PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN PROBLEM KEJIWAAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN PROBLEM KEJIWAAN

 A Pendidikan Agama  Islam
    1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Untuk lebih mengarahkan terhadap pengertian pendidikan Islam, mau tidak mau akan membicarakan Islam yang dipandang sebagai suatu agama yang terkandung di dalamnya. Maka terlebih dahulu akan dipaparkan pengertian pendidikan secara umum.
Secara etimologi “pendidikan” dalam bahasa Inggrisnya adalah “education”, sedangkan dalam bahasa Latin “educere” berarti memasukkan sesuatu, yang dimaksudkan adalah memasukkan ilmu ke kepala seseorang .[1]

 

Adapun dalam bahasa Arab ta’lim dan tarbiyah, berarti pengajaran dan pendidikan, berasal dari kata dasar allama dan rabba sebagaimana digunakan dalam al-Qur’an, sekalipun konotasi kata tarbiyah lebih luas sebab mengandung arti memelihara, membesarkan dan mendidik serta sekaligus mengandung makna mengajar (allama). Disamping kata ta’lim dan tarbiyah terdapat pula kata ta’dib yang ada hubungannya dengan kata adab yang berarti susunan. Di mana mendidik adalah membentuk manusia menempati tempat yang tepat dalam susunan masyarakat dalam posisi yang proporsional sesuai ilmu dan teknologi yang dikuasainya.[2] Sedang kata allama mengandung pengertian sekedar memberi tahu atau mencari pengetahuan, tidak mengandung arti pembinaan pribadi.[3]
Menurut Muhammad Fuad Abd al-Baqy yang dikutip oleh Abudin Nata dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, telah menginformasikan bahwa di dalam Al-Qur’an kata tarbiyah dengan berbagai kata yang serumpun dengannya diulang sebanyak lebih dari 872 kali. Kata tersebut berakar pada kata rabb. Kata tersebut selanjutnya digunakan oleh Al-Qur’an untuk berbagai hal antara lain digunakan untuk menerangkan salah satu sifat atau perbuatan Tuhan, yaitu rabba al ‘alamin yang diartikan pemelihara, pendidik, penjaga, penguasa, dan penjaga sekalian alam. (lihat Q.S. al-Fatihah, 1:2; al-Baqarah, 2:131; al-Maidah, 5:28, al-An’am, 6:45,71,162 dan  164; al-A’raf, 7:54 dan seterusnya). Selain kata rabb digunakan untuk arti sebagaimana disebutkan di atas, digunakan pula untuk arti yang obyeknya lebih diperinci lagi, yakni yang dipelihara, dididik, dan seterusnya itu ada yang berupa al-arsy al-azhim, yakni ‘arsy yang demikian besar (lihat Q.S. al-Taubah, 9:129), al-Masyariq, yakni ufuk timur tempat terbitnya matahari (lihat al-Shaffat, 37:5), aba’ukum al-awwalun yakni nenek moyang para pendahulu orang-orang kafir Quraisy (lihat al-Shaffat, 37:126), al-Magrib, yakni ufuk barat tempat terbenamnya matahari, (lihat ar-Rahman, 55:17), al-Baldah yakni dalam hal ini adalah Makkah al-Mukarramah (lihat al-Naml, 27:91; al-Baqarah, 2:126), al-Bait yakni rumah dalam hal ini adalah Baitullah, Ka’bah yang ada di Makkah al-Mukarramah (lihat Q.S. Quraisy, 106:3) dan al-Falaq (lihat Q.S. al-Falaq, 112:1). Beberapa ayat di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa kata rabb sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an ternyata digunakan dalam obyek yang bermacam-macam, yang dalam hal ini meliputi benda-benda yang bersifat fisik dan non fisik. Demikian juga pendidikan, meliputi pemeliharaan terhadap seluruh mahluk Tuhan. Kata ta’lim yang berakar pada kata ‘allama dengan berbagai akar kata  yang serumpun dengannya di dalam Al-Qur’an disebut sebanyak lebih dari 840 kali dan digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Terkadang digunakan oleh Tuhan untuk menjelaskan pengetahuan-Nya yang diberikan pada sekalian manusia, (lihat Q.S. al-Baqarah, 2:60), digunakan untuk menerangkan bahwa Tuhan Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu yang ada pada manusia, (lihat Q.S. Hud, 11:79), digunakan untuk menjelaskan bahwa Tuhan mengetahui tentang orang-orang yang mengikuti petunjuk Tuhan, (lihat Q.S. al-Baqarah, 2:143). Dari informasi ini terlihat bahwa kata ta’lim di dalam al-Qur’an mengacu kepada adanya sesuatu berupa pengetahuan yang diberikan kepada seseorang. Jadi sifatnya intelektual. Sedangkan kata tarbiyah lebih mengacu kepada bimbingan, pemeliharaan, arahan, penjagaan, dan sifatnya pembentukan pribadi.4
Adapun mengenai kata ta’dib yang berakar pada kata addaba tidak dijumpai dalam al-Qur’an. Kata tersebut dijumpai dalam hadits antara lain yang berbunyi : addabani rabby fa ahsana ta’diby, artinya: Tuhanku telah mendidikku, dan telah membuat pendidikanku itu sebak-baiknya.5        
Sementara itu, kata “tarbiyah” (pendidikan) dalam al-Qur’an terdapat dalam:
1. Surat Al-Isra’ : 24
وَاخْفِضْ  لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيْرًا. (الاسراء :  24 )
Artinya : “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhan ku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS. Al Isra’:24).[4]
2. Surat Asy-Syu’ara : 18
قَالَ اَلَمْ نُرَبِّكَ فِيْنَا وَلِيْدًا وَلَبِثْتَ فِيْنَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِيْنَ
 (الشعراء :  18 )

Artinya: “Fir’aun menjawab, “Bukanlah kami telah mengasuhmu diantara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu”. (QS. Asy Syu’ara:18).[5]
Kata “waktu kecil” (shaghiran) dan kata “kanak-kanak” (walidan) dalam ayat di atas menunjukkan bahwa pendidikan itu terutama merupakan kewajiban keluarga, khususnya ketika anak-anak dalam fase perkembangan awal yakni masa bayi dan kanak-kanak.
Secara terminologi pendidikan adalah:
1.     Drs. Ahmad D. Marimba mendefinisikan pendidikan adalah: “Bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pemilik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[6]
2.     George F. Kneller mendefinisikan pendidikan sebagai berikut: “Education is the process of self-realization, in which the self realizes and develops all its potentialities”.[7]
Artinya: “Pendidikan adalah proses penyadaran diri, di mana diri         tersebut menyadarkan dan mengembangkan semua potensi-potensi”.
3.     Abdul Munir Mulkhan memberikan definisi pendidikan sebagai berikut: ”Proses mengetahui yang secara intrinsik akan memunculkan suatu pola perilaku yang melalui institusionalisasi membentuk suatu aktivitas berpola yang dikenal dengan kepribadian”.[8]
4.     Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 1 dijelaskan apa yang dimaksud dengan pendidikan. “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan / latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”.[9] Pasal itu tidak secara eksplisit menjelaskan usaha sadar dari siapa. Namun dapat diasumsikan bahwa yang melakukan usaha sadar adalah para pendidik baik di sekolah maupun di luar sekolah. Ada tiga pusat pendidikan, yaitu di keluarga, di lembaga pendidikan formal dan di masyarakat, orang tua adalah pendidik yang pertama dan utama di keluarga bagi anak-anaknya. Dalam pasal 1 itu tidak dijelaskan “apa peranan peserta didik di masa yang akan datang”, satu masa bercirikan perubahan yang berlangsung cukup cepat dalam ilmu dan teknologi dan akan berdampak terhadap pembentukan manusia seutuhnya dan terhadap kehidupan manusia.[10]
 Dalam pasal yang sama dijelaskan pula bahwa “Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.[11]
 Pasal 3 menjelaskan tentang fungsi dari pendidikan Nasional, yaitu: “Untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan Nasional”.[12] Pasal ini tidak menjelaskan lebih lanjut mengembangkan kemampuan apa, tetapi dapat dijabarkan dalam berbagai macam kemampuan seperti antara lain kemampuan intelektual, sosial, jasmani, berkomunikasi.[13]

Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa pendidikan itu adalah suatu proses penyadaran diri dalam rangka mengembangkan potensi-potensi diri menuju kepada kepribadian yang utama, yang tampak dalam kebiasaan bertingkah laku, berfikir dan bersikap.
Adapun pengertian pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung adalah: “Pendidikan Islam adalah suatu pola yang menyeluruh, dari suatu masyarakat dalam lembaga-lembaga formal, agen-agen dan organisasi-organisasi yang berusaha memindahkan (mentransfer) pengetahuan dan warisan budaya (kebudayaan) yang mempengaruhi pertumbuhan sosial, spiritual dan intelektual”.[14]
Menurut Achmadi, pendidikan Islam adalah segala usaha memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.[15]
Menurut Burlian Somad, pendidikan Islam sebagai berikut: “Suatu pendidikan dinamakan pendidikan Islam jika pendidikan itu bertujuan membentuk individu menjadi berkepribadian tinggi menurut ukuran Allah SWT., dan isi pendidikannya  untuk  mewujudkan tujuan itu adalah ajaran Allah SWT”.[16]
Dari definisi-definisi tersebut dapat ditarik suatu pengertian, bahwa suatu pendidikan dinamakan pendidikan Islam manakala pendidikan itu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama: tujuannya membentuk individu menjadi berkepribadian tinggi menurut ukuran Allah SWT.
Kedua: Isi pendidikannya ajaran Allah yang tercantum dalam Al-Qur’an dan pelaksanaannya yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW.
Proses pendidikan dalam Islam merupakan rangkaian usaha bimbingan, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sehingga terjadilah perubahan dalam kehidupan pribadinya sebagai mahluk individual, sosial, serta hubungannya dengan alam semesta di tempat ia hidup, dan proses tersebut senantiasa berada dalam nilai-nilai Islam. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Dr. Omar Muhammad Al Taumy Al Syaibani, yang mengartikan pendidikan Islam yaitu: “Sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan dalam kehidupan alam sekitarnya melalui proses pendidikan”.[17]
Maka jelaslah kiranya bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses kegiatan bimbingan dan pembinaan terhadap potensi-potensi kepribadian manusia yang bertujuan membentuk kepribadian yang luhur sesuai dengan konsep Ilahi. Usaha ini harus dijalankan dengan penuh kesadaran dan disertai dengan niat yang tinggi.
Pendidikan Islam di samping tertuju kepada kemampuan akal yang dapat membongkar kebenaran yang terdapat dalam fakta-fakta alam dan kebenaran akhirat, juga membentuk perasaan manusia yang halus dan tajam, sehingga mampu mencintai Allah, mereka takut pada adzab-Nya dan merasa bertanggung jawab untuk mengangkat derajat kaum lemah dan anak yatim, serta perasaan bertanggung jawab untuk menegakkan agama Allah. Mereka rela mengorbankan apa saja yang dimilikinya untuk keperluan perjuangan membela dan menegakkan ajaran Allah.

Oleh karena itu pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal. Dan karena ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat, menuju kesejahteraan hidup perorangan dan bersama, maka pendidikan Islam adalah pendidikan individu dan pendidikan masyarakat.

      2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Agama Islam

a. Dasar Pendidikan Agama Islam.
Setiap usaha atau kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai dasar sebagai landasan berpijak. Oleh karena pendidikan Islam adalah sebagai suatui usaha membentuk kepribadian (insan kamil), maka harus mempunyai landasan ke mana semua kegiatan dan semua perumusan tujuan pendidikan itu dihubungkan.
Dasar pendidikan yang dimaksud adalah pandangan yang melandasi seluruh aspek aktivitas pendidikan, baik dalam rangka penyusunan teori, perencanaan maupun pelaksanan pendidikan. Maka yang menjadi dasar pendidikan Islam adalah al Qur’an dan Sunnah Nabi dan dikembangkan juga dengan pendapat sahabat dan ijma’ ulama.
1. Al Qur’an.
 Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT., berupa wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada nabi Muhammad SAW. dan merupakan pedoman hidup bagi seluruh umat Islam di dunia. Di dalamnya terkandung ajaran-ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad.[18] Karena pendidikan merupakan kegiatan yang sangat dalam kehidupan manusia, maka di dalam Al-Qur’an banyak terdapat ajaran yang berisi prinsip-prinsip yang berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan.
Kedudukan Al-Qur’an sebagi sumber pokok pendidikan Islam dapat dilihat dari ayat-ayatnya antara lain dalam surat Al Baqarah:2
ذَلِكَ الكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلمُتَّقِيْنِ (البقرة : 2 )
Artinya: “Kitab (al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (QS.Al Baqarah:2)[19]
Ayat di atas menunjukkan bahwa al-Qur’an merupakan petunjuk kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi, termasuk petunjuk dalam pendidikan.
Selain sebagai petunjuk, ada beberapa indikasi yang terdapat dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan usaha pendidikan, antara lain menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, tidak menentang fitrah manusia, penggunaan cerita (kisah-kisah), untuk tujuan pendidikan dan memelihara keperluan-keperluan sosial masyarakat.[20]
Dr. TM. Quraish Shihab, menyatakan bahwa :
Pada hakikatnya al Qur’an adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan membantu menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi penyelesaian berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadi pikiran, rasa, dan karsa mengarah pada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup pribadi masyarakat.[21]
Karena pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan ahlak, nilai maupun spiritual, maka sudah seharusnya jika al Qur’an menjadi landasan berpijak bagi pendidikan Islam.



2. As Sunnah.
Setelah Al Qur’an, pendidikan Islam menjadikan As Sunnah sebagai dasar dan sumber kurikulumnya. Secara harfiah, Sunnah berarti jalan, metode, dan program. Sedangkan secara istilah, Sunnah adalah sejumlah perkara yang dijelaskan melalui sanad yang shokhih, baik itu berupa perkataan, perbuatan, peninggalan, sifat, pengakuan, larangan, hal yang disukai dan dibenci, peperangan, tindak tanduk, dan seluruh kehidupan Nabi SAW.[22]
Sebagaimana Al-Qur’an, Sunnah berisi petunjuk-petunjuk untuk kemaslahatan manusia dalam segala aspeknya, untuk membina manusia menjadi muslim yang bertaqwa. Untuk itu Rasulullah SAW. adalah menjadi guru atau pendidik utama yang patut dijadikan teladan termasuk dalam aktivitas pendidikan.
Dalam dunia pendidikan, Sunnah memiliki dua manfaat pokok. Pertama, Sunnah mampu menjelaskan konsep dan kesempurnaan pendidikan Islam sesuai dengan konsep al-Qur’an. Kedua, Sunnah menjadi contoh yang tepat dalam penentuan metode pendidikan.[23]
Adapun dasar yang kokoh tentang Sunnah menjadi sumber pendidikan Islam adalah Sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al hakim:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلوُّا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةِ نَبِيِّهِ (رواه الحكم)


Artinya: “Telah aku tinggalkan kepadamu dua hal, kamu tidak akan tersesat setelah berpegang teguh kepada keduanya, yakni Kitabullah (Qur’an) dan Sunnah Rasulullah (Hadist)”. (HR.Al-Hakim.)[24]
Dari keterangan di atas, maka pelaksanaan pendidikan Islam harus berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah. Dan dari kedua sumber tersebut, manusia diberi kebebasan untuk mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi zaman.

3.  Ijtihad
Kata ijtihad dan jihad mempunyai akar kata yang sama yaitu jahada yang berarti “mengerahkan kemampuan”. Dalam pemikiran Islam kedua Istilah tersebut telah memiliki arah yang berbeda. Jihad diartikan sebagai pengerahan kemampuan secara maksimal yang lebih cenderung pada segi ilmiah .[25]
Ijtihad adalah istilah para fuqohak yaitu berpikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan syari’at Islam untuk menetapkan atau menentukan sesuatu hukum syari’at Islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah. Namun demikian, ijtihad harus mengikuti kaidah-kaidah yang diatur oleh para mujtahid tidak boleh bertentangan dengan isi al-Qur’an dan Sunnah tersebut, karena itu ijtihad dipandang sbagai salah sumber hukum Islam yang sangat dibuthkan sepanjang masa setelah Rasul Allah wafat.[26]
Ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah yang diolah akal yang sehat dari para ahli pendidik Islam. Ijtihad dibidang pendidikan ini semakin perlu, sebab ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah bersifat pokok-pokok dan prinsip-prinsipnya saja. Bila ternyata ada yang agak terperinci, maka perincian itu adalah sekedar contoh dalam menerapkan yang prinsip itu. Sejak diturunkan sampai Nabi Muhammad SAW wafat, ajaran Islam telah tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang dituntut oleh perubahan situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan berkembang. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup di suatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu.
Pergantian dan perbedaan zaman terutama karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang bermuara kepada perubahan kehidupan sosial telah menuntut ijtihad dalam bentuk penelitian dan pengkajian kembali prinsip-prinsip ajaran islam. Kalau ajaran itu memang prinsip yang tidak boleh diubah, maka lingkungan dan kehidupan sosiallah yang perlu diciptakan dan disesuaikan dengan prinsip itu. Sebaliknya, jika dapat ditafsir maka ajaran-ajaran itulah yang menjadi lapangan ijtihad.
Ijtihad pada dasarnya merupakan usaha sungguh-sungguh orang muslim untuk selalu berperilaku berdasarkan ajaran Islam. Untuk itu manakala tidak ditemukan petunjuk yang jelas dari Al-Qur’an ataupun sunnah tentang suatu perilaku, orang muslim akan mengerahkan segenap kemampuannya untuk menemukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum Al-Qur’an ataupun sunnah.


b. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Suatu kegiatan yang mempunyai arti tentu akan mengarah kepada suatu tujuan tertentu, setiap tujuan berfungsi mengarahkan dan menjadi penilaian akhir berhasil atau tidaknya suatu usaha.
Tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu kegiatan selesai, atau menurut Dra. Zuhairini dkk., bahwa tujuan adalah dunia cita, yakni suasana ideal itu nampak yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan, suasana ideal itu nampak pada tujuan akhir (ultimate aims of education.)[27]
Adapun tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subyek didik setelah mengalami proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya di mana individu hidup.[28]
Dalam tujuan pendidikan ini selain sebagai arah atau petunjuk dalam pelaksanaan pendidikan, juga berfungsi sebagai pengontrol maupun pengevaluasi keberhasilan proses pendidikan.
Sebagai pendidikan yang nota be Islam, maka pendidikan Islam dalam merumuskan tujuannya tidak terlepas dari tujuan syari’at Islam.
Adapun tujuan pendidikan Islam menurut para ahli adalah sebagai berikut:
1.       Ahmad D.Marimba
“Tujuan pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap orang muslim”[29]
2.       Dr.Ali Ashraf
“Tujuan akhir pendidikan Islam adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya”.[30]
3.        Drs. Syahminan Zaini
“Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang berjasmani kuat atau sehat dan terampil, berotak cerdas, dan berilmu banyak, berhati tunduk kepada Allah serta mempunyai semangat kerja yang hebat, disiplin yang tinggi dan pendirian yang teguh”.[31]
Dari berbagai pendapat tentang tujuan pendidikan Islam di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohani serta bermoral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, baik sebagai mahluk individu maupun sebagai anggota masyarakat dalam rangka merealisasikan tugas dan fungsi manusia yaitu sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah Allah.

      3. Aspek-Aspek Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Islam merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam kehidupan manusia di dunia ini yang bertujuan mempengaruhi kearah kebaikan agar dapat hidup baik, mentaati segala yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan-Nya. Kesemuanya ini harus benar-benar dalam ruang lingkup peraturan Allah yang meliputi aspek duniawi maupun ukhrawi.
Dengan demikian pendidikan Islam yang disampaikan tentunya selaras dengan prinsip dan tujuan pendidikan Islam itu sendiri, dimana pendidikan Islam menganut prinsip keseimbangan dan bertujuan membentuk insan kamil. Dalam arti seimbang dunia dan akhirat, menciptakan nuansa bahagia dunia dan akhirat.
Pendidikan Islam bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, pengamalan tentang agama Islam, sehingga menjadi muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta berahlak mulia. Dengan demikian pendidikan Islam yang dikembangkan berprinsip pada pendidikan manusia seutuhnya. Pembahasan dalam hal ini, dapat diuraikan sesuai dengan urusan aspek-aspek pendidikan sebagai berikut: meliputi pendidikan keimanan, ahlak, intelektual, jasmani, sosial, yang menjadi materi pendidikan Islam yang harus menunjang prinsip dan tujuan pendidikan Islam.[32]
a.    Pendidikan Keimanan
Keimanan atau aqidah merupakan landasan paling utama bagi hidup dan kehidupan manusia yang akan memberikan motivasi dan pengendali aktivitas manusia. Oleh karena itu harus ditanamkan kepada anak didik sejak dini.
Secara etimologi aqidah berarti “credo”, keyakinan hidup dan secara khusus berarti iman yakni kepercayaan dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan atau anggota badan.[33]
Menurut Nasih Ulwan, pendidikan iman adalah mengikat anak dengan dasar-dasar keimanan sejak ia mengerti, membiasakannya dengan rukun Islam sejak ia memahami dan mengajarkan kepadanya dasar-dasar sya’riat sejak usia tamyis.[34] Sehingga dengan pendidikan keimanan ini diharapkan anak akan mengenal Islam sebagai agamanya, Al-Qur’an sebagai pedomannya dan Rosulullah sebagai pimpinannya.


Secara ringkas pendidikan iman merupakan faktor yang merumuskan tabiat bengkok dan memperbaiki jiwa kemanusiaan, sehingga dengan pendidikan keimanan ini perbaikan moral dan ketentraman akan mampu mengatasi berbagai pergolakan hidup godaan dan fitnah.
b.   Pendidikan Akhlak
Akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari kata  خلق yang menurut lughot diartikan “budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat”. Kata akhlak serumpun dengan kata “khalqun” yang berarti kejadian dan bertalian dengan wujud lahir atau jasmani. Sedangkan akhlak bertalian dengan faktor rohani, sifat atau sikap batin. Faktor lahir dan batin adalah dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dari manusia, sebagaimana tidak dapat dipisahkannya jasmani dari rohani.[35]
Untuk itulah Islam lewat ajaran-ajarannya yang universal mengatur keduanya dalam upaya pemenuhan kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Akhlak merupakan pokok esensi ajaran Islam, di samping aqidah dan syari’ah. Karena dengan akhlak akan terbina mental dan jiwa seseorang untuk memiliki hakikat kemanusiaan yang tinggi.
Akhlak merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, dan kebiasaan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindak akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. Oleh karena itu, tingkah laku atau sikap hidup manusia dalam pergaulan hidup menimbulkan suatu norma atau akibat yang dapat menguntungkan atau merugikan. Norma-norma di dalam akhlak disebut hukum budi yang bertugas menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah. Dari sana timbul bakat akhlak yang merupakan kekuatan jiwa dari dalam, yang mendorong manusia untuk melakukan yang baik dan mencegah yang buruk. Allah SWT mendorong manusia untuk memperbaiki akhlaknya, bila ia terlanjur salah, sebagaimana firman-Nya dalam surat An-Nisa’ : 110
ومن يعمل سوءا ويظلم نفسه ثم يستغفر الله يجد الله غفورا رحيما (النساء110 )
Artinya: “Dan barang siapa yang melakukan kejahatan dan menganiaya dirinya, dan kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (An-Nisa’ : 110)[36]
Urgensi pendidikan akhlak tidak saja dirasakan oleh manusia dalam kehidupan perseorangan, tetapi juga di dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Lebih jauh lagi akhlak sebagai alat pembeda yang jelas antara manusia dengan hewan. Dengan pengertian bahwa tanpa modal akhlak, manusia akan kehilangan derajad kemanusiaannya sebagai mahluk yang paling mulia, dan hal ini membawa akibat yang sangat fatal, manusia akan menjadi lebih jahat dan lebih buas daripada binatang yang terbuas. Akibat yang lebih parah lagi, adanya manusia-manusia ini tata pergaulan hidup bermasyarakat akan tidak tertib dan kacau balau, halal dan haram tidak dikenal lagi.
c.    Pendidikan Intelektual
Islam sangat memperhatikan dalam mengajar anak, menumbuhkan sikap dan mengembangkan ilmu serta budaya memusatkan seluruh pikiran untuk mencapai pemahaman secara mendalam. Sehingga akal mereka akan matang dan kecerdasan akan nampak.
Begitu penting kedudukan akal bagi manusia sehingga pendidikan akalpun penting pula. Islam adalah agama yang menghormati akal. Ia menjadikan akal sebagai syarat taklif dan dasar pemberian pahala dan siksa. Al-Qur’an penuh dengan ungkapan-ungkapan : افلا تعقلون (apakah kamu tidak menggunakan akalmu)  افلا تتفكرون (apakah kamu tidak berpikir)لايات لقوم يعقلون            (sungguh menjadi tanda bagi mereka yang menggunakan akalnya)  لقوم يتفكرون     (bagi kamu yang berpikir) لاؤلي الالبا ب  (bagi orang-orang yang berakal) dan لاؤلى النهي (bagi orang-orang yang berakal).[37]
Islam menuntut dari seorang muslim supaya mempunyai bukti tentang Tuhannya dan dakwahnya hendaklah berlandaskan akal. Islam tidak membenarkan penganutnya menjadi pengekor, berpikir dengan kepala orang lain, lalu ia mengikuti saja tanpa pemikiran dan pengertian. Bahkan ia harus berpikir sendiri, merenungkan dan memahami. Sebab itulah tidak diragukan bahwa pendidikan akal merupakan keharusan seperti pendidikan keimanan. Sebab perjalanan hidup manusia adalah gambaran dari pemikiran dan pandangannya terhadap alam wujud kehidupan dan terhadap manusia.
Islam menginginkan pemeluknya cerdas serta pandai itulah ciri akal yang berkembang secara sempurna. Cerdas ditandai oleh adanya kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat, sedangkan pandai ditandai oleh banyak memiliki pengetahuan, jadi banyak memiliki informasi.
Dengan akal inilah manusia memiliki kemampuan untuk menerima, menyimpan dan mengolah semua masukan pengetahuan yang diserap oleh indera.         
d.   Pendidikan Jasmani
Agama Islam sangat memperhatikan masalah kesehatan jasmani manusia pada umumnya dan kesehatan anak khususnya. Lantaran kesehatan jasmani seseorang itu sangat berpengaruh pada kesehatan rohaninya. Oleh sebab itu, boleh jadi tepatlah kiranya pribahasa yang menyatakan: “dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Kepedulian Islam ini tercermin dari metode, teori dan praktek yang diisyaratkan Islam dalam pemeliharaan, perawatan, penjagaan, dan pendidikan serta pengajaran anak. Ambil satu contoh misalnya penyusuan bayi, yang wajib dan mutlak diberikan oleh seorang ibu kepada anak-anaknya tanpa dispensasi, dalam waktu selama 2 tahun. Lantas diikuti pula dengan proses penyapihan dalam kurun waktu yang telah ditentukan untuk satu tujuan yakni, kesehatan serta kekuatan jasmani dan rohani anak. Semua petunjuk dan pedoman yang diisyaratkan ini merupakan bukti konkret bahwa Islam sangat memperhatikan kesehatan manusia. Lantaran ASI atau air susu ibu yang diterima bayi dari ibunya selama 2 tahun tersebut, akan sangat mempengaruhi kesehatan dan kekuatan serta daya tahan bayi terhadap serangan dari berbagai macam bibit penyakit. Bahkan ASI yang diminum oleh seorang bayi sesungguhnya merupakan modal dasar kesehatannya selama hidup.
Selain itu dapat juga dilihat pada cara Islam memelihara, merawat dan menjaga serta menghidupi anak-anak dengan penuh perhatian. Untuk dapat mengantar mereka menuju kepada kesehatan jasmani dan rohani yang optimal, agar anak-anak tersebut dapat tumbuh dan berkembang dengan sempurna, baik tubuhnya maupun akal dan pikirannya.22
Perawatan, penjagaan, dan pemeliharaan tubuh untuk kesehatan jasmani memang mutlak dibutuhkan oleh setiap orang, agar terdapat keseimbangan antara jasmani dan rohaninya, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW. Yang menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan jasmani sama pentingnya dengan kebutuhan rohani. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari : “ sesungguhnya badan mu mempunyai hak”..   
e.    Pendidikan Sosial
Pendidikan sosial adalah mendidik anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan perilaku sosial yang utama, dasar-dasar kejiwaan yang mulia yang bersumber pada aqidah Islamiyah yang kekal dan kesadaran iman yang mendalam, agar ditengah-tengah masyarakat nanti ia mampu bergaul dan berperilaku sosial baik memiliki keseimbangan akal yang matang dan tindakan yang bijaksana.[38]
Pendidikan sosial ini sangat penting, sebab pendidikan sosial merupakan fenomena tingkah laku dan watak yang dapat mendidik anak guna menunaikan kewajiban sopan santun, kontrol sosial, dan interaksi yang baik dengan orang lain.
Pendidikan sosial ini dilakukan tidak lebih karena anak itu sendiri mempunyai kebutuhan sosial di mana dalam memenuhi kebutuhan tersebut perlu adanya pendidikan sehingga dengan demikian diharapkan setelah dewasa nanti dapat hidup bermasyarakat dengan baik. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-Maidah Ayat 2 :
........وتعاونوا علىالبّر والتقوى ولا تعاونوا على الاثم والعدوان (المائد٢)
 Artinya:”Dan tolong-menolonglah kamu dalam ( mengerjakan ) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. ( Al-Maidah : 2 ) [39]

Dalam segi sosial anak harus mempunyai rasa kesadaran yang tinggi, karena segi sosial ini menyangkut hubungan keluarga dan masyarakat yang berarti terjadinya hubungan baik antara sesama manusia. Untuk mencapai manusia yang sosial, sudah tentu harus ada pemupukan, rasa kesadaran sehingga semua kegiatan yang dihadapi akan dapat berjalan dengan baik. Misalnya solidaritas dan gotong royong diantara sesama kaum.

B. Problem Kejiwaan
1. Pengertiaan  kejiwaan
Problem adalah masalah atau persoalan.[40]. Sedangkan kejiwaan adalah suatu gejala yang timbul dari diri seseorang yang dapat berakibat positif atau negatif. Yang dimaksud dengan problem Siswa adalah masalah-masalah yang dihadapi para siswa sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan mereka dalam rangka penyesuaian diri terhadap lingkungan di mana siswa itu hidup dan berkembang.[41]. Problem tersebut ada yang dapat dipecahkan sendiri, akan tetapi adakalanya pula yang sulit untuk dipecahkannya, dalam hal ini memerlukan kaum pendidik agar tercapai keejahteraan pribadi dan  bermanfaat bagi masyarakat.
  Para siswa mempunyai berbagai kebutuhan yaitu :
1. Kebutuhan Biologis.
Kebutuhan disebut juga motif atau drive. Kebutuhan biologis sering juga disebut physiological drive atau biological motivation. Pengertian kebutuhan atau motif ialah segala alasan yang mendorong makhluk untuk bertingkah laku mencapai sesuatu yang diinginkan atau dituju (goal). Motif ini sudah ada sejak lahir, jadi tanpa harus belajar. Boleh dikatakan bahwa motif ini bersifat naluriah (instinktif). Motif biologis sama-sama dimiliki oleh semua makhluk Allah seperti lapar, haus, mengantuk. Dan motif ini bersifat universal, artinya dipunyai oleh manusia dan binatang.



2. Kebutuhan psikis
Yang dimaksud dengan kebutuhan psikis adalah dorongan yang menyebabkan orang bertindak mencapai tujuannya yang bersifat psikis      (kejiwaan – kerohanian). Kebutuhan ini bersifat individual. Yang termasuk di dalam kebutuhan psikis misalnya :
a. Agama
Kebutuhan ini berdasarkan atas asumsi bahwa setiap orang cenderung untuk mengagungkan kekuasan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu dibutuhkan suatu penanaman akan nilai –nilai agama sejak dini mungkin.
b. Kebutuhan Akan Rasa Aman
Kebutuhan ini juga bersifat sosial karena berhubungan dengan orang lain.Karena rasa aman dapat terwujud jika antar sesama saling hormat-menghormati dan saling menjaga antara satu dengan yang lain.
3. Kebutuhan Sosial
Yang dimaksud dengan kebutuhan sosial disini adalah kebutuhan yang bersangkutan dengan orang lain atau berhubungan dengan orang lain/hal ini diluar diri. Menurut Thomas kebutuhan manusia itu ada empat.[42]
Pertama     : Kebutuhan untuk dikenal
Kedua       : Kebutuhan untuk mendapat response dari orang lain
Ketiga       : Kebutuhan untuk memiliki
Keempat    : Kebutuhan untuk memperoleh pengalaman yang baru
Hal –hal yang mempengaruhi pertumbuhan kesehatan mental adalah :
a. Masa bayi
Masa ini dimana ibu sedang mengandung baik itu mulai dari mengidam sampai melahirkan. Yaitu dari makanan yang di makan dan kondisi ibu disaat mengandung.
b. Masa Kanak –kanak
Bisanya anak nomor 2, 3 dan seterusnya sering orang tua memberi permainan atau pakaian bekas kakaknya.kalau sering ia hanya menerima bekas, sedang kakaknya menerima yang baru, hal ini menyebabkan ia merasa dinomer duakan dalam perilaku orang tuanya. Hal ini menyababkan ia tak senag kepada orang tuanya dan iri kepada kakaknya.[43]

2. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Problem Kejiwaan
a.       Kecemasan ( anxiety )
Cemas adalah ketakutan terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi. Perasaan cemas bisanya muncul bila dalam suatu keadaan yang kita duga akan merugikan dan kita rasa mengancam diri kita dimana kita merasa tidak berdaya menghadapinya.



Pandangan Psikologi terhadap masalah kecemasan ini cukup benareka ragam. Teori-teori tentang rasa cemas banyak dikembangkan,  karena dalam pandangan psikologi rasa cemas ini dianggap sebagai penyebab utama dari berbagai gangguan kejiwaan.[44]
Sigmund Freud mengemukakan adanya tiga macam kecemasan yaitu :
a.       Kecemasan realistis
Kecemasan ini adalah yang paling pokok adalah kecemasan atau ketakutan yang realistis, atau takut akan bahaya-bahaya yang datang dari luar, adapun kecemasan yang lain berasal dari kecemasan realistis ini.
b.      Kecemassan neurotis
Kecemasan neurotis adalah kecemasan kalau-kalau insting-insting tidak dapat dikendalikan dan menyebabkan orang berbuat sesuatu yang dapat dihukum.






c.       Kecemasan moral
Adalah kecemasan hati, orang yang das Ueber Ichnya berkembang baik cenderung untuk merasa dosa apabila dia melakukan atau bahkan berfikir untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma moral. Kecemasan moral ini juga mempunyai dasar dalam realistas ; karena di masa yang lampau orang telah mendapatkan  hukuman sebagai akibat dari perbuatan telah melanggar kode moral, dan mungkin akan dapat hukuman lagi.[45]

 
     Adapun fungsi kecemasan adalah untuk memperingatkan orang akan datangnya bahaya sebagai isyarat das Ich, bahwa apa bila tidak dilakukan tindakan yang tepat bahaya akan meningkat sampai das Ich dikalahkan. Apabila kecemasan timbul, maka itu akan mendorong orang untuk melakukan sesuatu supaya tegangan dapat direduksikan atau dihilangkan.
b.      Frustasi
Frustasi ialah keadan batin seseorang, ketidakseimbangan dalam jiwa, suatu perasaan tidak puas karena hasrat atau dorongaan yang tidak dapat terpenuhi.[46]
Reaksi-reaksi yang mungkin timbul karena adanya frustasi:
1.          Agresi,
            yaitu sifat menentang atau suatu serangan yang bersifat langung dan tak langsung. Reaksi agresi ini banyak kita jumpai pada kehidupan kanak-kanak itu umumnya masih sangat di pengaruhi oleh perasaan yang subyektif. Di dalam ilmu jiwa, anak biasa disebut ”manusia ketika”, yakni manusia yang hanya hidupnya untuk “masa ini ” saja.
2.          Mengundurkan diri
Reaksi mengundurkan diri ini tidak hanya terdapat pada anak-anak, tetapi pada orang dewasa.
3.          Regresi ( kemunduran )
Mengalami suatu masa pubertas tapi sudah kelewat masanya.
4.          Proyeksi,yaitu bukan kita menjadi dia tapi dia menjadi kita.
5.          Sublimasi ( Penyaluran jiwa )
6.          Kompensasi
Penyaluran jiwa dengan jalan mengalihkan usaha ke arah tujuan atau perbuatan lain guna mencapai kepuasan.
7.          Berkhayal atau melamun
Dengan berkhayal itu seolah-olah dia telah mencapai apa yang diharapkan dan dicita-citakan.

C. Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Mengatasi problem Kejiwaan
Adapun peranan Pendidikan Agama Islam  dalam mengatasi problem kejiwaan, sangat penting sekali, karena Pendidikan Agama Islam merupakan dasar atau fundamental bagi seseorang itu hidup. Karena pada dasarnya suatu problem itu datang karena kita tidak sadar bahwa suatu masalah itu pasti ada obatnya dan pemecahannya. Mereka tidak sadar bahwa agama merupakan terapi yang paling mujarab dalam mengatasi problem kejiwaan.
Cara mengatasi Problem kejiwaan adalah sebagai berikut:
1. Ingat Kepada Allah ( Dzikrullah )
Arti umum dzikrullah adalah perbuatan mengingat Allah dan keagungannya, yang meliputi hampir semua bentuk ibadah dan perbuatan baik, seperti tasbih, tahmid, shalat, membaca Al qur-an, berdo’a, melakukan perbuatan baik dan menghindarkan diri dari perbuatan jahat.[47]. Dalam arti khusus, dzikrullah adalah menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya dengan memenuhi tata tertib, metode, rukun dan syaratnya. Dzikrullah adalah benar-benar perintah Allah dan Rasul-Nya, dan bukan ciptaan atau diada-adakan manusia.
Dalam QS Ali Imran:41 Allah berfirman :
وادكر ربك كثيرا وسبح بالعشي والابكا ر ( ال عمران : 41 )
Artinya : “ Dan sebutlah (Nama) Tuhanmu sebanyak –banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari” (Ali Imron : 41)
Seorang sahabat berkata: ”Ya Rasulullah, hukum-hukum syariah (undang-undang Islam) telah begitu banyak, tunjukkanlah aku sesuatu sebagai pegangan petunjuk bagiku. ”Rasulullah SAW bersabda : ”Hendaklah lidahmu senantiasa basah dengan dzikrullah”.
Sedangkan manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan dzikrullah adalah sebagai berikut :
a)      Sebagai sarana komunikasi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

b)      Menjadi golongan yang unggul. Berdasarkan hadits Rosulullah, ternyata golongan yang unggul (al-Mufarridun ) adalah mereka yang banyak melakukan dzikrullah.
c)      Allah menyediakan ampunan dan pahala yang banyak bagi mereka yang banyak melakukan dikrullah.
d)     Dzikrullah membentengi diri dari segala siksa dan bencana.
e)      Dzikrullah menunda datangnya kiamat.[48]
Oleh sebab itu suatu pendidikan juga harus mempunyai keseimbangan antara pendidikan umum dan pendidikan Agama, karena pada dasarnya keduanya saling melengkapi.maka penting menanamkan dzikrullah sejak dini, karena jika menghadapi suatu masalah maka anak tersebut akan lari pada Tuhannya bukan pada jalan setan yaitu minuman keras, ganja, extasi dan lain-lain.
2. Sekolah
Kewajiban sekolah adalah mendidik anak menjadi manusia yang tahu tata tertib dan tunduk pada tata tertib dan peraturan-peraturan. Mereka harus dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memang sudah menjadi kewajibannya. Pendeknya anak harus dipimpin dalam perkembangan kearah kedewasaan. Tetapi biarpun demikian, kita tidak boleh membebani anak-anak dengan tugas-tugas yang berat yang tidak mampu oleh anak itu. Sekolah tidak boleh menuntut terlalu berat melebihi kemampuan anak. Tiap-tiap tuntutan hendaklah disesuaikan dengan perkembangan umur, jasmani dan rohani anak.

3. Sikap Pendidik
Ada orang yang berpendapat bahwa mendidik anak hendaknya membiarkan pertumbuhan anak itu menurut alamnya. Pendidik harus memberi kesempatan pada anak untuk menuruti semua kehendaknya. Dengan si anak tidak mengalami gangguan kejiwaan dan dapat berkembang dengan semestinya.
Adapun sikap yang harus dimiliki oleh seorang pendidik adalah :
a.       Pendidik tidak boleh bersikap terlalu keras terhadap anak didiknya. Dengan kekerasan dan paksaan anak tidak akan dapat mematuhi peraturan-peraturan karena banyak mengalami frustasi. Anak hanya menuruti peraturan itu karena ketakutan bukan keinsafan dalm diri sendiri. Sikap keras dan paksaan dapat pula menghasilkan yang sebaliknya, yakni sikap menentang dan keras kepala.
b.      Sebaiknya sikap yang terlalu lunak dan lemah dari si pendidik tidak dapat pula dibenarkan pula. Dengan sikap demikian anak akan sekehendak hatinya dan bisa-bisa timbul sifat membangkang. Oleh sebab itu harus sesuai dengan situasi dan kondisi kejiwaan siswa, karena tiap siswa mempunyai kondisi kejiwaan yang berbeda-beda.[49].



[1] Prof. Drs. Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1992, hlm. 4
[2] Yusuf Amir Faisol, Reorientasi Pendidikan Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hlm. 94
[3] Dr. Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, CV. Ruhama, Jakarta, 1993, hlm. 3
4 Drs. H Abudin Nata M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hlm. 6-7
5 Hadits ini antara lain dikutip dan dijadikan motto oleh Muhammad Quthb untuk bukunya yang berjudul Sistem Pendidikan Islam, yang diterjemahkan oleh Salman Harun dan diterbitkan oleh PT. Al-Ma’arif Bandung
[4]Prof. R. H. A. Soenarjo S. H., Al Qur’an dan Terjemahnya, Gema Risalah Press, Bandung, 1992, hlm. 428
[5] Ibid., hlm. 574 (ayat ini menjelaskan tentang percakapan nabi Musa dengan Fir’aun. Nabi Musa as tinggal bersama Fir’aun kurang lebih 18 tahun, sejak kecil)
[6] Drs. A. D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al Ma’arif, Bandung, 1986, hlm. 19
[7] George F. Kneller, Logic And Language of Education, John wiley & Sons, Inc.New York, London, Sydney, 1966, hlm. 14-15
[8] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim Pengantar Filsafat Pendidikan Islam & Dakwah, Sipress, Yogyakarta, 1993, hlm. 58
[9] Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 1989, Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya, Aneka Ilmu, Semarang, 1989, hlm. 2
[10] Prof.Arma Abdullah, Drs.Agus Manadji, Dasar-dasar Pendidikan Jasmani, Proyek Pembinaan Dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1994, hlm. 2
[11] Undang-Undang Dasar RI Nomor 2 tahun 1989, Loc. Cit.
[12] Ibid., hlm. 4
[13] Prof. Arma Abdullah, Drs. Agus Manadji, Loc. Cit
[14] Prof. Dr. Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad Ke 21, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1988, hlm. 4
[15] Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media, Salatiga, 1990, hlm. 20
[16] Burlian Somad, Beberapa Persoalan dalam Pendidikan Islam, PT. Al Ma’arif, Bandung, 1981, hlm. 20
[17] Omar Muhammad Al Taumy Al Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hlm. 57
[18] Dr. Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. 3, 1996, hlm. 19
[19]Prof. R. H. A. Soenarjo S. H., Op.Cit.,  hlm. 8
[20] Prof. Dr. Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Al Ma’arif, Bandung, 1990, hlm. 36-37
[21] Dr. M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, Mizan, Bandung, 1996, hlm. 13
[22] Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hlm. 31
[23] Ibid., hlm. 32
[24] Imam Malik bin Anas, Al-Muwatta’,  Darul Ihya’,  Beirut, 1990,  hlm. 69
[25]Drs. K . H .Muslim Nurdin , dkk,,Moral dan Kognisi, C. V. Alfabeta, Bandung, 1993, hlm, 73 .
[26] DR. Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam,  Bumi Asara, Jakarta, 1996, hlm. 21
[27]Drs. Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Bina Aksara, Jakarta, 1995, hlm. 159
[28] Drs. Achmadi, Op.Cit., hlm. 59
[29] Drs. A. D. Marimba, Op.Cit., hlm. 4
[30] Dr. Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1989, h
[31] Drs. Syahminan Zaini, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 1986, hlm. 48-49
[32] Drs. Zainuddin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hlm. 96
[33] Ahmadi, Op.Cit., hlm. 81
[34] Dr. Abdullah Nasiuh Ulwan, Pendidikan anak dalam Islam, Terj. Drs. Jamaludin Miri, Lc., Pustaka Amami, Jakarta, 1999, hlm. 165
[35] Dr. Hamzah Ya’qub, Etika Islam, CV. Diponegoro, Bandung, 1985, hlm. 11
[36] Prof. R. H. A. Soenarjo S. H., Op-Cit, 140
[37] Yusuf Al-Qardhawy, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, Bulan Bintang, Jakarta, t.th, hlm. 40
22 Dr. Abdul Rozak Husein,  Hak Dan Pendidikan Anak Dalam Islam, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, 1992, hlm. 109
[38] Dr. Abdullah Nasih Ulwan, Op.Cit., hlm. 435
[39] Prof. R. H. A. Soenarjo S. H., Op-Cit, hlm., 16
[40] Ananda santoso, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kartika, Surabaya, 1995, Hlm 277                      
[41]Drs. Sofwan S. Willis, Problema Remaja dan Pemecahannya,Angkasa, Bandung, 1986, Hlm 32      
[42] Ibid, hlm 39                                                                                                                                             
[43]Zakiyah Darajat ,Kesehatan Mental,Gunung Agung,Jakarta,1993,hal;99
[44] Hanna Djumhana Bastaman,Integrasi Psikologi dengan Islam,Pustaka Pelajar,Yogyakarta,1997,hal :156                  
[45] Sumadi Suryabrata,Psikologi Kepribadian,CV Rajawali,Yogyakarta,1982,hal:165-166                      
       [46] DRS.M.Ngalim Purwanto,MP ,Psikologi Pendidikan,PT Remaja Rosdakarya,Bandung,1990,hal ;127       
[47] Hasbi ash-Shiddiqy,Pedoman Dzikir dan Do'a,Bulan Bintang,Jakarta,1977,hal 34                                                                                          
[48] Hanna Djumhana Bastaman,Integrasi psikologi dengan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997,hal 160                                                                                                                                           
[49] DRS.M. Ngalim Purwanto.MP, Psikologi Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997, hal : 139                   

0 Response to "PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN PROBLEM KEJIWAAN"

Post a Comment