Ketentuan dan Pendapat Ulama Mengenai Poligami

Ketentuan dan Pendapat Ulama Mengenai Poligami
Sahabat wartamadrasahku.com pada kesempatan kali ini kita akan membahas Ketentuan dan Pendapat Ulama Mengenai Poligami. akan tetapi sebelum membahas hal tersebut kita akan mencoba menguraikan apa itu poligami?.

Poligami berasal dari kata poly/polus, yang berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti perkawinan. Secara bahasa poligami berarti suatu perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Poligami terbagi menjadi dua yaitu poliandri dan poligini.

Tradisi poligami sudah ada sejak sebelum Islam. Ada beberapa peradaban besarseperti Yunani, Romawi, India dan Cina yang mentradisikan poligami. Bangsa Romawi yang mentradisikan menikahi banyak perempuan dengan tidak terbatas. Di India, praktek poligami sangat disenangi terutama di kalangan kerajaan, pembesar dan orang-orang kaya. Di Cina, seorang laki-laki berhak mengawini beberapa wanita jika istri pertama mandul. Di kalangan Bangsa Mesir Kuno, poligami dianggap hal yang wajar asalkan calon suami berjanji akan membayar sejumlah uang yang cukup banyak kepada istri pertama.

Tradisi tersebut disebabkan oleh budaya yang menganggap perempuan adalah barang, mereka tidak mempunyai hak dan tidak boleh dihukum. Bangsa cina memandang perempuan sebagai racun yang akan merusak kehidupan. Oleh karenanya, wanita dapat diperjualbelikan di pasar seperti barang dagangan.

Poligami Dalam Islam
Islam bukan agama pertama yang melegalkan poligami. Islam kebolehan poligami dibatasi sampai empat. Ini berbeda dengan tradisi bangsa lain. Pembatasan ini adalah bentuk penghormatan terhadap perempuan. Jadi tidak benar bahwa Islam melegalkan poligami hanya untuk menindas dan mendiskriminasikan hak-hak perempuan.

Sejak sebelum Islam datang, masyarakat Arab telah mengenal poligami. Mempunyai banyak istri telah menjadi tradisi dan merupakan sebuah kebanggaan. Masyarakat Arab membolehkan poligami sampai jumlah yang tidak terbatas dan tidak memperkenankan pembatasan jumlah istri. Sistem patriakal ini berlaku di kalangan suku penggembala secara umum. Jadi dalam satu keluarga terdiri atas seorang laki-laki dan beberapa wanita, belum termasuk budak.

Menurut William Montgomery Watt, secara luas diketahui bahwa seorang muslim bisa memiliki empat orang istri. Saat Islam turun orang Arab banyak yang mempunyai budak sesuai keinginan mereka. Fakta ini menjelaskan bahwa tidak ada perubahan yang dibuat Islam berkaitan dengan praktek pernikahan yang terjadi di jazirah arab.

Nabi Muhammad SAW mempraktekkan poligami. Istri nabi berjumlah 11 orang antara lain; Khadijah, Sawdah, ‘Aisyah, Zainab, Hafsah, Ummu Habibah Ramlah, Hindun Ummu Salamah, Juwairiyah, Shafiyyah, Maimunah dan Zainab (saudara perempuan Khuzaimah). Tradisi inipun dilakukan oleh para sahabat.

Pembatasan yang dilakukan Islam tidak menghalangi tradisi arab –bahwa orang arab tidak ingin membatasi jumlah istri. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan cerai. Seorang muslim berhak mencerai istri, kemudian mengawini wanita lain dengan ketentuan pada saat itu dia tidak
mempunyai istri lebih dari empat. Jumlah ini tidak termasuk Budak, Hamba Sahaya, Budak Sariya dan Budak Tanggungan. Oleh karena itu, kita bisa melihat Para Sahabat memperistri banyak perempuan.

Sampai sekarang poligami tetap dilakukan oleh umat Islam, karena adanya legalitas Al-Qur’an dan Hadits. Tetapi tidak itu saja, ada faktor intern manusia (biologi) yang ikut berperan dalam pentradisian poligami, atau dalam bahasa Dr. Abdul Nasir Taufiq, dalam bukunya Ta’adudu alZaujati mina al-Nawahi al-Diniyati wa al-Ijtima’iyati wa al-Qanuniyati,disebut sunatullah;

Ketentuan dan Pendapat Ulama Mengenai Poligami
Hukum Islam tidak menutup kemungkinan untuk berpoligami. Dalam kitab-kitab fiqh klasik diatur beberapa ketentuan poligami. Imam Taqiyuddin mengatakan bahwa seorang laki-laki merdeka boleh mengawiniempat orang wanita merdeka, dan seorang budak laki-laki boleh mengawini dua orang budak perempuan.

Pun Imam Syafi’i berpendapat demikian. Menurut Madzhab Ahli Sunah, seseorang yang berpoligami tidak boleh melebihi empat orang istri.Jika dia ingin menikah dengan yang kelima maka harus menceraikan salah satunya. Dalam proses mengawini empat wanita tersebut tidak boleh dalam satu waktu (satu akad), artinya dia menikahi empat wanita sekaligus dalam satu waktu. Ini adalah pendapat Jumhur Fuqaha (Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah dan Hanbaliyah).

Berbeda dengan pendapat jumhur, Imam Asy-Syaukani dan golongan Dzahiriyah memperbolehkan seseorang beristri sampai sembilan. Menurut mereka huruf wau dalam ayat 3 surat Ani-Nisa’ berfaedah menjumlah (lil jam’i). Menurut Ibu Hazm, seorang yang merdeka tidak boleh poligami lebih dari empat – baik wanita-wanita tersebut terdiri dari wanita merdeka semua atau pun sebagian budak. Dia mendasarkan pendapatnya pada surat An-Nisa’ ayat 3.

Muhammad Syahrur menekankan bahwa kita harus memahami bahwa nash tersebut harus dipahami dengan pandangan yang luas. Poligami adalah budaya Arab jahiliyah yang kemudian direduksi oleh Islam. Bagi Syahrur, dalam pelegalan poligami ada segi kualitas dan kuantitas yang harus diperhatikan. Seseorang boleh menikahi empat wanita tetapi keempat wanita tersebut mempunyai kualitas yang berbeda, satu perawan dan tiga janda.

Pembatasan empat ini juga bukan tanpa maksud. Menurut Dr. Wahbah Zuhaily, mengapa dibatasi empat karena laki-laki tidak akan mampu berbuat adil dalam memberi nafkah jika lebih dari empat. Ditakutkan akan terjadi ketidakadilan distribusi hak. Namun hal ini tidak berarti melegitimasi poligami, karena bagi dia monogami adalah lebih baik.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika seseorang akan berpoligami :
1. Adil terhadap istri-istri
   Keadilan yang dimaksud disini adalah keadilan dalam kadar kemampuan manusia. Yaitu persamaan dalam hal-hal nyata seperti nafkah, perumahan dan pergaulan yang baik, bukan dalam hal cinta. Karena hal ini di luar kemampuan manusia. Allah SWT tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan kadar kemampuannya.

2. Kemampuan untuk memberi nafkah istri-istri serta menjaga kewajibankewajiban yang berhubungan dengan kekeluargaan, seperti memberi nafkah kepada orang seseorang dalam tanggungan dirinya – saudara

Abdurrahman al-Jaziri mengatakan bahwa berbuat adil kepada istri istri tidak berhenti ketika ada halang berhubungan badan, seperti haid, nifas dan lain-lain. Ia juga memberi syarat kepada suami yang akan berpoligami, antara lain:
1. Suami harus sehat akal
2. Suami harus mampu secara jasmani untuk menggilir istri-istrinya tersebut. Menurut Imam Malik istri tidak harus sudah baligh, cukup ia mampu untuk berhubungan badan dengan suami – mampu secara jasmani.
3. Salah satu istrinya tidak nusyuz (tidak menuruti perintah suami dan pergi dari rumah)

Monogami adalah asas pernikahan Islam. Sedang poligami adalah hukum pengecualian dari asal, dikarenakan beberapa sebab:
1. Sebab Khusus, antara lain:
- Istri sakit dan tidak bisa hamil
- Suami sangat membenci istri – daripada dicerai
- Nafsu seks suami besar sehingga istri tidak bisa mengimbangi.
2. Sebab Umum, antara lain:
- Jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah pria. Baik karena adat, seperti jumlah Wanita Eropa, atau karena perang – perang dunia pertama menyebabkan banyak pria terbunuh. Poligami menjadi signifikan untuk mengatasi banyaknya perempuan yang
membutuhkan perlindungan. 
- Untuk mendongkrak jumlah penduduk, baik untuk perang atau mempertahankan diri dari musuh
- Untuk kekerabatan sehingga mendukung penyebaran agama Islam.

Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan hak berpoligami, maka seseorang yang akan berpoligami harus mendapat ijin dari hakim. Karena hukum Islam tidak mengatur mekanisme dan prosedur poligami maka hukum Islam di Indonesia mengatur dan merincinya.

Pasal 5 UU Perkawinan menjelaskan bahwa:
1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhisyarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari istri / istri-istri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka
2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri / istri-istrinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 56 berbunyi :
1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2. Pengajuan pemohonan izin pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga dan keempat tanpa izin dari Pengadila Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57 KHI menyatakan:
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Bahwa persoalan diperbolehkannya poligami dalam Islam merupakan persoalan yang penting. Karena dalam poligami disyaratkan sesuatu yang berat, yaitu dipercaya dapat berbuat adil dan adanya jaminan tidak adanya perbuatan aniaya. Ketika kita melihat keadaan sekarang, sungguh tidak mungkin bagi seseorang untuk berpoligami, karena
banyaknya ekses negatif yang diakibatkannya. Seperti contoh, rumah yang ditempati dua istri dan seorang suami tidak akan ada ketentraman di dalamnya. Malah mereka bersama-sama menghancurkan keharmonisan keluarga, saling bermusuhan satu sama lain.

demikianlah pembahasan Ketentuan dan Pendapat Ulama Mengenai Poligami semoga bermanfaat

0 Response to " Ketentuan dan Pendapat Ulama Mengenai Poligami"

Post a Comment