MASJID SEBAGAI PUSAT KEGIATAN
PENDIDIKAN ISLAM
A.
Masjid Sebagai Lembaga Pendidikan
Telah kita kenal bahwa rumah Dar al-Arqam bin al-Arqam
merupakan tempat pertama berkumpulnya kaum muslimin beserta Rasulullah SAW,
untuk belajar hukum-hukum dari dasar-dasar agama Islam. Sebenarnya rumah itu
merupakan lembaga pendidikan pertama atau madrasah yang pertama sekali dalam
Islam. Guru yang mengajar di lembaga tersebut tidak lain adalah Rosulullah, di
mana beliau sebagai penunjuk jalan kebenaran. Kemudian setelah itu, sebagai
lembaga pendidikan Islam, Masjid dapat dikatakan sebagai madrasah yang
berukuran besar yang pada permulaan sejarah Islam dan masa-masa selanjutnya
adalah tempat menghimpun kekuatan Islam baik dari segi fisik maupun mentalnya.[1]
Meskipun belakangan para pakar tentang Dunia Arab berpendapat
bahwa sekolah dasar yang disebut kuttub mulai dikenal pada masa awal Islam
untuk pendidikan anak-anak tentang al-qur’an dan isinya, Shalaby berpandangan
bahwa kuttub lebih terfokus pada pengajaran tulis baca dan seringkali
dilaksanakan oleh orang-orang kristen. Secara natural, pengajaran tentang
ajaran-ajaran Islam pada dasarnya berlangsung dalam forum-forum informal atau
pada kegiatan-kegiatan dakwah yang berlangsung di lembaga-lembaga Islam baru,
yaitu mesjid. Penyebaran Al-Qur’an berlangsung secara lisan, seperti halnya
dengan penyebaran puisi sebelum masa Islam. Sampai salinan-salinan Al-Qur’an
disebarkan secara luas, Al-Qur’an belum
menjadi bagian inti dari kurikulum pendidikan dasar.[2]
Pada abad-abad awal Islam, masjid muncul sebagai pusat
pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi remaja dan orang dewasa dalam
ilmu-ilmu agama. Muhammad sendiri mendirikan masjid pertama di sebuah desa di
perjalanan menuju Medinah, ketika hijrah dari Mekkah. Dalam merancang masjid
dia menggunakan pengetahuannya tentang biara kristen yang berfungsi ganda,
sebagai tempat ibadah dan pusat pendidikan. Karenanya ia mendirikan sebuah
bangunan yang akan berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat disuatu kota
atau lingkungan sebagai gedung pertemuan, rumah ibadah, dan lembaga pendidikan.
Sementara dalam pikiran kita orang Barat
terbayang masjid-masjid megah Istambul, Damaskus, dan kota-kota besar Timur
Tengah, bentuk paling umum dari masjid adalah bangunan yang lebih sederhana yang
hanya menampung jumlah jama’ah terbatas. Selama abad ke-10 saja, Bagdad konon
mempunyai 30.000 masjid. Masing-masing berfungsi sebagai pusat kegiatan bagi
masyarakat sekitarnya, mungkin hanya mempekerjakan seorang imam dan seorang
guru, bahkan terkadang tidak terbuka sepanjang hari.[3]
Menurut
sejarah Islam, masjid yang pertama-tama dibangun oleh Nabi adalah Masjid
At-Taqwa di Quba yang berjarak kurang lebih 2 mil dari kota Madinah ketika Nabi
berhijrah dari Mekah. Hal ini disebutkan di dalam kitab suci Al-Qur’an :
لمسجد اسّس على
التّقوى من اوّل يوم احقّ ان تقوم فيه فيه رجال يجبّون ان يتطهروا والله يحبّ
المطّهّرين. (التوبه : 108)
Artinya : “…Sesungguhnya masjid yang didirikan atas
dasar taqwa (masjid Quba) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu
bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan
diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”. (QS. At-Taubah : 108).[4]
Oleh karena itu, masjid dalam sejarah Islam adalah sebenarnya
merupakan madrasah pertama setelah rumah Dar al-Arqam bin al-Arqam. Di dalam
masjid itulah terkumpul berbagai macam persoalan pokok kaum muslimin sejak
mulai masalah politik, agama, kebudayaan sampai kemasyarakatan. Oleh karena itu
kaum muslimin berkumpul di dalam masjid hendaknya senantiasa memusyawarahkan dan
bertukar pendapat tentang segala masalah atau urusan yang berkaitan dengan
kehidupan sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan.[5]
1.
Pengertian Masjid
Secara harfiah masjid diartikan sebagai tempat duduk atau
tempat yang dipergunakan untuk ibadah. Masjid juga berarti “tempat shalat
jama’ah” atau tempat shalat untuk umum (orang banyak).[6]
Masjid (tempat sujud) merupakan suatu bangunan, gedung
atau suatu lingkungan yang berpagar sekelilingnya yang didirikan secara khusus
sebagai tempat beribadah kepada Allah SWT, khususnya mengerjakan shalat.
Istilah masjid berasal dari kata sajada, yasjudu, yang artinya
bersujud atau menyembah. Karena masjid adalah Baitullah (rumah Allah), maka
orang yang memasukinya disunahkan mengerjakan shalat Tahyatul masjid
(menghormati masjid) dua rakaat. Nabi SAW bersabda : “jika salah seorang kamu
memasuki masjid jangan dulu duduk sebelum mengerjakan shalat dua rakaat.” (H.R.
Abu Dawud).[7]
Masjid di samping untuk sembahyang, dipergunakan pula untuk
mendiskusikan dan mengkaji permasalahan dakwah Islamiyah pada permulaan
perkembangan Islam, yang terdiri dari kegiatan bimbingan dan penyuluhan serta
pemikiran secara mendalam tentang suatu permasalahan dan hal-hal lain yang
menyangkut siasat perang dalam menghadapi musuh-musuh Islam serta cara-cara
menghancurkan kubu pertahanan mereka. Dengan demikian masjid menjadi tempat
utama untuk bersembahyang dan merencanakan kegiatan dakwah Islamiyah, dimana
agama Islam dapat berdiri tegak sejak awal periode perkembangannya melalui
lembaga pendidikan Islam.[8]
Dalam tempat mulia ini (masjid) bertemulah segala jenis ilmu
pengetahuan yang bermacam ragamnya, di mana para pelajar mendiskusikan dan
mengkaji ilmu-ilmu tersebut bersama-sama dengan guru-guru besar mereka yang
terkenal pada zamannya. Maka dari itu masjid adalah sebagai tempat sembahyang,
madrasah, universitas, majelia nasional,
dan pusat-pusat pemberian fatwa serta tempat pengemblengan para pejuang dan
patriot bangsa dari zaman-zaman. Dengan demikian maka masjid berperan besar
dalam siklus kehidupan umat Islam, bahkan sampai sekarang masjid menjadi markas
yang penting untuk penyebaran Islam.[9]
Di samping itu juga masjid memegang peranan penting dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam, karena itu masjid atau surau merupakan sarana
yang pokok dan mutlak keperluannya bagi perkembangan masyarakat Islam.[10]
Di sini masjid dapat dianggap sebagai lembaga ilmu
pengetahuan yang tertua dalam Islam. Pembangunannya telah dimulai semenjak
zaman Nabi dan ia tersebar keseluruh negeri Arab bersamaan dengan bertebarannya
Islam diberbagai pelosok negeri tersebut, dalam masjid inilah dimulai
mengajarkan Al-Qur’an dan dasar-dasar agama Islam pada masa Rasulullah, di
samping tugas yang utama sebagai tempat untuk menunaikan sembahyang dan ibadah.[11]
Bahkan masjid juga menjadi pusat komando militer dan
gerakan-gerakan pembebasan dari penghambaan dan penindasan. Rasulullah SAW
menyusun strategi militer di masjid. Perang melawan kaum Nasrani (perang salib)
pertama kali berkobar dari masjid. Begitu pula Revolusi Syiria, Aljazair, Paskistan,
Afganistan, dan negara-negara Islam lainnya bergerak dari masjid. Dan belum
lepas dari ingatan, perjuangan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah juga
dikomandoi dari masjid. Demikianlah, masjid merupakan sentral kehidupan
masyarakat Islam.[12]
2.
Fungsi Masjid
Selain digunakan tempat untuk melakukan shalat lima waktu,
shalat Jum’at, shalat tarawih dan ibadah-ibadah lainnya, masjid juga digunakan
untuk kegaitan syiar Islam, pendidikan agama, pengajian dan kegiatan lainnya
yang bersifat sosial.
Fungsi masjid yang sesungguhnya dapat dirujuk pada sejarah
masjid paling awal, penggunaan masjid pada masa Nabi Muhammad SAW, al-Khulafaur
Rasyidin dan seterusnya. Pada masa itu masjid paling tidak mempunyai dua
fungsi, yaitu fungsi keagamaan dan fungsi sosial.
Fungsi masjid bukan hanya tempat sholat, tetapi juga lembaga
untuk mempererat hubungan dan ikatan jama’ah Islam yang baru tumbuh. Nabi
Muhammad SAW mempergunakan masjid sebagai tempat menjelaskan wahyu yang
diterimanya, memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan para sahabat tentang
berbagai masalah, memberi fatwa, mengajarkan agama Islam, membudayakan
musyawarah, menyelesaikan perkara-perkara dan perselisihan-perselisihan, tempat
mengatur dan membuat strategi militer, dan tempat menerima perutusan-perutusan
dari Semenanjung Arabia.[13]
Dewasa ini, fungsi masjid mulai menyempit, tidak sebagaimana
pada zaman Rasulullah SAW. Hal itu terjadi karena lembaga-lembaga sosial
keagamaan semakin memadat, sehingga masjid terkesan sebagai tempat ibadah
shalat saja. Pada mulanya, masjid merupakan sentral kebudayaan masyarakat
Islam, pusat organisasi kemasyarakatan, pusat pendidikan dan pusat pemukiman (community
center), serta sebagai tempat ibadah dan i’tikaf.
Fungsi masjid dapat lebih efektif bila didalamnya disediakan
fasilitas-fasilitas terjadinya proses belajar mengajar. Fasilitas yang
dimaksudkan adalah:
a. Perpustakaan,
yang menyediakan berbagai buku bacaan dengan berbagai disiplin keilmuan.
b. Ruang
diskusi, yang digunakan untuk berdiskusi sebelum atau sesudah shalat jama’ah.
Program inilah yang dikenal dengan istilah I’tikat ilmiyah. Langkah-langkah
praktis yang ditempuh dalam operasionalisasi adalah memberikan perencanaan
terlebih dahulu dengan menampilkan beberapa pokok persoalan yang akan dibahas.
Setelah berkumpul para audien (makmum) diskusi dapat dimulai pada ruang yang
telah tersedia. Kira-kira sepuluh sampai
lima belas menit sebelum shalat jama’ah, diskusi dihentikan, dan kemudian
beralih pada i’tikaf profetik (dzikir). Sebaliknya, jika diskusi ini dilakukan
usai shalat berjama’ah, i’tikaf ilmiyah. Agar tidak terlalu menjemukan diskusi
ini dilakukan dua atau tiga minggu sekali.[14]
c. Ruang
kuliah, baik digunakan untuk “training” (tadrib) remaja masjid atau juga untuk
“madrasah diniyah”, juga oleh Omar Amin Hoesin di istilahkan dengan “sekolah
masjid”.[15]
Kurikulum yang disampaikan khusus mengenai materi-materi keagamaan untuk
membantu pendidikan formal, yang proporsi materi keagamaannya lebih minim
dibandingkan dengan proporsi materi umum.[16]
Namun demikian, bentuk dan sifat fungsi masjid tersebut
sangat beragam dan bervariasi serta mengalami perkembangan dari waktu ke waktu
Secara garis besar fungsi masjid dapat dibedakan sebagai berikut :
a.
Sebagai tempat ibadah
Secara umum ibadah berarti bakti manusia kepada Allah SWT,
karena didikan dan dibangkitkan oleh akidah dan tauhid. Ibadah merupakan tugas
hidup manusia, sebagaimana Firman Allah
yang berbunyi :
وما خلقت الجنّ والا نس الاّ ليعبد ون.
Artinya : “Dan aku
tidak menciptakan jin dan manusia melaikan supaya mereka menyembahku”.(QS.
Adz-Dzariyaat : 56)[17]
Menyembah Allah SWT berarti memusatkan penyembahan kepada-Nya
semata-mata, tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah. Berangkat dari
itu fungsi masjid sebagai pusat peribadatan shalat dan ibadah shalat erat
hubungannya dengan kebutuhan spiritual manusia, maka sudah sewajarnya bahwa
salah satu fungsi masjid pada zaman modern sekarang ialah memupuk dan memenuhi
kebutuhan spiritual umat.[18]
Dalam sehari semalam umat Islam diwajibkan sholat lima waktu
(Isya’, Shubuh, Dhuhur, Ashar dan Maghrib). Di samping itu juga umat Islam
diperintahkan untuk mengerjakan shalat Jum’at yang merupakan kewajiban bagi muslim,
pria yang sudah dewasa. Cara mengerjakan shalat lima waktu itu boleh dikerjakan
sendiri-sendiri, tetapi lebih utama apabila dikerjakan secara berjama’ah di
masjid, yaitu dilaksanakan bersama-sama yang dipimpin oleh seorang imam.
Keutamaan sholat berjama’ah ini diungkapkan oleh hadits Nabi SAW, yang berbunyi
:
عن عبد الله بن
عمر رضى الله عنهما ان رسول الله صلعم قال : صلاة الجماعة افضل من صلاة الفرض بسبع
وعسرين درجة. (متفق عليه)[19]
Artinya
: “Dari Abdullah bin Umar r.a,
sesungguhnya Rosulullah telah bersabda, shalat jama’ah itu lebih utama dari
shalat sendiri-sendiri.
Dari dari hadits tersebut di atas dapat dilihat betapa tinggi
nilai dari shalat berjama’ah dibanding dengan shalat sendiri-sendiri, karena
dengan shalat berjama’ah umat Islam dapat berkumpul untuk mempererat tali
persaudaraan dan silaturrahmi.
Salah satu tujuan utama dari agama Islam ialah membina
manusia yang berakhlak baik dan berbudi pekerti luhur. Pembinaan akhlak mulia
dan budi pekerti luhur ini erat hubungannya dengan ibadah dalam Islam, terutama
ibadah shalat.
Dengan demikian masjid sebagai pusat kegiatan shalat yang
erat hubungannya dengan pembinaan akhlak yang mulia mempunyai peranan yang
besar. Dengan kata lain, fungsi penting dari masjid pada zaman pembangunan
nasional sekarang ialah pembinaan budi pekerti luhur bagi masyarakat
sekitarnya. Salah satu jalan barangkali ialah dengan memperbanyak pembicaraan
soal-soal pembinaan spiritual, umpamanya bimbingan kerohanian, ceramah, diskusi
dan sebagainya, yang berkaitan dengan persoalan keagamaan. Ini perlu mendapat
perhatian dan pemikiran serta penelitian lebih lanjut.[20]
b.
Sebagai tempat pendidikan serta
kebudayaan
Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.
Pendidikan di sini adalah pendidikan Islam yang merupakan
pewarisan dan perkembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman ajaran
Islam sebagai yang termaktub dalam Al-Qur’an dan terjabar dalam sunnah Rasul,
yang dimaksudkan adalah dalam rangka terbentuknya kepribadian utama menurut
ukuran-ukuran Islam. Dengan demikian ciri yang membedakan antara pendidikan
Islam dengan yang lain adalah pada penggunaan ajaran Islam sebagai pedoman
dalam proses pewarisan dan pengembangan budaya umat manusia tersebut.
Sama halnya dengan peradaban Islam, maka demikian pula halnya
pendidikan Islam, ia merupakan satu kebulatan dari saling pengaruh mempengaruhi
diantara kebudayaan dari bermacam-macam bangsa. Kebudayaan-kebudayaan tersebut
telah bersatu dan berassimilasi secara berangsur-angsur dibawah naungan
kerajaan Islam, dan dibawah pengaruh agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad
(Islam) dan berkembang melalui bahasa arab.
Sedangkan kebudayaan merupakan berbagai pola, bertingkah laku
mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan
oleh simbol-simbol yang menyusun pencapainnya secara tersendiri dari
kelompok-kelompok manusia, termasuk didalamnya perwujudan benda-benda materi.
Pusat esensi kebudayaan terdiri dari atas tradisi cita-cita atau paham, dan
terutama keterkaitan terhadap nilai-nilai.
Kebudayaan disini adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang
semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Jadi unsur-unsur kebudayaan itu meliputi semua kebudayaan di
dunia, baik yang kecil, bersahaja dan terisolasi, maupun yang besar, komplek,
dan dengan jaringan hubungan yang luas.
Dengan kebudayaan yang baik masyarakat nantinya akan menjadi
masyarakat yang baik pula, karena suatu kebudayaan sangat mempengaruhi
kehidupan manusia di muka bumi ini. Disamping masjid sebagai tempat ibadah,
masjid juga merupakan tempat pusat kebudayaan Islam.
Di samping masjid sebagai tempat ibadah, masjid juga
merupakan tempat pusat kebudayaan Islam. Dimana pola-pola tingkah laku manusia
diatur dan diciptakan yang sedemikian rupa sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Yang dimaksud dengan kebudayaan Islam adalah kebudayaan yang
diwarnai dan dijiwai oleh ajaran Islam (Al-Qur’an dan Sunnah), sehingga
tampillah corak-corak kebudayaan Islam. Hal ini juga merupakan suatu cara untuk
menyatakan bagi Islam yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari
segolongan manusia yang membentuk
lingkungan sosial, dalam suatu ruang dan waktu.
Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan Islam di Indonesia
terutama terletak dipundak para ulama’. Paling tidak ada dua cara yang
dilakukannya:
1). Membentuk
kader-kader ulama’ yang akan bertugas sebagai muballig ke daerah yang lebih
luas. Cara ini dilakukan dalam lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan
pesantren di Jawa, Dayak di Aceh, dan
Surau di Minangkabau.
2). Melalui
karya-karya yang tersebar dan di baca di berbagai tempat yang jauh.
Dengan demikian kebudayaan Islam adalah segala bentuk tingkah
laku muslim yang didasarkan pada pokok ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan As-
sunnah.
c.
Tempat penyelenggaran umat
Dalam sejarahnya, fungsi masjid sebagai tempat atau pusat
kegiatan dalam penyelenggaraan umat, mulai tampak setelah timbulnya
kerajaan-kerajaan Islam dan dibangunnya masjid-masjid jami’ oleh penguasa
diberbagai wilayah dengan tujuan tersebut. Pada zaman Sultan Agung Mataram
umpamanya, fungsi tersebut lebih tampak secara teratur dengan diangkatnya
pejabat-pejabat khusus yang bertugas untuk penyelenggaraan kepentingan umat.
Penghulu adalah kepala urusan penyelenggaraan agam Islam
dalam seluruh daerah kabupaten, baik dalam aspek ibadah, mu’amalat ataupun
dalam urusan munakahat. Dalam bidang jinayat (pidana) penghulu adalah bertindak
sebagai hakim (qadhi). Tugas-tugas penyelenggaraan urusan kehidupan umat
tersebut, semuanya diselenggarakan di masjid jami’.[21]
3.
Kegiatan Pendidikan Islam di
Masjid
Pada dasarnya masjid akan berdiri tegak manakala masjid
tersebut mempunyai banyak jama’ah, yang senantiasa melaksanakan ibadah di
masjid tersebut. Masjid tanpa jama’ah menandakan bahwa masjid tersebut kurang
begitu berfungsi sebagai pusat kegiatan jama’ah.
Salah satu kegiatan masjid yang paling penting adalah
pembinaan masyarakat (jama’ah). Melalui kegiatan ini, jama’ah masjid diaktifkan
dan ditingkatkan kualitas iman, ilmu dan ibadah seseorang, sehingga menjadi
muslim dan muslimah yang taat akan beribadah. Pembinaan-pembinaan itu tentunya
berlangsung tahap demi tahap, agar penanaman akidah terhadap mereka akan lebih
terasa perlahan-lahan.
B.
Pendidikan Islam
1.
Pengertian Pendidikan Islam
Pengertian Pendidikan Agama Islam
tidak pernah lepas dari pengertian pendidikan pada umumnya oleh karena itu
perlu dibahas terlebih dahulu tentang pendidikan secara umum.
Menurut Undang-Undang Republik
Indoesia nomor 2 tahun 19 tentang Sistem Pendidikan Nasional “Pendidikan adalah
usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran atau pelatihan bagi peranannya di masa yang akan datang ”.[22]
Ahmad D. Marimba dalam buku
“Pengantar Filsafat Pendidikan Islam” menjelaskan bahwa :
“Pendidikan
adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama”.[23]
Sedangkan menurut Zuhairini,
et.al, mengemukakan bahwa :
“Pendidikan adalah proses, dalam mana potensi-potensi ini (kemampuan,
kapasitas) manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan supaya disempurnakan
oleh kebiasaan-kebiasaan yang baik, oleh alat/ media yang disusun sedemikian
rupa dan dikelola oleh manusia untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri
mencapai tujuan yang ditetapkan”.[24]
Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah usaha bimbingan secara sadar untuk menyiapkan peserta didik
dalam rangka membina, melatih serta mengembangkan potensi-potensi diri menuju
kepribadian yang utama yang tampak dalam kebiasaannya, bertingkah laku dan
bersikap.
Setelah diketahui pengertian pendidikan secara umum, berikut
ini penulis kemukakan pengertian pendidikan agama Islam, diantaranya adalah
yang disampaikan oleh :
Ahmad D. Marimba menjelaskan bahwa,
Pendidikan Islam yaitu bimbingan jasmani-ruhani berdasarkan hukum-hukum agama
Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam. Dengan
pengertian lain, seringkali beliau menyatakan kepribadian utama dengan istilah
kepribadian muslim, yaitu kepribadian yagn memiliki nilai-nilai agama Islam,
memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dn
bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.[25]
Menurut Burlian Somad mengertikan
pendidikan Islam adalah pendidikan pendidikan yang bertujuan membentuk individu
menajdi makhlauk yang bercorak diri, berderajat tinggi menurut ukuran Allah dn
isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan itu, yaitu ajaran Allah. Secara
terperinci, beliau mengemukakan, “pendidikan itu disebut pendidikan Islam
apabila memiliki dua ciri khas, yaitu :
a.
Tujuan membentuk individu menjadi
bercorak diri tertinggi menurut ukuran Al-Qur’an.
b.
Isi pendidikannya adalah ajaran
Allah yang tercantum dengan lengkap di dalam Al-Qur’an yang pelaksanaannya di
dalam praktek hidup sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad
SAW.[26]
Menurut Zuhairini, et.al, juga
memberikan pengertian tentang pendidikan agama berarti usaha-usaha secara
sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup
sesuai dengan ajaran Islam.[27]
Menurut Syeh Muhammad An-Naquib Al-Attas mengartikan
pendidikan Islam ialah usaha yang dilakukan pendidik terhadap anak didik untuk
pengenalan tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan akan tempat
Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keberadaan.[28]
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan agama Islam adalah usaha bimbingan dan asuhan yang diberikan ke
dalam diri anak didik agar tumbuh dan berkembang dan memiliki kepribadian
muslim yang sejati.
2. Dasar
Pendidikan Agama Islam
Dasar dari pelaksanaan dari suatu
pendidikan adalah bagian yang sangat penting, sebab dapat menjamin atau
tidaknya pendidikan yang akan dilaksanakan. Dengan dasar tersebut, usaha-usaha
yang terlingkup dalam kegiatan pendidikan mempunyai sumber keteguhan, sumber
keyakinan yang tidak mudah untuk disimpangkan dan tidak mudah dipengaruhi dari
luar.
Adapun pelaksanaan pendidikan agama
Islam di Indonesia adalah memiliki landasan atau dasar yang cukup kuat, baik
landasan ideal, konstitusional, operasional maupun secara religius. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh
Zuhairini, et.al, bahwa : “Pelaksanaan Pendidikan Agama di Indonesia mempunyai
dasar-dasar yang cukup kuat. Dasar-dasar tersebut dapat ditinjau dari segi :
a.
Yuridis/ hukum
b.
Religius
c.
Sosial Psychologis” [29]
Ketiga dasar-dasar pendidikan agama
tersebut akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut :
a.
Segi Yuridis/ Hukum. Adapun dasar
dari segi yurudis atau hukum ada tiga macam yaitu :
1)
Dasar Ideal
Dasar ideal yaitu dasar dari falsafah negara Pancasila,
utamanya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini mengandung arti bahwa
seluruh bangsa Indonesia harus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa atau tegasnya
harus beragama. Dengan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Untuk merealisir hal tersebut, maka diperlukan adanya
pendidikan agama kepada anak-anak, karena tanpa adanya pendidikan agama, akan
sulit untuk mewujudkan sila pertama dari Pancasila tersebut.
2)
Dasar Struktural atau
Konstitusional
Dasar dari Undang-Undang Dasar 1945 dalam bab XI pasal 29
ayat 1 dan 2, yang berbunyi :
a) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b) Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan
beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.[30]
Bunyi UUD tersebut di
atas adalah mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia harus beragama. Dalam
arti orang-orang atheis dilarang hidup di negara Indonesia. Di samping itu
negara melindungi umat beragama, untuk menunaikan ajaran agamanya dan beribadah
menurut agamanya masing-masing. Karena itu agar supaya umat beragama tersebut
dapat menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing diperlukan
adanya pendidikan agama.
3)
Dasar Operasional
Dasar yang secara langsung mengatur pelaksanaan pendidikan
agama di sekolah-sekolah di Indonesia tersebut pada peraturan perundangan yang
pada pokoknya dinyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung
dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari sekolah dasar
sampai dengan Universitas-Universitas Negeri.[31]
Dalam Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
Bab. IX Pasal 39 ayat 2 misalnya dinyatakan bahwa isi kurikulum setiap jenis,
jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat : pendidikan Pancasila, pendidikan
agama, dan pendidikan kewarganegaraan.[32]
Juga dalam Bab IV Pasal 11 ayat 6 dinyatakan bahwa :
“Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik
untuk dapat menjelaskan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus
tentang ajaran agama yang bersangkutan.[33]
b. Dasar
Religius
Dasar religius dalam uraian ini adalah dasar-dasar yang bersumber
dari ajaran agama Islam yang tertera dalam ayat Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
Menurut ajaran Islam, bahwa melaksanakan pendidikan agama adalah merupakan perintah dari Tuhan dan
merupakan ibadah kepada-Nya.
Dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menunjukkan adanya
perintah tersebut, antara lain :
1) Dalam Surat
At-Tahrim ayat 6, yang berbunyi :
ياايها الدين
امنوا قواانفسكم واهليكم نارا.......
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka……”[34]
2) Dalam
Surat Ali Imron ayat 104, yang berbunyi :
ولتكن منكم امة يدعون الى الخيرويأ مرون
بالمعروف وينهو ن عن المنكر واولئك هم المفلحون.
Artinya : Hendaklah
di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh berbuat
baik dan mencegah dari perbuatan yang munkar…”[35]
Selain
ayat-ayat tersebut, juga disebutkan dalam hadits antara lain :
تركت
فيكم شيئين لن تضلوا بعد هما كتاب الله وسنتى. [36]
Artinya : “Aku telah meninggalkan kepadamu dua perkara, kamu semua
niscaya tidak akan tersesat sesudahnya, selama kamu berpegang teguh kepada
keduanya yaitu kitab Allah dan Sunnah-Ku
“(H.R. Bukhari)
c. Segi
Social Psychologis
Semua manusia dalam hidupnya di dunia ini, selalu membutuhkan
adanya suatu pegangan hidup yang disebut agama. Mereka merasakan dalam jiwanya
ada suatu perasaan yang mengakui adanya Dzat Yang Maha Kuasa, tempat mereka
berlindung dan tempat mereka memohon pertolongan-Nya.[37]
Hal ini disebabkan agama merupakan kebutuhan jiwa yang akan mengatur dan
mengendalikan sikap, pandangan hidup, kelakuan dan cara menghadapi tiap-tiap
masalah. Itulah sebabnya, bagi orang-orang muslim diperlukan adanya pendidikan
agama Islam, agar dapat mengarahkan fitrah mereka tersebut ke arah yang benar,
sehingga mereka akan dapat mengabdi dan beribadah sesuai dengan ajaran Islam.
Sehubungan dengan hal tersebut Zakiyah Daradjat, menjelaskan
bahwa : “pendidikan agama, dalam arti pembinaan kepribadian, sebenarnya telah
mulai sejak si anak lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Keadaan orang tua,
ketika si anak dalam kandungan, mempengaruhi jiwa anak yang akan lahir nanti,
hal ini banyak terbukti dalam perawatan jiwa.[38]
Dengan demikian sikap orang tua terhadap agama, akan memantul
kepada si anak. Jika sikap orang tua terhadap agama positif, maka akan
tumbuhlah pada anak sikap menghargai agama, demikian pula sebaliknya, jika
sikap orang tua terhadap agama itu negatif, acuh tak acuh, atau meremehkan,
maka itu pulalah sikap yang akan tumbuh pada anak.
2.
Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam
Sebelum membahas tujuan Pendidikan Agama Islam, terlebih
dahulu perlu diketahui tujuan Pendidikan Nasional. Karena pendidikan agama
termasuk pendidikan Agama Islam merupakan subsistem dari pendidikan nasional,
sehingga keduanya tak dapat dipisahkan.
Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, palaing tidak ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a.
Tujuan dan tugas manusia di muka
bumi, baik secara vertikal maupun horisontal.
b.
Sifat-sifat dasar manusia.
c.
Tuntutan masyarakat dan dinamika
peradaban kemanusiaan.
d.
Dimensi-dimensi kehidupan ideal
Islam.[39]
Dalam aspek ini, setidaknya ada 3 macam dimensi ideal Islam,
yaitu : mengandung nilai yang berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia
di muka bumi, mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk
meraih kehidupan yang baik, dan mengandung nilai yang dapat memadukan antara
kepentingan kehidupan di dunia dan akhirat.[40]
Tujuan pendidikan Islam dengan demikian merupakan
penggambaran nilai-nilai Islami yang hendak diwujudkan dalam pribadi manusia
didik pada akhir dari proses tersebut. Dengan istilah lain tujuan pendidikan
Islam adalah perwujudan nilai-nilai Islami dalam pribadi manusia didik yang
diikhtiarkan oleh pendidik muslim melalui proses yang terminal pada hasil
(produk) yang berkepribadian Islam yang beriman, bertaqwa dan berilmu
pengetahuan yang sanggup mengembangkan dirinya menjadi hamba Allah yang taat.[41]
Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, memuat tujuan pendidikan Nasional sebagai berikut :
“Pendidikan
Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa negara dan mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan,
kesehatan jasmani dan rochani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaaan ”.[42]
Sedangkan tujuan
Pendidikan Agama Islam dapat kita ketahu dari beberapa pendapat para ahli,
diantaranya Zuhairini berpendapat bahwa :
“Tujuan umum Pendidikan Agama Islam
adalah membimbing anak agar menjadi orang muslim sejati, beriman, teguh,
beramal saleh, dan berakhlak mulia serta berguna bagi masyarakat, agama dan
negara ”.[43]
Sedangkan menurut Ahmad D. Marimba,
menjelaskan bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam adalah identik dengan tujuan
hidup setiap orang Muslim dimana tujuan setiap muslim hidup di dunia adalah
tercapainya kebahagiaan baik hidup di dunia maupun di akherat.[44]
Hal tersebut adalah sesuai dengan firman Allah SWT, sebagai :
و منهم مّن يّقول ربّنا اتنا فى الدّنيا حسنه وّفى
الاخرة حسنه وّقنا عذاب النار.(البقرة : 201)
Artinya : “Dan diantara mereka
ada orang yang mendo’a : “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat dan hindarkanlah kami dari siksa neraka ”. (Q.S. Al-Baqarah : 201)[45]
Dari berbagai uraian di
atas dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tujuan pendidikan agama
Islam adalah membentuk insan yang sempurna, membawa manfaat bagi diri
masyarakatnya serta memiliki keseimbangan kehidupan dunia dan akherat.
Dengan demikian dapat
diketahui bahwa tujuan pendidikan Agama Islam mempunyai ruang lingkup yang luar
dari pada pendidikan yang lain. Oleh karena itu pendidikan agama memerlukan
persyaratan tehnis yang akan berbeda dengan pendidikan pada umumnya misalnya,
guru agama tidak cukup mengetahui, memahami, meresapi dan menghayati soal-soal
yang berkaitan dengan pengetahuan agama Islam, melainkan dituntut persyaratan
lain yaitu guru agama harus mengamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga tercermin suri tauladan
bagi anak didik.
Secara struktural,
pendidikan Islam menuntut adanya struktur organisasi yang mengatur jalannya
proses pendidikan, baik pada dimensi vertikal maupun horisontal. Sementara
secara institusional, ia mengandung implikasi bahwa proses pendidikan yang
berjalan hendaknya dapat memenuhi kebutuhan dan mengikuti perkembangan zaman
yang terus berkembang. Untuk itu diperlukan kerjasama berbagai jalur dan jenis
pendidikan, mulai dari sistem pendidikan sekolah maupun pendidikan luar
sekolah.[46]
Bila dilihat secara
operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari dua bentuk, yaitu :
a.
Alat untuk memelihara, memperluas,
dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial,
serta ide-ide masyarakat dan nasional.
b.
Alat untuk mengadakan perubahan,
inovasi, dan perkembangan. Pada garis besarnya, upaya ini dilakukan melalui
potensi ilmu pengetahuan dan skill yang dimiliki, serta melatih tenaga-tenaga
manusian (peserta didik) yang produktif dalam menemukan perimbangan perubahan
sosial dan ekonomi yang demikian dinamis.[47]
[1]Ali al-Jumbulati & Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Perbandingan
Pendidikan Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 22.
[2]Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam
Islam, PT Logos Publishing House, Jakarta, 1994, hal. 18-19
[3]Ibid. hal.
23.
[4]Al-Qur’an, Surat At-Taubah Ayat 108, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1989, hal. 299.
[5]Ali al-Jumbulati & Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Op.
Cit, hal. 24.
[6]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
(Lintasan Sejarah dan Perkembangan), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1996, hal. 131.
[7]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. Ke 2, PT. Ichtiar Baru Van Houve,
Jakarta, 1994, hal. 169.
[8]Ali al-Jumbulati & Abdul Futuh at-Tuaanisi, Op.
Cit, hal. 23.
[9]Ibid, hal.
24.
[10]Hasbullah, Op. Cit, hal. 132.
[11]Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Pendidikan Islam,
Bulan Bintang, Jakarta, 1997, hal. 33.
[12]Wahjoetomo, Pendidikan Alternatif Masa Depan,
Gema Insani Press, Jakarta, 1979. hal. 46-47.
[13]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit, hal.
176.
[14]Hasbullah, Op. Cit, hal. 137.
[15]Omar Amir Hoesin, Kultur Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1981, hal. 59.
[16]Hasbullah, Loc. Cit.
[17]Al-Qur’an, Surat Adz-Dzariyaat Ayat 56, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1989, hal. 862.
[18]Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1996,
hal. 250.
[19]Ibnu Hajar Asy Qolani, Bulughul Marom, Terjemah
Moh. Fuddin Aladip, Toha Putra, Semarang, 1983, hal. 147.
[20]Harun Nasional, Islam Rasional, Mizan, Bandung
1996, hal. 251
[21]Hasbullah, Op. Cit, hal. 136.
[22]Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989, Sistem Pendidikan Nasional Beserta Peraturan
Pelaksanaannya, Media Wiyata, Semarang, 1990, hal. 2
[23]Ahmad D. Marimba, Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam, Al Ma’arif Bandung, 1964, hal 19
[24]Zuhairini, et.al, Filsafat
Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hal. 51.
[25]Ahmad D. Marimba, Op.
Cit., hal. 23.
[26]Burlian Somad, Beberapa Persoalan dalam Pendidikan
Islam, PT. Al-Ma’arif, 1981, hal. 21.
[27]Zuhairini, et.al, Metodik
Khusus Pendidikan Agama Islam, Usaha Nasional, Surabaya, 1983, hal. 27.
[28]Syekh Muhammad An-Naquib Al-Attas, Konsep
Pendidikan dalam Islam, Mizan, Jakarta, 1984, hal. 10.
[29]Zuhairini, et.al, Op.
Cit., hal. 21.
[30]Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, UUD 45
dengan Penjelasanya, Apollo, Surabaya, t.th. hal. 9.
[31]Zuhaerini, et.al, Op. Cit, hal. 21-23.
[32]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, 1989, hal.
24.
[33]Ibid, hal. 9.
[34]Al-Qur’an, Surat At-Tahrim Ayat 6, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen
Agama, 1992, hal. 951.
[35]Al-Qur’an, Surat Ali Imron Ayat 104, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen
Agama, 1992, hal. 93.
[36]Al-Hadits, Shohih
Bukhari, Darul Kutub Al-Arabiyah, Kairo, Jilid I, hal. 130.
[37]Zuhaerini, et.al, Op. Cit, hal. 25.
[38]Zakiyah Daradjat, Ilmu
Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1991, hal. 130.
[39]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Pendekatan
Historis, Teoritis dan Praktis), Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hal. 35.
[40]Ibid, hal.
36.
[41]H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Suatu Tinjauan
Teoritis dan Praktis berdasarkan Pendekatan Interdisipliner) Bumi Aksara,
Jakarta, 1994, hal. 24.
[42]Undang-Undang RI No. 2, Op. Cit., hal. 4.
[43]Zuhairini, et.al, Op.
Cit., hal. 45.
[44]Ahmad D. Marimba, Op. Cit, hal. 22.
[45]Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah Ayat 201, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen
Agama, 1992, hal, hal. 49.
[46]Samsul Nizar, Op. Cit, hal. 33.
[47]Ibid hal. 34
0 Response to "MASJID SEBAGAI PUSAT KEGIATAN PENDIDIKAN ISLAM"
Post a Comment