MASJID SEBAGAI PUSAT KEGIATAN PENDIDIKAN ISLAM

MASJID SEBAGAI PUSAT KEGIATAN PENDIDIKAN ISLAM
 
A.    Masjid Sebagai Lembaga Pendidikan
Telah kita kenal bahwa rumah Dar al-Arqam bin al-Arqam merupakan tempat pertama berkumpulnya kaum muslimin beserta Rasulullah SAW, untuk belajar hukum-hukum dari dasar-dasar agama Islam. Sebenarnya rumah itu merupakan lembaga pendidikan pertama atau madrasah yang pertama sekali dalam Islam. Guru yang mengajar di lembaga tersebut tidak lain adalah Rosulullah, di mana beliau sebagai penunjuk jalan kebenaran. Kemudian setelah itu, sebagai lembaga pendidikan Islam, Masjid dapat dikatakan sebagai madrasah yang berukuran besar yang pada permulaan sejarah Islam dan masa-masa selanjutnya adalah tempat menghimpun kekuatan Islam baik dari segi fisik maupun mentalnya.[1]
Meskipun belakangan para pakar tentang Dunia Arab berpendapat bahwa sekolah dasar yang disebut kuttub mulai dikenal pada masa awal Islam untuk pendidikan anak-anak tentang al-qur’an dan isinya, Shalaby berpandangan bahwa kuttub lebih terfokus pada pengajaran tulis baca dan seringkali dilaksanakan oleh orang-orang kristen. Secara natural, pengajaran tentang ajaran-ajaran Islam pada dasarnya berlangsung dalam forum-forum informal atau pada kegiatan-kegiatan dakwah yang berlangsung di lembaga-lembaga Islam baru, yaitu mesjid. Penyebaran Al-Qur’an berlangsung secara lisan, seperti halnya dengan penyebaran puisi sebelum masa Islam. Sampai salinan-salinan Al-Qur’an disebarkan secara luas, Al-Qur’an  belum menjadi bagian inti dari kurikulum pendidikan dasar.[2]
Pada abad-abad awal Islam, masjid muncul sebagai pusat pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi remaja dan orang dewasa dalam ilmu-ilmu agama. Muhammad sendiri mendirikan masjid pertama di sebuah desa di perjalanan menuju Medinah, ketika hijrah dari Mekkah. Dalam merancang masjid dia menggunakan pengetahuannya tentang biara kristen yang berfungsi ganda, sebagai tempat ibadah dan pusat pendidikan. Karenanya ia mendirikan sebuah bangunan yang akan berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat disuatu kota atau lingkungan sebagai gedung pertemuan, rumah ibadah, dan lembaga pendidikan. Sementara  dalam pikiran kita orang Barat terbayang masjid-masjid megah Istambul, Damaskus, dan kota-kota besar Timur Tengah, bentuk paling umum dari masjid adalah bangunan yang lebih sederhana yang hanya menampung jumlah jama’ah terbatas. Selama abad ke-10 saja, Bagdad konon mempunyai 30.000 masjid. Masing-masing berfungsi sebagai pusat kegiatan bagi masyarakat sekitarnya, mungkin hanya mempekerjakan seorang imam dan seorang guru, bahkan terkadang tidak terbuka sepanjang hari.[3]
Menurut sejarah Islam, masjid yang pertama-tama dibangun oleh Nabi adalah Masjid At-Taqwa di Quba yang berjarak kurang lebih 2 mil dari kota Madinah ketika Nabi berhijrah dari Mekah. Hal ini disebutkan di dalam kitab suci Al-Qur’an :
لمسجد اسّس على التّقوى من اوّل يوم احقّ ان تقوم فيه فيه رجال يجبّون ان يتطهروا والله يحبّ المطّهّرين. (التوبه : 108)

Artinya :    “…Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”. (QS. At-Taubah : 108).[4]

Oleh karena itu, masjid dalam sejarah Islam adalah sebenarnya merupakan madrasah pertama setelah rumah Dar al-Arqam bin al-Arqam. Di dalam masjid itulah terkumpul berbagai macam persoalan pokok kaum muslimin sejak mulai masalah politik, agama, kebudayaan sampai kemasyarakatan. Oleh karena itu kaum muslimin berkumpul di dalam masjid hendaknya senantiasa memusyawarahkan dan bertukar pendapat tentang segala masalah atau urusan yang berkaitan dengan kehidupan sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan.[5]
1.      Pengertian Masjid
Secara harfiah masjid diartikan sebagai tempat duduk atau tempat yang dipergunakan untuk ibadah. Masjid juga berarti “tempat shalat jama’ah” atau tempat shalat untuk umum (orang banyak).[6]
Masjid (tempat sujud) merupakan suatu bangunan, gedung atau suatu lingkungan yang berpagar sekelilingnya yang didirikan secara khusus sebagai tempat beribadah kepada Allah SWT, khususnya mengerjakan shalat. Istilah masjid berasal dari kata sajada, yasjudu, yang artinya bersujud atau menyembah. Karena masjid adalah Baitullah (rumah Allah), maka orang yang memasukinya disunahkan mengerjakan shalat Tahyatul masjid (menghormati masjid) dua rakaat. Nabi SAW bersabda : “jika salah seorang kamu memasuki masjid jangan dulu duduk sebelum mengerjakan shalat dua rakaat.” (H.R. Abu Dawud).[7]
Masjid di samping untuk sembahyang, dipergunakan pula untuk mendiskusikan dan mengkaji permasalahan dakwah Islamiyah pada permulaan perkembangan Islam, yang terdiri dari kegiatan bimbingan dan penyuluhan serta pemikiran secara mendalam tentang suatu permasalahan dan hal-hal lain yang menyangkut siasat perang dalam menghadapi musuh-musuh Islam serta cara-cara menghancurkan kubu pertahanan mereka. Dengan demikian masjid menjadi tempat utama untuk bersembahyang dan merencanakan kegiatan dakwah Islamiyah, dimana agama Islam dapat berdiri tegak sejak awal periode perkembangannya melalui lembaga pendidikan Islam.[8]
Dalam tempat mulia ini (masjid) bertemulah segala jenis ilmu pengetahuan yang bermacam ragamnya, di mana para pelajar mendiskusikan dan mengkaji ilmu-ilmu tersebut bersama-sama dengan guru-guru besar mereka yang terkenal pada zamannya. Maka dari itu masjid adalah sebagai tempat sembahyang, madrasah, universitas,  majelia nasional, dan pusat-pusat pemberian fatwa serta tempat pengemblengan para pejuang dan patriot bangsa dari zaman-zaman. Dengan demikian maka masjid berperan besar dalam siklus kehidupan umat Islam, bahkan sampai sekarang masjid menjadi markas yang penting untuk penyebaran Islam.[9]
Di samping itu juga masjid memegang peranan penting dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, karena itu masjid atau surau merupakan sarana yang pokok dan mutlak keperluannya bagi perkembangan masyarakat Islam.[10]
Di sini masjid dapat dianggap sebagai lembaga ilmu pengetahuan yang tertua dalam Islam. Pembangunannya telah dimulai semenjak zaman Nabi dan ia tersebar keseluruh negeri Arab bersamaan dengan bertebarannya Islam diberbagai pelosok negeri tersebut, dalam masjid inilah dimulai mengajarkan Al-Qur’an dan dasar-dasar agama Islam pada masa Rasulullah, di samping tugas yang utama sebagai tempat untuk menunaikan sembahyang dan ibadah.[11]
Bahkan masjid juga menjadi pusat komando militer dan gerakan-gerakan pembebasan dari penghambaan dan penindasan. Rasulullah SAW menyusun strategi militer di masjid. Perang melawan kaum Nasrani (perang salib) pertama kali berkobar dari masjid. Begitu pula Revolusi Syiria, Aljazair, Paskistan, Afganistan, dan negara-negara Islam lainnya bergerak dari masjid. Dan belum lepas dari ingatan, perjuangan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah juga dikomandoi dari masjid. Demikianlah, masjid merupakan sentral kehidupan masyarakat Islam.[12]   
2.      Fungsi Masjid
Selain digunakan tempat untuk melakukan shalat lima waktu, shalat Jum’at, shalat tarawih dan ibadah-ibadah lainnya, masjid juga digunakan untuk kegaitan syiar Islam, pendidikan agama, pengajian dan kegiatan lainnya yang bersifat sosial.
Fungsi masjid yang sesungguhnya dapat dirujuk pada sejarah masjid paling awal, penggunaan masjid pada masa Nabi Muhammad SAW, al-Khulafaur Rasyidin dan seterusnya. Pada masa itu masjid paling tidak mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi keagamaan dan fungsi sosial.
Fungsi masjid bukan hanya tempat sholat, tetapi juga lembaga untuk mempererat hubungan dan ikatan jama’ah Islam yang baru tumbuh. Nabi Muhammad SAW mempergunakan masjid sebagai tempat menjelaskan wahyu yang diterimanya, memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan para sahabat tentang berbagai masalah, memberi fatwa, mengajarkan agama Islam, membudayakan musyawarah, menyelesaikan perkara-perkara dan perselisihan-perselisihan, tempat mengatur dan membuat strategi militer, dan tempat menerima perutusan-perutusan dari Semenanjung Arabia.[13]
Dewasa ini, fungsi masjid mulai menyempit, tidak sebagaimana pada zaman Rasulullah SAW. Hal itu terjadi karena lembaga-lembaga sosial keagamaan semakin memadat, sehingga masjid terkesan sebagai tempat ibadah shalat saja. Pada mulanya, masjid merupakan sentral kebudayaan masyarakat Islam, pusat organisasi kemasyarakatan, pusat pendidikan dan pusat pemukiman (community center), serta sebagai tempat ibadah dan i’tikaf.
Fungsi masjid dapat lebih efektif bila didalamnya disediakan fasilitas-fasilitas terjadinya proses belajar mengajar. Fasilitas yang dimaksudkan adalah:
a.    Perpustakaan, yang menyediakan berbagai buku bacaan dengan berbagai disiplin keilmuan.
b.   Ruang diskusi, yang digunakan untuk berdiskusi sebelum atau sesudah shalat jama’ah. Program inilah yang dikenal dengan istilah I’tikat ilmiyah. Langkah-langkah praktis yang ditempuh dalam operasionalisasi adalah memberikan perencanaan terlebih dahulu dengan menampilkan beberapa pokok persoalan yang akan dibahas. Setelah berkumpul para audien (makmum) diskusi dapat dimulai pada ruang yang telah tersedia. Kira-kira sepuluh  sampai lima belas menit sebelum shalat jama’ah, diskusi dihentikan, dan kemudian beralih pada i’tikaf profetik (dzikir). Sebaliknya, jika diskusi ini dilakukan usai shalat berjama’ah, i’tikaf ilmiyah. Agar tidak terlalu menjemukan diskusi ini dilakukan dua atau tiga minggu sekali.[14]
c.    Ruang kuliah, baik digunakan untuk “training” (tadrib) remaja masjid atau juga untuk “madrasah diniyah”, juga oleh Omar Amin Hoesin di istilahkan dengan “sekolah masjid”.[15] Kurikulum yang disampaikan khusus mengenai materi-materi keagamaan untuk membantu pendidikan formal, yang proporsi materi keagamaannya lebih minim dibandingkan dengan proporsi materi umum.[16]                   
Namun demikian, bentuk dan sifat fungsi masjid tersebut sangat beragam dan bervariasi serta mengalami perkembangan dari waktu ke waktu Secara garis besar fungsi masjid dapat dibedakan sebagai berikut :
a.       Sebagai tempat ibadah
Secara umum ibadah berarti bakti manusia kepada Allah SWT, karena didikan dan dibangkitkan oleh akidah dan tauhid. Ibadah merupakan tugas hidup manusia, sebagaimana Firman Allah  yang berbunyi :
وما خلقت الجنّ والا نس الاّ ليعبد ون.
Artinya :     “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melaikan supaya mereka menyembahku”.(QS. Adz-Dzariyaat : 56)[17]

Menyembah Allah SWT berarti memusatkan penyembahan kepada-Nya semata-mata, tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah. Berangkat dari itu fungsi masjid sebagai pusat peribadatan shalat dan ibadah shalat erat hubungannya dengan kebutuhan spiritual manusia, maka sudah sewajarnya bahwa salah satu fungsi masjid pada zaman modern sekarang ialah memupuk dan memenuhi kebutuhan spiritual umat.[18]
Dalam sehari semalam umat Islam diwajibkan sholat lima waktu (Isya’, Shubuh, Dhuhur, Ashar dan Maghrib). Di samping itu juga umat Islam diperintahkan untuk mengerjakan shalat Jum’at yang merupakan kewajiban bagi muslim, pria yang sudah dewasa. Cara mengerjakan shalat lima waktu itu boleh dikerjakan sendiri-sendiri, tetapi lebih utama apabila dikerjakan secara berjama’ah di masjid, yaitu dilaksanakan bersama-sama yang dipimpin oleh seorang imam. Keutamaan sholat berjama’ah ini diungkapkan oleh hadits Nabi SAW, yang berbunyi :
عن عبد الله بن عمر رضى الله عنهما ان رسول الله صلعم قال : صلاة الجماعة افضل من صلاة الفرض بسبع وعسرين درجة. (متفق عليه)[19]
Artinya :     “Dari Abdullah bin Umar r.a, sesungguhnya Rosulullah telah bersabda, shalat jama’ah itu lebih utama dari shalat sendiri-sendiri.

Dari dari hadits tersebut di atas dapat dilihat betapa tinggi nilai dari shalat berjama’ah dibanding dengan shalat sendiri-sendiri, karena dengan shalat berjama’ah umat Islam dapat berkumpul untuk mempererat tali persaudaraan dan silaturrahmi.
Salah satu tujuan utama dari agama Islam ialah membina manusia yang berakhlak baik dan berbudi pekerti luhur. Pembinaan akhlak mulia dan budi pekerti luhur ini erat hubungannya dengan ibadah dalam Islam, terutama ibadah shalat.
Dengan demikian masjid sebagai pusat kegiatan shalat yang erat hubungannya dengan pembinaan akhlak yang mulia mempunyai peranan yang besar. Dengan kata lain, fungsi penting dari masjid pada zaman pembangunan nasional sekarang ialah pembinaan budi pekerti luhur bagi masyarakat sekitarnya. Salah satu jalan barangkali ialah dengan memperbanyak pembicaraan soal-soal pembinaan spiritual, umpamanya bimbingan kerohanian, ceramah, diskusi dan sebagainya, yang berkaitan dengan persoalan keagamaan. Ini perlu mendapat perhatian dan pemikiran serta penelitian lebih lanjut.[20]               
b.      Sebagai tempat pendidikan serta kebudayaan
Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Pendidikan di sini adalah pendidikan Islam yang merupakan pewarisan dan perkembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman ajaran Islam sebagai yang termaktub dalam Al-Qur’an dan terjabar dalam sunnah Rasul, yang dimaksudkan adalah dalam rangka terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan demikian ciri yang membedakan antara pendidikan Islam dengan yang lain adalah pada penggunaan ajaran Islam sebagai pedoman dalam proses pewarisan dan pengembangan budaya umat manusia tersebut.
Sama halnya dengan peradaban Islam, maka demikian pula halnya pendidikan Islam, ia merupakan satu kebulatan dari saling pengaruh mempengaruhi diantara kebudayaan dari bermacam-macam bangsa. Kebudayaan-kebudayaan tersebut telah bersatu dan berassimilasi secara berangsur-angsur dibawah naungan kerajaan Islam, dan dibawah pengaruh agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad (Islam) dan berkembang melalui bahasa arab.
Sedangkan kebudayaan merupakan berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapainnya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk didalamnya perwujudan benda-benda materi. Pusat esensi kebudayaan terdiri dari atas tradisi cita-cita atau paham, dan terutama keterkaitan terhadap nilai-nilai.
Kebudayaan disini adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Jadi unsur-unsur kebudayaan itu meliputi semua kebudayaan di dunia, baik yang kecil, bersahaja dan terisolasi, maupun yang besar, komplek, dan dengan jaringan hubungan yang luas.
Dengan kebudayaan yang baik masyarakat nantinya akan menjadi masyarakat yang baik pula, karena suatu kebudayaan sangat mempengaruhi kehidupan manusia di muka bumi ini. Disamping masjid sebagai tempat ibadah, masjid juga merupakan tempat pusat kebudayaan Islam.
Di samping masjid sebagai tempat ibadah, masjid juga merupakan tempat pusat kebudayaan Islam. Dimana pola-pola tingkah laku manusia diatur dan diciptakan yang sedemikian rupa sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Yang dimaksud dengan kebudayaan Islam adalah kebudayaan yang diwarnai dan dijiwai oleh ajaran Islam (Al-Qur’an dan Sunnah), sehingga tampillah corak-corak kebudayaan Islam. Hal ini juga merupakan suatu cara untuk menyatakan bagi Islam yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia yang membentuk          lingkungan sosial, dalam suatu ruang dan waktu.
Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan Islam di Indonesia terutama terletak dipundak para ulama’. Paling tidak ada dua cara yang dilakukannya:
1). Membentuk kader-kader ulama’ yang akan bertugas sebagai muballig ke daerah yang lebih luas. Cara ini dilakukan dalam lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan pesantren di Jawa, Dayak di Aceh,   dan Surau di Minangkabau.
2). Melalui karya-karya yang tersebar dan di baca di berbagai tempat yang jauh.
Dengan demikian kebudayaan Islam adalah segala bentuk tingkah laku muslim yang didasarkan pada pokok ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan As- sunnah.                                               
c.       Tempat penyelenggaran umat
Dalam sejarahnya, fungsi masjid sebagai tempat atau pusat kegiatan dalam penyelenggaraan umat, mulai tampak setelah timbulnya kerajaan-kerajaan Islam dan dibangunnya masjid-masjid jami’ oleh penguasa diberbagai wilayah dengan tujuan tersebut. Pada zaman Sultan Agung Mataram umpamanya, fungsi tersebut lebih tampak secara teratur dengan diangkatnya pejabat-pejabat khusus yang bertugas untuk penyelenggaraan kepentingan umat.
Penghulu adalah kepala urusan penyelenggaraan agam Islam dalam seluruh daerah kabupaten, baik dalam aspek ibadah, mu’amalat ataupun dalam urusan munakahat. Dalam bidang jinayat (pidana) penghulu adalah bertindak sebagai hakim (qadhi). Tugas-tugas penyelenggaraan urusan kehidupan umat tersebut, semuanya diselenggarakan di masjid jami’.[21]
3.      Kegiatan Pendidikan Islam di Masjid
Pada dasarnya masjid akan berdiri tegak manakala masjid tersebut mempunyai banyak jama’ah, yang senantiasa melaksanakan ibadah di masjid tersebut. Masjid tanpa jama’ah menandakan bahwa masjid tersebut kurang begitu berfungsi sebagai pusat kegiatan jama’ah.
Salah satu kegiatan masjid yang paling penting adalah pembinaan masyarakat (jama’ah). Melalui kegiatan ini, jama’ah masjid diaktifkan dan ditingkatkan kualitas iman, ilmu dan ibadah seseorang, sehingga menjadi muslim dan muslimah yang taat akan beribadah. Pembinaan-pembinaan itu tentunya berlangsung tahap demi tahap, agar penanaman akidah terhadap mereka akan lebih terasa perlahan-lahan.

B.     Pendidikan Islam
1.      Pengertian Pendidikan Islam
Pengertian Pendidikan Agama Islam tidak pernah lepas dari pengertian pendidikan pada umumnya oleh karena itu perlu dibahas terlebih dahulu tentang pendidikan secara umum.
Menurut Undang-Undang Republik Indoesia nomor 2 tahun 19 tentang Sistem Pendidikan Nasional “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau pelatihan bagi peranannya di masa yang akan datang ”.[22]
Ahmad D. Marimba dalam buku “Pengantar Filsafat Pendidikan Islam” menjelaskan bahwa :
“Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[23]
Sedangkan menurut Zuhairini, et.al, mengemukakan bahwa :           “Pendidikan adalah proses, dalam mana potensi-potensi ini (kemampuan, kapasitas) manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan supaya disempurnakan oleh kebiasaan-kebiasaan yang baik, oleh alat/ media yang disusun sedemikian rupa dan dikelola oleh manusia untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan”.[24]
Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha bimbingan secara sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam rangka membina, melatih serta mengembangkan potensi-potensi diri menuju kepribadian yang utama yang tampak dalam kebiasaannya, bertingkah laku dan bersikap.
Setelah diketahui pengertian pendidikan secara umum, berikut ini penulis kemukakan pengertian pendidikan agama Islam, diantaranya adalah yang disampaikan oleh :
Ahmad D. Marimba menjelaskan bahwa, Pendidikan Islam yaitu bimbingan jasmani-ruhani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam. Dengan pengertian lain, seringkali beliau menyatakan kepribadian utama dengan istilah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yagn memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dn bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.[25]
Menurut Burlian Somad mengertikan pendidikan Islam adalah pendidikan pendidikan yang bertujuan membentuk individu menajdi makhlauk yang bercorak diri, berderajat tinggi menurut ukuran Allah dn isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan itu, yaitu ajaran Allah. Secara terperinci, beliau mengemukakan, “pendidikan itu disebut pendidikan Islam apabila memiliki dua ciri khas, yaitu :
a.       Tujuan membentuk individu menjadi bercorak diri tertinggi menurut ukuran Al-Qur’an.
b.       Isi pendidikannya adalah ajaran Allah yang tercantum dengan lengkap di dalam Al-Qur’an yang pelaksanaannya di dalam praktek hidup sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.[26] 
Menurut Zuhairini, et.al, juga memberikan pengertian tentang pendidikan agama berarti usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam.[27]
Menurut Syeh Muhammad An-Naquib Al-Attas mengartikan pendidikan Islam ialah usaha yang dilakukan pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keberadaan.[28]
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha bimbingan dan asuhan yang diberikan ke dalam diri anak didik agar tumbuh dan berkembang dan memiliki kepribadian muslim yang sejati.
2.   Dasar Pendidikan Agama Islam
Dasar dari pelaksanaan dari suatu pendidikan adalah bagian yang sangat penting, sebab dapat menjamin atau tidaknya pendidikan yang akan dilaksanakan. Dengan dasar tersebut, usaha-usaha yang terlingkup dalam kegiatan pendidikan mempunyai sumber keteguhan, sumber keyakinan yang tidak mudah untuk disimpangkan dan tidak mudah dipengaruhi dari luar.
Adapun pelaksanaan pendidikan agama Islam di Indonesia adalah memiliki landasan atau dasar yang cukup kuat, baik landasan ideal, konstitusional, operasional maupun secara religius.  Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Zuhairini, et.al, bahwa : “Pelaksanaan Pendidikan Agama di Indonesia mempunyai dasar-dasar yang cukup kuat. Dasar-dasar tersebut dapat ditinjau dari segi :
a.       Yuridis/ hukum
b.      Religius
c.       Sosial Psychologis” [29]
Ketiga dasar-dasar pendidikan agama tersebut akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut :
a.       Segi Yuridis/ Hukum. Adapun dasar dari segi yurudis atau hukum ada tiga macam yaitu :
1)      Dasar Ideal
Dasar ideal yaitu dasar dari falsafah negara Pancasila, utamanya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini mengandung arti bahwa seluruh bangsa Indonesia harus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa atau tegasnya harus beragama.  Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Untuk merealisir hal tersebut, maka diperlukan adanya pendidikan agama kepada anak-anak, karena tanpa adanya pendidikan agama, akan sulit untuk mewujudkan sila pertama dari Pancasila tersebut.
2)      Dasar Struktural atau Konstitusional 
Dasar dari Undang-Undang Dasar 1945 dalam bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi :
a)  Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b)   Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.[30]
Bunyi  UUD tersebut di atas adalah mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia harus beragama. Dalam arti orang-orang atheis dilarang hidup di negara Indonesia. Di samping itu negara melindungi umat beragama, untuk menunaikan ajaran agamanya dan beribadah menurut agamanya masing-masing. Karena itu agar supaya umat beragama tersebut dapat menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing diperlukan adanya pendidikan agama.
3)      Dasar Operasional
Dasar yang secara langsung mengatur pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia tersebut pada peraturan perundangan yang pada pokoknya dinyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari sekolah dasar sampai dengan Universitas-Universitas Negeri.[31] Dalam Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab. IX Pasal 39 ayat 2 misalnya dinyatakan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat : pendidikan Pancasila, pendidikan agama, dan pendidikan kewarganegaraan.[32]
Juga dalam Bab IV Pasal 11 ayat 6 dinyatakan bahwa : “Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjelaskan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama  yang bersangkutan.[33]
b.   Dasar Religius
Dasar religius dalam uraian ini adalah dasar-dasar yang bersumber dari ajaran agama Islam yang tertera dalam ayat Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Menurut ajaran Islam, bahwa melaksanakan pendidikan agama  adalah merupakan perintah dari Tuhan dan merupakan ibadah kepada-Nya.
Dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menunjukkan adanya perintah tersebut, antara lain :
1)   Dalam Surat At-Tahrim ayat 6, yang berbunyi :
ياايها الدين امنوا قواانفسكم واهليكم نارا.......
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka……”[34]

2)   Dalam Surat Ali Imron ayat 104, yang berbunyi :
ولتكن منكم امة يدعون الى الخيرويأ مرون بالمعروف وينهو ن عن المنكر واولئك هم المفلحون.
Artinya : Hendaklah di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh berbuat baik dan mencegah dari perbuatan yang munkar…”[35]

Selain ayat-ayat tersebut, juga disebutkan dalam hadits  antara lain :
تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعد هما كتاب الله وسنتى. [36]
Artinya :         “Aku telah meninggalkan kepadamu dua perkara, kamu semua niscaya tidak akan tersesat sesudahnya, selama kamu berpegang teguh kepada keduanya yaitu kitab Allah dan Sunnah-Ku  “(H.R. Bukhari)
c.    Segi Social Psychologis
Semua manusia dalam hidupnya di dunia ini, selalu membutuhkan adanya suatu pegangan hidup yang disebut agama. Mereka merasakan dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Dzat Yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat mereka memohon pertolongan-Nya.[37] Hal ini disebabkan agama merupakan kebutuhan jiwa yang akan mengatur dan mengendalikan sikap, pandangan hidup, kelakuan dan cara menghadapi tiap-tiap masalah. Itulah sebabnya, bagi orang-orang muslim diperlukan adanya pendidikan agama Islam, agar dapat mengarahkan fitrah mereka tersebut ke arah yang benar, sehingga mereka akan dapat mengabdi dan beribadah sesuai dengan ajaran Islam.
Sehubungan dengan hal tersebut Zakiyah Daradjat, menjelaskan bahwa : “pendidikan agama, dalam arti pembinaan kepribadian, sebenarnya telah mulai sejak si anak lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Keadaan orang tua, ketika si anak dalam kandungan, mempengaruhi jiwa anak yang akan lahir nanti, hal ini banyak terbukti dalam perawatan jiwa.[38]
Dengan demikian sikap orang tua terhadap agama, akan memantul kepada si anak. Jika sikap orang tua terhadap agama positif, maka akan tumbuhlah pada anak sikap menghargai agama, demikian pula sebaliknya, jika sikap orang tua terhadap agama itu negatif, acuh tak acuh, atau meremehkan, maka itu pulalah sikap yang akan tumbuh pada anak.
2.      Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam
Sebelum membahas tujuan Pendidikan Agama Islam, terlebih dahulu perlu diketahui tujuan Pendidikan Nasional. Karena pendidikan agama termasuk pendidikan Agama Islam merupakan subsistem dari pendidikan nasional, sehingga keduanya tak dapat dipisahkan.
Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, palaing tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a.       Tujuan dan tugas manusia di muka bumi, baik secara vertikal maupun horisontal.
b.      Sifat-sifat dasar manusia.
c.       Tuntutan masyarakat dan dinamika peradaban kemanusiaan.
d.      Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam.[39]
Dalam aspek ini, setidaknya ada 3 macam dimensi ideal Islam, yaitu : mengandung nilai yang berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di muka bumi, mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan yang baik, dan mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan di dunia dan akhirat.[40]
Tujuan pendidikan Islam dengan demikian merupakan penggambaran nilai-nilai Islami yang hendak diwujudkan dalam pribadi manusia didik pada akhir dari proses tersebut. Dengan istilah lain tujuan pendidikan Islam adalah perwujudan nilai-nilai Islami dalam pribadi manusia didik yang diikhtiarkan oleh pendidik muslim melalui proses yang terminal pada hasil (produk) yang berkepribadian Islam yang beriman, bertaqwa dan berilmu pengetahuan yang sanggup mengembangkan dirinya menjadi hamba Allah yang taat.[41]
Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, memuat tujuan pendidikan Nasional sebagai berikut :
“Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa negara dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rochani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaaan ”.[42]

Sedangkan tujuan Pendidikan Agama Islam dapat kita ketahu dari beberapa pendapat para ahli, diantaranya Zuhairini berpendapat bahwa :
“Tujuan umum Pendidikan Agama Islam adalah membimbing anak agar menjadi orang muslim sejati, beriman, teguh, beramal saleh, dan berakhlak mulia serta berguna bagi masyarakat, agama dan negara ”.[43]

Sedangkan menurut Ahmad D. Marimba, menjelaskan bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap orang Muslim dimana tujuan setiap muslim hidup di dunia adalah tercapainya kebahagiaan baik hidup di dunia maupun di akherat.[44] Hal tersebut adalah sesuai dengan firman Allah SWT, sebagai :
و منهم مّن يّقول ربّنا اتنا فى الدّنيا حسنه وّفى الاخرة حسنه وّقنا عذاب النار.(البقرة : 201)

Artinya : “Dan diantara mereka ada orang yang mendo’a : “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan hindarkanlah kami dari siksa neraka ”. (Q.S. Al-Baqarah : 201)[45]
Dari berbagai uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tujuan pendidikan agama Islam adalah membentuk insan yang sempurna, membawa manfaat bagi diri masyarakatnya serta memiliki keseimbangan kehidupan dunia dan akherat.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan Agama Islam mempunyai ruang lingkup yang luar dari pada pendidikan yang lain. Oleh karena itu pendidikan agama memerlukan persyaratan tehnis yang akan berbeda dengan pendidikan pada umumnya misalnya, guru agama tidak cukup mengetahui, memahami, meresapi dan menghayati soal-soal yang berkaitan dengan pengetahuan agama Islam, melainkan dituntut persyaratan lain yaitu guru agama harus mengamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupan       sehari-hari. Sehingga tercermin suri tauladan bagi anak didik.
Secara struktural, pendidikan Islam menuntut adanya struktur organisasi yang mengatur jalannya proses pendidikan, baik pada dimensi vertikal maupun horisontal. Sementara secara institusional, ia mengandung implikasi bahwa proses pendidikan yang berjalan hendaknya dapat memenuhi kebutuhan dan mengikuti perkembangan zaman yang terus berkembang. Untuk itu diperlukan kerjasama berbagai jalur dan jenis pendidikan, mulai dari sistem pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah.[46]
Bila dilihat secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari dua bentuk, yaitu :
a.       Alat untuk memelihara, memperluas, dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan nasional.
b.      Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan. Pada garis besarnya, upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan skill yang dimiliki, serta melatih tenaga-tenaga manusian (peserta didik) yang produktif dalam menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi yang demikian dinamis.[47]




[1]Ali al-Jumbulati & Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 22. 

[2]Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, PT Logos Publishing House, Jakarta, 1994, hal. 18-19
[3]Ibid. hal. 23.

[4]Al-Qur’an, Surat At-Taubah Ayat 108, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,  Departemen Agama, 1989, hal. 299.
[5]Ali al-Jumbulati & Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Op. Cit, hal. 24.

[6]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Lintasan Sejarah dan Perkembangan), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 131. 

[7]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,  Cet. Ke 2, PT. Ichtiar Baru Van Houve, Jakarta, 1994, hal. 169.
[8]Ali al-Jumbulati & Abdul Futuh at-Tuaanisi, Op. Cit, hal. 23.

[9]Ibid, hal. 24.

[10]Hasbullah, Op. Cit, hal. 132.

[11]Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1997, hal. 33.
[12]Wahjoetomo, Pendidikan Alternatif Masa Depan, Gema Insani Press, Jakarta, 1979. hal. 46-47.
[13]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit, hal. 176.

[14]Hasbullah, Op. Cit, hal. 137.

[15]Omar Amir Hoesin, Kultur Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1981, hal. 59.

[16]Hasbullah, Loc. Cit.
[17]Al-Qur’an, Surat Adz-Dzariyaat Ayat 56, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,  Departemen Agama, 1989, hal. 862.

[18]Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1996, hal. 250.
[19]Ibnu Hajar Asy Qolani, Bulughul Marom, Terjemah Moh. Fuddin Aladip, Toha Putra, Semarang, 1983, hal. 147.
[20]Harun Nasional, Islam Rasional, Mizan, Bandung 1996, hal. 251
[21]Hasbullah, Op. Cit, hal. 136. 
[22]Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989, Sistem Pendidikan Nasional Beserta Peraturan Pelaksanaannya, Media Wiyata, Semarang, 1990, hal. 2

[23]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al Ma’arif Bandung, 1964, hal 19

[24]Zuhairini, et.al, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1995,  hal. 51.
[25]Ahmad D. Marimba, Op. Cit., hal. 23.

[26]Burlian Somad, Beberapa Persoalan dalam Pendidikan Islam, PT. Al-Ma’arif, 1981, hal. 21.
[27]Zuhairini, et.al, Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam, Usaha Nasional, Surabaya, 1983, hal. 27.

[28]Syekh Muhammad An-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Mizan, Jakarta, 1984, hal. 10.
[29]Zuhairini, et.al, Op. Cit., hal. 21.

[30]Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, UUD 45 dengan Penjelasanya, Apollo, Surabaya, t.th. hal. 9.
[31]Zuhaerini, et.al, Op. Cit, hal. 21-23.

[32]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, 1989, hal. 24.  

[33]Ibid, hal. 9.  
[34]Al-Qur’an, Surat At-Tahrim Ayat 6, Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1992, hal. 951.

[35]Al-Qur’an, Surat Ali Imron Ayat 104, Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1992, hal. 93.

[36]Al-Hadits, Shohih Bukhari, Darul Kutub Al-Arabiyah, Kairo, Jilid I, hal. 130.
[37]Zuhaerini, et.al, Op. Cit, hal. 25.

[38]Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1991, hal. 130.
[39]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis), Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hal. 35.

[40]Ibid, hal. 36.

[41]H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis berdasarkan Pendekatan Interdisipliner) Bumi Aksara, Jakarta, 1994, hal. 24.
[42]Undang-Undang RI No. 2, Op. Cit., hal. 4.

[43]Zuhairini, et.al, Op. Cit., hal. 45.

[44]Ahmad D. Marimba, Op. Cit, hal. 22.

[45]Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah Ayat 201, Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1992, hal, hal. 49.
[46]Samsul Nizar, Op. Cit,  hal. 33.

[47]Ibid hal. 34

0 Response to "MASJID SEBAGAI PUSAT KEGIATAN PENDIDIKAN ISLAM"

Post a Comment