dan kontinu
b)   Sistematis dan menggunakan prosedur serta teknik tertentu
c)   Menggunakan instrumen pengumpulan data
d)   Ada data yang obyektif yang diperoleh dari keadaan yang riil [27]
3)   Model klinis (clinical)
Supervisi klinis adalah suatu proses pembimbingan dalam pendidikan yang bertujuan membantu pengembangan profesional guru dalam pengenalan mengajar melalui observasi dan analisis data secara obyektif, teliti sebagai dasar untuk usaha mengubah perilaku mengajar guru. Yang terpenting dari pelaksanaan supervisi klinis disini adalah inisiatif datang dari guru untuk mengaasi permasalahan yang datang dari guru untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya. Inti dari bantuan terpusat pada perbaikan penampilan dan perilaku mengajar guru. Model pembinaan guru yang dilakukan secara kolegen atau kesejawatan antara pembina dan guru melalui tatap muka membahas tentang hal mengajar di dalam kelas guna perbaikan pengajaran dan pengembangan profesi.[28] Terdapat lima langkah dalam melaksanakan supervisi klinis, yaitu; a) Pembicaraan pra-observas, b) Melaksanakan observasi, c) Melakukan analisis dan menentukan strategi, d) Melakukan pembicaraan tentang hasil supervisi, dan e) Melakukan analisis setelah pembicaraan. [29]
4)   Model artistik
Pada model supervisi artistik ini, pembina akan menampakkan dirinya dalam relasi dengan guru-guru yang dibimbing para guru merasa diterima, adanya perasaan aman dan dorongan positif untuk berusaha maju. Sehingga pembina lebih sering mendengarkan, dituntut mempunyai kepekaan memahami problem-problem yang dikemukakan dan menempatkan diri sebagai instrumen observasi untuk mendapatkan data dalam rangka mengambil langkah-langkah pembinaan. Oleh karena pembinaan sendiri yang ditempatkan sebagai instrumennya, maka dialah yang membuat pemaknaan atas pengajaran yang sedang berlangsung.[30]
b.      Pendekatan-pendekatan supervisi pendidikan
Pendekatan yang dikemukakan dibawah ini didadasarkan pada prinsip-prinsip psikologis yang bergantung pada prototipe guru. Berikut ini disajikan beberapa pendekatan, perilaku supervisor, yaitu :
1)      Pendekatan langsung (direktif)
Yang dimaksud pendekatan langsung (direktif) adalah cara pendekatan terhadap masalah yang bersifat langsung. Supervisor dapat menggunakan penguatan (reinforcement) atau hukuman (punishment). Perilaku supervisor dalam Pendekatan ini adalah; (1) menjelaskan, (2) menyajikan, (3) mengarahkan, (4) memberi contoh, (5) menetapkan tolok ukur dan (6) menguatkan.[31]
2)      Pendekatan tidak langsung (non-direktif)
Pendekatan tidak langsung (non-direktif) adalah cara pendekatan terhadap permasalahan yang sifatnya tidak langsung. Perilaku supervisor dalam pendekatan ini adalah; (1) mendengarkan, (2) memberi penguatan, (3) menjelaskan, (4) menyajikan, (5) memecahkan masalah.[32]
3)      Pendekatan kalaboratif
Pendekatan kalaboratif adalah cara pendekatan yang memadukan cara pendekatan direktid dan non-direktif menjadi pendekatan baru. Pada pendekatan ini baik supervisor maupun guru bersama-sama bersepakat untuk menetapkan struktur, proses dan kriteria dalam melaksanakan proses percakapan terhadap masalah yang dihadapi guru. Perilaku supervisor dalam pendekatan ini adalah; (1) percakapan awal (pre-conference), (2) observasi, (3) analisis/ interpretasi, (4) percakapan akhir (past conference) (5) analisis akhir dan (6) diskusi.[33]
c.       Teknik-tehnik supervisi pendidikan
Umumnya alat dan teknik supervisi dapat dibedakan dalam dua macam alat/ atau teknik, yaitu; individual devices dan group devices.[34]
1)   Teknik yang bersifat individual
Yaitu teknik yang dilaksanakan untuk seorang guru secara individual. Adapun yang termasuk teknik yang bersifat individual, adalah sebagai berikut :

a).    Kunjungan kelas dan sekolahan
Kunjungan kelas adalah kunjungan yang dilaksanakan oleh pengawas terhadap kelas-kelas tertentu pada sekolahan yang telah diprogramkan untuk memperoleh data mengenai keadaan sebenarnya selama guru mengajar di kelas. Sedangkan kunjungan sekolah adalah kunjungan pengawas baik atas permintaan kepala sekolah ataupun perintah ketua POKJAWA (Kelompok Kerja Pengawas) masing-masing wilayah. Kunjungan sekolah tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sikap profesionalitas guru, pengelolaan administratif sekolah, kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan, kurikulum dan sebagainya.[35]
b).    Observasi kelas
Melalui perkunjungan kelas, supervisor dapat mengobservasi situasi belajar yang sebenarnya. Adapun hal-hal yang  perlu diobservasi antara lain; usaha kegiatan guru dan murid, usaha dan kegiatan guru dengan murid dalam penggunaan alat, bahan pelajaran dan dalam memperoleh pengalaman belajar serta lingkungan sosial, fisik baik dalam maupun luar ruang kelas dan faktor-faktor penunjang lainnya. Alat-alat/ instrumen untuk memperoleh data dalam observasi dapat mempergunakan check-list (suatu alat untuk mengumpulkan data dalam memperlengkapi keterangan-keterangan yang obyektif terhadap situasi belajar mengajar dalam kelas) dan activity check-list (suatu daftar kegiatan yang dijawab oleh si penjawab dengan cara mengecek). Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pengawas dalam observasi kelas antara lain; 1). sedapat mungkin tidak menggangu KBM, 2). Menyiapkan instrumen yang telah di perlukan, 3). harus sudah jelas hal-hal yang akan diobservasi.[36]
c).    Percakapan pribadi (individual conference)
Individual conference atau percakapan pribadi antara seorang supervisor dengan seorang guru. Dalam percakapan ini supervisor dapat bekerja secara individual dengan guru dalam memecahkan problem-problem pribadi yang berhubungan dengan jabatan mengajar (personal and profesional problem). Menurut George Kyte, ada dua jenis percakapan melalui perkunjungan kelas, yaitu; percakapan pribadi setelah kunjungan kelas (formal) dan percakapan pribadi melalui percakapan biasa sehari-hari (informal).[37]
d).   Inter-visitas
Yang dimaksud dengan inter-visitas ialah saling mengunjungi antara guru yang satu kepada guru yang lain yang sedang mengajar. Sisi positif dari teknik ini adalah memberi kesempatan mengamati rekan lain yang sedang memberi pelajaran dan membantu guru-guru yang ingin memperoleh ketrampilan tentang teknik, metode dan cara mengatasi kesulitan-kesulitan tertetu dalam mengajar dan yang paling utama adalah memberikan motivasi yang terarah terhadap aktivitas mengajar.[38]
e).    Menilai diri sendiri (self evaluation chec- list)
Salah satu tugas yang tersukar bagi guru-guru ialah melihat kemampuan diri sendiri dalam menyajikan bahan pelajaran. Instrumen/ alat yang dapat dipergunakan antara lain berupa;  suatu daftar pandangan/ pendapat yang disampaikan kepada murid-murid untuk menilai suatu aktivitas atau pekerjaan guru, menganalisa test-test terhadap unit-unit kerja dan mencatat aktivitas murid-murid dalam suatu catatan (record) baik mereka bekerja secara perseorangan maupun kelompok.[39]
2)    Teknik yang bersifat kelompok
Yaitu teknik yang dilaksanakan untuk melayani beberapa orang bukan satu orang. Adapun yang termasuk dalam teknik pengawasan/ supervisi yang bersifat kelompok adalah; pertemuan orientasi bagi guru baru (orientation meeting for new teacher), rapat guru, studi kelompok antar guru, diskusi sebagai proses kelompok, lokakarya (workshop), seminar, simposium, penerbitan buletin profesional guru dan lain sebagainya.[40]

III. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perencanaan Supervisi Pendidikan
Dalam mencapai tujuan yang telah direncanakan, kadang-kadang seorang perencana tidak dapat lepaskan diri dari banyak hal, antara lain dari faktor internal (dalam diri sendiri) dan faktor eksternal (dari luar dirinya sendiri). Kedua faktor inilah yang sangat mempengaruhi dalam perencanaan supervisi pendidikan.
1.   Faktor internal
Faktor internal yang mempengaruhi perencanaan supervisi pendidikan adalah faktor-faktor yang ada dan berasal dari diri pengawas. Adapun faktor yang dimaksud, antara lain :
a.       Kemampuan profesional dan waasan baik tentang subtansi kepengawasan maupun manajerial jalannya program pengawasan yang memadai.
b.      Sikap mental yang kurang sehat dari pembina, yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
1)      Hubungan profesional yang kaku dan kurang akrab akibat sikap otoriter pembina, sehingga guru takut bersikap terbuka kepada pembina
2)      Banyak pembina dan guru merasa berpengalaman sehingga tidak merasa perlu untuk belajar lagi
3)      Pembina dan guru merasa cepat puas dengan hasil belajar siswa
c.   Kurang adanya tanggungjawab, terlalu lunak dan masa bodoh terhadap jalannya kepengawasan
d.   Pembina banyak yang sudah lama tidak mengajar, sehingga banyak dibutuhkan bekal tambahan agar dapat mengikuti perkembangan baru[41]
2.   Faktor eksternal
Faktor eksternal yaitu faktor yang berada di luar diri pengawas, akan tetapi turut mempengaruhi tugas-tugas kepengawasan dan pencapaian tujuan yang telah direncanakan. Adapun yang dimaksud faktor eksternal tersebut, antara lain :
a.   Peraturan perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan yaitu suatu kebijaksanaan yang telah ditetapkan sebagai dasar bagi seorang aparat, termasuk untuk melaksanakan tugas. Adapun secara hierarki peraturan perundang-undangan yang mempengaruhi pelaksanaan tugas sekaligus dalam perencanaan tugas pengawasan, meliputi; UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas tahun 2003, SK Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 118/ 1996, SK Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Petunjuk Pelaksanaan Teknis Jabatan Fungsional Pengawas dan Angka Kreditnya masing-masng instansi.[42]
b.   Dari pihak guru
1)      Kurang adanya semangat kerja
2)      Kurang kesediaan bekerja sama dan berkomunikas
3)      Kurang kecakapan dalam melaksanakan tugas
4)      Kurang menguasai metode mengajar
5)      Kurang memahami tujuan dan program kerja
6)      Kurang mentaati peraturan ketertiban dan sebagainya [43]
c.       Dari pihak murid
1)      Kurang kerajinan, ketekunan
2)      Kurang mentaati ketertiban
3)      Kurang keinsyafan perlunya belajar, dan sebagainya[44]
d.      Dari pihak sarana dan prasarana
1)      Kurang terpenuhi syarat-syarat tentang gedung, halaman, kesehatan, keamanan dan sebagainya
2)      Kurang tersedianya alat-alat pelajaran, seperti bangku, kursi, lemari, papan tulis dan sebagainya[45]
e.       Dari pihak kepala sekolah
1)      Kurang adanya tanggungjawab pengabdian
2)      Kurang kewibawaan, pengetahuan, dan sebagainya
3)      Terlalu otoriter
4)      Terlalu lunak, bersikap masa bodoh dan sebagainya[46]
f.    Dana dan anggaran yang telah ditetapkan pada APBD masing-masing instansi
Urgensi pendanaan dan anggaran sebagai motivasi kerja pengawas akan mempengaruhi baik dalam perencanaan maupun efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program. Sangat disadari bahwa upaya yang dilaksanakan instansi pemerintah pusat dalam penganggaran/ budget pelaksanaan program pengawasan masih sangat minim dan keterbatasan kendaraan operasional kepengawasan hanya pada pengawas TK/ SD.[47]
h.   Lingkungan sekolah/ madrasah
Dengan menciptakan lingkungan yang ramah, saling keterbukaan, kedisiplinan dan kemitraan/ kerjasama lembaga sekolah/ madrasah dengan pengawas, sangat berpengaruh besar dalam perencaan dan pelaksanaan program pengawasan. yang bertanggungjawab menciptakan lingkungan yang baik adalah kepala sekolah, guru, karyawan, murid, serta masyarakat sekitarnya.[48]






[1]Faiz Baraba, et.al., Kamus Umum Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Indah Surabaya, 1989, hlm. 134.

[2] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hlm. 49.

[3]Made Sudarta, Perencanaan Pendidikan Partisipatoris Dengan Pendekatan Sistem, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hlm. 3-4.
[4]Hadi Nawawi, Administrasi Pendidikan, Guru Agung, Jakarta, 1981, hlm. 41.

[5]D. Sudjana S., Manajemen Program Pendidikan : Untuk Pendidikan Nonformal dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Falah Production, Bandung, 2004, hlm. 58.
[6]Ali Imron, Pembinaan Guru Di Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, hlm 10.

[7]Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, PT. Rinekca Cipta, Jakarta, 1999, hlm. 231-132.

[8]Panduan Tugas Jabatan Fungsional Pengawas Pendidikan Agama Islam, Depaetemen Agama RI, Jakarta, 2000, hlm.7.

[9]Ali Imron, Op. cit, hlm. 9.
[9]Piet A. Sahertian, Konsep Dasar Supervisi Pendidikan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 17.

[11]Pedoman Guru PGAN¸ Badan Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Guru Agama, Departemen Agama, 1983, hlm. 111.
[12]Panduan Tugas Jabatan Fungsional Pengawas Pendidikan Agama Islam, Departemen Agama RI, Jakarta, 2000, hlm. 3.

[13] Standart Supervisi dan Evaluasi Pendidikan : Supervisi Akademik dan evaluasi Program, Direktorat Madrasah dan Pendidikan Agama Islam Pada sekolah Umum, Departemen Agama RI, 2003, hlm. 2.

[14] A.R. Tila’ar, Paradigma Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 106.

[14] Panduan Tugas Jabatan Fungsional Pengawas Pendidikan Agama Islam,Op. cit, hlm. 22.
[15] Ibid, hlm. 4.

[16] Ibid, hlm. 4.
[17]Pedoman Pengembangan Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Depag RI, Jakarta, 2003, hlm, 12.

[18]Ali Imron, Op. cit, hlm. 12.

[19]M. Darmanto, Administrasi Pendidikan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hlm. 178-179.

[20]Piet A. Sahertian, Op. cit, hlm. 20.
[21]Suharsimi Arikunto, Organisasi Administrasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm. 181.

[22] Pedoman Guru PGAN, Op. cit, hlm. 112.

[23] Piet A. Sahertian, Op. cit, hlm. 157.

[24] Suharsimi Arikunto, Op. cit, hlm 158.
[25] M. Darmanto, Op. cit, hlm. 188.

[26] Ali Imron, Op. cit, hlm. 17.

[27] Piet A. Sahertian, Op. cit, hlm. 36.
[28]Ahmad Azhari, Supervisi Rencana Program Pembelajaran, Rian Putra, Ciputat, 2003, hlm. 18.

[29] Piet A. Sahertian, Op. cit, hlm. 38.

[30] Ali Imron, Op. cit, hlm. 48.
[31] Piet A. Sahertian, Op. cit, hlm. 46.

[32] Ibid, hlm. 48.

[33] Ibid, hlm. 49-50.

[34] M. Daryanto, Op. cit, hlm. 191.
[35] Pedoman Pengembangan Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Depag RI, Jakarta, 2003, hlm. 47-48.
[36] Panduan Tugas Jabatan Fungsional Pengawas Pendidikan Agama Islam,Op. cit, hlm. 20.

[37] Piet A. Sahertian, Op. cit, hlm. 73-74.

[38] Ibid, hlm. 79.
[39] Ibid, hlm. 83.

[40] Ibid,, hlm. 86.
[41] Ali Imron, Loc. cit,  hlm. 11.

[42] Hadirja Paraba, Wawasan Tugas Tenaga Guru dan Pembina Pendidikan Agama Islam, Friska Agung Insani, Jakarta, 2000, hlm. 89.
[43] M. Daryanto, Op. cit, hlm. 177.

[44] Ibid, hlm. 178.

[45] Loc. cit.

[46] Ibid, hlm. 179.

[47] Hadirja Paraba, Op. cit, hlm. 69.
[48] Ibid, hlm. 54.

0 Response to "SUPERVISI PENDIDIKAN"

Post a Comment