Warta
Madrasah – sahabat warta madrasah pada kesempatan ini kita akan mengkaji
tentang اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ .Di
dalam ayat-ayat sebelumnya disebutkan empat macam dari sifat-sifat Allah,
yaitu: Pendidik seluruh alam, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Yang menguasai
hari pembalasan. Sifat-sifat yang disebutkan itu adalah sifat-sifat
kesempurnaan yang hanya Allah saja yang mempunyainya. Sebab itu pada ayat ini
Allah mengajarkan kepada hamba-Nya bahwa Allah sajalah yang patut disembah, dan
kepada-Nya sajalah seharusnya manusia memohon pertolongan, dan bahwa hamba-Nya
haruslah mengikrarkan yang demikian itu. Iyyaka (hanya kepada Engkau). Iyyaka
adalah dhamir untuk orang kedua dalam kedudukan mansub karena menjadi maf'ul
bih (obyek).
Dalam
tata bahasa Arab maf'ul bih harus sesudah fi'il dan fa'il. Jika mendahulukan
yang seharusnya diucapkan kemudian dalam Balagah menunjukkan qasr, yaitu
pembatasan yang bisa diartikan "hanya". Jadi arti ayat ini
"Hanya kepada Engkau saja kami menyembah, dan hanya kepada Engkau saja
kami mohon pertolongan". Iyyaka dalam ayat ini diulang dua kali, gunanya
untuk menegaskan bahwa ibadah dan isti'anah (meminta pertolongan) itu
masing-masing khusus dihadapkan kepada Allah serta untuk dapat mencapai
kelezatan munajat (berbicara) dengan Allah. Karena bagi seorang hamba Allah
yang menyembah dengan segenap jiwa dan raganya tak ada yang lebih nikmat dan
lezat perasaannya daripada bermunajat dengan Allah. Baik juga diketahui bahwa
dengan memakai iyyaka itu berarti menghadapkan pembicaraan kepada Allah, dengan
maksud mengingat Allah swt, seakan-akan kita berada di hadapan-Nya, dan
kepada-Nya diarahkan pembicaraan dengan khusyuk dan tawaduk. Seakan-akan kita
berkata: "Ya Allah, dzat yang wajibul wujud, Yang bersifat dengan segala
sifat kesempurnaan, Yang menjaga dan memelihara seluruh alam, Yang melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya dengan berlipat ganda, Yang berkuasa di hari pembalasan,
Engkau sajalah yang kami sembah, dan kepada Engkau sajalah kami minta
pertolongan, karena hanya Engkau yang berhak disembah, dan hanya Engkau yang
dapat menolong kami".
Dengan
cara seperti itu orang akan lebih khusyuk dalam menyembah Allah dan lebih
tergambar kepadanya kebesaran yang disembahnya itu. Inilah yang dimaksud oleh
Rasulullah dengan sabdanya: "Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari 'Umar bin al-Khatthab). Karena
surah al-Fatihah mengandung ayat munajat (berbicara) dengan Allah menurut cara
yang telah diterangkan maka hal itu merupakan rahasia diwajibkan membacanya
pada tiap-tiap rakaat dalam salat, karena jiwanya ialah munajat, dengan
menghadapkan diri dan memusatkan ingatan kepada Allah. Na'budu pada ayat ini
didahulukan menyebutkannya daripada nasta'inu, karena menyembah Allah adalah
suatu kewajiban manusia terhadap Tuhan-nya. Tetapi pertolongan dari Allah
kepada hamba-Nya adalah hak hamba itu. Maka Allah mengajar hamba-Nya agar
menunaikan kewajibannya lebih dahulu, sebelum ia menuntut haknya. Melihat
kata-kata na'budu dan nasta'inu (kami menyembah, kami minta tolong), bukan
a'budu dan asta'inu (saya menyembah dan saya minta tolong) adalah untuk
memperlihatkan kelemahan manusia, tidak selayaknya manusia mengemukakan dirinya
seorang saja dalam menyembah dan memohon pertolongan kepada Allah. Seakan-akan
penunaian kewajiban beribadah dan permohonan pertolongan kepada Allah itu belum
lagi sempurna, kecuali kalau dikerjakan bersama-sama. Kedudukan Tauhid di dalam
Ibadah dan Sebaliknya Ibadah secara istilah ialah semua perkataan, perbuatan
dan pikiran yang bertujuan untuk mencari rida Allah.
Arti
"ibadah" sebagai disebutkan di atas ialah tunduk dan berserah diri
kepada Allah, yang disebabkan oleh kesadaran bahwa Allah yang menciptakan alam
ini, Yang menumbuhkan, Yang mengembangkan, Yang menjaga dan memelihara serta
Yang membawanya dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain, hingga tercapai
kesempurnaannya. Tegasnya, ibadah itu timbulnya dari perasaan tauhid. Oleh
karenanya, orang yang suka memikirkan keadaan alam ini, yang memperhatikan
perjalanan bintang-bintang, kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia,
bahkan yang mau memperhatikan dirinya sendiri, yakinlah dia bahwa di balik alam
yang zahir ada Zat yang gaib yang mengendalikan alam ini, yang bersifat dengan
segala sifat kesempurnaan, yakni Dialah Yang Mahakuasa, Maha Pengasih, Maha
Mengetahui dan sebagainya. Maka tumbuhlah dalam sanubarinya perasaan bersyukur
dan berutang budi kepada Zat Yang Mahakuasa, Maha Pengasih dan Maha Mengetahui
itu. Perasaan inilah yang menggerakkan bibirnya untuk menuturkan puji-pujian,
dan yang mendorong jiwa dan raganya untuk menyembah dan merendahkan diri kepada
Allah Yang Mahakuasa itu sebagai pernyataan bersyukur dan membalas budi
kepada-Nya. Tetapi ada juga manusia yang tidak mau berpikir, dan selanjutnya
tidak sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah, sering melupakan-Nya. Sebab
itulah, setiap agama mensyariatkan bermacam-macam ibadah, gunanya untuk
mengingatkan manusia kepada kebesaran dan kekuasaan Allah.
Dengan keterangan ini terlihat bahwa tauhid
dan ibadah itu saling mempengaruhi, dengan arti bahwa tauhid menumbuhkan
ibadah, dan ibadah memupuk tauhid. Pengaruh Ibadah terhadap Jiwa Manusia
Tiap-tiap ibadah yang dikerjakan karena didorong oleh perasaan yang disebutkan
itu, niscaya berpengaruh kepada tabiat dan budi pekerti orang yang
melakukannya. Umpamanya, orang yang melaksanakan salat karena sadar akan
kebesaran dan kekuasaan Allah, dan didorong oleh perasaan bersyukur dan
berutang budi kepada-Nya, akan terjauhlah dia dari perbuatan-perbuatan yang
tidak baik. Dengan demikian salatnya itu akan mencegahnya dari mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak baik itu, sesuai dengan firman Allah swt:
"Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar."
(al-'Ankabut/29: 45) Begitu juga ibadah puasa. Ibadah ini akan menimbulkan
perasaan cinta dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin.
Demikian
pula seterusnya dengan ibadah-ibadah yang lain. Ibadah yang sebenarnya adalah
ibadah yang ditimbulkan oleh keyakinan kepada kebesaran dan kekuasaan Allah,
serta didorong oleh perasaan bersyukur kepada Allah. Ibadah yang hanya karena
ikut-ikutan, atau karena memelihara tradisi yang sudah turun-temurun, bukanlah
ibadah yang sebenarnya. Kendatipun seakan-akan berupa ibadah, tetapi tidak
mempunyai jiwa ibadah. Tidak ubahnya seperti patung, bagaimanapun miripnya
dengan manusia, tidaklah dinamai manusia. Ibadah yang semacam itu tidak ada
pengaruhnya kepada tabiat dan akhlak. Berusaha, Berdoa dan Bertawakal Isti'anah
(memohon pertolongan) seperti disebutkan di atas khusus dihadapkan kepada
Allah, dengan arti bahwa tidak ada yang berhak dimohonkan pertolongan kecuali
Allah. Pada ayat yang lain Allah menyuruh manusia untuk tolong-menolong dalam
mengerjakan kebaikan. Allah berfirman: "Dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebaikan dan takwa". (al-Ma'idah/5: 2) Adakah Pertentangan
antara Dua Ayat itu? Tercapainya suatu maksud, atau terlaksananya suatu
pekerjaan dengan baik, tergantung kepada terpenuhinya syarat-syarat yang
dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan itu, dan tidak adanya
rintangan-rintangan yang menghalanginya. Manusia telah diberi potensi oleh
Allah, baik berupa pikiran maupun kekuatan tubuh, agar bisa mencukupkan
syarat-syarat atau menolak rintangan-rintangan dalam menuju suatu maksud, atau
mengerjakan suatu pekerjaan.
Tetapi,
ada di antara syarat-syarat itu yang manusia tidak kuasa mencukupkannya. Di
samping itu, ada juga rintangan yang tidak mampu ditolaknya. Begitu pula ada di
antara syarat-syarat itu atau di antara halangan-halangan itu yang tidak dapat
diketahui. Kendatipun menurut pikiran semua syarat yang diperlukan telah cukup,
dan semua rintangan yang menghalangi telah berhasil diatasi, tetapi
kadang-kadang hasil pekerjaan tidak seperti yang diharapkan. Ada hal-hal yang
berada di luar batas kekuasaan dan kemampuan manusia. Itulah yang dimintakan
pertolongan khusus kepada Allah. Sebaiknya, sesuatu yang masih dalam batas
kekuasaan dan kemampuan, manusia disuruh tolong menolong, agar timbul pada
masing-masing individu sifat saling mencintai, menghargai, dan gotong-royong.
Dengan
perkataan lain, manusia disuruh Allah berusaha dengan sekuat tenaga, dan
disuruh saling menolong, dan membantu. Di samping menjalankan ikhtiar dan
usaha, dia harus pula berdoa, memohon taufik, hidayah dan ma'unah. Ini
hendaknya dimohonkan khusus kepada Allah, karena hanya Dia yang kuasa
memberinya. Sesudah itu semua, barulah dia bertawakal kepada-Nya. Ibadah itu
sendiri pun suatu pekerjaan yang berat, sebab itu haruslah dimintakan ma'unah
dari Allah agar semua ibadah terlaksana sesuai dengan yang dimaksud oleh agama.
Oleh karena itu, seseorang hendaknya menuturkan bahwa hanya kepada Allah sajalah
kita beribadah, diikuti lagi dengan pernyataan bahwa kepada-Nya saja minta
pertolongan, terutama pertolongan agar amal ibadah terlaksana sebagaimana
mestinya. Ayat di atas, sebagaimana telah disebutkan, mengandung tauhid, karena
beribadah semata-mata kepada Allah dan meminta ma'unah khusus kepada-Nya,
adalah intisari agama, dan kesempurnaan tauhid.
0 Response to "Tafsir Surat Al-Fatihah ayat 5 ; اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ"
Post a Comment