Analisis Strategi Dakwah M. Quraish Shihab bag II

Warta Madrasah - Strategi Dakwah di Daerah Pinggiran dan Pedesaan. Selama ini menurut Shihab, dakwah mengajarkan kepada umat bahwa Islam datang membawa rahmat untuk seluruh alam dan tentunya lebih-lebih lagi untuk pemeluknya. Tetapi, sangat disayangkan bahwa kerahmatan tersebut tidak dirasakan menyentuh segi-segi kehidupan nyata kaum Muslim, lebih-lebih yang hidup di pedesaan. Hal di atas disebabkan antara lain karena yang menyentuh mereka dari ajaran agama selama ini, baru segi-segi ibadah ritual (ibadah murni), sedangkan segi-segi lainnya kalaupun disentuh dan dilaksanakan hanya dalam bentuk individual dan tidak dalam bentuk kolektif.

Da'wah bil hal diharapkan menunjang segi-segi kehidupan masyarakat, sehingga pada akhirnya setiap komunitas memiliki kemampuan untuk mengatasi kebutuhan dan kepentingan anggotanya, khususnya dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan masyarakat (Shihab, 2006: 398).

Berdasarkan pendapat M. Quraish Shihab tersebut maka pada intinya M. Quraish Shihab mengingatkan kepada para da'i agar dalam meletakkan strategi dakwah di perkotaan dengan masyarakat pedesaan harus dibedakan. Dakwah pada masyarakat kota lebih dituntut rasional, logis dan mampu menarik benang merah dengan kapasitas kemampuan mad'u perkotaan yang lebih cenderung menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sini para da'i dituntut untuk bisa menguasai IPTEK sehingga pemaparan Islam tidak sekadar menyampaikan ajaran agama yang sudah ada 1500 tahun yang lalu jika dihitung mulai diturunkannya al-Qur'an semasa hidup Nabi Muhammad SAW.

Sebaliknya dalam perspektif M. Quraish Shihab bahwa dakwah di pedesaan jangan hanya bersifat normatif yang hanya berbicara yang halal dan haram, namun lebih jauh dari itu dakwah harus menyentuh aspek pembangunan karena masyarakat pedesaan pada umumnya masih tertinggal dalam sektor ekonomi, di antaranya pengangguran, kesenjangan sosial, daya tarik dan bujuk rayu dari kelompok ekonomi yang kuat yang menyeret masyarakat pedesaan pada paham yang serba membolehkan. Betapa kurang berartinya jika penyampaian ajaran agama tidak mampu memecahkan persoalan perut mereka yang kosong.

Demikian pula dakwah terhadap kelompok orang yang fanatik dalam arti membabi buta dalam menafsirkan ajaran agama sehingga ditafsirkan secara sempit atau harfiah, maka hal ini menjadi bahaya yang mengancam ketenangan masyarakat. Berdasarkan hal itu maka dalam pandangan M. Quraish Shihab bahwa para da'i harus mampu mengantisipasi bahaya tersembunyi ini, bahaya ini seakan tidak mempunyai gerakan tapi bentuknya pasti. Penafsiran yang keliru terhadap agama yang hanya menginterpretasikan agama secara sempit tanpa memiliki standar penafsiran yang mendekati kebenaran maka hal ini menyeret umat Islam pada kesesatan.

Lebih jauh dari itu M. Quraish Shihab mengingatkan bahwa tantangan besar untuk para da'i adalah meluruskan para penganut kebebasan yang sebebas-bebasnya dalam menjatuhkan aspek hukum ajaran agama. Jika masalah ushuluddin (pokok agama) maka hal ini sudah tidak bisa ditawar lagi karena ruang akal dibatasi. Dalam kenyataannya masih banyak kelompok yang mencoba menundukkan masalah akidah dengan akal, padahal pada wilayah akidah maka kebenarannya adalah absolut dan tidak bisa semuanya diuji dengan kapasitas akal yang terbatas, kecuali masalah furuiyah atau cabang maka manusia dipersilahkan untuk berijtihad. Namun ini pun tidak bisa dilakukan sembarang orang melainkan harus yang memiliki otoritas atau kemampuan sebagai mujtahid. Jika masalah ijtihad dikembangkan oleh orang yang paham keagamaannya masih dangkal maka hal ini pun bisa menyesatkan umat.

Menyikapi pandangan M. Quraish Shihab berkaitan dengan strategi dakwah Islam, maka diperlukan pengenalan yang tepat dan akurat terhadap realitas hidup manusia yang secara aktual berlangsung dalam kehidupan dan mungkin realitas hidup antara satu masyarakat dengan masyarakat lain berbeda. Di sini, juru dakwah dituntut memahami situasi dan kondisi masyarakat yang terus mengalami perubahan, baik secara kultural maupun sosial-keagamaan. Strategi dakwah semacam ini telah diperkenalkan dan dikembangkan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam menghadapi situasi dan kondisi masyarakat Arab saat itu. Strategi dakwah Rasulullah yang dimaksud antara lain menggalang kekuatan di kalangan keluarga dekat dan tokoh kunci yang sangat berpengaruh di masyarakat dengan jangkauan pemikiran yang sangat luas, melakukan hijrah ke Madinah untuk fath al-Makkah dengan damai tanpa kekerasan, dan lain sebagainya (Rafi'udin dan Djaliel, 1997: 78).

Kemudian, jika dikaitkan dengan era globalisasi saat ini, maka juru dakwah harus memahami perubahan transisional dari transaksi pada kekuatan magis dan ritual ke arah ketergantungan pada sains dan kepercayaan serta transisi dari suatu masyarakat yang tertutup, sakral dan tunggal ke arah keterbukaan, plural dan sekuler. Jadi, suatu strategi tidak bersifat universal. la sangat tergantung pada realitas hidup yang sedang dihadapi. Karena itu, strategi harus bersifat terbuka terhadap segala kemungkinan perubahan masyarakat yang menjadi sasaran dakwah (Pimay, 2005: 53).

Berkaitan dengan perubahan masyarakat yang berlangsung di era globalisasi, maka perlu dikembangkan strategi dakwah Islam sebagai berikut. Pertama, meletakkan paradigma tauhid dalam dakwah. Pada dasarnya dakwah merupakan usaha penyampaian risalah tauhid yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal (egaliter, keadilan dan kemerdekaan). Dakwah berusaha mengembangkan fitrah dan kehanifan manusia agar mampu memahami hakekat hidup yang berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Dengan mengembangkan potensi atau fitrah dan kedhaifan manusia, maka dakwah tidak lain merupakan suatu proses memanusiakan manusia dalam proses transformasi sosio-kultural yang membentuk ekosistem kehidupan. Karena itu, tauhid merupakan kekuatan paradigmatis dalam teologi dakwah yang akan memperkuat strategi dakwah.

Kedua, perubahan masyarakat berimplikasi pada perubahan paradigmatik pemahaman agama. Dakwah sebagai gerakan transformasi sosial sering dihadapkan pada kendala-kendala kemapanan keberagamaan seolah-olah sudah merupakan standar keagamaan yang final sebagaimana agama Allah. Pemahaman agama yang terialu eksoteris dalam memahami gejala-gejala kehidupan dapat menghambat pemecahan masalah sosial yang dihadapi oleh para juru dakwah itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan pemikiran inovatif yang dapat mengubah kemapanan pemahaman agama dari pemahaman yang tertutup menuju pemahaman keagamaan yang terbuka.

Ketiga, strategi yang imperatif dalam dakwah. Dakwah Islam berorientasi pada upaya amar ma'ruf dan nahi munkar. Dalam hal ini, dakwah tidak dipahami secara sempit sebagai kegiatan yang identik dengan pengajian umum atau memberikan ceramah di atas podium, lebih dari itu esensi dakwah sebetulnya adalah segala bentuk kegiatan yang mengandung unsur amar ma'ruf dan nahi munkar (Pimay, 2005: 52).

Selanjutnya, strategi dakwah Islam sebaiknya dirancang untuk lebih memberikan tekanan pada usaha-usaha pemberdayaan umat, baik pemberdayaan ekonomi, politik, budaya, maupun pendidikan. Karena itu, strategi yang perlu dirumuskan dalam berdakwah perlu memperhatikan asas-asas sebagai berikut. Pertama, asas filosofis, asas ini erat hubungannya dengan perumusan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam proses atau aktivitas dakwah. Kedua, asas kemampuan dan keahlian (Achievemen and professional) da'i. Ketiga, asas sosiologis, asas ini membahas tentangpersoalan-persoalan yang berhubungan dengan situasi dan kondisi masyarakat obyek dakwah. Misalnya situasi politik, ekonomi, keamanan, kehidupan beragama masyarakat dan lain sebagainya. Keempat, asas psikologis, merupakan asas yang membahas tentang aspek kejiwaan

manusia, untuk memahami karakter penerima dakwah agar aktivitas dakwah berjalan dengan baik. Kelima, asas efektif dan efisien, hal ini merupakan penerapan prinsip ekonomi dalam dakwah, yaitu pengeluaran sedikit untuk mendapatkan penghasilan yang semaksimal mungkin. Setidak-tidaknya seimbang antara tenaga, pikiran, waktu dan biaya dengan pencapaian hasilnya (Syukir, 1983: 32-33).


Karena itu, dakwah masa depan perlu mengagendakan beberapa hal antara lain: Pertama, mendasarkan proses dakwah pada pemihakan terhadap kepentingan masyarakat. Kedua, mengintensifkan dialog dan menjaga ketertiban masyarakat, guna membangun kesadaran kritis untuk memperbaiki keadaan. Ketiga, memfasilitasi masyarakat agar mampu memecahkan masalahnya sendiri serta mampu melakukan transformasi sosial yang mereka kehendaki. Keempat, menjadikan dakwah sebagai media pendidikan dan pengembangan potensi masyarakat, sehingga masyarakat akan terbebas dari kejahilan dan kedhaifan (Syukir, 1983: 172).

<<<Sebelumnya>>                                                                        <<<Selanjutnya>>>

0 Response to "Analisis Strategi Dakwah M. Quraish Shihab bag II"

Post a Comment