PONDOK PESANTREN

PONDOK PESANTREN


    A. Pengertian Pondok Pesantren
Keberadaan pondok pesantren dan masyarakat merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, karena saling mempengaruhi. Sebagian besar pesantren berkembang dari adanya dukungan masyarakat, dan secara sederhana muncul atau berdirinya pesantren merupakan inisiatif masyarakat baik secara individual maupun kolektif. Begitu juga pada pondok pesantren Darul Falah, telah terjadi perubahan. Perubahan tersebut meliputi perubahan pada dinamika kegiatan pondok pesantren dalam pendidikan dan kemasyarakatan.
Berdasarkan kondisi pesantren yang sedemikian rupa, maka konsep pesantren menjadi cerminan pemikiran masyarakat dalam mendidik dan melakukan perubahan sosial terhadap masyarakat. Dampak yang jelas terjadi perubahan orientasi kegiatan pesantren sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dengan demikian pondok pesantren berubah tampil sebagai lembaga pendidikan yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial. Bahkan lebih jauh daripada itu pesantren menjadi konsep pendidikan sosial dalam masyarakat muslim baik di desa maupun di kota.[1] Untuk itu akan dijelaskan mengenai gambaran tentang pondok pesantren sebagaimana berikut.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam sebagai wahana untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
Sebagai suatu lembaga pendidikan Islam, pesantren dari sudut historis kultural dapat dikatakan sebagai “training center” yang otomatis menjadi “cultural central” Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat, setidak-tidaknya oleh masyarakat Islam sendiri yang secara defacto tidak dapat diabaikan oleh pemerintah.[2]
Menurut Manfred Ziemek, sebagaimana dikutip oleh Wahjoetomo menyebutkan bahwa kata pondok berasal dari funduq (Arab) yang berarti ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran -an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.[3] 
Sedangkan menurut Geertz, juga dikutip oleh Wahjoetomo, menjelaskan bahwa pengertian pesantren diturunkan dari bahasa India sastri yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis, maksudnya pesantren adalah tempat bagi orang-orang yang pandai membaca dan menulis. Geertz menganggap bahwa pesantren dimodifikasi dari pura Hindu.[4]
Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) yang santri-santrinya menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dan kepemimpinan seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatis serta independen dalam segala hal.[5]
Selain itu disebutkan bahwa pondok pesantren adalah suatu bentuk lingkungan “masyarakat” yang unik dan memiliki tata nilai kehidupan yang positif. Pada umumnya, pesantren terpisah dari kehidupan sekitanya. Komplek pondok pesantren minimal terdiri atas rumah kediaman pengasuh disebut juga kyai, masjid atau mushola, dan asrama santri. Tidak ada model atau patokan tertentu dalam pembangunan fisik pesantren, sehingga penambahan bangunan demi bangunan dalam lingkungan pesantren hanya mengambil bentuk improvisasi sekenanya belaka.[6]
Tentang kehadiran pesantren secara pasti di Indonesia pertama kalinya, dimana dan siapa pendirinya, tidak dapat diperoleh keterangan yang pasti. Berdasarkan hasil pendataan yang dilaksanakan oleh Departemen Agama pada tahun 1984-1985 diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 di Pamekasan Madura, dengan nama Pesantren Jan Tampes II. Akan tetapi hal ini juga diragukan, karena tentunya ada Pesantren Jan Tampes I yang lebih tua. Kendatipun Islam tertua di Indonesia yang peran sertanya tidak diragukan lagi, adalah sangat besar bagi perkembangan Islam di nusantara.[7]
Lembaga pendidikan yang disebut pondok pesantren sebagai pusat penyiaran Islam tertua yang lahir dan berkembang seirama dengan masuknya Islam di Indonesia. Pada awal berdirinya, pondok pesantren umumnya sangat sederhana. Kegiatan pembelajaran biasanya diselenggarakan di langgar (mushala) atau masjid oleh seorang kyai dengan beberapa orang santri yang datang mengaji. Lama kelamaan “pengajian” ini berkembang seiring dengan pertambahan jumlah santri dan pelebaran tempat belajar sampai menjadi sebuah lembaga yang unik, yang disebut pesantren.[8]
Di Indonesia pondok pesantren lebih dikenal dengan istilah Kutab merupakan suatu lembaga pendidikan Islam, yang di dalamnya terdapat seorang kyai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (anak didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pondok sebagai tempat tinggal para santri.[9]
Sedangkan asal-usul pesantren di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim (meninggal 1419 di Gresik Jawa Timur), spiritual father Walisongo, dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya-guru tradisi pesantren di tanah Jawa.[10] Ini karena Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi yang wafat pada 12 Rabi’ul Awal 822 H bertepatan dengan 8 April 1419 M dan dikenal sebagai Sunan Gresik adalah orang yang pertama dari sembilan wali yang terkenal dalam penyebaran Islam di Jawa.[11]
Meskipun begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Ia mendirikan pesantren di Kembang Kuning, yang pada waktu didirikan hanya memiliki tiga orang santri, yaitu Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, dan Kyai Bangkuning. Kemudian ia pindah ke Ampel Denta, Surabaya dan mendirikan pondok pesantren di sana. Misi keagamaan dan pendidikan Sunan Ampel mencapai sukses, sehingga beliau dikenal oleh masyarakat Majapahit. Kemudian bermunculan pesantren-pesantren baru yang didirikan oleh para santri dan putra beliau. Misalnya oleh Raden Patah, dan Pesantren Tuban oleh Sunan Bonang.[12]
Pondok pesantren memang bila dilihat dari latar belakangnya, tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dalam masyarakat yang terdapat implikasi-implikasi politis sosio kultural yang menggambarkan sikap ulama-ulama Islam sepanjang sejarah. Sejak negara kita dijajah oleh orang barat, ulama-ulama bersifat noncooperation terhadap penjajah serta mendidik santri-santrinya dengan sikap politis anti penjajah serta nonkompromi terhadap mereka dalam bidang pendidikan agama pondok pesantren. Oleh karena itu, pada masa penjajahan tersebut pondok menjadi satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang menggembleng kader-kader umat yang tangguh dan gigih mengembangkan agama serta menentang penjajahan berkat jiwa Islam yang berada dalam dada mereka. Jadi di dalam pondok pesantren tersebut tertanam patriotisme di samping fantisme agama yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada masa itu.[13]
Begitu pula halnya dengan berdirinya Darul Falah sebuah nama pondok pesantren yang cukup dikenal di antara pesantren yang berada di desa Jekulo kabupaten Kudus. Pondok pesantren ini didirikan pada tanggal 1 januari 1970 dengan pendirinya yaitu KH. Ahmad Basyir. Pada mulanya pondok pesantren ini hanya berawal dari pengajian yang sangat sederhana itu pula, pada akhirnya pesantren berkembang menjadi lembaga pendidikan reguler dan diikuti oleh masyarakat, dalam pengertian memberi pelajaran secara material dan imaterial, yakni mengajarkan bacaan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama abad pertengahan dalam wujud kitab kuning. Titik tekan pola pendidikan secara material itu adalah diharapkan setiap santri mampu menghatamkan kitab-kitab kuning sesuai dengan target yang diharapkan yakni membaca seluruh isi kitab yang diajarkan segi materialnya terletak pada materi bacaannya tanpa diharapkan pemahaman yang lebih jauh tentang isi yang terkandung di dalamnya.
Dengan bertambahnya dan minat yang tinggi santri dalam belajarnya, Pesantren Darul Falah selanjutnya mulai memikirkan bagaimana bisa memasukkan pendidikan formal selain pendidikan non formal. Dan kepercayan tersebut diserahkan pada putanya yang bernama KH. Ahmad Badawi BBA, MBA. Salah satu program beliau yaitu dengan memasukkan program pendidikan dasar yang dilaksanakan setiap hari selasa dan jum’at juga diterapkan yang kurikulumnya sederajat dengan SLTP. Pada tingkat sederajat MTs, diajar sendiri oleh para pengurus pondok baik putra maupun putri. Dan setingkat MA, diajar oleh pengasuh pondok atau ustadz dan ustadzah.
Sistem yang lazim dipergunakan dalam proses belajar mengajar di pesantren Darul Falah tersebut adalah wetonan, sorogan dan bandongan. Akan tetapi, sejak 1 Oktober 1972 bersamaan dengan program modernisasi pesantren, sistem pembelajaran mengalami perubahan dengan menggunakan sistem kelas dan mengajarkan mata pelajaran umum sebagaimana di sekolah umum. Kalau pada mulanya tujuan utama dari pesantren adalah menyiapkan santri dalam mendalami dan menguasai ilmu pengetahuan agama, sejak mengadopsi pendidikan berkelas santri tidak hanya dibekali ilmu agama tetapi sekaligus akrab dengan pendidikan umum.

B.   Sistem Pendekatan Pengajaran di Pondok Pesantren

Pengertian sistem bisa diberikan terhadap suatu perangkat atau mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian yang satu dan lainnya saling berhubungan dan saling memperkuat. Jadi, sistem adalah suatu sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Pengertian lainnya yang umum dipahami di kalangan awam adalah bahwa sistem itu merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan tersebut.[14]
Bila kita mempergunakan istilah sistem pendidikan dan pengajaran pondok pesantren, maka yang dimaksud adalah saran berupa perangkat organisasi yang diciptakan untuk mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang berlangsung dalam pondok pesantren. Sedangkan bila kita mempergunakan istilah sistem pendekatan tentang metode pengajaran agama Islam di Indonesia, maka pengertiannya adalah cara pendekatan dan penyampaian ajaran agama Islam di Indonesia dalam ruang lingkup yang luas, tidak hanya terbatas pada pondok pesantren, tetapi mencakup lembaga-lembaga pendidikan formal, baik madrasah maupun sekolah umum dan nonformal, seperti pondok pesantren.[15]
Kalangan pesantren tentu merasa bersyukur, bahkan berhak untuk bangga, karena meningkatnya perhatian masyarakat luas pada dunia pendidikan dan lembaga pesantren. Dari sebuah lembaga yang hampir-hampir tidak diakui eksistensi dan peran positifnya, menjadi sebuah lembaga yang hampir-hampir tak diakui eksistensi dan peran positifnya, menjadi sebuah bentuk pelembagaan sistem pendidikan yang berhak mendapatkan “label” asli Indonesia. Maka orangpun mulai membicarakan kemungkinan pesantren menjadi pola pendidikan nasional.[16]
Sistem yang ditampilkan dalam pondok pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam pendidikan pada umumnya, yaitu :
1.   Memakai sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh dibandingkan dengan sekolah modern, sehingga terjadi hubungan dua arah antara santri dan kyai.
2.   Kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi karena mereka praktis bekerja sama mengatasi problema non-kurikuler mereka.
3.   Para santri tidak mengharap penghargaan kependidikan yaitu perolehan gelar dan ijazah, karena sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri dengan ketulusan hatinya masuk pesantren tanpa adanya ijazah tersebut. Hal itu karena tujuan utama adalah mencari keridlaan Allah Swt dan ilmu untuk diamalkan.
4.   Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri, dan keberanian hidup.
5.   Alumni pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemerintahan, sehingga mereka hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah.[17]
Selain hal itu penyelenggaraan sistem pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren sekarang ini, paling tidak dapat digolongkan kepada tiga bentuk, yaitu :
1.   Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara nonklasikal (sistem bandungan dan sorogan), di mana seorang kyai mengajar santri-santri brdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan; sedang para santri biasanya tinggal dalam pondok atau asrama dalam pesantren tersebut.
2.   Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut di atas, tetapi para santrinya tidak disediakan pondokan di komplek pesantren, namun tinggal tersebar di sekitar penjuru desa sekeliling pesantren tersebut (santri kalong)[18] di mana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem weton, yaitu para santri datang berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu.
3.   Pondok pesantren dewasa ini merupakan lembaga gabungan antara sistem pondok pesantren agama Islam dengan sistem bandungan, sorogan ataupun wetonan, dengan para santri disediakan pondokan ataupun merupakan santri kalong yang dalam istilah pendidikan pondok pesantren modern memenuhi kriteria pendidikan nonform serta menyelenggarakan juga pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kejuruan menurut kebutuhan masyarakat masing-masing.[19]
Pada lembaga pendidikan yang sedang kita pikirkan bersama saat ini, yaitu sistem pendekatan dengan metode pengajaran agama Islam di pondok pesantren, untuk memudahkan segala usaha dalam mencapai tujuan. Suatu tujuan yang hendak dicapai biasanya timbul dari pandangan hidup seseorang atau golongan atau masyarakat. Khusus dalam dunia pendidikan Indonesia, tujuan-tujuan pendidikan yang hendak dicapai dengan sistem atau metode didasarkan atas kategori-kategori; tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum dan khusus.[20]
Pada tahap selanjutnya, pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang mumpuni, yaitu di dalamnya didirikan sekolah baik secara formal maupun nonformal. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan, yaitu :
1.   Mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern.
2.   Semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya.
3.   Diversivikasi program dan kegiatan makin terbuka, dan ketergantungannyapun absolut dengan kyai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun ketrampilan yang diperlukan di lapangan kerja.
4.   Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.[21]
Karena pondok pesantren merupakan salah satu sub sistem pendidikan di Indoensia, maka gerak dan usaha serta arah pengembangannya harusnya berada di dalam ruang lingkup tujuan pendidikan nasional itu. Tujuan yang bersifat operasional dan kurikuler pada pondok pesantren sampai kini belum dirumuskan. Oleh karena itu, tujuan institusional belum dirumuskan secara konkret dan sistematis. 

C.  Metode Pengajaran di Pesantren

Pada umunya pembelajaran di pesantren mengikuti pola tradisional, yaitu model sorogan dan model bandongan. Kedua model ini kyai aktif dan santri pasif. Untuk itu perlu adanya metode pembelajaran sebagaimana merupakan jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi jika dikaitkan dengan istilah mengajar, dimana mengajar berarti menyajikan atau menyampaikan, sedangkan metode mengajar sendiri adalah salah satu cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan pengajaran agar tercapai tujuan pengajaran.[22]
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang termasuk tertua, sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan metode pengajaran wetonan dan sorogan. Di Jawa Barat, metode tersebut diistilahkan dengan “Bendungan”, sedangkan di Sumatra digunakan istilah Halaqoh.[23]
Secara garis besar metode pengajaran yang dilaksanakan di pesantren, dapat dikelompokkan menjadi dua macam, di mana diantaranya masing-masing sistem mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu :
1.   Metode Wetonan (Halaqoh)
Istilah weton berasal dari bahasa jawa yang diartikan berkala atau berwaktu. Pengajian weton tidak merupakan pengajian rutin harian, tetapi dilaksanakan pada saat-saat tertentu.[24]
Metode ini di dalamnya terdapat seorang kyai yang membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama lalu santri mendengar dan menyimak bacaan kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif.[25] Termasuk dalam kelompok sistem bendongan atau weton ini adalah halaqah, yaitu model pengajian yang umumnya dilakukan dengan cara mengitari gurunya. Para santri duduk melingkar untuk mempelajari atau mendiskusikan suatu masalah tertentu di bawah bimbingan seorang guru.[26]
b.   Metode Sorogan
Metode yang santrinya cukup pandai mensorogkan (mengajukan) sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca di hadapannya, kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenarkan oleh kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual.[27]
Model ini amat bagus untuk mempercepat sekaligus mengevaluasi penguasaan santri terhadap kandungan kitab yang dikaji. Akan tetapi metode ini membutuhkan kesabaran, ketekunan, ketaatan dan kedisiplinan yang tinggi dari para santri. Model ini biasanya hanya diberikan kepada santri pemula yang memang masih membutuhkan bimbingan khusus secara intensif. Pada umumnya pesantren lebih banyak menggunakan model weton karena lebih cepat dan praktis untuk mengajar banyak santri.[28]
Meskipun setiap pesantren mempunyai ciri-ciri dan penekanan tersendiri, hal itu tidaklah berarti bahwa lembaga-lembaga pesantren tersebut benar-benar berbeda satu sama lain, sebab antara yang satu dengan yang lain masih saling kait mengkait. Sistem yang digunakan pada suatu pesantren juga diterapkan di pesantren lain.

D.  Dasar dan Tujuan Pondok Pesantren

Berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang pada umumnya menyatakan tujuan pendidikannya dengan jelas, pesantren terutama pesantren-pesantren lama biasanya tidak merumuskan secara eksplisit saat dan tujuan pendidikannya. Namun bukan berarti bahwa pendidikan pesantren itu berlangsung tanpa arah yang dituju, hanya saja dirumuskan secara sistematis dan dinyatakan secara eksplisit. Hal ini ada hubungannya dengan sifat kesederhanaannya pesantren yang sesuai dengan dorongan berdirinya di mana kyai mengajar dan santri belajar adalah semata-mata untuk ibadah dan tidak pernah dikaitkan dengan orientasi tertentu dalam lapangan penghidupan atau tingkat dan jabatan tertentu dalam hierarki sosial birokrasi kepegawaian.[29]
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam (Islamic Educational Institution) yang berdiri serta tumbuh dengan sendirinya dalam masyarakat, sedangkan landasan berkembangnya pondok pesantren ialah UUD ‘45 pasal 31 yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapat pengajaran, yang kemudian dalam Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran No. 12 Tahun 1854 jo No. 4 Tahun 1950 serta dalam UU No. 2 Tahun 1989 diperluaskan lagi meliputi hak dan kebebasan menyelenggarakan atau memajukan pendidikan. Selain itu, juga dapat dipergunakan sebagai landasan yuridis formal ketetapan MPRS Tahun 1966 No. XXVII/ MPRS/ 1966 Bab II pasal 2 yang menyatakan sebagai berikut : Pendidikan nasional bertujuan untuk :
1.   Mempertinggi mental-moral-budi pekerti dan memperkuat keyakinan agama.
2.   Mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan.
3.   Membina pengembangan fisik yang kuat dan sehat.
Demikian pula dalam Tap-Tap MPR No. IV/MPR/1973, No. IV/MPR/1978, No. II/MPR/1983, dan No. II/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang ditetapkan 5 tahun sekali oleh MPR. [30]
Meskipun landasan yuridis formal ini terlalu umum bagi landasan berdiri dan berkembangnya pondok pesantren, tetapi dapat menjamin hak tersebut asalkan mereka dapat menyesuaikan diri dengan dasar-dasar idiil negara yang dijadikan cita-cita/tujuan akhir pendidikan Indonesia. Selain itu, dalam pelaksanaan sitem pesantren tersebut jangan mengandung tendensi untuk merugikan masyarakat atau sesama warga negara sebagai suatu totalitas, karena dalam Undang-Undang atau peraturan manapun di negara tidak tercantum pemberian hak kewarganegaraan untuk menyelenggarakan pendidikan yang negatif atau destruktif dalam masyarakat. Barangkali inilah yang dapat dijadikan pegangan sampai di mana pondok pesantren mempunyai hak berkembang dalam masyarakat.[31]
Tujuan pendidikan yang diselenggarakan dapat diketahui dengan jalan menanyakan langsung kepada para penyelenggara dan pengasuh pesantren atau dengan cara memahami fungsi-fungsi yang dilaksanakan baik dalam hubungannya dengan para santri maupun dengan masyarakat sekitarnya. Berdasarkan wawancara dengan para pengasuh pesantren, Prof. Mastuhu, sebagaimana dikutip oleh Qodri Abdillah Azizy, menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan pesantren adalah :
“Menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat sekaligus menjadi Rasul, yaitu menjadi pelayanan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad Saw (mengikuti sunnah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (‘izzu-l-Islam wa-l-muslimin) serta mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.”[32]

Dari rumusan tujuan tersebut tampak jelas bahwa pendidikan pesantren sangat menekankan pentingnya tegaknya Islam di tengah-tengah kehidupan sebagai sumber utama moral yang merupakan kunci keberhasilan hidup bermasyarakat. Di samping berfungsi sebagai lembaga pendidikan dengan tujuan seperti yang telah dirumuskan di atas, pesantren mempunyai fungsi sebagai tempat penyebaran dan penyiaran agama Islam.[33]
Memahami tujuan pendidikan pesantren haruslah lebih dahulu memahami tujuan hidup manusia menurut Islam. Tujuan pendidikan pesantren harus sejalan dengan tujuan hidup manusia menurut Islam. Sebab pendidikan hanyalah cara yang ditempuh agar tujuan hidup itu dapat dicapai.
Al-Qur'an menegaskan, bahwa manusia diciptakan di muka bumi untuk menjadi khalifah yang berusaha melaksanakan ketaatan kepada Allah dan mengambil petunjuk-Nya dan Allahpun menundukkan apa yang di langit dan bumi untuk mengabdi kepada kepentingan hidup manusia dan merealisasikan hidup ini. Jika tujuan hidup manusia yaitu mengembangkan pikiran manusia dan mengatur tingkah laku serta perasaannya berdasarkan Islam, dengan demikian tujuan pendidikan Islam (pesantren) adalah merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat.[34]
Sebagaimana kita ketahui bahwa pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan swasta yang didirikan oleh perseorangan (kyai) sebagai figur central yang berdaulat menetapkan tujuan pendidikan pondoknya yang mempunyai tujuan tidak tertulis yang berbeda-beda. Tujuan tersebut kita asumsikan sebagai berikut :
1.   Tujuan khusus : “Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang yang alim dalam ilmu agama yang dijarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat”.
2.   Tujuan umum : “Membimbing anak didik mejnadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat melalui ilmu dan amalnya”.[35]
Akan tetapi untuk menciptakan rumusan formal dari tujuan pondok pesantren yang bersifat integral, komprehensif meliputi segala jenis pondok pesantren dalam hubungannya dengan masa pembangunan sekarang, jangan terlepas dari tujuan pembangunan yang ditetapkan dalam Undang-Undang.

E.  Tipologi Pondok Pesantren

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan zaman. terutama sekali adanya dampak kemajuan ilmu dan teknologi. Perubahan bentuk pesantren bukan berarti sebagai pondok pesantren yang telah hilang kekhasannya. Dalam hal ini pondok pesantren tetap merupakan lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat untuk masyarakat.
Karena itu, sebenarnya amat sulit untuk menentukan dan menggolongkan lembaga-lembaga pesantren ke dalam tipologi tertentu, Tidak ada dasar bagi penggolongan tersebut, baik dari segi sistem yang digunakan atau dari model kelembagaannya. Buktinya, sistem pengajian yang diterapkan pada sebuah pesantren salaf ternyata juga dipakai di pesantren modern. Begitu pula model kelembagaan pesantren modern banyak digunakan di pesantren salaf.[36]
Secara faktual ada beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat, yang meliputi :
1.   Pondok Pesantren Salaf Tradisional
Menurut Zamakhsyari Dhofier, pesantren salaf adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (salaf) sebagai inti pendidikan. Sedangkan sistem madrasah diterapkan hanya untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Sistem pengajaran pesantren salaf memang lebih sering menerapkan model sorogan dan weton. Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang berarti waktu. disebut demikian karena pengajian model ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu, biasanya sesudah mengerjakan shalat fardhu. Sedangkan pada sistem sorogan, para santri maju satu persatu untuk membaca dan menguraikan isi kitab dihadapan seorang guru atau kyai.[37]
Pondok pesantren ini masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama abad ke 15 dengan menggunakan bahasa Arab. Pola pengajarannya dengan menerapkan sistem “halaqah” yang dilaksanakan di masjid atau surau. Hakekat dari sistem pengajaran halaqah adalah penghapalan yang titik akhirnya dari segi segi metodologi cenderung kepada terciptanya santri yang menerima dan memiliki ilmu. Artinya ilmu itu tidak berkembang ke arah paripurnanya ilmu itu, melainkan hanya terbatas pada apa yang diberikan oleh kyai pengasuh pondoknya. Santrinya ada yang menetap di dalam pondok (santri mukim) dan santri yang tidak menetap di dalam pondok (santri kalong).[38]
Visi kekurangannya adalah kurang adanya perencaan yang terperinci dan rasional atas jalannya pendidikan dan pengajaran yang dilaksanakan, tidak adanya keharusan membuat kurikulum dalam susunan yang lebih mudah dicerna dan dikuasai oleh santri. Di samping itu, sistem pemberian materi tradisional, dan visi lain, hampir tidak ada prioritas antara materi satu dengan materi lainnya, serta kegiatan satu dengan kegiatan lainnya. Bahkan pedoman yang digunakannyapun tidak mempunyai nilai-nilai edukatif sehingga lembaga tersebut tidak memiliki landasan filsafat pendidikan yang utuh.[39]  
2.   Pondok Pesantren Khalaf Modern
Pesantren khalaf adalah lembaga pesantren yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum seperti SMP, SMU dan bahkan perguruan tinggi di lingkungannya. Meskipun begitu, tidak bisa diartikan bahwa pesantren khalaf lebih bermutu daripada pesantren salaf. Ini karena masuknya ilmu-ilmu umum dan berbagai ketrampilan sebagai lembaga pencetak ulama serta pengembang, penyebar dan pelestari ajaran-ajaran Islam akan memudah.[40]
Pondok pesantren ini merupakan pengembangan tipe pesantren karena orientasi belajarnya cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar secara klasik dan meninggalkan sistem belajar tradisional. Penerapan sistem belajar modern ini terutama nampak pada penggunaan kelas-kelas belajar baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah. kurikulum yang dipakai adalah kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasional. Santrinya ada yang menetap ada yang tersebar di sekitar desa itu. Kedudukan para kyai sebagai koordinator pelaksana proses belajar mengajar dan sebagai pengajar langsung di kelas. Perbedaannya dengan sekolah dan madrasah terletak pada porsi pendidikan agama dan bahasa Arab lebih menonjol sebagai kurikulum lokal.
3.   Pondok Pesantren Komprehensif
Pondok pesantren ini disebut komprehensif karena merupakan sistem pendidikan dan pengajaran gabungan antara yang tradisional dan yang modern. Artinya di dalamnya diterapkan pendidikan dan pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan, bandongan dan wetonan, namun secara reguler sistem persekolahan terus dikembangkan. Bahkan pendidikan ketrampilanpun diaplikasikan sehingga menjadikannya berbeda dari tipologi kesatu dan kedua. Lebih jauh daripada itu pendidikan masyarakatpun menjadi garapannya. Dalam arti yang sedemikian rupa dapat dikatakan bahwa pondok pesantren telah berkiprah dalam pembangunan sosial kemasyarakatan.[41]
Ketiga tipe pondok pesantren di atas memberikan gambaran bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan sekolah, luar sekolah dan masyarakat yang secara langsung dikelola oleh masyarakat dan bahkan merupakan milik masyarakat karena tumbuh dari dan oleh masyarakat. Lembaga pendidikan sekolah sesuai dengan pengertian sekolah pada umumnya. Sebagai lembaga pendidikan luar sekolah nampak dari adanya kegiatan kependidikan baik dalam bentuk ketrampilan tangan, bahasa maupun pendalaman pendidikan agama Islam yang dilaksanakan melalui kegiatan sorogan, wetonan dan bandongan bahkan kegiatan pengajian yang dilaksanakan oleh para kyai di dalam pondoknya. Sedangkan sebagai lembaga pendidikan masyarakat terlihat dari kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan oleh pondok pesantren dalam mengikuti perkembangan masyarakat lingkungannya.
Dalam perkembangannya pondok pesantren di samping memberikan pelajaran ilmu agama, juga ilmu pengetahuan umum dengan sistem madrasah atau sekolah. Ilmu pengetahuan umum hanya sekedar sebagai pelengkap. Dilihat dari sudut administrasi pendidikan, pondok pesantren dapat dibedakan dalam 4 kategori, yaitu :
1.   Pondok pesantren dengan sistem pendidikan yang lama pada umumnya terdapat jauh di luar kota, hanya memberikan pengajian.
2.   Pondok pesantren modern dengan sistem pendidikan klasik berdasarkan atas kurikulum yang tersusun baik, termasuk pendidikan skill atau vocational (ketrampilan).
3.   Pondok pesantren dengan kombinasi yang disamping memberikan pelajaran dengan sistem pengajian, juga madrasah yang dilengkapi dengan pengetahuan umum menurut atau jenjangnya. Ini yang terbanyak.
4.   Pondok pesantren yang tidak lebih dari asrama pelajar daripada pondok yang semestinya.[42]
Dimensi kegiatan sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh pesantren itu bermuara pada suatu sasaran utama yakni perubahan, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karena itu pondok pesantren dapat juga dikatakan sebagai agen perubahan artinya pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama yang mampu melakukan perubahan terhadap masyarakat.
Perubahan itu beruwud peningkatan pemahaman (persepsi) terhadap agama, ilmu dan teknologi. Juga dalam bentuk pengalaman atau praktek yang cenderung membekali masyarakat ke arah kemampuan masyarkat yang siap pakai. Kemampuan siap pakai dimaksud adalah sumber daya manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki masyarakat. Dengan demikian masyarakat cenderung mengatasi persoalannya dengan potensi sendiri. Kekuatan yang dimiliki oleh pesantren yang mengemban tugasnya sebagai lembaga pendidikan Islam terletak pada misinya yang bersikap agamis yang searah dengan kondisi masyarakat sebagai pemeluk agama. Kenyataan itu membawa dampak cepatnya terjadi perubahan pada masyarakat.

F.   Proses Pembaruan Pengajaran Pendidikan di Pondok Pesantren
Gagasan dan program pembaruan yang pada esensinya adalah modernisasi pendidikan Islam mempunyai akar-akarnya dalam gagasan tentang modernisme pendidikan Islam tidak dipisahkan dengan kebangkitan gagasan dan program pembaruan Islam secara keseluruhan. Kerangka dasar yang berada di balik modernisme Islam adalah bahwa pembaruan pemikiran dan kelembagaan Islam termasuk pendidikan haruslah dimodernisasi, sederhananya diperbaharui sesuai dengan kerangka modernitas, mempertahankan pemikiran dan kelembagaan Islam tradisional hanya kan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum muslimin dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern. Pendidikan dalam masyarakat modern atau masyarakat yang tengah bergerak ke arah modern, seperti masyarakat Indonesia, pada dasarnya berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosiokulturalnya yang terus berubah dengan cepat seiring dengan perkembangan zaman.[43]
 Di Indonesia yang biasanya diidentikkan sebagai lembaga pendidikan Islam, sekurangnya ada tiga, yaitu pesantren, madrasah dan sekolah milik organisasi Islam dalam setiap jenis dan jenjang yang ada. Kecenderungan untuk menyusun identifikasi semacam itu, dasarnya lebih bersifat realitas historis di mana ketiganya pernah di masa lalu menyatukan diri dalam satu barisan yang menentang sistem pendidikan kolonial dan yang jelas sama-sama berangkat dari dan untuk kepentingan Islam dalam arti seluas-luasnya.
Pesantren barangkali cukup mengembangkan dimensi iman, tetapi dipertanyakan karena sementara ada yang semata-mata mengajarkan ilmu agama, padahal di zaman modern ini ilmu umum juga penting. Madrasah, sebagaimana diketahui, murid-murid atau lulusannya dewasa ini berada dalam posisi marginal, padahal Islam bukanlah agama pinggiran. Dan akhirnya sekolah umum milik organisasi Islam, apalagi pendidikan agama Islam yang diberikan di sekolah umum, selama ini masih jauh kemungkinannya untuk menghasilkan produk didik sebagai muslim yang paripurna.[44]
Gagasan dan program pembaruan yang pada esensinya adalah modernisasi pendidikan Islam mempunyai akar-akarnya dalam gagasan tentang modernisme pendidikan Islam tidak dipisahkan dengan kebangkitan gagasan dan program pembaruan Islam secara keseluruhan.
Sistem pendidikan pondok pesantren selalu diselenggarakan dalam bentuk asrama atau kompleks asrama, sehingga santri mendapatkan pendidikan dalam situasi lingkungan sosial keagamaan yang kuat dengan ilmu pengetahuan agama yang dilengkapi dengan atau tanpa ilmu pengetahuan umum. Ilmu pengetahuan agama yang diajarkan itu sangat bergantung pada kegemaran atau keahlian kyai yang bersangkutan. Pada umumnya santri-santri dalam pondok didisiplinkan dalam mengamalkan ibadah sehari-hari, sehingga segi praktek keagamaan tampak lebih menonjol, sedang dari segi teori kurang mendapatkan motivasi yang semestinya, terutama dalam kedisiplinan belajar.
Dalam penyelenggaraan pondok pesantren, harus diperhatikan sikap dasar para pendidik/ pimpinan pondok pesantren sendiri yang telah menetapkan policy dan strategi dalam Muktamar Ikatan Pesantren (Robithatul Ma’ahidil Islamiyah) pertama, Januari 1959 yaitu “Mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik”. Jadi. Tampaknya tidak mungkin kita paksakan suatu pembaruan-pembaruan (inovasi) yang bersifat radikal atas pondok pesantren kita. Segala usaha ke arah itu harus kita lakukan melalui pendekatan-pendekatan psikologis dan paedagogis.[45]


[1]M. Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, Prasasti, Jakarta, 2002, hlm. 13.
[2]Djamaluddin, & Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1998, 97.

[3]Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Cet. I, Gema Insani Pers, Jakarta, 1997, hlm. 70.

[4]Ibid.

[5]Djamaluddin & Abdullah Aly, Op.cit, hlm. 99.
[6]Wahjoetomo, Op.cit, hlm. 65. 

[7]Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 41.

[8]Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Logos, Jakarta, 2001, hlm. 157.
[9]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1996, hlm. 24. 

[10]Qodri Abdillah Azizy, Dinamika Pesantren dan Madrasah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 3. 

[11]Hasbullah, Op.cit, hlm. 26. 

[12]Wahjoetomo, Op. cit, hlm. 71.
[13]Djamaluddin, & Abdullah Aly, Op.cit, hlm. 99.
[14]Djamaluddin, & Abdullah Aly, Op.cit, hlm. 114.

[15]Ibid.
[16]Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Protret Perjalanan, Pengatar Azyumardi Azra, Paramadina, Jakarta,  1997, hlm. 87.

[17]Muhaimin & Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Agama Islam (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya), Trigenda Karya, Bandung, 1993, hlm. 299-300.
[18]Pada dasarnya santri dibedakan menjadi dua, yaitu santri kalong; santri yang bertempat tinggal di sekitar pesantren, dan santri mukim; santri yang tinggal di dalam pondok pesantren.

[19]Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, Op.cit, hlm. 46.
[20]Djamaluddin, & Abdullah Aly, Op.cit, hlm. 115.

[21]Muhaimin & Abdul Mujib, Op.cit, hlm. 301.
[22]Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2001, hlm. 107.

[23]Tim Depag. RI, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, Dirjen Binbaga, Jakarta, 1983, hlm. 8.

[24]Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Op.cit, hlm. 52.
[25]Muhaimin & Abdul Mujib, Op.cit, hlm. 300.

[26]Wahjoetomo, Op.cit, hlm. 83.

[27]Muhaimin & Abdul Mujib, Loc.cit..

[28]Wahjoetomo, Op.cit, hlm. 84.
[29]Qodri Abdillah Azizy, Op.cit, hlm. 145.

[30]Djamaluddin, & Abdullah Aly, Op.cit, hlm. 105.
[31]Ibid, hlm. 51. 

[32]Qodri Abdillah Azizy, Op.cit, hlm. 145.
[33]Ibid, hlm. 146.

[34]Abdul Munir, et.al., Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren (Religiusitas Iptek), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 189.
[35]Djamaluddin, & Abdullah Aly, Op.cit, hlm. 106.

[36]Wahjoetomo, Op.cit, hlm. 82.
[37]Ibid, hlm. 83.

[38]Bahri Ghazali, Op.cit, hlm. 14.
[39]Muhaimin dan Abdul Mujib, Op.cit., hlm. 304.

[40]Wahjoetomo, Op.cit, hlm. 88.
[41]Bahri Ghazali, Op.cit, hlm. 15
[42]Djamaluddin, & Abdullah Aly, Op.cit, hlm. 102
[43]Marwan Sarijo, Bunga Rampai Pendidikan Islam, Pengantar Azyumardi Azra, Dirjen Binbaga, Jakarta, 1998, hlm. 2-3.

[44]Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam (Studi Tentang Daya Tahan Pesantren Tradisional), Al-Ikhlas, Surabaya, 1990, hlm. 81.
[45]Ibid, hlm. 109. 

0 Response to "PONDOK PESANTREN"

Post a Comment