METODE KISAH SEBAGAI SUATU METODE PENDIDIKAN ISLAM

METODE KISAH SEBAGAI SUATU METODE  
PENDIDIKAN ISLAM


 

A.  Pengertian Metode Kisah dalam Pendidikan Islam

Istilah metode dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan ﺔﻗﻴﺭﻂ bentuk jamaknya ﻕﺌﺍﺭﻂ yang berarti jalan atau cara yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan,[1] yaitu tujuan pendidikan anak dalam Islam. Sedangkan istilah metode dengan pengertian jalan atau cara dalam Al-Qur’an disebutkan sebagaimana firman Allah SWT :

ﻳﺄﻴﻬﺎﺍﻠﺬﻴﻥﺃﻣﻧﻮﺍﺍﺗﻗﻮﺍﺍﷲ وابتغوا إليه الوسيلة وجاهدوا فى سبيله لعلكم تفلحون.
( المائده ׃ ٣٥)
Artinya  :   “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah. Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah : 35).[2]

Dalam ayat yang lain Allah SWT juga berfirman :

﴾۱۱ : ﻦﺠﻟا﴿ .ﺍﺪﺪﻘ ﻖﺌ ﺍﺭﻁﺎﻧﻜ صلى ﻚﻠﺬﻥﻮﺪﺎﻧﻣﻥﻭﺣﻠﺼﻟﺍﺎﻧﻣﺎﻧﺃﻮ

Artinya  :  “Dan sesungguhnya diantara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adakah kami menempuh jalan yang berbeda-beda”. (QS. Al-Jin : 11).[3]

Pada ayat tersebut, pengertian metode digunakan dengan istilah ﻕﺌﺍﺭﻁ dan ﺔﻟﻴﺴﻮﻟﺃ yang berarti jalan. Secara garis besar, pengertian metode adalah suatu jalan atau cara yang ditempuh atau digunakan untuk menyampaikan suatu materi yang disajikan supaya materi tersebut dapat diterima oleh seseorang, sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan baik.
Sedangkan yang dimaksud dengan makna ﺔﻗﻴﺭﻂ dalam kitab At-Tarbiyah Al-Hadis dijelaskan :
إن الطريقة فى أوسع معانيها لاتعدوﺍ أن تكون إعدادا للخطوات ﺍﻟﻼزمة لعمل شيئ من الأﺷﻴﺎء. [4]

Artinya :    “Makna thariqah (metode) secara umum adalah sesuatu yang merupakan persiapan untuk mengerjakan segala sesuatu”.

Dalam kamus bahasa Inggris istilah metode berasal dari kata method yang berarti cara,[5] sedangkan menurut Walter : “A Method is a special form of procedure in any branch of mental capacity (metode adalah bentuk khusus dari prosedur di dalam beberapa cabang kecakapan mental)”.[6]
Dari segi asal usul katanya metode berasal dari dua kata, yaitu metha dan hodos yang berarti jalan atau cara. Dengan demikian metode dapat berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan.[7] Metode juga berarti cara dan prosedur melakukan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan secara efektif.[8] Khusus dalam istilah pendidikan menurut Jalaluddin bahwa : “Metode adalah suatu cara untuk menyampaikan materi pelajaran kepada anak didik (peserta didik)”.[9]
Jadi yang dimaksud dengan metode dalam hal ini adalah jalan atau cara yang dilalui untuk menyampaikan materi pelajaran kepada anak didik, sehingga tercapai tujuan pendidikan.
Dengan kata lain metode dapat diartikan sebagai jalan atau cara yang digunakan untuk menyampaikan dan menjelaskan materi pendidikan kepada anak didik, sehingga ia memperoleh pengetahuan atau wawasan, atau untuk mengembangkan sikap-sikap dan keterampilannya agar mampu mandiri dan bertanggungjawab sesuai dengan norma, yang penulis maksud ialah norma atau ajaran Islam.
Sedang kata kisah atau cerita berarti tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal (peristiwa, kejadian, dan sebagainya) dan karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, atau penderitaan orang, kejadian dan sebagainya (baik yang sungguh-sungguh terjadi maupun yang hanya rekaan belaka).[10]
Dalam bahasa arab, kata kisah atau cerita adalah ﺔﺻﻘ bentuk jamaknya adalah ﺺﺼﻘ, yang berarti kisah atau cerita,[11] sedangkan dalam bahasa Inggris adalah story, tale, dan narrative yang berarti pula cerita.[12]
Dengan demikian metode kisah mengandung arti suatu cara dalam menyampaikan materi pelajaran dengan menceritakan secara kronologis tentang bagaimana terjadinya sesuatu hal, yang menuturkan perbuatan, pengalaman atau penderitaan orang lain baik yang sebenarnya terjadi ataupun hanya rekaan saja. Metode kisah yang disampaikan merupakan salah satu metode pendidikan yang mashur dan terbaik, sebab kisah itu mampu menyentuh jiwa jika didasarkan oleh ketulusan hati yang mendalam.[13]
Metode kisah merupakan salah satu metode pendidikan. Pendidikan sendiri dalam Kamus Pendidikan diartikan “Pendidikan adalah upaya membantu peserta didik untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan, kecakapan, nilai, sikap dan tingkah laku yang berguna bagi hidupnya”.[14] Sedang menurut Marimba seperti yang dikutip Ahmad Tafsir bahwa: “Pendidikan ialah bimbingan atau pimpinan secara sadar  oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[15]
Jadi yang dimaksud pendidikan adalah upaya untuk membantu manusia dalam mengembangkan segala aspek kehidupan yang berguna bagi dirinya, dan proses tersebut berlangsung sedikit demi sedikit.
Sejalan dengan beberapa definisi di atas, para ahli pendidikan mendefinisikan metode pendidikan sebagai berikut :
1.      Hasan Langgulung mengartikan metode pendidikan adalah sebagai cara atau jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan.[16]
2.      Muhammad Athiyah Al-Abrasy yang dikutip Jalaluddin, ia mendefinisikan metode pendidikan sebagai jalan yang harus diikuti untuk memberi paham kepada murid-murid dalam segala macam pelajaran dan dalam segala mata pelajaran.[17]
3.      Jalaluddin mengartikan metode pendidikan adalah sebagai berikut :
a.    Metode pendidikan adalah cara yang dipergunakan untuk menjelaskan materi pendidikan kepada anak didik.
b.   Cara yang digunakan merupakan cara yang tepat guna untuk menyampaikan materi pendidikan tertentu dalam kondisi tertentu.
c.    Melalui cara itu diharapkan materi yang disampaikan mampu memberi kesan yang mendalam pada diri anak didik. [18]

Banyaknya metode pendidikan yang ditawarkan para ahli sebagaimana dijumpai dalam buku-buku kependidikan adalah lebih merupakan usaha untuk mempermudah pemahaman anak atas materi pelajaran yang disampaikan sesuai dengan perkembangan jiwanya. Dalam Al-Qur’an metode pendidikan  menurut harus bertolak dari pandangan yang tepat terhadap manusia, yang dapat dididik melalui pendekatan jasmani, jiwa dan akal pikiran.
Karena itu, Al-Qur’an menawarkan berbagai pendekatan dan metode dalam pendidikan, yakni dalam menyampaikan materi pendidikan. Metode tersebut yaitu metode teladan, metode kisah atau cerita, metode nasihat, metode pembiasaan, metode hukuman dan ganjaran, metode ceramah (khutbah) dan metode diskusi.[19] Dan yang akan dibahas lebih lanjut dalam bahasan skripsi ini adalah metode kisah yang pengertiannya telah terpaparkan sebagaimana di atas.

B.  Pelaksanaan Metode Kisah dalam Proses Pendidikan Islam

Dalam mendidik anak diperlukan suatu metode yang sesuai. Dalam hal ini guru sebelum menggunakan metode harus benar-benar mempertimbangkan berbagai hal yaitu baik materi, metode maupun tujuan pendidikan Islam, sehingga tujuan pendidikan Islam dapat terwujud dengan baik.

Metode kisah sebagai salah satu metode pilihan yang digunakan dalam proses pendidikan anak dalam Islam dengan harapan dapat untuk menyampaikan materi, sesuai dengan kemampuan dan perkembangan jiwa anak, sehingga dapat dicapai suatu tujuan yang dikehendaki tersebut.
Dalam pendidikan Islam bagi anak pelaksanaan metode kisah tidak akan terlepas dari pertimbangan sebagai berikut :

1.      Tingkat Perkembangan Anak
Pelajaran yang disampaikan kepada anak hendaknya menyesuaikan kemampuan anak, sebab hal ini menjadi bahan pertimbangan apakah anak dapat menangkap apa yang akan diceritakan atau tidak. Bila anak dapat menangkap apa yang disampaikan, salah satunya berarti materi yang disampaikan sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
Untuk menerapkan metode ini, diharapkan pendidik mengetahui tingkat perkembangan anak, yang dalam hal ini dapat diketahui melalui dari tingkat usia atau kemampuan anak. Dalam psikologi pendidikan dijelaskan tentang tingkat perkembangan dan beberapa bobot materi yang akan disampaikan, khususnya yang berkaitan dengan materi pendidikan agama.[20]
Adapun pemetaan tentang masa perkembangan yang terkait dengan bobot materi pendidikan agama yang disampaikan adalah :
a.       Masa 0 - 3 tahun
Sejak usia 0-3 tahun, pengetahuan anak tentang Tuhan baru diperoleh dari orang tua dan masa ini merupakan pendidikan awal dari orang tua atau awal pengenalan pendidikan agama kepada anak. Kisah atau cerita pada usia ini belum begitu dimengerti oleh anak, sebab anak belum dapat memahami secara penuh tentang apa yang disampaikan oleh orang tua.
b.      Masa 3 - 5 tahun
Konsep tentang Tuhan mulai diperoleh melalui kisah-kisah atau cerita-cerita atau pengalaman, karena anak dalam masa ini selalu ingin mengetahui segala sesuatu yang dilihatnya. Kisah yang sangat berperan tersebut harus dapat dimanfaatkan oleh orang tua untuk memupuk keimanan pada diri anak.
c.    Masa 6 - 12 tahun
Pada umur ini anak mulai berkembang inteligensinya secara pesat; anak ingin mengetahui segala sesuatu dan berfikir secara logis. Pada usia ini, kisah atau cerita yang disampaikan kepada anak harus terfokus dan sesuai dengan perkembangan inteligensinya.
d.   Masa 13 - 19 tahun
Masa ini merupakan masa pertumbuhan anak yang sangat cepat, sehingga kadang-kadang membuat anak bingung dalam mengambil sikap atau tingkah laku, dan dalam masa ini anak memerlukan perhatian yang lebih. Pada masa pertumbuhan anak sangat membutuhkan cerita yang terarah dan orang tua diharapkan selalu berada di sisinya pada saat ia mempunyai banyak problematika.[21]
Dari perkembangan di atas, masa penerapan metode kisah dapat dimulai ketika anak berumur tiga tahun ke atas, tatkala anak sebelumnya telah dikenalkan kepada Tuhan. Kemudian ke atasnya merupakan penanaman lanjut tentang Ketuhanan dan yang lainnya, seperti melaksanakan shalat, melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan lain sebagainya. Dari sini metode kisah sangat berperan dalam menumbuhkembangkan jiwa keagamaan anak, sehingga anak kelak dapat mengenal Tuhan dan ajaran-ajaran-Nya dengan baik dan benar.
2.   Tujuan yang Hendak Dicapai
Metode kisah atau cerita sangat efektif dalam pencapaian tujuan pendidikan Islam sebab dalam cerita memberikan kisah pelajaran kepada anak didik untuk senantiasa berfikir mengekspresikan sikap, serta terampil berperilaku sesuai dengan kandungan yang diharapkan oleh isi cerita atau kisah. Tujuan metode kisah pada aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik, yang perwujudannya sesuai dengan pesan-pesan yang disampaikan oleh Rasulullah yang di antaranya berkaitan dengan masalah akidah, ibadah dan masalah muamalah.[22]
Menurut Moeslichatoen manfaat metode kisah di antaranya sebagai berikut :
a.       Mengkomunikasikan nilai-nilai budaya.
b.      Mengkomunikasikan nilai-nilai sosial.
c.       Mengkomunikasikan nilai-nilai keagamaan.
d.      Menanamkan etos kerja, etos waktu, etos alam.
e.       Membantu mengembangkan fantasi anak.
f.       Membantu mengembangkan dimensi kognitif anak.
g.      Membantu mengembangkan dimensi bahasa anak.[23]
Sesuai dengan manfaat tersebut di atas, bercerita mempunyai tujuan yaitu untuk memberikan informasi, menanamkan nilai-nilai sosial, nilai-nilai moral, nilai-nilai keagamaan serta pemberian informasi tentang lingkungan fisik dan lingkungan sosial.[24] Dalam mencapai tujuan tersebut, guru senantiasa diharapkan dapat mengaplikasikan metode kisah sesuai dengan tujuan yang dikehendaki sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
3.   Materi yang Disampaikan
Materi atau bahan pelajaran yang harus disampaikan oleh guru kepada anak didik untuk mencapai suatu tujuan pendidikan yang diinginkan, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik harus sesuai dengan ajaran Islam. Guru harus pandai-pandai menyampaikan materi dengan baik sesuai dengan taraf perkembangan anak, meskipun dalam hal ini tidak terlepas pula  dari peran serta guru, orang tua, dan masyarakat, juga metode yang digunakan.
Agar materi pelajaran dapat diserap oleh anak, sehingga anak yang didambakan orang tua menjadi muslim yang baik, maka orang tua dan guru diharapkan tahu akan tahapan materi pendidikan anak.
Menurut Fatimah Heeren, yang dikutip oleh Ibnu Mustafa, dia membagi tahapan materi yang disampaikan dalam pendidikan agama anak menjadi empat tahap dengan skema sebagai berikut :

 





                                                  0         3         10                 15             20   
Tahap pertama, sejak anak lahir dari usia 0 sampai usia 20 tahun, ketika anak tumbuh dewasa dan akan mulai meninggalkan rumah, hendaknya dia dibiasakan tinggal dan hidup dengan ajaran yang sesuai dengan ajaran Islam.
Tahap kedua, adalah tahap cerita dan tradisi. Ketika usia anak menginjak 3 tahun, orang tua mulai membuka medan yaitu dengan daya khayal dan niat baik untuk mengungkapkan berbagai kisah atau cerita yang terdapat dalam Al-Qur’an, hadis, dan buku-buku tentang kisah atau cerita maupun yang lainnya. Dari sini merupakan awal pembentukan moral anak hingga anak tahu tentang apa yang harus dilakukannya.
Tahap ketiga, menginjak usia 10 tahun merupakan awal penerapan kewajiban beragama bagi anak. Adapun tanggung jawab orang tua adalah menanamkan sikap dan gemar menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Dan tahap keempat, usia 15 tahun mulailah ditanamkan pengertian jihad. Jihad yang dimaksud adalah dalam pengertian umum yaitu bekerja keras atau bersungguh-sungguh dalam melaksanakan suatu pekerjaan.[25]
Di antara materi yang perlu diterapkan dengan metode kisah adalah materi yang berkaitan dengan masalah akidah, misalnya larangan menyekutukan Allah, materi yang berkaitan dengan masalah ibadah, misalnya shalat, zakat dan puasa, kemudian materi yang berkaitan dengan masalah muamalah, misalnya larangan riba dan serta materi yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang ada dalam Al-Qur’an seperti kisah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan lain sebagainya, yang banyak memberikan teladan dan pelajaran hidup dalam rangka pengamalan ajaran agama.
Sedangkan mengenai materi pelajaran dan metode pengajaran yang sesuai merupakan faktor penting dalam keterbukaan dan kesediaan anak untuk belajar. Cukuplah bahwa penggunaan kata-kata sukar dan samar dalam mengajar anak didik membaca dan menulis atau menggunakan metode yang gersang dalam mengajar, akan memalingkan anak dari materi pelajaran, serta menimbulkan kebosanan dalam diri mereka. Lain halnya jika diajarkan kepada mereka kata-kata yang biasa dan tepat melalui penyampaian materi dengan metode kisah.[26]
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan menurut Zakiah Daradjat, dalam menyampaikan materi pelajaran kepada anak didik yaitu :
a.       Agar dalam bicara kepada anak didik dengan susunan kata yang sesuai dengan tingkat mereka, hendaknya diajuhkan penggunaan kata-kata yang samar, yang memerlukan penjelasan yang cukup sebelum disampaikan kepada anak didik.
b.      Pendidik menghubungkan topik pelajaran baru dan pengalaman-pengalamannya dengan apa yang telah telah dicapai anak didik sebelum pengalaman-pengalaman dan informasi-informasi.
c.       Hendaknya pendidik menonjolkan hubungan antara bermacam materi dan berbagai pengertian satu sama lain.
d.      Hendaknya pendidik menjaga agar menjadikan setiap pelajaran mengandung berbagai pengalaman dan kegiatan yang sesuai dengan bakat dan berbagai kepentingan anak didik.[27]

4.      Ketrampilan Guru
Sebagaimana tujuan di atas terutama dalam rangka memberikan pengalaman belajar dan untuk mencapai tujuan pengajaran, misalnya tentang pemberian informasi atau menanamkan nilai-nilai moral, nilai-nilai sosial dan nilai-nilai keagamaan, guru harus pandai-pandai mengaitkan materi yang telah dipilih. Tema tersebut harus ada kedekatannya dengan kehidupan anak dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Tema juga harus menarik dan memikat perhatian anak.
Guru dalam bercerita hendaknya mampu dan trampil menerapkan langkah-langkah sebagai berikut :
a.       Mengkomunikasikan tujuan dan materi dalam kegiatan bercerita, misalnya tujuan bercerita menanamkan nilai-nilai keagamaan, materi cerita tentang Nabi Yusuf.
b.      Mengatur tempat duduk anak dan menetapkan bahan atau alat bantu apa yang diperlukan.
c.       Merupakan pembukaan dalam bercerita, tugas guru adalah menggali pengalaman anak dalam kaitan dengan materi.
d.      Merupakan pengembangan cerita yang dituturkan guru, guru menyajikan fakta-fakta yang berkaitan dengan kehidupan anak.
e.       Setelah lancar bercerita, maka guru menetapkan rancangan cara-cara bertutur yang dapat menggetarkan perasaan anak dengan cara memberikan gambaran tentang materi yang disampaikan.
f.       Merupakan langkah penutup, kemudian guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan denga materi tersebut. Dan pada langkah ini dapat diterapkan metode lain sesuai dengan apa yang menjadi kemampuan guru.[28]
Bercerita dalam proses menerapkan metode kisah, keterampilan guru sangat berpengaruh terhadap kemauan anak dalam mendengarkan isi cerita atau kisah. Guru harus dapat mamanfaatkan segala sesuatu yang ada, misalnya dengan menggunakan anggota badan dalam mengekspresikan sebuah kisah ataupun dengan yang lainnya sesuai dengan keterampilan yang dimiliki seorang guru, sehingga pesan dari isi cerita atau kisah dapat dipahami oleh nalar anak didik, dan dapat menyentuh perasannya.
5.   Sarana yang Dipakai
Dalam bercerita, maka sarana yang dipakai seharusnya disesuaikan dengan bentuk atau kisah cerita yang dituturkan guru. Pada dasarnya ada tiga sarana yang bisa digunakan guru dalam hal ini yaitu bercerita dengan menggunakan ilustrasi gambar, bercerita dengan membaca buku atau majalah dan bercerita dengan menggunakan papan flannel.
Dalam menggunakan sarana tersebut guru harus menyesuaikan sarana yang dipakai dengan materi yang disajikan, misalnya ketika bercerita tentang Nabi Yusuf AS, maka sarana yang digunakan adalah buku atau majalah yang berkaitan langsung dengan kisah tersebut.[29]
Jadi jelaslah bahwa sarana yang dipakai dalam penerapan metode kisah yang didasarkan pada nilai-nilai agama yang terkandung dalam Al-Qur’an, hadis dan buku kisah atau cerita Keislaman sangatlah penting dalam pembentukan pribadi dan memperkuat pendirian anak.
Setelah mempertimbangkan kelima aspek di atas yaitu tingkat perkembangan anak, tujuan yang hendak dicapai, materi yang disampaikan, ketrampilan guru, sarana yang dipakai dalam rangka menerapkan metode kisah dalam pendidikan anak, maka terapan kongkritnya dari proses pembelajaran dalam menyajikan bahan kisah dengan cara bertatap muka di hadapan anak-anak, adalah sebagai berikut :
1.      Memberikan pengantar pengajaran
Sebelum guru berkisah, perlu menyusun rencana fokus yang maksudnya untuk menarik perhatian anak-anak agar menyimak bahan kisahan. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti mengenalkan tokoh-tokoh. Namun yang terpenting yaitu melakukan dialog dengan pertanyaan dan lebih baik apabila ada media audio visual, seperti film, gambar-gambar, slide dan sejenisnya.
2.      Menyajikan bahan pengajaran
Kisah yang disajikan oleh guru harus dipilih secara matang berdasarkan pada bahan pelajaran. Kisah tersebut dapat berbentuk episode atau secara kronologis dari mulai awal sampai akhir dari sebuah kisah. Yang penting nantinya dalam penerapan kisah tersebut benar-benar dapat menyentuh kebutuhan kognitif, afektif dan psikomotorik anak. Untuk menciptakan komunikasi, cara-cara pengajaran kisah dapat diurut seperti menyuruh anak membaca teks kisah atau membaca ayat-ayat Al-Qur'an, kemudian guru menjelaskan isi kisah dari ayat dibaca dan guru mendialogkannya dengan anak-anak.
  1. Menutup acara berkisah
Dalam menutup acara berkisah, guru senantiasa menyampaikan pujian dan terima kasih kepada anak-anak dan menghendaki untuk berkisah pada waktu lain yang ditentukan. Apabila hubungan berkisah tersebut ada hubungannya dengan pemberian penilaian, maka untuk mengukur tingkat pemahaman anak ajukanlah beberapa pertanyaan terhadap bahan kisah yang telah disajikan tersebut.
Dalam setiap penyajian pengajaran kisah ini, guru harus senantiasa melibatkan anak mulai sejak awal berkisah hingga berakhirnya kegiatan tersebut. Adapun cara yang lebih mudah adalah dengan menyapa atau menanyakan sesuatu kepada anak-anak, sebagai contoh tatkala guru berkisah tentang Nabi Yusuf, maka guru bertanyalah kepada anak-anak, siapakah yang mempunyai nama sama dengan Yusuf ?, siapakah yang mempunyai saudara, kakak ataupun adik namanya sama dengan Yusuf ?, bagaimana perasaan anak-anak bila diperlakukan seperti halnya Nabi Yusuf ?
Kemudian hubungkanlah pertanyaan dengan pengalaman Yusuf, misalnya tentang mimpinya, tanyakanlah apakah anak-anak juga pernah bermimpi ?, mintalah anak-anak untuk bercerita tentang mimpinya ?, tanyakanlah apa mimpi Yusuf pada waktu masih kecil itu ?, adakah di antara anak-anak yang pernah bermimpi serupa Yusuf ?, akhirilah dengan sebuah nilai, misalnya tentang mimpi itu. Mimpi Yusuf adalah sebuah wahyu sebagai ciri pokok Kenabian, sedangkan mimpi kita adalah bukan sebuah wahyu.[30]
Demikianlah aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan guru dalam kegiatan berkisah yang meliputi pemberian pengantar, menyajikan dan menutupnya. Metode kisah atau bercerita yang diterapkan guru dalam praktek pembelajaran sangat berpengaruh terhadap kemauan anak dalam mendengarkan isi cerita atau kisah yang disajikan. Guru harus dapat memanfaatkan dan menerapkan  semaksimal mungkin aspek-aspek yang ada hubungannya dengan kegiatan berkisah dengan sebaik mungkin. 

C.  Urgensi Metode Kisah Dalam Mencapai Tujuan Pendidikan Islam

Pentingnya metode kisah jika dibandingkan metode lain adalah selain kemampuannya menyentuh aspek kognitif, juga efektif menyentuh aspek afektif, hal tersebut berpotensi membentuk aspek psikomotorik, yakni mengajak anak untuk berperilaku sesuai dengan apa yang dikisahkan, meniru perilaku baik dari pelaku yang dikisahkan setelah memahami dan menghayati isi kisah yang dipaparkan, kemudian dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Metode kisah merupakan salah satu metode pendidikan Islam yang diharapkan dapat mempengaruhi anak, terutama dalam penyucian, pengukuhan dan pembersihan jiwa yang merupakan tujuan utama dari pendidikan Islam. Dengan terealisasinya tujuan tersebut, maka masyarakat akan berperilaku luhur dan menjauhi segala kemungkaran serta perbuatan keji, sehingga tidak ada seorangpun yang berbuat aniaya terhadap orang tua dan seluruh anggota masyarakat. Mereka akan sama-sama menjalankan perintah Allah, berbuat makruf, menegakkan keadilan dan melakukan perbaikan serta kebajikan. Makna-makna tersebut tercantum dalam firman Allah SWT :
انّ الله يأ مر بالعدل والاحسان وايتائ ذى لقربىﺭﻛﻧﻣﻟﺍﻮ ﺈﺷﺤﻔﻟﺍ ﻥﻋﻰﻬﻧﻳﻮ والبغي يعظكم لعلّكم تذكّرون.(النحل : 90)                                                                          

Artinya  :   “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (Q.S. An Nahl : 90).[31]

Penjelasan di atas merupakan urgensi metode kisah secara umum. Secara khusus metode kisah dalam upaya mencapai tujuan pendidikan Islam, yaitu tujuan kognitif, afektif dan psikomorik, di antaranya adalah sebagai berikut :
1.   Supaya anak tidak menyekutukan Allah SWT.
Penanaman rasa keimanan sejak usia dini akan menjadikan anak mempunyai ajaran tauhid yang menjadi landasan dan pondasi bagi kepribadian mereka.[32] Pendidikan yang utama dan pertama untuk dilakukan oleh seorang pendidik dan orang tua adalah pembentukan keyakinan kepada Allah SWT yang diharapkan dapat melandasi sikap, tingkah laku dan kepribadian anak.[33]
 Rasa keimanan yang ditanamkan oleh orang tua pada anak sejak usia dini akan menjadikan anak berpegang teguh pada suatu keyakinan, karena dengan keyakinan tersebut anak tidak akan mudah goyah bila ada yang mempengaruhi dan mengganggunya untuk melakukan perbuatan syirik atau menyekutukan Allah. Sebagaimana Allah SWT berfirman :
وإذ قال لقمن لابنه وهو يعظه يبنيّ لاتشرك بالله قلى إن الشرك لظلم عظيم. ( لقمن : ١٣)

Artinya  :         “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kedhaliman yang besar”. (Q.S. Luqman : 13).[34]

Akidah dalam Islam meliputi keyakinan dalam hati tentang Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah, ucapan dengan lisan dalam bentuk dua kalimah syahadah, yaitu menyatakan tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, dan perbuatan yang dibuktikan dengan amal saleh. Akidah yang demikian itu mengandung arti bahwa dari orang yang beriman tidak ada rasa dalam hati atau ucapan di mulut dan perbuatan melainkan secara keseluruhan menggambarkan iman kepada Allah, yaitu tidak ada niat, ucapan, perbuatan yang dilakukan oleh orang beriman kecuali sejalan dengan kehendak Allah.[35]
Penanaman kepercayaan kepada Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan, akan menjadikan anak merasa tenang dan tetap berpijak pada ajaran Islam, sehingga anak dapat menjalani kehidupan dengan mantap, tenang dan bahagia, karena anak akan selalu mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
2.      Supaya anak bersyukur kepada Allah SWT.
Bersyukur adalah berterima kasih atas segala sesuatu yang telah diberikan oleh Allah, kemudian digunakan untuk beribadah kepada-Nya. Bersyukur kepada Allah SWT akan menambah kebaikan dan rizki, tetapi sebaliknya bila seseorang kufur terhadap nikmat yang diberikan-Nya, maka Allah akan menyiksanya. Allah berfirman :
ﻮﺇﺫﺗﺄﺫﻥ ﺭﺒﻛﻢ ﻮ لئن شكرتم لأزيد نكم ولئن كفرتم إن عذابي لشد يد.
(إبراهيم : ٧)

Artinya  : “Dan ketika Tuhanmu menganugerahkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kamu kufur sesungguhnya adzab-Ku amat pedih”. (Q.S. Ibrahim : 7).[36]

Dari ajaran bersyukur kepada Allah SWT, orang tua wajib mengenalkan kepada anaknya siapakah Allah itu dan menjunjung-Nya sampai ajaran tauhid, yakni mengesakan Allah dengan segala macam keyakinan yang bersangkut paut dengan tauhid.
Tujuan dari ajaran bersyukur adalah agar anak mengenal dan mengerti siapa yang berjasa pada dirinya. Bila anak telah mengenal dan mengetahui bahwa yang berjasa itu adalah Dzat Yang Maha Pemurah yaitu Allah, maka anak itu akan bersyukur kepada Allah dengan mengesakan dan beribadah sesuai dengan ajaran agama Allah.
3.      Supaya anak mempunyai keteguhan iman atau iman yang kuat.
Pendidikan Islam yang disampaikan dengan metode kisah yang ditanamkan sejak anak masih kecil, maka mendorong anak mempunyai rasa keyakinan yang kuat dan kokoh. Dengan landasan dan pondasi yang kuat dan kokoh, anak akan mempunyai rasa optimis dalam menjalankan kehidupannya karena jiwanya telah menyatu dengan tujuan hidupnya yaitu melakukan segala sesuatu hanya karena Allah. Dengan demikian maka penanaman rasa keimanan sejak kecil akan membentuk seseorang mempunyai iman yang kuat dan tidak mudah digoyahkan. Iman yang kuat akan berpeluang menumbuhkan perilaku yang sesuai dengan ajaran Allah SWT.
4.      Supaya anak mempunyai jiwa sosial yang tinggi.
Dengan kisah-kisah atau cerita-cerita yang benar disampaikan kepada anak sejak kecil, maka anak akan terbiasa menjalankan adab sosial yang baik, mempunyai dasar-dasar psikis yang mulia yang bersumber pada akidah Islamiah yang abadi dan perasaan keimanan yang mendalam, dan  di masyarakat nanti akan dapat bergaul dan beradab dengan baik, memiliki keseimbangan akal yang matang dan tindakan bijaksana.
Seorang pendidik, baik orang tua maupun guru, harus mengajarkan dan menanamkan jiwa sosial kepada anak sejak usia dini. Dengan menanamkan akidah dan akhlak yang baik pada diri anak sejak kecil, maka pada usia dewasa nanti ia akan mampu bergaul dengan orang lain di masyarakat dengan perangai yang baik dan lemah lembut, mencintai orang lain, tidak sombong, bertoleransi tinggi kepada temannya, suka menolong dan berakhlak mulia.
Agar fungsi di atas dapat terealisasikan dengan baik, tentunya guru harus memahami anak dan tingkat kecerdasannya. Dalam sebuah pendapat diungkapkan bahwa :
“Apabila anda hendak memupuk sikap taat ataupun yang lainnya, hendak terlebih dahulu anda mempelajari dunia anak dan pahamilah alam pikirannya. Apabila anda berjanji kepadanya, maka tunaikanlah dan sekiranya janji itu tidak dapat anda tunaikan maka jelaskanlah apa penyebabnya agar anak tidak hilang kepercayaannya terhadap anda”.[37]

Pelajaran yang hendak disampaikan kepada anak hendaknya menyesuaikan kemampuan anak, sebab hal ini menjadi bahan pertimbangan apakah anak dapat menangkap apa yang akan diceritakan atau tidak. Bila anak dapat menerima apa yang disampaikan berarti tujuan pendidikan berpeluang besar akan dapat tercapai dan metode yang kita gunakan benar-benar berfungsi.







[1]Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Pentafsir Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hlm. 236

[2]Al-Qur’an, Surat Al-Maidah Ayat 35, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag. RI, 1987, hlm. 165

[3]Al-Qur’an, Surat Al-Jin Ayat 11, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag. RI, 1987, hlm. 984.
[4]Shalih Abdul Aziz, At-Tarbiyah Al-Hadis, Darul Ma’arif, Mesir, t.th., hlm. 196

[5]John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1983, hlm. 135.

[6]Walter A. Friedlander, Concepts And Methods of Social Work, Prentice Hall, New Jersey, Inc, t.th., hlm. 87.

[7]Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hlm. 91.

[8]St. Vembrianto, Kamus Pendidikan, Grasindo, Jakarta, 1994,  hlm. 37.
[9]Jalaluddin, dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangannya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 52

[10]Anton M. Moeliono, et.al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993,  hlm. 165

[11]Mahmud Yunus, Op.cit., hlm. 343.

[12]John M. Echols dan Hasan Shadily, Op.cit., hlm. 135.
[13]Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hlm. 160

[14]St. Vembrianto, et.al., Op.cit., hlm. 47.

[15]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung, t.th. hlm. 24

 [16]Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi, Filsafat Dan Pendidikan, Alhusna Zikra, Jakarta, 1989, hlm. 39.

 [17]Jalaluddin, Op.cit., hlm. 53.
[18]Ibid., hlm. 53.

[19]Abuddin Nata, Op.cit., hlm. 94.
[20]Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan; Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hlm. 177-180.
[21]Loc.cit.

[22]Ali Syawakh Ishaq, Metodologi Pendidikan Al-Qur’an dan Sunnah, Terj. Asmu’i Saliha Zakhsyari, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1995, hlm. 89.
[23]Moeslichatoen, Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hlm. 26-27.

[24]Ibid., hlm. 171.
[25]Ibnu Musthafa, Keluarga Islam Menyongsong Abad 21, Al-Bayan, Bandung, 1993, hlm. 101.
[26]Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, Bulan Bintang, Jakarta, 1982, hlm. 25.                 

[27]Ibid, hlm. 25.
 [28]Moeslichatoen, Op.cit., hlm. 179 – 180.
[29]Ibid, hlm. 177.
[30]Ibid. hlm. 121-122.
 [31]Al-Qur’an, Surat An-Nahl Ayat 90, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag. RI, 1987, hlm. 415.

 [32]Harun Al-Rasyid, et,al., Rukun Iman, Proyek Penerangan, Bimbingan dan Dakwah/Khutbah Agama Islam, Jakarta, 1983, hlm. 1.

 [33]Zuhairini, et.al., Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1997, hlm. 156.

 [34]Al-Qur’an, Surat Luqman Ayat 13, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag. RI, 1987, hlm. 654.
 [35]Tadjab, et.al., Dimensi-dimensi Studi Islam, Karya Abditama, Surabaya,  1994, hlm. 242

 [36]Al-Qur’an, Surat Ibrahim Ayat 7, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag. RI, 1987, hlm. 380.
  [37]Muhammad Ali Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, Diponegoro, Bandung, 1993, hlm. 81.

0 Response to "METODE KISAH SEBAGAI SUATU METODE PENDIDIKAN ISLAM"

Post a Comment