MITOS HAID DAN LARANGAN MASUK MASJID
Sahabat warta madrasah pada kesempatan ini kita akan membahas tentang Mitos Haid dan Larangan Masuk Masjid. Dalam lintasan sejarah, menstruasi dianggap sebagai simbol yang sarat dengan makna dan mitos. Hampir setiap suku bangsa, agama, dan kepercayaan mempunyai konsep perlakuan khusus terhadapnya. Dalam tradisi indonesia, menstruasi sering diistilahkan dengan ”datang bulan”, ”sedang kotor”, ”kedatangan tamu”, ”bendera berkibar” dan sebagainya. Istilah seperti ini juga dikenal dibelahan bumi yang lain. Bahkan masyarakat Amerika, Kanada dan Eropa pada umumnya masih menggunakanistilah yang berbau mistik, seperti: ”a crescen moon”(bulan sabit), ”golden blood”(darah emas),”earth”(tanah), ”snake”(ular) dan sebagainya.
Mitos-mitos yang berkaitan menstruasi seperti, darah yang dikeluarkan sebagai kotoran atau polusi yang harus disingkarkan atau dikeluarkan dari suatu kelompok. Makna darah disini terkait dengan sakit, kematian, kehilangan kendali dan emosi. Dalam masyarakat Beng di Pantai Gading secara tegas dikatakan bahwa menstruasi dikaitkan dengan polusi dan fertilitas. Hal ini mengakibatkan larangan memasuki hutan, dilarang memasak karena dianggap kotor dan dilarang melakukan aktifitas pertanian.
Berbagai bentuk pengucilan juga terjadi bagi perempuan yang mengalami menstruasi. Di Papua New Guinea seorang perempuan ditempatkan di sebuah rumah yang khusus dan tidak boleh didekati laki-laki. Kepercayaan tentang roh jahat yang dbawa oleh perempuan yang mengalami menstruasi. Dalam masyarakat Toraja proses pengucilan terjadi dengan mengeluarkan mereka dari aktifitas produksi yang kemudian menyebabkan hilanganya akses perempuan
Masyarakat Yahudi memandang menstruasi sebagai masalah yang prinsip, karena dalam ajaran Yahudi dan Kristen siklus menstruasi dianggap sebagai kutukan tuhan terhadap hawa yang dianggap menjadi penyebab terjadinya pelanggaran disurga. Sehingga, perempuan yahudi yang haid masakannya tidak dimakan dan tidak boleh berkumpul bersama keluarga di rumahnya. Ajaran islam tidak melarang melakukan kontak sosial dengan perempuan haid. Rasulullah menegaskan bahwa: ” segala sesuatu dibolehkan untuknya kecuali kemaluannya (farji), segala sesuatu boleh untuknya kecuali bersetubuh (jima‟). Dapat dipahami bahwa islam berupaya mengikis tradisi dan masyarakat sebelumnya, yang memberikan beban berat terhadap perempuan haid.
Meskipun islam telah menghapus semua mitos- mitos tentang haid, tapi perempuan menstruasi tetap mendapat perlakuan berbeda dengan perempuan ”normal”. Dalam fiqh misalnya, perempuan menstruasi dilarang untuk melakukan beberapa ibadah yang mana telah dibakukan oleh ulama-ulama fiqh dalam berbagai kitab. Beberapa hal yang diharamkan bagi perempuan haid adalah shalat, sujud tilawah, menyentuh mushaf, memasuki masjid, thawaf, i‟tikāf, membaca al-Quran.
Memasuki masjid adalah salah satu hal terlarang bagi perempuan haid yang menjadi ikhtilaf ulama. Dalam hal ini ulama terbagi menjadi tiga pendapat, pendapat pertama yang melarag perempuan haid memasuki masjid secara muthlak dan ini adalah pendapat madzab Maliki. Kedua, pendapat yang melarang perempuan haid memasuki masjid dan membolehkan jika sekedar lewat, dan ini adalah pendapat Syafi‟i. Ketiga, pendapat yang membolehkan perempuan haid memasuki masjid dan ini adalah pendapat Zahiri.
Kenyataan pelarangan atau pembolehan perempuan haid memasuki masjid tersebut menggunakan hadits sebagai dalil. Penting untuk kita melakukan penelitian yang berkaitan dengan hadits- hadits itu. Tahap pertama yang harus dilakukan adalah melakukan penelusuran atau pencarian pada kitab aslinya atau kitab induknya, dalam ilmu hadits disebut dengan takhrij hadits. Langkah selanjutnya adalah melakukan kritik sanad menggunakan acuan kesahihan sanad yang disepakati oleh para ulama. Dalam menganalisis matan penulis menggunakan ilmu mukhtaliful hadits, karena hadits yang dikaji adalah matanmatan yang tampaknya bertentangan.
Setelah melakukan penilitian, penulis menghimpun beberapa pendapat ulama dalam upaya menyelesaikan matan-matan hadits diatas yang tampaknya bertentangan, penulis berkesimpulan;
1. Hadits pertama yang menerangkan keharaman masjid bagi perempuan haid secara mutlak bekualitas ḍa‟īf, sehingga tidak bisa dipertentangkan dengan yang lain. Hadits kedua yang menerangkan tentang perintah agar perempuan haid menjauhi al mushalla bekualitas ṣaḥīḥ, hadits ketiga dan keempat adalah satu hadits yang tidak bisa dipisahkan. Matannya menjadi sedikit berbeda karena adanya periwayatan secara makna.
2. Makna al mushalla berbeda dengan masjid da hukum- hukum yang berlaku bagi masjid tidak berlaku bagi al mushalla. Perintah agar perempuan haid menjauhi al mushalla(tempat shalat), berlaku ketika orang-orang muslim sedang melaksanakan shalat. Karena jika perempuan haid berada ditengah- tengah orang yang sedang melaksanakan shalat dan mereka tidak shalat, seolah-olah para pemrepuan haid itu tidak menghargai keadaan itu (orang-orang yang shalat). Jadi, selain waktu shalat perempuan haid tidak dilarang memasuki masjid.
3. Larangan perempuan haid memasuki masjid adalah untuk menghindari kekhawatiran menetesnya darah di masjid, jika kekhawatiran itu telah hilang secara umum perempuan haid tidak dilarang memasuki masjid.
0 Response to "MITOS HAID DAN LARANGAN MASUK MASJID"
Post a Comment