TINJAUAN PSIKOLOGIS TENTANG ANAK PADA USIA DINI
A. Fase-Fase Pertumbuhan Anak Usia Dini
Anak adalah sosok individu unik yang mempunyai
eksistensi, yang memiliki jiwa sendiri, serta memiliki hak untuk tumbuh
berkembang secara optimal sesuai dengan kekhasanan iramanya masing-masing.
Perkembangan tersebut terjadi secara teratur mengikuti pola atau arah tertentu.
Setiap tahap perkembangan merupakan hasil perkembangan dari tahap perkembangan
selanjutnya. Prinsip tersebut merupakan tahap-tapahan atau fase-fase dalam
perkembangan yang mempunyai arti sebagai penahapan atau pembabakan rentang
perjalanan kehidupan individu yang diwarnai ciri-ciri khusus atau pola tingkah
laku tertentu.[1]
Dalam tahap perkembangan, selain tumbuh secara fisik,
anak-anak juga berkembang secara kejiwaan. Ada fase-fase perkembangan yang
dilaluinya dan anak menampilkan berbagai prilaku sesuai dengan ciri-ciri masing-masing fase
pekembangan tersebut. Selain itu dalam setiap perkembangan, potensi anak akan
semakin tumbuh dan akan memberikan kontribusi yang berharga bagi peradaban.[2]
Adapun fase-fase perkembangan yang perlu diketahui
sehubungan dengan masa-masa penting pertumbuhan kepribadian anak, yaitu; masa
bayi dan masa awal kanak-kanak.
1.
Masa Bayi
Masa bayi adalah, dasar periode kehidupan yang
sesungguhnya, pada masa inilah pola prilaku sikap dan ekspresi emosi banyak
terbentuk. Ciri-ciri perkembangan pada masa tersebut, meliptui; perkembangan
fisik, intelegensi, emosi, bahasa, bermain, pengertian keperibadan, moral dan
kesadaran beragama.[3]
Berkaitan dengan ciri-ciri perkebangan tersebut, maka mengapa dasar-dasar yang
diletakkan pada masa banyi itu penting. Secara ilmiah, pentingnya pendidikan
bayi pertama kali muncul dari karya Frecid, yang berpendapat bahwa penyesuaian
diri yang kurang baik dimasa dewasa, berpangkal pada pengalaman pada masa
kanak-kanak yang kurang baik. Ericson juga berpendapat bahwa “masa kanak-kanak
merupakan kancah manusia untuk memulai fungsinya sebagai manusia, tempat dimana
kebaikan dan keburukan kita berkembang dengan lambat tetapi pasti dan tempat
dimana sifat-sifat itu menjadi terasa”. [4]
Sedangkan menurut Elizabeth B. Hurlock, setidaknya,
ada empat alasan yang menyebabkan mengapa dasar-dasar yang diletakkan pada masa
bayi itu penting. Pertama, berlawanan dengan tradisi, sifat-sifat yang
buruk tidak berkurang dengan bertambahnya usia anak, sebaliknya pola-pola yang
terbentuk pada permulaan kehidupan cenderung mapan, apakah itu sifat yang baik
atau buruk, berbahaya atau bermanfaat. Kedua, kalau pola prilaku yang kurang
baik atau kepercayaan dan sifat yang buruk mulai berkembang, maka semakin cepat
hal-hal itu diperbaiki, akan semakin mudah bagi anak. Ketiga, karena
dasar-dasar awal cepat berkembang menjadi kebiasaan melalui pengulangan, maka
dasar-dasar itu akan selamanya mempengaruhi pribadi dan sosial. Keempat, karena
faktor belajar dan pengalaman memainkan peran yang penting dalam perkembangan,
hal itu dapat diarahkan dan dikendalikan sehinggga perkembangannya sejajar
dengan jalur yang memungkinkan terjadinya penyesuaian pribadi dan sosial yang
baik.[5]
Sedangkan ciri-ciri yang menonjol dari fase
perkembangan masa bayi yang berlangsung dari minggu kedua sampai tahun
kehidupan kedua adalah, bahwa “periode tersebut merupakan tahun-tahun dasar,
masa pertumbuhan dan perubahan yang pesat dan berkurangnya ketergantungan, masa
meningkatnya individualitas dan permulaan sosialisasi, masa penggolongan peran
seks, dan kreativitas; dan masa yang menarik sekaligus berbahaya”.[6]
2.
Awal Masa Kanak-kanak
Awal masa kanak-kanak yang berlangsung dari 2-6 tahun,
dimana pada masa tersebut anak sudah memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai
pria atau wanita dan mampu mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya
(mencelakan diri).[7] Pada
masa tersebut, oleh orang tua disebut sebagai usia yang problematis,
menyulitkan atau mainan. Hal ini disebabkan karena belum cukupnya pengalaman
seorang ibu (terutama pada anak pertama) dalam merawat anak, masa bayi sering
membawa masalah bagi orang tua dan umumnya berkisar pada masalah perawatan
fisik bayi. Dengan datangnya masa kanak-kanak, sering terjadi masalah perilaku
yang lebih menyulitkan dari pada masalah perawatan fisik bayi. Ketergantungan
bayi yang sangat mengundang kasih sayang para orang tua dan hak-haknya. [8]
Sekarang berubah, anak tidak mau ditolong dan
cenderung menolak ungkapan kasih sayang mereka. Disamping itu, diawal masa
kanak-kanak ini, anak cenderung menghabiskan sebagian besar waktunya dengan
bermain. Kesanggupan jiwa membentuk tanggapan baru dengan pertolongan tanggapan
yang telah ada, dinamakan fantasi. Anak-anak sangat luas dan leluasa
fantasinya, artinya dapat membuat gambaran khayal yang banyak dan luar biasa
sehingga orang dewasa menganggapnya mustahil, misalnya sapu dan tongkat
diciptakan menjadi kuda-kudaan, kursi dibalikkan menjadi kereta kuda dan
sebagainya. Tetapi mereka belum mampu membedakan antara gambaran pengamatan,
gambaran ingatan, dengan gambaran fantasi, karena akal dan pengertian yang
mereka miliki masih sederhana, sedangkan perasaan dan keinginannya sangat
meluap-luap, cerita dongeng yang luar biasa isinya, berada diluar alam nyata,
sangat menarik perhatian mereka itu dan cerita dongeng itu sangat penting bagi
perkembangan kepribadiannya.[9]
Sebelum anak-anak bersekolah, permainan mempunyai
peranan yang penting dalam kehidupannya, didalam permainan itu anak-anak kita
lihat merdeka dan gembira-ria, fantasi anak yang terutama memberikan
kemungkinan kepada mereka itu untuk dapat mendirikan dunianya yang tersendiri
itu. Dunia pikiran keinginan, kemauan dan perasaan dapat dihayati sepenuhnya
dalam permainan-permainannya. Ia dapat tengelam dalam lubuk fantasinya itu dan
dunia kenyataan tidak menghalanginya sedikit juga. Ciri lain yang paling
menonjol dalam periode ini adalah meniru pembicaraan dan tindakan orang lain.
Namun meskipun kecenderungan ini tampak kuat, tetapi anak lebih menunjukkan
kreativitas dalam bermain.[10]
B.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Perkembangan Anak Usia Dini
1.
Faktor keturunan. (hereditas)
Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi
perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartikan sebagai totalitas
karakteristik individu yang diwariskan orang tua kepada anak, atau segala
potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki individu sejak masa konsepsi
(pembuahan ovum oleh sperma) sebagai pewarisan dari pihak orang tua melalui
gen-gen.[11]
Setiap individu yang lahir ke dunia dengan suatu
hereditas tertentu, ini berarti bahwa karakteristik individu diperoleh melalui
pewarisan/ pemindahan dari cairan-cairan “geminal” dari pihak orang tuanya.
Disamping itu individu tumbuh dan berkembang tidak lepas dari lingkungannya,
baik lingkungan fisik, psikologis, maupun lingkungan sosial. Setiap pertumbuhan
dan perkembangan yang kompleks merupakan hasil interaksi dari hereditas dan
lingkungan. Agar kita dapat mengerti dan mengontrol perkembangan tingkah laku
manusia, kita hendaknya mengetahui hakekat dan peranan dari masing-masing
(hereditas dan lingkungan)[12]
Warisan atau keturunan memiliki peranan dalam
pertumbuhan dan perkembangan anak. Ia lahir ke dunia ini membawa berbagai ragam
warisan yang berasal dari Ibu bapaknya, atau nenek dan kakeknya, warisan
(keturunan atau pembawaan) tersebut yang paling penting antara lain : bentuk
tubuh, raut muka, warna kulit, intelgensi, bakat, sifat-sifat, atau watak dan
penyakit warisan yang di bawa anak sejak dari kandungan sebagian besar berasal
dari kedua orang tuanya dan selebihnya berasal dari nenek dan moyangnya dari
kedua belah pihak (Ibu dan Ayahnya). Hal ini sesuai dengan hukum mendel yang
dicetuskan Gregor mendel (1857) setelah mengadakan percobaan perkawinan
berbagai macam tanaman dikebunnya. Hukum mendel ini juga berlaku untuk manusia.
Warisan yang diterima anak tidak selamanya berasal dari kedua orang tuanya,
tetapi dapat juga dari nenek atau kakeknya. Misalnya seorang anak memiliki
sifat pemarah, itu tidak dimiliki oleh ibu-bapaknya tetapi kakeknya.[13]
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam
upaya mengembangkan pribadi anak. Meskipun bukan menjadi satu-satunya faktor,
namun keluarga merupakan unsur yang sangat menentukan dalam pembentukan
kepribadian dan kemampuan anak sebagai dasar pertumbuhan dan perkembangan yang cukup kuat untuk menjadi manusia dewasa.[14]
Hal tersebut mempunyai pengaruh yang cukup kuat terhadap keturunan dalam
pertumbuhan dan perkembangan pada usia selanjutnya. Sebagaimana dijelaskan
dalam Al Qur’an yang mengisahkan bagaimana Allah mengutamakan keluarga Ibrahim
dari Sekalian alam sebagai hasil dari keturunan yang saleh yang terus turun
kepada generasi berikutnya :
إِنَّ
اللَّهَ اصْطَفَى ءَادَمَ وَنُوحًا وَءَالَ إِبْرَاهِيمَ وَءَالَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِين َ( الا مران : 33)
Artinya
:”Sesungguhnya Allah memilih Adam, Nuh,
dan keluarga Ibrahim dan keluarga Imron dari seluruh alam (yaitu) satu
keturunan yang sebagianya
dari yang lain, Dan Allah maha
mendengar lagi maha melihat.[15]
Kemudian dicontohkan Nabi Ibrahim
وَوَهَبْنَا لَهُ
إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ نَافِلَةً وَكُلًّا جَعَلْنَا صَالِحِين .َ وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ
بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ
وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِين
َ(الانبياء : 73 – 72 )
Artinya : “Dan kami telah
memberikan kepadanya , Ibrohim, Ishak
dan Yakub, sebagai suatu anugerah
dari pada kami. Dan masing-masing kami jadikan
orang-orang yang saleh, kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah kami yang telah kami wahyukan kepada mereka mengerjakan
kebaikan, mendirikan sholat, menuaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka
selalu menyembah”.[16]
Dari
sinilah kita mengetahui bahwa faktor keturunan mempunyai pengaruh yang sangat
besar, meskipun bukan menjadi satu-satunya faktor. Hal ini dikarenakan masih
ada unsur-unsur/ faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan anak, seperti; faktor keluarga dan masyarakat.
2.
Faktor Keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana
dalam kehidupan manusia. Anggotanya terdiri dari ayag, ibu dan anak-anak. bagi
anak keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenalnya.[17]
Peranan lingkungan keluarga selain tempat pertemuan
antarkomponen yang ada didalamnya, lebih dari itu juga memiliki fungsi
reproduktif, religius, rekreatif, edukatif, sosial dan protektif.[18]
Peran yang diambil orang tua khususnya ibu, pada masa-masa awal kelahiran anak,
sangatlah besar, mendalam, dan mendasar, karena sejak bayi anak di gendong dan
di susui ibunya. Hubungan antara ibu dengan anak begitu kuat, kepribadian,
tingkah laku, dan semua ekspresi orang tua di tuangkan melalui semacam kekuatan
yang tersembunyi yang lambat laun membentuk diri anak menjadi manusia.[19]
Pada masa ini anak membutuhkan seorang ibu yang mau meluangkan waktunya untuk
mengembangkan sifat-sifat yang kontra dengan pertumbuhan yang seimbang, seperti
perasaan takut, dan berharap, senang dan benci.
Faktor yang paling penting di dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak adalah teladan dari orang tuanya. Anak-anak akan mengamati,
berusaha meniru, melakukan kesalahan, melupakan dan untuk sesaat anak-anak akan
berusaha untuk mencari ide alternatif serta kemudian mempolakan dirinya kepada
model orang tuanya. Tetapi harus di akui bisa jadi kontraproduktif, bila para
orang tua tidak memberikan teladan yang tidak baik. Teladan orang tua jauh lebih
membekas dari semua kata yang mereka ajarkan.[20]
Penanaman prinsip-prinsip musyawarah, keimanan, saling menolong, kewibawaan
seorang ayah dalam keluarga, sikap yang muda menghormati yang tua, yang tua
mengasihi yang lebih muda, itu semua merupakan teladan yang perlu di tanamkan
pada seorang anak pada masa awal
kanak-kanak. Dia akan tumbuh berkembang sesuai dengan dasar-dasar di atas.[21]
3. Pengaruh
masyarakat
Lingkungan ketiga yang mempengaruhi perkembangan anak
adalah lingkungan masyarakat, selain pendidikan dalam keluarga dan sekolah
masyarakat dapat dikatakan suatu alat pendidikan yang tidak kalah pentingnya
dari keluarga dan sekolah.
Dalam pengertian yang sederhana masyarakat adalah
kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara kebudayaan dan
agama.[22]
Disini sepintas peranan lingkungan masyarakat bukan
merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya
merupakan unsur pengaruh belaka, tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang
lebih mengikat sifatnya. Bahkan terkadang pengaruhnya, lebih besar dalam
perkembangan kepribadian anak baik dalam bentuk positif maupuan negatif.[23]
Hal ini, disebabkan karena adanya interaksi antara anak sebagai individu dan
masyarakatnya sehingga dalam perkembangan anak sangatlah penting dan tidak
boleh diabaikan begitu saja akan pengaruh faktor lingkungan masyarakat sekitar.[24]
Karena boleh jadi anak yang tadinya penurut, baik akan tetapi karena lingkungan
masyarakat yang kurang baik anak akan bersikap sebaliknya.
C. Perkembangan Pada Anak Usia Dini
Jika kita mencernati
kehidupan manusia, tentu kita akan menyaksikan bahwa perjalanan hidup ini
senantiasa melibatkan aspek psikis dan
fisik, atau aspek jiwa dan raga. Proses yang berkaitan dengan aspek psikis dan
fisik ini sering kita kenal dengan proses tumbuh kembang.
Pengertian pertumbuhan akan berkaitan dengan aspek
fisik yakni aspek-aspek yang dapat diukur, dihitung, dilihat atau diamati
dengan jelas. Seperti perkembanagn secara biologis anak akan selalu mengalami
pertumbuhan secara fisik. Sedangkan perkembangan yang berkaitan dengan aspek
psikis, yakni sesuatu yang lebih berhubungan dengan unsur internal dalam diri
individu. Sebagai contoh perkembangan psikologis, pada anak akan selalu
ditandai dengan kebutuhan kasih sayang, perhatian, dari orang sekirtarnya.
Perkembangan sosial anak, anak membutuhkan hidup bersama dan kemampuan
menyesuaikan diri. Perkembangan keagamaan anak di sini mulai dengan kebutuhkan
pedoman dalam hidupnya.[25]
Tahap perkembangan pada anak tersebut adalah sebagai berikut :
1. Perkembangan
Biologis
Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan
lemah. Segala gerak dan tanduknya ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang
dewasa yang ada di sekelilingnya. Dengan kata lain ia belum dapat berdiri
sendiri karena manusia bukan makhluk instingtif, keadaan tubuhnya belum tumbuh
secara sempurna untuk di fungsikan secara maksimal.[26]
Pada tahun pertama pertumbuhan fisik sangat cepat
sedangkan tahun kedua mulai mengendur, pola perkembangan bayi pria dan wanita
sama, tinggi badan secara proporsional lebih lambat daripada pertumbuhan berat
badan. Selama tahun pertama dan lebih
cepat pada tahun kedua, dari 20 gigi seri, kira-kira 16 telah tumbuh selama
masa bayi berakhir. Gigi pertama muncul kira-kira pada usia 6-8 bulan, gigi seri
bawah muncul lebih dahulu kemudian menyusul tumbuhnya gigi seri bagian
atas.Pada umur satu tahun, rata-rata
bayi mempunyai 4 sampai 6 gigi
dan pada umur dua tahun 16 gigi. Pertumbuhan otak tampak dengan bertambah
besarnya ukuran tengkorak kepala diperkirakan seperempat
dari berat otak orang dewasa dicapai pada usia sembilan bulan dan tiga perempat pada akhir tahun kedua.[27]
Organ keinderaan berkembang dengan cepat selama masa
bayi dan sanggup berfungsi dengan memuaskan
sejak bulan-bulan pertama dari kehidupan. Dengan berkembangnya koordinasi otot-otot mata pada bulan ketiga
maka bayi telah sanggup melihat dengan jelas. Alat indera lainya yang
berkembang ialah pendengaran dan penciuman. Fungsi-fungsi fisiologis, masa bayi
merupakan masa di mana dasar pembinaan
polo-pola fisiologis, seperti makan, tidur, dan buang air, harus
terbentuk, walaupun pembentukan pembiasaan tidak di selesaikan pada masa akhir bayi.[28]
Perkembangan penguasaan otot-otot mengikuti pola yang
jelas dan dapat diduga yang ditentukan oleh hukum arah perkembangan. Menurut
hukum ini, penguasaan atau pengendalian
otot-otot pada pada bagian kepala lebih dahulu dan selanjutnya pada
bagian kaki. Perkembangan motorik yaitu dapat menghambat kemampuan penyesuaian
diri sehingga mengakibatkan perasaan rendah diri, gangguan psikis, seperti
gangguan emosi, karena mendapat
bentakan-bentakan yang sangat mengejutkan anak. ( bayi ).[29]
Pada anak mencapai usia 3-6 tahun ada ciri yang jelas
berbeda dengan anak usia bayi, perbedaanya terletak pada penampilan, proporsi
tubuh, panjang badan dan ketrampilan yang mereka miliki. Contohnya pada anak
pra sekolah telah tampak otot-otot tubuh yang berkembang dan memungkinkan bagi
mereka melakukan ketrampilan.[30]
Sedangkan perkembangan biologis pada anak sekitar 2-6
tahun anak mulai memiliki kesadaran
tentang dirinya sebagai pria atau wanita,
dapat mengatur diri dalam buang
air, dan mengenal beberapa hal yang di anggap berbahaya. Dengan meningkatnya
pertumbuhan tubuh, baik menyangkut ukuran, berat, dan tinggi, maupun kekuatanya
memungkinkan anak untuk lebih dapat
mengembangkan ketrampilan fisiknya, dan
eksploritasi terhadap lingkunganya dan
dengan tanpa bantuan orang lain. Perkembangan sistem syaraf pusat
memberikan kesiapan kepada anak untuk lebih dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan terhadap tubuhnya.[31]
Proporsi tubuhnya berubah secara dramatis, seperti pada usia tiga tahun , rata-rata tingginya sekitar 80-90 cm,
dan beratnya sekitar 10-13 kg. Sedangkan pada usia lima tahun, tingginya sudah
mencapai sekitar 100-110 cm. Tulang kakinya tumbuh dengan cepat, namun
pertumbuhan tengkoraknya tidak secepat usia
sebelumya. Pertumbuhan tulang-tulangnya
semakin besar dan kuat, pertumbuhan giginya semakin lengkap dan komplit
sehingga dia sudah
menyenangi makanan padat, seperti
daging, sayuran,buah-buahan dan kacang-kacangan. Anak pra sekolah umumnya
sangat aktif, karena mereka telah memiliki penguasaan (kontrol) terhadap
tubuhnya dan sangat menyukai kegiatan
yang dilakukan sendiri.[32]
Pertumbuhan otaknya pada usia lima tahun sudah
mencapai 75% dari ukuran dewasa, dan 90% pada usia enam tahun. Pada usia ini
juga terjadinya pertumbuhan “
myelinization “ ( lapisan urat syaraf dalam otak yang terdiri dari bahan penyekat
berwarna putih, yaitu myelin), secara
sempurna lapisan urat saraf ini membantu
transmisi impuls-impuls syaraf
secara cepat, yang memungkinkan pengontrolan terhadap kegiatan motorik lebih
seksama dan efisien.[33]
Perkembangan anak pada akhir tahun pertama dan akhir
tahun ke empat terjadi kemajuan kemajuan yang pesat, namun begitu mengenai
perkembangan sekitar tahun ke tiga anak sudah dapat berjalan secara otomatis
bahkan pada alas yang tidak rata anak sudah dapat berjalan tanpa kesukaran,
sekitar empat tahun anak hampir menguasai cara berjalan seperti orang dewasa.[34]
2. Perkembangan
Jiwa Anak
Masa kanak-kanak di kenal sebagai masa egosentris
karena pada masa ini anak-anak berada pada masa ketidak seimbangan karena
keluar dari fokus dalam arti bahwa anak mudah terbawa ledakan-ledakan
emosional. Sehingga sulit di bimbing dan di arahkan.
“Seorang anak tidak mempunyai perasaan bahwa
kebutuhanya punya hambatan yang wajar kalau ia menyukai sesuatu ia ingin agar
di puaskan sepenuhnya. Dia tidak
mengekang keinginan itu dan juga tidak
mau jika seseorang membatasi keinginan
tersebut. Dia tidak akan berusaha untuk menyesesuaikanya, dengan konsep yang di
miliki orang dewasa mengenai keharusan adanya hukum-hukum alam. Dia bahkan
tidak mengerti bahwa hal-hal tersebut ada. Ia tidak dapat membedakan apa
yang mungkin dan mana yang mustahil, akibatnya ia tidak mengerti
bahwa realitas menetapkan
berbagai kendala terhadap
keinginan-keinginan yang tak mungkin di atasinya. Dalam pandangan anak segala
sesuatu harus tunduk padanya ia tidak
mau diganggu oleh hambatan-hambatan benda dan juga oleh manusia.[35]
Anak suka meniru segala sesuatu yang dilihatnya oleh
karena itu sebagai orang tua hendaknya menjadi teladan yang baik bagi anak dari
permulaan kehidupannya. Jangan mengira karena anak masih kecil dan tidak mengerti
apa yang terjadi di sekitarnya, sehingga kedua orang tua melakukan
tindakan-tindakan yang salah di hadapannya. Ini mempunyai pengaruh yang besar
sekali pada pribadi anak.
Akibat yang timbul dari kondisi psikologis yang
demikian, anak-anak mudah marah dan
melakukan tindakan yang kadang tidak rasional. Prilaku-prilaku yang muncul
sehubungan dengan masa egosentris yaitu prilaku
melawan otoritas orang tua , kasar dan agresif, prilaku berkuasa,
memikirkan diri sendiri, merusak dan membentuk prilaku negatif lainya.[36]
Prilaku melawan
otoriter orang tua mencapai
puncaknya pada usia tiga dan empat tahuin. Perlawanan ini muncul apabila
anak-anak dipaksa untuk mentaati sesuatu
norma yang tiodak diinginkanya. Selanjutnya anak-anak akan sangat
agresif apabila keinginanya tidak tercapai, bahkan anak-anak akan kasar,
menyerang, menyalahkan orang lain, dan memaki-maki dengan tujuan agar dia
terlihat lebih pandai dan tidak kalah.
Ledakan amarah anak sering di sertai dengan tindakan merusak benda-benda di sekitarnya. Sehubungan dengan
itu perlu juga bicaranya ketika berusia
lima dan tujuh tahun, pada waktu imajinasinya melebihi penalaran, anak cenderung membual dan melebih-lebihkan pembicaraan, bahkan untuk memenuhi egonya
anak-anak akan menghina dan mencaci maki terhadap segala bentuk prilaku di
lingkunganya yang tidak ia sukai.
Banyak faktor yang mempengaruhi pada emosi anak, Elisabet B Horlogk
menyebutkan :
“Besarnya keluarga berpengaruh terhadap tinggi
rendahnya emosi anak, pada keluarga yang lebih besar, sikap iri hati akan
tumbuh. Dan pada keluarga yang lebih kecil
biasanya cemburu akan kasih
sayang orang tua akan lebih mendominasi. Selanjutnya lingkungan sosial rumah
juga memainkan peran dan menimbulkan
sering dan kuatnya rasa marah, jenis disiplin dan metode latihan juga
berpengaruh terhadap amarah anak. Semakin orang tua otoriter, semakin besar
kemungkinan anak untuk marah.[37]
Dari keadaan yang demikian terlihat betapa orang tua
sebagai pennndidik pertama dan yang utama. Bertugas membimbing dan mengarahkan
anak, menuju prilaku yang baik.
3. Perkembangan
keberagamaan
Dalam pertumbuhan
jiwa agama anak, diperlukan pengalaman-pengalaman keagamaan yang
didapat sejak lahir dari orang-orang terdekat dalam hidupnya.
Ibu, bapak, saudara dan keluarga , disamping pendidikan yang diberikan secara sengaja oleh guru-guru
agama, pengalaman merupakan unsur-unsur yang akan menjadi bagian dari
pribadinya di kemudian hari. Menurut perhitungan ilmu kedokteran ternyata bahwa keadaan ibu yang sedang mengandung dan gizi makananya,
akan ikut menentukan kecerdasan dan
kemampuan anak dalam bidang kecakapan
dan ketrampilan nanti. Karena pada bulan-bulan terakhir dari janin itu, telah
mulai terbentuk jaringan –jaringan otaknya. Makanan ibu yang cukup gizinya akan
memberikan bahan yang cukup pula bagi janin yang dalam kandunganya itu.
Sehingga dapatlah bertumbuh
jaringan-jaringan otak secara wajar dan baik. Dengan demikian anak yang akan
lahir dapat di harapkan mempunyai
kemampuan otak yang wajar,[38]
Anak mulai mengenal tuhan melalui orang tua dan
lingkungan keluarganya. Sikap, tindakan, dan perbuatan orang tua sangat
mempengaruhi perkembangan keberagamaan pada anak. Sebelum anak dapat bicara ia telah dapat melihat dan mendengar kata-kata yang barang
kali belum mempunyai arti sendiri bagi anak. Sesuai dengan pengamatanya
terhadap orang tuanya, ketika mengucapkan
Allah akan berarti maha kuasa, maha penyayang, atau lainya yang
sesuai dengan orang tua ketika
menyebutnya. Kata Allah yang tadinya
tidak mempunyai arti apa-apa bagi anak, mulai mempunyai makna dengan apa
yang tangkapnya dari orang tuanya.
Perkembangan kepercayaan berarti pola-pola dan
struktur-struktur kognitif menjadi semakin komplek dan komprehensif sehingga
isi kepercayaan dapat disuusn dan dimengerti dengan cara-cara meaning making
yang semakin terdeferensiasi. Fowler
mendefinisikan tahap kepercayaan sebagai
suatu keseluruhan struktural yang menjelma menjadi suatu cara berada dalam
kepercayaan tertentu dan memungkinkan gaya kepercayana yang khas.[39]
Tahap kepercayaan adalah keseluruhan operasi pengertian dan pengertian yang
terintegrasikan dan spesifik secara kualitatif yang memungkinkan pribadi
menciptakan suatu gambaran tentang lingkungan akhir yang berbeda menurut
masing-masing tahap, lewat gambaran tersebut pribadi dapat mewujudkan rasa diri
terikatnya. Yaitu rasa percaya dan setia yang transenden atau pusat nilai, kekuasaan dan makana yang melampuainya.
Fowler memfoluskan penelitiannya pada struktur dan
aspek-aspek formal kepercayaan itu, bukan pada
isi kongkrit. Fokus formal yang strukturalistis ini mengandaikan suatu
pemisahan teoritis antara isi dan struktur sebagaimana dianjuran oleh Peaget
dan Kohlberrg. Sebagaimana diketahui secara umum penelitian Peaget tentang
pengatahuan anak terutama tidak terpusat pada isi pengetahuan yang dapat
dialihkan kepada anak. Misalnya isi pengetahuan konkrit ilmu pengetahuan
alam, logika, ilmu matematika dan
sebagainya. Struktur operasi formal yang disuusn oleh anak untuk mengatur dan mengerti
pengalaman akan duani sekitar, mendasari, menentukan dan mengkonstitusikan cara
formal bagaimana mengerti dan mengenal lingkungan sekitar. Pemisahan yang sama
antar isi dan struktur juga dilakukan olek Kohlberg dalam studinya tentang
perkembangan moral. Sedangkan Fowler, ia berpendapat bahwa dalam perspektif
strukturalisme genetik proses faithing,
dapat dipelajari menurut struktur dan aspek-aspek struktural khasnya sendiri.
Mutu kepercayaan seorang anak tidak laah dibandingkan
kepercayaan orang dewasa, tetapi polanya memang lain dan secara potensial
kurang sempurna. karena alasan ini kita tidak boleh menafsirkan perkembangan
kepercayaan sebagi serangkaian peristiwa progresif menurut model linear dalam
evolusi yang menganggap tahap terahir sebagai indeks kematangan yang secara
praktis dapat digunakan sebagai tolak ukur seluruh tahap terdahulu yang dari
kodratnya bersifat kurang dewasa dan kurang sempurna.
Fowler memperhatikan tujuh aspek operasional atau
struktural yang bersama-sama membentuk tahap kepercayaan. Ketujuh teori
tersebut adalah : 1. Berkembangnya pemikiran dan penalaran logis. 2.
Berkembangnya pengkkosntruksian perspektif sosial (pengambilan peranan). 3.
Bentuk pertimbangan moral. 4. Berkembangnya pengertian terhadap titik sosial
(batas-batas kesadaran sosial). 5. Penafsiran tentang soal tentang apa yang
mengesahkan atau komitmen. 6. Berkembangnya keseluruhan arti yang bersifat
pemersatu. 7. Berkembangnya pemahaman terhadap simbol.[40]
Tahap kepercayaan awal yang elemnter ditandai oleh
cita rasa yang bersifat preverbal terhadap kondisi-kondisi eksistensi, yaitu rasa percaya dan setia yang elemnter
pada semua orang dan lingkungan yang mengasuh sang bayi, serta pada gambaran
kenyataan yang paling akhir selama tahun perama berkembanglah suatu keseluruhan
interaksi timbal balik yang agak komplek dan mantap antara bayi dan pengasuh
yang sama.[41]
Fowler menyebut gambaran etrsebut sebagai pre images atau pra gambaran. Karena
disatu pihak gambaran dibentuk oleh
perasan sebelum kemampuan bahasa dan daya pengertian konseptual mulai
berfungsi, tetapi di pihak lain telah termuat suatu rasa diri tertentu yang
membedakan diri dari seluruh kenyataan lainnya. Pra gambaran Allah dan
lingkungan yang paling mendalam dan akhir mempunyai matrik untuk genetknya pada
gambaran anak tentang pengasuh utamanya dengan kata lain sangat mungkin simbol
kepercayaan pertama diangkat dari seluruh gambaran bayi tentang ibudan bapak
atau pengasuh penting lainnya yang saling bergantian.
Sedang anak berumur dua tahun, kedewasaan atau
ketuhanan dimengerti secara pra antropomorf
artinya anak mencoba menerapkan berbagai ide seperti yang tak kelihatan, roh,
udara, dan sebagainya. Untuk menggambarkan Allah yang mempengaruhi dunia yang
secara fisik dan substansial. Tetapi biarpun Allah dilukiskan secara antropomorf, misalnya Allah bagaikan
udara dimana-mana ia berada. Namun sangat mungkin anak merasakan Allah sebagai
sesuatu yang sungguh sebagai sifat pribadi. Misalnya saya mencintai-Nya, Allah
berdiam di lubuk hatiku. Maka sering pula Allah dilukiskan menurut pola
perbandingan antropomorf, sehingga
pribadi Allah digambarkan terutama fisik-Nya.[42]
Sikap anak-anak terhadap agama mengandung
kekaguman dan penghargaan, bagi mereka
upacara-upacara agama dan dekorasi rumah
ibadah, lebih menarik perhatian.
Anak-anak dalam kepercayaanya bersifat egosentris, artinya semua sembahyang dan
doa-doa adalah untuk mencapai keinginan pribadinya, misalya dia akan baik
karena akan mendapat upah. Dia mengambarkan
tuhan sebagai seorang yang akan menolongnya dalam mencapai sesuatu
karena ia sudah di tolong oleh
orang dewasa terutama oleh orang tuanya.
Dengan kondisi psikologis yang sudah tumbuh pikiran
logisnya maka orang tua diperintahkan
untuk menyuruh anak-anaknya
menjalankan kegiatan agama. Faktor pembiasaan, ajakan, dan himbauan
sangat positif untuk mendukung perkembangan keberagamaanya. Akar penyebab perlunya pemberian motifasi karena
pertimbangan kondisi kejiwaan anak yang
masih membutuhkan bimbingan dan arahan
orang tua atau belum tumbuh kesadaran dan kemandirian dalam kreatifitas sesuai
dengan ciri yang yang mereka miliki,
maka sifat agama pada anak-anak tumbuh
mengikuti pola adeas concept an
autority.[43]
Latihan-latihan yang menyangkut ibadah, seperti
sembahyang, do’a, membaca Al Qur’an atau menghafal ayat-ayat atau surat-surat
pendek, sembahyang berjama’ah disekolah, masjid atau mushola, harus dibiasakan
sejak kecil. Sehingga lama-kelamaan, dia dibiasakan sedemikian rupa sehingga
dengan sendirinya ia akan terdorong untuk melakukannya, tapi dengan dorongan
dari dalam.
Dengan kata lain dapat kita sebutkan bahwa pembiasaan
dan pendidikan anak sangat penting, terutama dalam pembentukan pribadi, akhlak,
dan agama. Karena pembiasaan-pembiasaan agama itu akan menanamkan unsur-unsur
positif dan pribadi anak yang sedang tumbuh. Semakin banyak pengalaman agama
yang didapatkan melalui pembiasaan itu akan semakin banyaklah unsur agama dalam
pribadinya, dan semakin mudahlah memahami ajaran agama yang akan dijelaskan
oleh guru dikemudian hari. Jadi agama itu mulai dengan amanah, kemudian ilmiah
atau penjelasan sesuai dengan perkembangan jiwanya dan datang pada waktu yang
tepat.
4. Perkembangan
Sosial.
Anak semenjak dilahirkan telah masuk dalam kelompok
manusia. Dilahirkan ke dunia sebagai anak dari Ibu-Bapak yang mengasuh dan
membesarkan, kemudian kadangkala dan mempunyai saudara lagi dalam keluarga
manusia telah mempunyai naluri untuk bergaul dengan sesamanya semenjak dia
dilahirkan di dunia. Itu hubungan dengan sesamanya merupakan suatu kebutuhan
bagi setiap manusia.[44]
Kemudian anak sebagai pribadi yang tumbuh dan
berkembang di dalam proses perkembangannya memerlukan relasi dan komunikasi
dengan orang lain terutama dalam relasinya dengan ibu, ayah, kakak, keluarga
dekat dan lingkungan tetangga. Namun dalam prosesnya anak berhubungan dengan
manusia lainnya, itulah terjadi pengaruh timbal balik terhadap prilaku sosial
anak.
Sejak anak berumur satu tahun, ia hanya dapat
berhubungan dengan ibu, ayah, atau dengan orang dewasa lainnya yang tinggal
bersama sama dirumah itu. Semua anggota keluarga mempunyai tugas tertentu untuk
kepentingan si anak. Dalam perkembangan selanjutnya, kesanggupan berhubungan
batin dengan orang lain makin lama tampaknya makin nyata perkembangan sosial
barulah agak nyata bila ia memasuki masa kanak kanak. Sekitar usia dua atau
tiga tahun anak sudah mulai membentuk masyarakat kecil yang anggotanya terdiri
dari dua atau tiga orang anak. Mereka bermain bersama walaupun sekelompok itu
dapat bertahan dalam waktu yang relatif singkat. Dalam kegiatan semacam itu
anak sudah menghubungkan dirinya dengan suatu masyarakat yang baru di dalamnya
mulai terjadi perkembangan baru yaitu perkembangan sosial.[45]
Prilaku sosial anak mencerminkan adanya proses
sosialisasi yang pada gilirannya bisa menimbulkan kerjasama diantara mereka di
dalam interaksi sosial anak, kerjasama ini bisa mulai terlihat ketika anak-anak
dalam kehidupan keluarga atau sesama anak tetangga. Dengan dasar itu pula anak
tersebut akan menggambarkan bentuk hubungan prilaku sosialnya dengan orang lain
dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, bentuk kerjasama tersebut
berkembang sesuai dengan tujuan yang akan dicapainya dan mereka sadar bahwa
tujuan tersebut akan bermanfaat bagi semuanya.
Masa kanak-kanak merupakan masa bergaul bagi anak-anak
dari umur dua sampai enam tahun anak belajar melakukan hubungan sosial dengan
orang diluar keluarganya, mereka belajar menyesuaikan diri dan bersikap sesuai
dengan kelompoknya. Orang dewasa yang ada dilingkungannya, keluarga sering
berperan sebagai teman bermain. Antara usia dua sampai empat tahun, anak akan
menemukan kenyataan bahwa anggota keluarga tidak dapat atau tidak mau
menyediakan waktu yang cukup untuk bermain dengannya. Akibatnya anak sangat
mengharapkan hubungan dengan teman sebayanya. Namun bila tidak mendapat
kesempatan bermain dengan temannya anak akan lebih menyendiri dan putus asa.
Dalam perkembangan selanjutnya dapat dilihat
sikap-sikap yang dominan muncul sehubungan dengan perkembangan sosialnya.
Prilaku-prilaku tersebut terangkum dalam pola-pola tertentu, Elisabeth Hurlock
menyebutkan beberapa prilaku yang muncul pada masa sosialisasi diantaranya
“kerjasama yang muncul pada anak yang berusia empat tahun dimana, anak-anak
suka melakukan kegiatan bersama dengan teman-temannya. Pada saat ini muncul
pola persaingan yang merupakan dorongan bagi anak-anak untuk berpacu mencapai
kebaikan, munculnya sikap-sikap simpatik terhadap teman sebaya, juga mewarnai
proses sosialisasi .[46]
Dalam proses
sosialisasi tidak setiap anak dapat mencapai target seperti yang dialami
teman-temannya. Apabila ada diantara kelompok yang tidak bisa menyesuaikan diri
maka hal ini akan menjadi problem yang sangat mengganggu perkembangan
mentalnya. Selanjutnya sikap-sikap negatifistis itu muncul pada anak berusia
tiga dan enam tahun. Ekspresi fisiknya, mirip dengan ledakan kemarahan,
sikap-sikap yang muncul itu diantaranya, sikap agresif, dimana biasanya anak
mengadakan permusuhan yang nyata, hal itu bisa berwujud serangan fisik. Maupun
lisan terhadap pihak lain, yang biasanya terhadap anak kecil. Pertengkaran
antar kelompok, mengejek kepada teman, membalasi dendam, prilaku sok kuasa,
egoisentrisme, bahkan antagonisme terhadap lain jenis, merupakan sikap-sikap
negatif yang muncul sehubungan dengan proses sosialisasi.
Anak dan proses interaksinya mempunyai bentuk prilaku
sosial yang bermacam-macam. Ada yang bersifat aktif maupun yang bersikap pasif
dan tingkah laku lainnya yang terdapat dalam diri masing-masing anak. Meskipun
demikian pada dasarnya yang terpenting adalah bagaimana proses interaksi itu
berlangsung dengan kondisi dan situasi yang melengkapinya termasuk lawan
interaksi dalam perkembangan kehidupan prilaku sosial anak terutama di awal
pertumbuhan dan perkembangan mereka.
[1] Syamsu Yusuf, Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja, PT.
Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000, hlm. 20.
[14] Fuaduddin, Pengasuhan Anak Dalam Keluarga
Islam, Lembaga Kajian Agama dan Jender, Jakarta, 1999, hlm. 5.
[15]Al Qur’an Surat Al Imron 33
[16]Al Qur’an Surat Al Anbiya
72-73.
[21]Khatib Abduld Santhut, Menumbuhkan Sikap Social, Moral, dan Spiritual Anak dalam Keluarga
Muslim , Mitra Pustaka, Yogyakarta, 1998, hlm. 33.
[22] Umar Muhammad Al Thamy Al Syabani, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Drs.
Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta,
1979, hlm. 164.
[34] Siti Rahayu Hadi Tomo, Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta, 1985. hlm. 91
[38] Dr Zakiah Darajat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, Bulan Bintang, Jakarta,1998,
hlm. 10-111.
[39] Agus Creamers, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W Fowler,
Kanisius, Yogyakarta, 995, hlm. 72.
[40] Ibid,
hlm. 85
[41] Ibid,
hlm. 96
[42] Ibid,
hlm. 95.
[45] Zulkifli L, Psikologi Perkembangan, Remaja Rosda Karya, Bandung, Tahun 2001, hlm. 45
[46] Elisabeth B Hurlock, Perkembangan Anak, Jilid I Edisi Keenam, Penerbit Erlangga,
Jakarta, 1978, hlm. 262
0 Response to "TINJAUAN PSIKOLOGIS TENTANG ANAK PADA USIA DINI"
Post a Comment